[Vampire]

Ravel

XoXo-XoXo-XoXo

Ravel © Kiriya Hiiragi

XoXo-XoXo-XoXo

Chapter IV

Ketika akan diadakan acara pertemuan anggota klan, dapat dipastikan semua vampire akan mendapat undangan dan—sebaiknya datang dalam acara itu. Tanpa terkecuali. Karena itulah, meskipun half blood, Junmyeon juga merupakan bagian dari klan karena memiliki darah vampire dari ayahnya. Meskipun dia tidak begitu menyenangi acara itu. Tentu saja, para vampire pure blood pasti tidak akan lupa untuk menyapanya dalam berbagai artian. Dia bisa menyebut dirinya beruntung kalau pakaiannya tidak menjadi kotor kali ini.

Semua vampire dari kasta terendah sampai elit akan datang. Termasuk para petinggi dan tetua. Dia akan mempermalukan dirinya jika tidak ikut.

Sosok yang digosipkan sebagai kandidat penerus pemimpin klan juga pasti akan datang. Ya, vampire mana yang tidak kenal dengannya.

Wu Yifan.

Sosok yang Junmyeon kenal dengan baik. Sangat baik.

Pada saat pertama kali bertemu Yifan, Junmyeon meyakini dia tidak akan bisa menghadapi sosok yang terkesan angkuh itu. Pemuda berpakaian western itu melipat tangan dengan tatapan dingin, dan hal yang Junmyeon lakukan hanyalah menunduk di belakang ayahnya saat mereka diperkenalkan. Rasanya seperti anak taman kanak-kanak yang diperkenalkan pada pemuda kuliahan. Sejauh itu perbandingan jarak milik mereka.

Semua menjadi lebih berat ketika ayahnya meninggal, dia tidak bisa lagi bersembunyi dibalik punggung ayahnya. Ia harus menghadapi seluruh mata semerah ruby memandangnya remeh di setiap kali pertemuan diadakan demi darah yang sulit didapatkan bagi anak kecil sepertinya.

(“Kenapa half blood sepertimu berada ditempat seperti ini?!”)

(“Kau tidak layak berada di tempat ini!”)

Junmyeon sering mendengarnya hingga ia terbiasa.

“Junmyeon, sedang apa kau di sana? Kemari.”

Sosok-sosok yang mencercanya selalu diam ketika pemuda Wu itu muncul memanggil namanya. Menatapnya tanpa senyum, dan berbalik pergi sebelum sempat dia mengucap sepatah dua patah kata. Meskipun dia harus berlari dengan langkah kecilnya untuk mengajar Yifan, dia tahu, Yifan selalu berusaha menjaganya.

Mungkin terdengar konyol, Junmyeon pernah memberikan sekotak permen untuk Yifan. Untuk pertama kalinya, dia melihat Yifan tertawa karena hal itu.

“Kami para vampire, tidak memakan benda seperti itu. Tapi terima kasih. Aku akan menyimpannya.”

Di pertemuan selanjutnya, Junmyeon meminta agar sekotak permen itu ditukar dengan sebuah bola kristal kaca berisi sebuah rumah kecil disertai salju yang berjatuhan di dalamnya sebagai bentuk rasa maaf. Dia masih kecil waktu itu, tidak mengetahui sejauh apa perbedaan mereka.

Junmyeon duduk di kursi taman, membuka sebungkus permen berwarna merah muda. Rasanya asam-manis. Junmyeon menatap langit berbintang, “Ini rasa stroberi.”

Para vampire tidak akan pernah tahu rasa permen ini, maupun betapa enak rasa dari tiap permen yang berbeda warnanya. Begitu pula dengan Yifan.

Merah muda—stroberi, merah—ceri, hijau—apel, kuning—lemon, jingga—jeruk.

Ini salah satu perbedaan mereka.

Junmyeon bukan vampire, tapi juga bukan manusia.

XoXo-XoXo-XoXo

Junmyeon bangun dengan keadaan layaknya guling dipelukan Chanyeol yang kembali pada wujudnya. Membuat Junmyeon harus menendangnya jatuh ke tumpukan selimut dan kasur tipis di lantai yang diabaikan pemuda itu tadi malam. Pantas saja rasanya dia seperti ditindih oleh beban berat.

