1] Prologue

Ravel

XoXo-XoXo-XoXo

Ravel © Rizel Hiiragi

XoXo-XoXo-XoXo

Namanya Kim Junmyeon, sosok berkulit putih pucat dengan rambut pendek berponi warna kecoklatan. Pegawai baru di café Moonlight. Sudah sekitar sebulan. Orangnya ramah dan cukup cekatan.

Biasanya Sehun hanya ke café ini jika ditraktir oleh Jongin—sahabatnya. Tapi sekarang, kunjungannya ke café meningkat secara signifikan, mulai dengan alasan mengerjakan tugas dengan wifi gratis atau sekedar minum kopi Americano—walaupun faktanya dia cinta mati pada bubble tea di café dekat kampus. Sehun berharap sih, café ini akan menyediakan bubble tea bulan depan dalam menunya. Dia sudah tulis itu di kotak saran café. Sudah sepuluh lebih dia tulis. Semoga sarannya dinotis oleh manajer café.

Tapi urusan dinotis manajer ntar belakangan, cukup dinotis kecengan dulu. Junmyeon-hyung.

“Mengerjakan tugas lagi, Sehun?” Junmyeon menghampirinya, kertas dan pulpen telah bersiap untuk saling bercumbu—menuliskan pesanan meja nomor tiga.

“Iya, hyung. Mumpung wifi disini gratis.”

Alasan mainstream. Tapi Sehun tidak sepenuhnya bohong.

“Kalau begitu, minuman yang seperti biasanya?” senyuman menghiasi wajah sang waiter.

Sehun mengangguk, “Yap, yang seperti biasanya. Ditambah dengan manisnya senyumanmu, hyung!”

Pemuda itu tertawa kecil, “Aku selalu memberikan senyum padamu. Baiklah, kalau begitu ditunggu ya, dan semangat belajarnya.”

Junmyeon berlalu.

Haah. Sehun menumpu dagunya di meja. Laptop yang masih menyala terabaikan.

Ada saat di mana pandangan kita hanya tertuju pada seseorang. Bagi Sehun seseorang itu adalah Junmyeon.

Pemuda tinggi, berstatus anak kuliahan semester awal itu mengedarkan pandangan. Café masih cukup ramai meskipun sekarang sudah sore. Kebanyakan diantaranya adalah mahasiswa seperti dirinya, yang juga tampak mengerjakan tugas. Mungkin karena kebanyakan pegawai disini memiliki wajah yang memenuhi standar, cukup untuk membuat café ini selalu ramai. Manajer café ini memang berbakat merekrut orang.

Kalau soal tampang, Sehun cukup percaya diri tentunya. Hanya saja, bekerja paruh waktu sebagai waiter sepertinya tidak cocok untuknya. Terakhir kali dia masuk dapur dengan niat untuk membantu mama malah menyebabkan lima piring keramik impor dari China pecah.

Dia di banned dari dapur.

Pedekate dengan menjadi sesama rekan kerja, mana mungkin. Bisa jadi dia kena pecat di hari pertama kerja. Jadi biarlah, jadi pelanggan tetap. Toh uang saku bulanan Sehun cukup banyak untuk di foya-foyakan. Meskipun dia masih lebih doyan ditraktir sang sobat—yang punya pekerjaan sampingan.

Secangkir kopi yang isinya masih tersisa setengah mulai kehilangan kehangatan. Meskipun tampak fokus dengan laptop, sesekali iris kecoklatannya menatap kembali pegawai baru ber-name tag Junmyeon. Senyum manis yang tidak pernah luntur itu selalu mampu membuat Sehun tak sanggup mengalihkan pandangan.

“Woi—ngelamun.” Sebuah tepukan dibahu nyaris membuat Sehun kehilangan keseimbangan tangan kiri yang menumpu dagu. Tentu tidak elit jika dagunya menghantam meja.

“Aku sedang menikmati keindahan makhluk ciptaan tuhan.” Sehun menyahut kalem.

