#16
Vector of FateApa yang dirasakan Jimin saat ini sama sekali tak bisa dipahaminya.
Memikirkannya seolah membuat udara dingin berhembus melewati tengkuknya, ketika ia mulai mengginggil karena suhu rendah itu, memori yang tadinya hanya sekelebat mulai terlihat jelas. Dadanya sesak, tenggorokannya tercekat, bulir air memenuhi sudut matanya, tapi ia tetap melangkah. Tak peduli apa sekarang ia terlihat lebih mirip zombie atau orang yang berjalan sambil tidur, tungkai yang menopang tubuhnya terus berayun bagai memberi semangat agar ia bertahan.
Jimin tahu betul, pengalaman pertamanya dalam menyukai seseorang akan menemui persimpangan. Satu jalan menuju kebahagiaan dan satu jalan menuju kepedihan. Namun ia mengabaikan kedua jalan itu dan berpegang pada teori bahwa jatuh cinta seharusnya membuatmu bahagia. Park Jimin terlalu naif.
Pada akhirnya, seberapa keras pun ia mencoba melangkah ke jalan menuju kebahagiaan, terdapat dinding lebar yang menghadangnya. Hati Lee Jieun terlalu sulit untuk ditaklukan seorang pemula semacam ia.
Membiarkan dirinya merasakan tamparan kenyataan, setidaknya masih ada secercah semangat hidup dalam diri Jimin yang memandu langkah kakinya walau dengan tatapan mata kosong ke jalan koridor lantai satu.
“Eh, kau...?”
Suara lembut seorang wanita menembus indra pendengaran Jimin, namun tak cukup kuat untuk menarik lelaki itu kembali menuju kenyataan.
“Tunggu!”
Suara itu lagi, kini diikuti genggaman di bahu kanan Jimin, menahan pergerakan sang pemuda. Beberapa kali ia berkedip, mencoba mengumpulkan kesadaran sebelum menoleh ke belakang. Seorang perempuan berwajah tak asing dengan surai hazel yang dikepang rapi tengah menatapnya serius.
“Kau ... teman dekat Song Rahee, bukan?”
Pertanyaan itu sedikit menusuk. Dikenal karena orang lain dan bukan sebagai diri sendiri adalah satu dari beberapa hal yang tak disukai Jimin. Dengan wajah semakin ditekuk ia menjawab, “namaku Park Jimin.”
Si perempuan nampaknya tak begitu ambil pusing, ia hanya mengangguk singkat kemudian memaksa Jimin terfokus pada ucapan yang meluncur dari mulutnya dengan terus menatap dalam manik lelaki itu. “Dengar, ini tentang Kwon Soonyoung. Aku membutuhkan bantuanmu, kita harus bicara sepulang sekolah nanti. Kutunggu kau di Seven Eleven depan gerbang.”
“O-oke....”
Sang gadis mengangguk sekali lagi, lalu melepaskan genggaman tangannya dan berbalik pergi. Butuh waktu beberapa saat hingga Jimin tersadar akan sesuatu.
“Hei! Kau belum memberitahukan namamu!” Teriakannya menggema hingga terdengar oleh perempuan yang sudah berada beberapa meter jauhnya.
Menoleh sedikit membuat kepangan rambutnya bergoyang, perempuan itu balas berteriak, “Panggil saja Youngae!”
Nama yang tidak asing, pikir Jimin. Tentu saja bukan karena nama itu mengingatkannya pada wanita komedian yang selalu tertawa sampai hampir mengompol di acara televisi, Jimin hanya merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
Membiarkan benaknya dipenuhi nama perempuan berobsidian coklat itu, Jimin kembali meniti langkah menuju kelas, tidak begitu khawatir ia akan terlambat mengingat bel masuk sudah lama berbunyi karena guru bahasa Inggris mungkin masih sibuk dengan Klub Drama yang lolos menuju kompetisi nasional setelah menggunakan naskah A Midsummer Nights Dream yang diterjemahkan langsung oleh pria paruh baya itu. Jangan tanya bagaimana Jimin bisa tahu, Hyeso dan Rahee sebagai penggemar Shakespeare tak henti mengoceh padanya tentang betapa indahnya drama tim sekolah yang mereka tonton secara langsung di tingkat regional.
Hingga sebuah suara yang tak lain adalah milik satu dari dua gadis sarkastik tadi menyebut namanya, “Jim!”