“Kau tidak bisa membangunkanku dengan cara yang lebih romantis, hyung?” Chanyeol mengelus kepalanya, rambutnya tampak acak-acakan. “Kalau aku amnesia gimana?”

“Aku tidak pernah dengar ada werewolf amnesia karena jatuh dari kasur.”

“Tubuhku mungkin kuat, tapi hati aku kan rapuh, hyung.”

Junmyeon hanya rolling eyes.

“Hari ini kamu kerja hyung?”

“Hmm…” Junmyeon menenggelamkan kepalanya di bantal, menyahut dengan nada malas, “Ya, shift kedua. Ini baru jam—berapa?”

“Sepuluh.” Chanyeol melirik jam di dinding kamar.

“Masih lama.” Suara Junmyeon tenggelam oleh bantal.

“Baiklah, santai saja kalau begitu.” Chanyeol bangkit dari lantai, “Di kulkasmu ada bahan makanan, kan? Aku akan memasak sesuatu.”

“Mungkin ada. Aku lupa.”

“Ehh…” Chanyeol menghela napas.

Junmyeon mendapati aroma di dapur lebih menggoda, membuat kantuknya menjauh perlahan. Bagian dirinya yang merupakan setengah manusia jelas tergugah dengan aroma makanan buatan Chanyeol.

“Di kulkas isinya mengenaskan semua. Di lemari malah cuma ada sebungkus ramyun instan. Jadinya hanya bisa bikin nasi goreng nih.”

“Aku tidak mempermasalahkan makanan, selama aku tidak kehausan. Biasanya aku beli saja di minimarket.”

“Pantas saja—” Chanyeol meletakkan piring berisi nasi goreng yang masih mengepul ke atas meja.

—tinggimu  gak naik-naik.

Chanyeol melanjutkan dalam hati. Meskipun dia tahu, alasan sebenarnya bukan itu. Ia tahu jelas kalau waktu untuk para kaum vampire berjalan dengan begitu lambat. Tampaknya itu juga berpengaruh pada Junmyeon.

“Eii~ Cuci mukamu dulu hyung.”

“Iya, iya, aku tahu.” Junmyeon berbelok menuju kamar mandi sambil mengacak rambutnya.

Padahal, dia nyaris menyuap satu sendok.

XoXo-XoXo-XoXo

Junmyeon datang sedikit terlambat ke cafe, sekitar beberapa belas menit—salahkan Chanyeol yang membuatnya telat. Beberapa pelanggan sudah duduk di kursi menunggu pesanan sampai. Dengan tergesa dia menyuruh Chanyeol untuk segera pergi, sementara dia masuk lewat pintu belakang café.

Setelah meminta maaf karena datang terlambat pada pengganti sementara manager—Minseok, pemuda itu menyegerakan diri memakai seragam kerjanya.

“Ya ampun, dasimu, hyung.” Kyungsoo membantu merapikan.

Thanks.”

Dengan gerak cepat dia mengambil note dan pulpen untuk bersiap mencatat pesanan. Seseorang di meja enam melambaikan tangan pertanda memesan makanan, membuat Junmyeon menyipitkan matanya.

“Bukannya tadi kamu aku suruh untuk pulang? Bukannya sudah makan siang?” Junmyeon setengah berbisik.

Chanyeol menatapnya santai, “Yeah, aku cuma penasaran bagaimana kamu bekerja melayani banyak orang—kemarin kan aku tidak sempat lihat. Lagipula, kalau soal makanan, perutku muat banyak.”

“—kau kurang kerjaan, ya?”

“Sebenarnya aku baru berniat mencari kerja, hyung.” Chanyeol berdehem, menjawabnya dalam konteks yang berbeda, “Tentu saja bukan di tempat ini, nanti kamu marah popularitasmu hilang karena ketampananku.”

Junmyeon berdecak, “Jadi, apa pesanan anda?”

Fruity Lemon Squash dan Egg Muffin.”

“Oke.” Junmyeon tidak berlama-lama. Dengan segera menyerahkan orderan kepada penghuni dapur hari ini.

Lonceng café berbunyi, beberapa anak perempuan berseragam sekolah masuk, dua wanita kantoran dan seorang namja ber-dimple dengan pakaian kasual. Dengan segera para pegawai menghampiri. Meja tiga kali ini ditempati oleh anak sekolahan, membuat Sehun dan Kai yang baru masuk café harus mencari tempat duduk kosong lainnya.