“Sok puitis.” Jongin menarik kursi kosong yang bersebrangan dengan Sehun. “Paling nge-stalker pegawai baru itu.” Jongin melirik sekilas ke arah pandangan Sehun.  Tangannya beralih mengambil menu.

“Maaf saja, tapi aku bukan stalker.” Sehun menyahut.

“Terus apa namanya, orang yang hanya bisa melihat dari kejauhan sambil berharap bisa memilikinya?” Jongin melambaikan tangan, menandakan dia sudah siap untuk memesan. Sayangnya mereka tidak dihampiri orang yang Sehun harapkan.

Percakapan mereka tertunda beberapa saat karena pesanan Jongin sedang dicatat. Setelahnya, waktu berlalu dengan kesibukan Jongin yang sedang bicara dengan seseorang di smartphone-nya.

“Tch.” Sehun memasang wajah cemberut setelah Jongin mengakhiri obrolan dengan orang di line telepon. “Aku tidak akan memberikan data presentasi mata kuliah Park-ssaem padamu.”

“Hei— jangan ngambek begitu. Kau tahu kan sahabatmu ini orang sibuk. Ah, bagaimana kalau pesananmu ini aku bayarkan?”

“Kau harus kuliah dengan serius, Kai. Kau sudah absen banyak. Mana yang lebih penting, kuliahmu atau pekerjaan sampinganmu itu.” Sehun terdengar serius.

“Harusnya kau tanya, ‘mana yang lebih penting, aku atau pekerjaanmu!’ begitu,” Jongin tertawa kecil, bermaksud bercanda pada sahabatnya semenjak smp itu.

Sehun tidak menanggapi candaannya. Dia malah mengghela napas.

“Segitu bagusnya ya, bayaran jadi model?”

“Oke,” Jongin mengacungkan ibu jarinya. “Banget. Mana banyak pemandangan indah dan y. Puas deh. Dibanding mantengin presentasi penuh aljabar.”

“Pesanannya.” Interupsi terdengar di pendengaran keduanya.

Junmyeon membawa nampan sambil tersenyum. “Frappucinno dan mont blanc, kan?”

Pesanan milik Jongin, diantarkan oleh sosok angelic yang diharapkan.

“Memang manis sih, senyumnya.” Jongin berujar. Menatap kepergian sang waiter.

“Jangan naksir. Awas loh.”

Jongin hanya memutar bola matanya. “Tembak aja, apa susahnya sih.”

“Mentalku yang belum siap.”

“Yang naksir gak cuma kamu lho.” Jongin melirikkan matanya ke sekitar. Setidaknya dia melihat ada beberapa pasang mata yang juga memiliki tatapan yang sama seperti Sehun kepada pemuda berambut brown itu.

“Takutnya dia gak doyan berondong.”

“Halah.” Jongin meminum kopi pesannya. “Terserah.” Pemuda berstatus model newcomer itu tidak ambil pusing.

XoXo-XoXo-XoXo

Bekerja sebagai waiter tidak seburuk yang Junmyeon pikir. Tentunya cukup melelahkan, dimulai dari mencatat, membuat dan mengantar pesanan.  Terutama di akhir pekan. Tapi bayaran untuk lembur cukup untuk membungkam rasa lelah. Kali ini—tepatnya hari ini, dia mendapat shift dari siang hingga malam, kira-kira sampai jam sebelas malam.

Mempertanyakan umur Junmyeon, dia berumur dua puluh tiga tahun semenjak beberapa bulan yang lalu. Tinggal di komplek perumahan Black Pearl nomor sembilan blok dua yang cukup jauh dari hingar bingar keramaian kota Seoul.

Rumah itu merupakan peninggalan dari kedua orang tuanya yang sudah meninggal waktu dia masih kecil. Junmyeon sekarang tinggal sendirian di sana. Saat masih kecil dia dirawat pamannya, adik dari ibu Junmyeon—seorang fotographer yang jarang pulang, dan satu lagi, yaitu sahabat dari sang ibu. Walaupun ditinggal pergi sang paman, masih ada yang menjaganya saat dia masih kecil. 