Jimin menoleh ke sumber suara, mendapati Song Rahee dan Min Yoongi berjalan ke arahnya. Alis Jimin bertautan selagi dua pertanyaan muncul di kepalanya. Kenapa rasanya selalu aneh melihat dua orang itu bersama? Dan ....
“Apa sekarang sedang jamkos?”
Pertanyaan itu dilontarkan Jimin tepat ketika Yoongi dan Rahee berada di hadapannya, membuat kedua kawannya itu saling menatap satu sama lain sebelum kemudian tertawa nyaring.
“Aku tahu kau terlalu cinta dengan lapangan sampai baru kembali ke kelas sepuluh menit setelah bel masuk, tapi Choi-saem terlalu rajin untuk mengosongkan jam pelajarannya.” Rahee berujar seraya mengusap ujung matanya yang berair.
“Ehehehe....” Jimin terkekeh, setidaknya mangatakan hal memalukan di depan Rahee sudah biasa terjadi. “Lalu apa yang kalian lakukan di sini?”
“Mengambil kamus di perpustakaan,” jawab perempuan itu lagi.
Menaikkan sebelah alis, tanpa pikir panjang Jimin berkata, “Akan kubantu.”
“Hm ... lebih baik begitu daripada kau sampai di kelas saat Choi-saem sudah ada di sana.”
Dengan itu Jimin berjalan di belakang Yoongi menuju perpustakaan yang secara tidak sadar sudah ia lewati sebelumnya, dalam diam mendengarkan dua temannya membicarakan bagian tersulit tugas sastra yang diberikan guru mereka kemarin lusa.
Namun, di tengah percakapan yang tidak begitu disukai Jimin berhubung itu mengingatkan bahwa dirinya belum mengerjakan tugas sastra dan biologi, Yoongi mendadak berhenti hampir membuat Jimin menabraknya dari belakang.
“Ada apa, Yoon?”
Pertanyaannya dibalas dengan tatapan sekilas dari Yoongi, yang mulai merasa heran bagaimana Song Rahee seolah membuatnya amnesia tiba-tiba dan melupakan hal penting tentang lelaki yang kini berdiri di belakangnya. Atensinya kemudian berada pada orang itu.
“K-kenapa kau menatapku seperti itu?”
Yoongi dibuat hampir tersedak, respon Jimin terlalu mirip perempuan yang salting ketika dipandang oleh orang yang disukai. “Bagaimana ... rencana Hyeso dan Hani tadi?”
Hening sesaat menyelimuti. Yoongi menaikkan sebelah alis menunggu jawaban dari Jimin yang mengatupkan bibirnya rapat-rapat, sementara Rahee memandang keduanya bergantian tidak begitu mengerti apa yang sedang terjadi.
Sebuah senyum kecil yang terkesan pahit terukir di bibir Jimin, ia menggeleng pelan. Melanjutkan bertanya tentang hal itu mungkin bukan pilihan baik, jadi Yoongi memilih untuk menanyakan hal lain. “Apa yang dikatakan mereka berdua benar? Umurmu sudah....”
Tanpa bisa melanjutkan kata-katanya, sekali lagi Yoongi melihat Jimin mengangguk masih dengan pandangan menuju ujung sepatunya. “Dari mana kau tahu itu? Setahuku kau tidak punya riwayat penyakit apapun.”
“Aku—“
“Baik, baik ... bisa kita lanjutkan sambil berjalan?”
“―mendapat pesan kematian.”
***
Selama sisa pelajaran bahasa Inggris Choonhee tak bisa berhenti mencuri lirikan pada buku catatan biologi yang ia biarkan tergeletak di atas meja, tertindih oleh tempat pensil. Buku itu bersampul biru, sama dengan buku bahasa Inggris, karenanya sempat membuat perempuan itu sedikit kebingungan tadi.
Bukan tentang kenapa kedua guru yang mengajar mata pelajaran berbeda memutuskan untuk menyuruh muridnya menyampul buku mereka dengan warna yang sama. Pertanyaannya adalah, bagaimana bisa buku catatan biologi itu berada di meja Choonhee hari ini? Kendatipun jelas-jelas kemarin ia tidak jadi mengambilnya di laboratorium.
Keterlambatan Guru Choi setidaknya patut disyukuri, lelaki paruh baya itu baru masuk ke kelas saat jam pelajaran hanya tersisa dua puluh menit. Choonhee yang biasanya mengeluh atas ketidaksinambungan kegiatan belajar mengajar kini hanya bergeming, karena toh ia sama sekali tak bisa fokus pada materi.