Meja delapan.

“Pesan apa?” Junmyeon bersiap mencatat, seandainya yang lain tidak sibuk, dia tidak akan memilih untuk menghampiri Sehun, tidak ingin hal buruk terjadi.

Bubble milk tea dan apple pie—kau Kai?”

Caffe latte dan mont blanc.

Setelah mencatat, Junmyeon berlalu dengan segera. Meskipun sepertinya dia merasakan, Sehun menatap ke arahnya.

Baekhyun turut meletakkan orderan berbarengan dengan Junmyeon, “Mungkin dia masih menyukaimu.” Mata sipitnya mengarah pada Sehun.

“—Entah.” Junmyeon tidak tahu tentang hal itu.

Pikiran Junmyeon lebih terfokus pada pertemuan antar klan yang akan diadakan besok malam. Dia perlu minta izin untuk tidak masuk bekerja. Dia harus membahas hal itu nanti dengan Minseok selaku pengganti sementara manager yang sedang mengambil cuti.

Bye hyung.” Dengan kasualnya Chanyeol—lelaki jangkung itu melayangkan ciuman singkat di pelipis Junmyeon. Dan tentu saja, moment itu tertangkap dengan jelas oleh mata Sehun dan Kai.

“Sudah kubilang. Harusnya kau menyatakan perasaanmu lebih cepat. Lihat tuh, sudah taken dia.” Jongin berkomentar.

“Kai… kau yang bayar makanan kali ini.”

Jongin menghela napas, “Oke. Pesan saja sepuasmu.”

Sehun patah hati.

[Ravel]

Penampilan Junmyeon rapi dengan tatanan rambut yang sopan. Meskipun tentu saja, pujian tidak akan dia dapatkan setelah menapakkan kaki di kastil tempat jamuan klan mereka diadakan.

“Wah, dan kupikir half blood tidak akan datang kali ini.”

“Ternyata dia masih punya nyali untuk muncul.”

“Kenapa kau tidak masuk pack werewolf saja sana, kau kan berteman dengan mereka.”

“Membuat malu klan saja.”

Di hall, beberapa vampire telah menyapanya. Membuat tatanan rambutnya menjadi berantakan, dan dasi yang menjadi lusuh karena ditarik. Setidaknya jasnya tidak kotor kali ini.

“Kalian mengatakan diri kalian elit, tapi ini yang kalian lakukan.”

Semua netra merah mengarah pada sumber suara. Sosok yang Junmyeon kenal, karena sosok itu salah satu sosok elit yang baru saja dia temui beberapa waktu yang lalu.

Pemuda itu tampak elegan, dengan jubah hitam yang dipakainya. Juga sepatu boots yang tinggi. Vampire itu sebenarnya lebih muda darinya.

“Membully orang yang lebih lemah dari kalian beramai-ramai, huh?”

“Yoon Gi-ssi! Kami tidak membully nya.”

“Y—ya, kami hanya mengajaknya mengobrol.”

Mata pemuda itu masih menatap tajam pada mereka semua. Konyol sekali begitu mendengar pembelaan diri mereka yang jelas-jelas penuh kebohongan. Dan Junmyeon tidak berkomentar apapun.

“Bisa tidak kalian jangan menghalangi jalan. Aku ingin pergi menuju ruang jamuan, namun malah melihat moment seperti ini. Membuat moodku berantakan saja.”

“Maafkan kami—”

 “Permisi!”

Para pure blood itu menjauh begitu saja, tanpa peduli pada Junmyeon.

Junmyeon sendiri masih berdiri di tempatnya berada. dia hanya membungkuk dengan senyum, lalu memberikan sapaan pada Yoon Gi.

Pemuda pure blood itu besedekap dengan langkah yang percaya diri, menghilangkan jarak, “Karena itulah, aku berkata kau tidak layak berada dalam klan. Menerima perlakuan dengan pasrah seperti itu seakan kau pantas mendapatkannya.”