Kalau dipikir, Junmyeon sudah terbiasa hidup sendirian di rumah itu. Jadi dia tidak mempermasalahkan pamannya yang memiliki jiwa petualang. Setidaknya pamannya masih mengiriminya surat pos setiap bulan, menandakan kalau lelaki muda itu masih hidup.

Hari ini pelanggan yang datang sangat ramai, membuat Junmyeon dan rekan kerjanya cukup kewalahan. Tentu saja, weekend selalu menjadi saat-saat berat bagi mereka. Melirik jam di tangannya, Junmyeon menghela napas.

Jam dua belas malam. Jamnya Cinderella untuk pulang. Sayangnya, Junmyeon bukan Cinderella. Café masih harus dibersihkan dan piring-piring harus dicuci. Semuanya harus dipastikan bersih sebelum café ditutup.  Harusnya dia sudah pulang jam sebelas tadi, Junmyeon jadi ingin mengeluh.

“Kau tahu, malam purnama adalah malam di mana banyak hal mistis terjadi.” Sang rekan kerja yang mencuci piring disampingnya memulai percakapan.

“Kenapa?” Junmyeon melirik sang lawan bicara sekilas, lalu kembali fokus dengan kegiatannya mencuci gelas.

“Kau tidak dengar beritanya, vampire? Werewolf? Hello, kamu tinggal dimana sih, hyung?”

“Aku tidak sering melihat tivi,” Junmyeon membela diri.

“Bukan di tv kok. Hanya gosip dari mulut ke mulut.”

Junmyeon mengambil sabun cair, “Jadi? Apa maksudmu mereka muncul dan membunuh manusia begitu?”

“Tidak sih sepertinya,” Baekhyun menggendikkan bahu.

“Sejauh yang aku dengar, meskipun ada makhluk seperti itu, tidak ada yang mati dengan cara aneh.” Jongdae yang mengepel lantai ikut menimpali.

“Jadi, gosip itu hanya bohongan?” Minseok tampak tertarik.

“Tapi katanya mereka benar-benar ada.” Baekhyun menyahut dengan nada serius. “Pulang nanti harus hati-hati lho.”

Pegawai di ruangan itu saling mengangguk.

“Minseok-hyung, pulang bareng yuk.” Jongdae melirik rekan kerja disampingnya.

“Yeah, ide bagus…”

Memastikan lampu telah dimatikan, Minseok menatap ke arah semua teman satu shift bergantian, “Tidak ada yang tertinggal kan?”

“Kamu tidak apa pulang sendiri, Junmyeon-hyung?” Jongdae menanyainya.

“Tidak apa, lagipula ini bukan pertama kalinya aku pulang sendiri.”

“Seandainya arah pulang kita sama,” ujar Baekhyun. “Gimana kalau nanti mereka muncul beneran?”

“Tidak perlu sekhawatir itu padaku, ok.” Junmyeon menampilkan senyumnya.

“Kau yakin?”

“Ya, sangat yakin. Kita akan bertemu lagi di hari selasa, dan kalian akan mendapatiku dengan keadaan sehat.”

“Kalau begitu, see you.

“See you.”

Junmyeon melambaikan tangannya.

Bulan purnama. Saat dimana bulan bersinar menerangi seluruh alamnya. Membuat para bintang seakan sungkan menampakkan cahaya. Mendongak selama beberapa saat menatap langit, Junmyeon melanjutkan langkahnya pulang setelah memperbaiki tatanan syal yang dipakai. Angin malam berhembus di sela-sela keramaian dunia malam di jalanan Seoul. Meskipun larut malam adalah saat di mana biasanya setiap orang mengistirahatkan tubuh, sebagian orang malah baru memulai pekerjaannya.