Walaupun jarang―mungkin hanya satu atau dua kali―atensi gadis itu tertuju pada Jeon Jungkook. Kalau tidak sedang menumpu bagian belakang kepala dengan kedua tangan hingga membuat Song Rahee yang duduk di belakangnya menggerutu bahwa lengan Jungkook mengganggu pandangan, sang pemuda paling-paling tengah mencuri kesempatan bermain ponsel. Sungguh bukan cerminan siswa yang baik.
Dalam hati Choonhee berharap bel pulang segera berbunyi.
***
“Sepertinya Rahee sedang PMS.”
Bisikan itu sampai di telinga Hyeso, membuatnya mengerjap beberapa kali lalu menatap bingung lawan bicaranya. “Serius? Aku hampir tidak pernah melihatnya se-badmood itu.”
Jung Hyora mengangguk mantap, tak lupa menyebutkan keanehan-keanehan yang ia lihat dalam diri perempuan yang duduk di depannya. Bahwa Song Rahee membuka pintu kelas dengan kasar saat ia kembali dari perpustakaan, membagikan tumpukan kamus yang dibawanya seraya memasang ekspresi seolah siap membunuh siapapun yang mengajaknya bicara. Ia lalu kembali duduk diam tanpa berkutik sedikitpun. Bahkan ketika pelajaran bahasa Inggris yang lebih pendek dari biasanya, tak henti-hentinya Hyora mendengar Rahee menggerutu soal tangan Jungkook yang menghalangi pandangannya, diikuti sebuah tendangan pada kursi lelaki itu.
“Kenapa tidak kita tanyakan langsung saja?”
Setelah ditimang dengan teliti, Hyeso akhirnya mengangguk. Dengan jantung berpacu ia menilik serius Hyora yang perlahan menepuk bahu kawan yang bertempat duduk di depannya. Perempuan itu menoleh, disertai kilatan tajam dalam manik coklatnya.
“Ada apa? Kau terlihat ... seperti orang yang punya masalah,” tanya Hyora, menggagalkan keheningan yang hampir tercipta.
Rahee mungkin tak menyangka orang lain bisa menyadari sesuatu yang salah dalam dirinya. Ekspresi dingin gadis itu mencair, ia menaikkan kedua alisnya heran, bergantian menatap sosok Jung Hyora dan Jung Hyeso. Setelah berdebat dengan benaknya sendiri selama beberapa saat, keyakinan bahwa kedua kawan itu bisa dipercaya mulai merambah. Sang gadis menarik napas panjang sebelum kemudian berucap, “Ini tentang Jimin.”
***
Segera setelah bel pulang yang terdengar seperti peringatan datangnya kereta api di stasiun berbunyi nyaring, ayunan tungkai ber-ritme teratur membawa Jimin keluar dari sekolah. Sebelumnya, ia mencuri lirikan pada perempuan dengan rambut panjang kemerahan dibiarkan tergerai yang bertempat duduk di sebelah kanannya. Jimin tak ingin bicara dengan perempuan itu, dan ketidakinginannya bertambah setelah melihat sang gadis memasang ekspresi tidak ramah.
Pemuda itu sudah akan melengos pulang sehabis mengganti sepatu indoor-nya jika seseorang tidak menepuk bahunya tiba-tiba.
“Park Jimin!”
Jimin mengenali suara itu, milik perempuan asing yang tadi sempat bicara dengannya di koridor. Keterkejutannya segera menghilang, tergantikan oleh perasaan aneh saat menyadari barusanlah kali pertama perempuan berpakaian rapi itu menyebut namanya.
“Oh, kau masih ingat namaku?”
Kerutan halus terbentuk di dahi sang gadis, terlihat jelas bahwa ia sedikit bingung atas pertanyaan Jimin. “Tentu saja, mana mungkin aku lupa. Ah, kau keluar dari kelas cukup cepat, untung aku masih bisa menyusulmu. Tidak enak rasanya kalau aku harus membuatmu menunggu.”
Kini giliran Jimin yang harus memutar otak. Bergeming sesaat, akhirnya ia teringat akan janjinya bertemu di Seven Eleven dengan―tunggu, siapa nama gadis berkepang ini?
“Sialan.”
Comments