Junmyeon masih menanggapi dengan senyum, “Saya half blood. Saya berteman dengan werewolf yang memiliki hubungan tidak baik dengan kaum vampire. Itu adalah kenyataannya. Mereka hanya perlu hiburan. Saya tentu tahu mereka tidak akan membuat keributan atau melakukan hal konyol semacam mengeroyok saya. Ini bukanlah masalah besar.”

“Sikapmu itu akan membuatmu menderita, half blood.”

 “Terima kasih atas kepedulian anda.”

Min Yoon Gi hanya berlalu tanpa menanggapinya.

XoXo-XoXo-XoXo

Gege! Kita bertemu!” sebuah pelukan didaratkan oleh namja yang tampak lebih tinggi darinya. Pemuda itu  Zi Tao, bangsawan vampire, ia adik dari Yifan. Salah satu dari sedikit vampire yang tidak mempermasalahkan statusnya.

“Aku rindu padamu!”

“Iya, lama tidak bertemu, Tao. Aku juga rindu padamu. Apalagi dengan tatapan khasmu itu!” Junmyeon mengulas senyum padanya. Hanya ada pemuda tinggi itu di ruangan ini, yang berarti kemunculan dua sosok penting dalam acara jamuan nanti belum terlihat.

“Maksudmu tatapan mataku yang menggoda ini?” Tao mengerlingkan matanya, menanggapi ucapan Junmyeon dengan candaan. “Yifan-gege sebentar lagi akan tiba, apa kau juga merindukannya?”

Rindu?

Entahlah. Junmyeon tidak bisa mendefenisikannya. Rindu semacam apa yang Tao pertanyakan. Apa alasan untuknya merindukan sosok itu?

Pintu dibuka dengan aura dingin yang terasa mendominasi ruangan secara tiba-tiba.

Iris Junmyeon segera beralih dari Tao pada dua sosok yang muncul dengan kesan elegan.

Wu Yi fan.

Kim Jaejoong.

Junmyeon memberikan salam sopan. Sudah terbiasa untuk melakukan hal seperti itu. Alasan kenapa dia bisa berada di ruangan tamu bangsawan elit ini—bukannya ruang jamuan— adalah karena dia berada di bawah tanggung jawab klan keluarga Yifan, yang berusia jauh di atasnya, menjadikannya harus mengiringi langkah pemuda itu dalam acara ini.

Yifan, putra dari kakak ayahnya. Pada dasarnya, mereka sepupu.

Lain halnya dengan Kim Jaejoong, namja putih bersurai blonde itu adalah adik dari ayahnya, yang berarti dia adalah pamannya.

Jika dilihat dari silsilah keluarga, Junmyeon akan jadi orang yang penting, seandainya ibunya bukanlah manusia.

“Selamat malam, Jaejoong-ssi, Yifan-ssi.”

Jaejoong menanggapi dengan tatapan tenang yang mengarah padanya.

“Sebaiknya kau merapikan penampilanmu terlebih dahulu, sebelum kita pergi ke ruang jamuan.” Yifan mengarahkan pandang pada kerah pemilik surai kecoklatan.

“Kupikir kau tampak berantakan karena terburu-buru. Jangan bilang kalau ada yang mengganggumu lagi, ge?” Tao mengerutkan alis.

“Tidak seperti itu,” Junmyeon merapikan kerahnya segera.

“Benar begitu? Kau tidak perlu sungkan padaku. Katakan saja kalau ada masalah!”

“Benar, kok. Semua baik-baik saja.”

“Baiklah! Kalau begitu, ayo kita menuju tempat pesta!” Tao berseru.

“Berjalanlah di belakangku.” Yifan berkata padanya setipis desau angin. Sentuhan lembut di pipinya hanya terjadi sesaat. Detik berikutnya, vampire elit itu telah berada beberapa langkah jauh di depannya. Jangan jauh dariku, katanya.

Selalu seperti ini, yang Junmyeon lakukan adalah mengiringi langkah para vampire elit itu. Hanya bisa menatap punggung tegap mereka disetiap jejak yang dia ikuti.

Tidak layak baginya untuk berjalan beriringan.

Junmyeon terbiasa. Pada semuanya.

Semenjak tingginya hanya sebatas dada pemuda itu—hingga sekarang, setinggi dagu. Bukan perubahan yang sangat drastis karena waktu berlalu statis bagi mereka.