Terdengar lolongan dari kejauhan. Junmyeon jadi berpikir selama beberapa saat. Apakah itu kiranya hanya suara anjing liar, atau mungkin werewolf?

Haha. Itu tidak lucu Junmyeon.

Beberapa orang terlihat berada di pinggiran jalan dengan tatapan tajam. Iris kecoklatan Junmyeon mendapati tatapan itu mengarah padanya bahkan jauh sebelum dia melewati jalan itu. Mau bagaimana lagi, ini adalah jalan tercepat menuju halte bis.

Junmyeon sudah cukup terbiasa mendapati kumpulan orang semacam ini. Bahkan tante yang cantik juga pernah menawarkan ajakan padanya. Ke hotel. Tapi saat itu dia belum berminat. Meskipun lumayan juga mendapatkan pelayanan servis hotel secara gratis. Mungkin lain kali Junmyeon akan mencobanya.

“Halo, sweetie.” Sebuah sapaan menyapa indra pendengaran, langkah Junmyeon terhenti karena satu-dua orang menghampiri. Satu diantaranya berjalan ke belakangnya.

“Selamat malam.” Junmyeon menampilkan senyuman untuk sekedar kesopanan.

Tidak hanya werewolf dan vampire yang perlu diwaspadai saat malam hari tentunya. Dunia malam memang gelap, dan banyak membuat orang tenggelam karenanya.

Junmyeon menghela napas kecil. Setidaknya pria yang menyapanya ini cukup tampan, dengan tato berlambang harimau terlihat jelas di bahunya yang membuatnya terkesan manly. Meskipun sepertinya orang-orang ini lebih berbahaya daripada om-om berjas kemarin malam yang menyapa dan mengajaknya pergi—entah kemana, tentu saja ditolaknya dengan sopan.

“Sedang senggang?” pertanyaan dilontarkan sang lawan bicara.

“Err—” Junmyeon melirik ke samping, mendapati jumlah orang disana ada sekitar lima orang.

Oh, . Mending diginiin atau ketemu vampire atau werewolf ganteng?

“Hey, dear. Kenapa kau pulang duluan?! Kau marah padaku?!”

Suara dari belakang membuat Junmyeon menoleh. Alisnya berkerut. Orang itu pelanggan tetap di café tempatnya bekerja.

“Sehun?”

Sehun mendatanginya sedikit tergesa, bernapas dengan kewalahan. Dengan segera, tangan Sehun meraih pinggang sang pemuda yang terkejut karena kemunculannya.

“Maaf ya, hyung sekalian. Tetapi pemuda manis ini pacarku.”

“Benarkah?” Nada tidak percaya terlontar. Tatapan pria bertato harimau mengarah pada Junmyeon.

Sehun ikut mengarahkan pandangan padanya dengan tatapan cemas.

“Yeah, ” Tentunya Junmyeon tahu, pemuda tinggi itu bermaksud menolongnya.

Dengan segera menarik menjauh dari gerombolan orang itu, Sehun menggenggam tangan kanan Junmyeon secara sepihak. Suara decihan terdengar, tetapi Sehun tetap mengabaikannya.

Cukup jauh dari orang-orang itu, langkah Sehun mulai melambat.

“Tanganmu dingin hyung.” Ujarnya.

Junmyeon yang tadi tertinggal beberapa langkah, menyamakan langkahnya, “Tanganmu juga, Sehun.”

“Tentu saja! Itu karena aku cemas. Kau tidak tahu betapa kagetnya aku melihat orang sepertimu berada di antara orang-orang seperti itu, hyung!”

Nada suara Sehun terdengar cukup tinggi.

Junmyeon tersenyum kecil, “Terima kasih karena sudah mengkhawatirkanku dan juga menolongku.”

Sehun terdiam sejenak, netra coklatnya menatap sosok di sebelahnya. “B—bukan masalah. Aku hanya kebetulan lewat sana… Kai mengajakku belajar bersama untuk midtest, tapi yang terjadi kami malah bermain game sampai lupa waktu!” ujarnya, “Tapi syukurlah, karena hal itu sekarang aku bertemu denganmu! Kau bisa saja diapa-apakan oleh mereka lho.”