Dulu, Yifan akan menepuk kepalanya dan selalu mengatakan hal yang sama, “Berjalanlah di belakangku—”

“—karena aku akan melindungimu.”

Dia tidak lagi mengatakan hal itu. Namun Junmyeon tahu jika berada bersama Yifan, sang vampire elit itu akan selalu menjaganya tanpa Junmyeon pinta.

Meskipun begitu, berada disamping Wu Yifan bukanlah tempatnya.

Dia tahu hal itu.

Dan seharusnya Yifan juga tahu hal itu.

[Ravel]

Sama seperti sorot matanya, tangannya pun sedingin itu. Jika ini tentang hati, mungkin Yifan memiliki kehangatan dihatinya untuk seukuran vampire elit yang biasanya penuh dengan rasa arogan.

“Itu tidak akan berdampak bagus jika dia ingin menjadi salah satu ketua klan.”

Junmyeon duduk mendengarkan. Gesturnya sopan dengan perhatian yang penuh.

Jaejoong melipat tangannya dengan pandangan menerawang, “Aku tidak bermaksud mengatakan kalau hati tidak diperlukan.”

“Saya mengerti hal itu, terkadang kebaikan hanya dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.”

“Sungguh tidak sesuai dengan penampilannya yang datar itu.”

“Saya setuju tentang pendapat anda.” Junmyeon mengiyakan sembari tersenyum.

“Terlebih lagi, dia terlalu muda dibanding para ketua klan lainnya.”

“Yaa, meskipun anda berkata begitu. Untuk half blood seperti saya, itu umur yang cukup jauh untuk dicapai.”

 “Hei, kau adalah anak kakakku. Kau bagian dari kami. Jangan membuat keluarga kita terdengar menyedihkan karena kau hanya half blood.”

“Ah, saya tidak bermaksud—”

“Aku tahu. Kalau ini tentang hati dan kebaikan. Kau lebih layak untuk dicemaskan.”

“Saya pikir, saya tidak sebaik yang anda pikirkan…?”

“Kau merendah. Itu bukanlah sifat vampire. Kakakku bisa dikatakan sebagai sosok yang baik. Mungkin karena itu juga dia bisa jatuh hati pada manusia.”

Jaejoong mengingat masa lalu beberapa saat. Setelahnya ia memandang sang lawan bicara yang menemani waktu santainya. Seandainya saja kakaknya tidak mencintai manusia. Sosok keponakan dihadapannya ini tidak akan ada, dan tentu saja, kakaknya pasti masih menjadi ketua klan. Bukannya menjatuhkan beban itu pada Yifan.

Dua kakaknya telah menghilang dari dunia, menyisakan Jaejoong dengan vampire-vampire muda ini. Hanya ia yang tersisa untuk membantu mereka sebisa mungkin. Walau Jaejoong tahu, menghadapi para tetua vampire bukanlah hal mudah. Keluarga mereka adalah jajaran keluarga teratas, Jaejoong tidak akan membiarkan keluarganya jatuh terpuruk disaat ia masih ada.

“Yifan memiliki sifat yang mirip dengan ayahmu tentang hati dan kebaikan. Meskipun begitu, dia harus menjadi ketua dari klan kita.”

Tepukan ringan menyapa surai Junmyeon dari telapak tangan yang dingin itu.

“Ya, saya akan selalu berada di belakangnya.”

“Walaupun kau sebenarnya menyadari kalau dia ingin kau berada di sampingnya?” sorot mata kemerahan itu menatapnya serius.

“Karena tempat yang layak bagi saya adalah di belakangnya, samchon.”

Ah, Jaejoong tahu, Junmyeon bukanlah vampire murni. Begitulah jika berhubungan dengan makhluk selain bagian mereka. Jaejoong pernah merasa bahagia meskipun bukan bersama vampire sepertinya. Tetapi cerita mereka tidak berakhir indah.

Cerita Kim Jaejoong bersama Jung Yunho tidak berakhir indah.

XoXo-XoXo-XoXo

Junmyeon memegangnya dengan penuh hati-hati, pergelangan tangan dingin yang memberikan darah padanya. Ia tampak mengabaikan tatapan tajam bercampur afeksi padanya, meskipun nyatanya dia menyadari betul makna sorot mata padanya itu. Hanya saja ini adalah hal yang sulit ditolak, apalagi oleh half blood sepertinya.