Sikap Sehun terlihat mengesankan di mata Junmyeon.

So cute.

“Yaah, malam ini lembur, jadi aku pulang telat dari pada kemarin-kemarin. Biasanya jalan itu masih ramai saat malam. Tidak sesepi malam ini. Lagipula, ini jalan terdekat menuju halte.” Junmyeon menyahut dan melirik tangannya yang masih di genggam Sehun.

Sehun memandang ke jalanan di depan matanya, beberapa ratus meter lagi hingga sampai menuju halte. Tangan Junmyeon yang masih terasa dingin membuat Sehun mengeratkan genggamannya.

“Malam ini begitu dingin, jadi biarkan aku menggenggam tanganmu, hyung.” Sang lelaki muda menutup separuh wajahnya dengan tangan kiri.

“Okay.”

Sehun tidak berniat melepas tangannya.

Junmyeon membiarkannya.

Setidaknya sampai halte bis.

XoXo-XoXo-XoXo

Menyalakan lampu rumah, Junmyeon mendapati Byul, anjing peliharaannya menunggu di depan pintu dengan manis. Anjing kecil itu menghampiri kakinya dengan gerakan lincah. Junmyeon tidak benar-benar sendirian, dia menemukan hewan kecil itu dua minggu yang lalu, nyari mati karena terluka parah. Namun sekarang keadaan anjing mungil itu terlihat sehat. Dia tidak terlalu kesepian sekarang semenjak memeliharanya.

Merebahkan diri di sofa, dengan Byul yang berada di atas pangkuannya, Junmyeon mengangkat tangan kanannya, menatap telapak tangannya yang tadi di genggam Sehun dengan tatapan tenang.

Tangannya lebih besar dan hangat. Tangan itu menggenggam dan melambai padanya. Dengan senyum tipis menghiasi wajah tampannya.

Sejurus kemudian Junmyeon menjatuhkan tangannya. Memejamkan mata dan menutup wajah dengan lengannya. Byul ikut menyamankan tubuhnya pada sang pemilik.

XoXo-XoXo-XoXo

Ruang staff berhubungan langsung dengan pintu menuju dapur.

Ada dua buah lemari besar yang masing-masing memiliki enam loker. Jika dijumlahkan, ada dua belas loker untuk pegawai café. Meja kayu dan delapan kursi tersedia di tengah ruang. Dua kursi kecil sebagai tambahan terletak di samping lemari loker, dan sebuah sofa panjang berada di bagian kiri ruangan. Ada dua pintu di dekat papan pengumuman yang penuh tempelan tentang menu dan jadwal kerja. Satu pintu toilet, dan satu pintu kamar mandi untuk karyawan. Di dinding bagian lain, tampak papan tulis putih tersedia dan foyer untuk meletakkan jaket tepat di sebelah pintu masuk husus untuk pegawai.

“Selamat sore, hyung!” Jongdae sedang memakai name-tag ketika berseru pada Junmyeon yang baru memasuki ruang ganti.

“Sore, Jongdae.” Junmyeon melemparkan sebuah senyuman setelah menutup pintu masuk. “See, aku baik-baik saja.”

“Yaa, aku tahu itu. Kalau ada makhluk semacam vampire atau werelwolf, koran di kota kita pasti sudah heboh.” Jongdae berujar. “Dan pastinya sudah ada berita kalau ada seorang pegawai café menjadi korban di koran.”

“Kok gitu, kamu ingin aku masuk koran jadi korban pembunuhan?” Junmyeon mengerutkan dahinya.

“Bukannya gitu, hyung. Habisnya, kamu memiliki tampang mangsa yang mudah diburu begitu.” Jongdae memainkan kedua jemari tangannya, mencoba menyampaikan maksudnya dengan susah payah.

Junmyeon masih setia dengan dahi yang berkerut, “Maksudmu aku lemah begitu?”

Namja berstatus rekan kerja itu langsung mengibaskan tangan dan menggelengkan kepala, “Nggak kok! Bukan lemah, tapi lembut—begitu… biasanya orang baik mudah menjadi korban kriminal… jadinya kan aku khawatir.”

“Hoo…” Junmyeon mengangguk tanda mengerti seraya membuka lokernya. “Tidak perlu secemas itu padaku, aku bisa jaga diri.” Kembali Junmyeon tersenyum.

“Hei, jangan kelamaan ngobrol. Ingat pelanggan! Ntar diomelin manajer-nim.” Himchan—pegawai shift di hari rabu melongok ke ruangan tempat Jongdae dan Junmyeon berada.

“Iyaa—maaf, maaf.”

“Aku keluar duluan, hyung!” seru Jongdae.

Beberapa menit kemudian, keluar dari ruang khusus staff. Junmyeon mendapati beberapa pengunjung memasuki café. Junmyeon mengenali dengan mudah orang yang baru saja masuk dan duduk di kursi nomor tiga.

Jongdae mencolek bahunya, “Pelanggan setia kamu, tuh hyung.”

“Samperin, tuh.” Himchan mendorong bahu Junmyeon.

Junmyeon memutar bola matanya, “Iyaa, gak usah dorong-dorong.” Sahutnya seraya berjalan menuju ke meja nomor tiga.

Pemuda bermata sipit itu melihat ke arahnya lalu melambaikan tangan pada Junmyeon.

“Selamat datang, minuman seperti biasanya?”

“Ya! Seperti biasanya, hyung.”

Jongdae menumpu dagunya di meja kasir. Matanya mengikuti pergerakan Junmyeon.

Junmyeon menuju tempat meletakkan orderan, “Americano seperti biasa, dan—”

“Dan seperti biasanya dia melihat ke arah sini.” Jongdae menyela ucapan Junmyeon.

“Urusin pelanggan sana,” Junmyeon mengibaskan tangannya pada Jongdae, sementara Himchan mengambil orderan yang telah diletakkan.

Jongdae hanya bersiul pelan sebelum kembali melanjutkan pekerjaannya.

Jam setengah sebelas telah lewat, café menunjukkan title close di depan pintu masuk. Semua piring dan gelas sudah dibersihkan beserta dengan lantai yang dipel oleh Himchan hingga mengkilap.

Himchan masih merapikan isi tasnya di ruangan staff only ketika Junmyeon sudah mengunci lokernya.

“Hei, bulan malam ini masih terang, apa kalian sudah dengar gosipnya—”

“Tentang supranatural beings lagi?” Jongdae menghela napas. “Bukannya aku tidak percaya sih atau meremehkan. Tapi kalau dibicarakan terus, ntar beneran muncul lho.”

Himchan memasang wajah cemberut karena ucapannya dipotong oleh Jongdae.

“Yang penting, kita berhati-hati. Ya kan?” Junmyeon berkomentar. “Kalau begitu aku duluan!” pemuda itu melambaikan tangan pada kedua rekannya.

“Hati-hati hyung!” Jongdae berseru.

Bulan di angkasa malam ini tertutup awan ketika Junmyeon menyusuri jalanan menuju halte. Jalanan tidak terlalu ramai, mungkin dikarenakan langit terlihat berawan.

Junmyeon merasakan ada derap langkah kaki mengikutinya ketika dia melewati gang kecil. Merasa yakin dengan apa yang di dengarnya, dengan segera dia menoleh untuk memastikan.

Seorang laki-laki dengan tato harimau berdiri tidak jauh darinya. Junmyeon ingat, dia pernah bertemu dengan orang ini. Saat itu ada Sehun yang menolongnya.

Namja tinggi itu berjalan ke arahnya, “Kau ingat aku, sweetie?”