Bukan berarti junmyeon dapat membaca pikiran pemuda yang berada di tingkatan atas itu. Yifan pernah menawarkan cinta beserta segala hal untuknya. Dan tampaknya itu masih berlaku hingga detik ini.

Katakanlah jika dia menerimanya. Maka Yifan akan kehilangan segalanya. Sama seperti apa yang terjadi pada ayahnya. Kehilangan hak menyandang nama yang sama meskipun tidak dibuang. Kehilangan status. Tempat tinggal. Harga diri. Segalanya.

Cinta memang membuat orang mengorbankan banyak hal.

Tapi apakah kamu sendiri rela membuat mereka yang kau cinta menderita karenamu?

Apa kamu mau menderita bersama-sama?

Junmyeon mempertanyakan hal itu.

Karena hanya itulah yang terlihat. Penderitaan yang banyak. Hingga yang tersisa nantinya hanyalah penyesalan.

Jika ia memilihnya, apakah mereka bisa bahagia?

Adakah jalan untuk bahagia?

“Kupikir ini cukup, Yifan-ssi.”

“Kau bisa mendapat lebih banyak jika kau mau.” Yifan tidak keberatan. Dia menangkup wajah Junmyeon dengan kedua tangannya. Dalam matanya tersisip binar pengharapan.

“Anda tentunya tahu, bahwa cukup bagi saya untuk selalu berada di belakang anda.”

Junmyeon tersenyum. Dia tidak meminta, kendati dia sanggup mendapatkannya. Memilikinya.

Karena seperti ini, sudah cukup baginya.

Cukup hanya dengan menatap punggung tegap pemuda itu di depannya.

XoXo-XoXo-XoXo

Yifan tahu, membuat Junmyeon berada di sampingnya bukan hal mudah. Jika Junmyeon berada di belakangnya, meski dia menoleh dan mengulurkan tangan, pemuda itu akan mundur menjauh. Menggeleng dan menjaga jarak. Junmyeon adalah sosok yang baik, itu adalah hal yang ditangkap oleh matanya. Tidak berubah, meskipun sekian lama berlalu. Mengerti dengan baik bahwasanya Junmyeon tidak ingin dia menderita, dan dia pun begitu. Tidak ingin membuat Junmyeon menderita.

Semua seakan berkata, hanya penderitaan saja yang terlihat di depan mereka. Karena jika saling menggenggam, yang terlihat di masa depan hanyalah rintangan.

Yang berarti bahwa, tangan Yifan masih tidak cukup kuat untuk menarik Junmyeon ke dalam pelukannya.

Ia masih belum cukup kuat.

Yifan masih belum dapat menemukan jalan untuk mereka dapat bersama.

Mungkin jalan itu tidak ada.

XoXo-XoXo-XoXo

[Vampire - tbc]

XoXo-XoXo-XoXo

a/n:

1] ini adalah ff genre harem—ff dimana ada banyak pair di dalamnya. Namun endingnya hanya dengan satu orang [?]

2] next chap: [hunter]

3] terima kasih sudah berkenan membaca~ /send virtual hug/

11/03/2018

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Dee_wizzard
#1
No 3 plezzzz yifannnnT_T
Dee_wizzard
#2
No 3 plezzzz yifannnnT_T
Nadira12
#3
Chapter 9: Nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 nomor 3 ????
Sweet_cheesecake
#4
Chapter 9: Aku pilih nomor 3 kkkk
rhe3a_1891 #5
Chapter 9: Nomer 3
NoorKyra
#6
Chapter 8: Another vampire.....?????


O.O.....!!!!!
NoorKyra
#7
Chapter 7: Jongdae can't be hypnotized.....????


O.O..........
RossaAulia
#8
Chapter 6: Chapter 6: Ceritanya manis banget, ngenes2 tp fluffy bikin baper gitu. Kadang ngakak
Tp seriusan, ngakak as bagian "Jl. Tentara" lmao

Ditunggu lanjutannya~
NoorKyra
#9
Chapter 6: Chen.....??? Aiye....

*facepalm*
NoorKyra
#10
Chapter 5: So ...... Joonmyeon is been shipped with every members...???

His uncle is the hunter.???.and he meet Yixing, a hunter ..

Hmmmm... This is getting more interesting...