Junmyeon masih diam di tempatnya, “Iya, kita bertemu saat weekend—”

Namja itu telah berada dihadapannya, mengangkat dagu Junmyeon dengan tangan kanannya. “Yeah, ada yang mengganggu waktu itu, seseorang yang menyebut dirinya sebagai pacarmu.”

Iris mereka bertemu pandang, dan Junmyeon tidak mengatakan apapun.

Tangan namja itu masih berada pada tempatnya, matanya menatap Junmyeon dengan tajam, “Jadi, apa kau senggang sekarang, sweetie?”

Junmyeon melirikkan matanya ke kiri dan ke kanan, mendapati keadaan yang begitu lengang, tidak terlihat orang yang lewat sama sekali. Dia membuka mulutnya dan berucap dengan tenang, “Yeah.”

Satu patah kata itu  membuat sang namja berperawakan besar menarik Junmyeon ke sudut gang kecil. Jarak kurang dari sejengkal di antara mereka, dengan Junmyeon yang berada tersudut.

“Sepertinya kau berpengalaman.” Pemuda bertato menatapnya dengan tajam.

Junmyeon menatapnya beberapa saat sebelum mengalihkan pandangan ke arah belakang sang pemuda. Hanya tembok bata yang berlumut. How unpleasant place.

“Tidak juga.” Junmyeon tersenyum miris, kedua tangannya menangkup pipi namja di hadapannya dengan kedua tangannya.

Jarak tipis diantara mereka membuat penglihatan akan raut wajah menjadi lebih jelas. Junmyeon memejamkan matanya beberapa saat, lalu membukanya.

Irisnya berubah menjadi merah.

Pemuda di hadapannya tercekat sebelum pandangan matanya terlihat kosong. Junmyeon merangkulnya, sedikit berjingkit untuk menyamakan tinggi.

“Diamlah sebentar seperti ini,” Junmyeon berbisik di telinga lelaki itu, tepat sebelum mendaratkan gigitannya di leher sang pemuda.

“Pulang dan lupakanlah apa yang terjadi malam ini, ya?” Junmyeon berbisik, mata semerah darah menatap sang korban.

Dan pemuda itu mengangguk dengan tatapan kosong. Pergi meninggalkan tempat kejadian.

Tidak hanya bulan purnama. Setiap larut malam adalah saat yang berbahaya.

Ada gosip tentang vampire, werewolf and another supernatural beings.

Hanya gosip?

Tentu saja, tidak. Junmyeon tahu itu. Karena dia adalah salah satunya.

XoXo-XoXo-XoXo

[Prologue]

[tbc]

XoXo-XoXo-XoXo

a/n: main chara; Kim Junmyeon.

Not really hunho though. Cast lain akan bermunculan di chapter-chapter selanjutnya.

Main pair belum ditentukan, but this is bl after all.

12/12/2017

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Dee_wizzard
#1
No 3 plezzzz yifannnnT_T
Dee_wizzard
#2
No 3 plezzzz yifannnnT_T
Nadira12
#3
Chapter 9: Nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 ????
Sweet_cheesecake
#4
Chapter 9: Aku pilih nomor 3 kkkk
rhe3a_1891 #5
Chapter 9: Nomer 3
NoorKyra
#6
Chapter 8: Another vampire.....?????


O.O.....!!!!!
NoorKyra
#7
Chapter 7: Jongdae can't be hypnotized.....????


O.O..........
RossaAulia
#8
Chapter 6: Chapter 6: Ceritanya manis banget, ngenes2 tp fluffy bikin baper gitu. Kadang ngakak
Tp seriusan, ngakak as bagian "Jl. Tentara" lmao

Ditunggu lanjutannya~
NoorKyra
#9
Chapter 6: Chen.....??? Aiye....

*facepalm*
NoorKyra
#10
Chapter 5: So ...... Joonmyeon is been shipped with every members...???

His uncle is the hunter.???.and he meet Yixing, a hunter ..

Hmmmm... This is getting more interesting...