Kang

Friends Forever

Dua Tahun lalu, di hari pengumuman kelulusan.

 

“Setel 15 detik!”

Jinri mendecak, mengamati kamera digital dihadapannya lalu berbalik ke belakang,  Jiyoung dan Suzy masih asik bercanda, sudah pasti Soojung yang meneriakinya tadi.

Oke, jadi bagaimana cara mengoperasikan benda ini?

Jinri tidak pernah begitu tertarik pada kamera, jadi bukan hal yang aneh jika dia tidak mengerti cara menggunakan kamera digital. Tapi orang gila mana yang tidak mau mengambil gambar pada hari kelulusannya? Hari dimana dia akhirnya berhasil membebaskan diri dari sebuah penjara bernama sekolah setelah tiga tahun di kurung disana  –bukan berarti dia benar-benar bebas, setelah ini dia masih harus melanjutkan pendidikan di sekolah tinggi yang menurut para seniornya adalah tempat yang seribu kali lebih menyiksa dari sekolah menengah atas.

Jinri juga tidak mau melewatkan kesempatan yang (bisa jadi) terakhir untuk berfoto bersama tiga sahabatnya sebagai murid sekolah menengah. Mereka memang sudah berjanji untuk menjadi sahabat selamanya  –mereka bahkan pernah melakukan ritual konyol yang ditemukan Soojung di internet tentang bagaimana cara menjadi sahabat sehidup semati. Tapi mau tidak mau Jinri merasa khawatir juga, mereka berempat tidak akan melanjutkan di universitas yang sama, kemungkinan untuk bertemu pun sangat sempit, jadi siapa yang bisa menjamin mereka akan terus bersahabat selamanya?

“Choi, kamu ngapain sih!” Teriakan Soojung yang kedua kalinya menyadarkan Jinri. Oke, cewek yang satu itu memang sangat tidak sabaran. Jinri menggeleng, mencoba mengutak-atik kamera digital hitam di hadapannya.

Tekan tombol yang ini, atur waktunya 15 detik. Oke, lalu tekan yang ini, yes, berhasil.

“Siap-siap guys!” Jinri berteriak, segera berlari menuju sisi paling kiri tepat disebelah Soojung.

“Aku tidak tau menekan tombol kamera memakan waktu sebanyak itu.” Soojung berbisik.

“Kalau begitu harusnya kamu yang nekan tombolnya.” Jinri balas berbisik.

“Jangan ber–“ perkataan Suzy yang berdiri di sebelah kanan Soojung terhenti oleh suara dari kamera.

Cekrek.

Foto diambil, ke empat remaja putri itu menghambur ke depan.

“Muka aku kok aneh gini.” Jinri meringis, menunjukan hasil gambarnya pada tiga orang yang lain. Jiyoung di ujung kanan terlihat sedang tersenyum manis ke kamera, Suzy di sebelah Jiyoung terlihat menoleh ke kiri, mulutnya terbuka lebar. Soojung dan Jinri terlihat berhadapan dengan wajah masam.

“Gambar ini oke menurutku.” Jiyoung mengangkat bahu.

“Itu karna kamu yang paling normal.” Soojung menggeleng, berniat menghapus fotonya saat seorang teman keluar dan mengingatkan mereka bahwa acara pengumuman kelulusan akan segera dimulai.

Itu terakhir kalinya mereka berempat berkumpul bersama.

 

*****

 

Choi Jinri mengerang. Dia tidak tau menjadi mahasiswi akuntansi semester tiga di sebuah universitas nomor empat di Korea bisa menjadi semenyebalkan ini. Oke, dia memang tidak begitu berminat mempelajari akuntansi (dia tidak pernah berminat untuk mempelajari apapun), tapi Jinri suka menghitung, terlebih jika hitung-hitungan itu berhubungan dengan uang. Dan sebagai siswi jurusan sosial di sekolah menengah dulu, nilai ekonomi nya tidak begitu buruk –bisa dibilang itu nilai terbaik di rapotnya karena itu Jinri memutuskan untuk mengambil jurusan akuntansi di sekolah tinggi.

Jinri pikir dia hanya perlu menghitung uang, bukankah itu yang dikerjakan oleh akuntan?

Tapi disini dia sekarang, disebuah kamar asrama dekat Yonsei university sedang berkutat dengan laptop dan tumpukan tugas mata pelajaran Akuntansi Biaya yang tampak tidak ada habisnya.

“Aku bisa gila jika aku mengerjakan ini lebih lama lagi.” Jinri menggeleng, menutup laptop dan menyingkirkan buku-buku yang ada dihadapannya. Masih ada waktu tiga hari untuk menyelesaikan semua tugasnya.

Oke, sekarang dia butuh hiburan.

Mungkin satu dua novel bisa membantu menyegarkan pikiran, Jinri mengangguk, berjalan menuju lemari di ujung kanan kamar. Jinri membuka lemari, lalu menunduk ke bawah untuk mengambil beberapa kotak berisi buku-buku miliknya.

“Ayo kita lihat.” Jinri tersenyum, membuka kotak yang pertama.

“Novel romantis, euh tidak.” Jinri menggeleng, romantis memang bukan genre yang benar-benar bisa membuatnya terhibur sekarang. Apalagi hubungannya dengan Kim Myungsoo –senior tampan semester tujuh itu sedang dalam fase tidak meyakinkan (Jinri merasa Kim Myungsoo tidak begitu menyukainya, tapi hey mereka tidak benar-benar berada dalam suatu hubungan jadi, yeah..)  Jinri tidak ingin mood buruknya menjadi semakin buruk, jadi novel romantis, pass.

“Novel horor.” Jinri mengangkat sebuah buku bersampul hitam dengan noda darah (yang tentu saja palsu) di sampulnya, lalu melirik ke sekeliling. Asrama yang di tempatinya ini terletak sekitar lima menit jalan kaki dari Universitas Yonsei, tidak ada yang aneh di pagi hari, tapi pada malam hari asrama berlantai tiga ini mendadak berubah menjadi sesepi kuburan sebab teman-teman seasramanya jelas lebih memilih untuk belajar atau tidur daripada melakukan hal tidak berguna lain. Jinri juga ingat seorang senior pernah memberi tahunya mengenai kamar di lantai dua yang tidak pernah memiliki penghuni itu –“kamar nomor 13 itu berhantu, Jinri! Aku ingat pernah mendengar teriakan seseorang dari dalam sana!”

Jinri sudah memiliki banyak hal yang membuatnya takut di tempat ini, dia tidak perlu menambah ketakutannya lagi jadi novel horror, pass.

Next, novel detektif.” Oh, ini baru genre kesukaan Jinri. Jinri tersenyum, baru ingin membaca novelnya saat perkataan seorang senior (kebetulan adalah senior yang sama yang memberi tahunya mengenai kamar di lantai dua) terngiang di pikirannya –“Aku sering melihat seorang pria dengan tudung hitam berjalan di daerah ini, tangannya selalu tersembunyi di balik saku jaket hitamnya tapi aku bersumpah pria itu sedang memegang sesuatu yang tajam. Dan kau tau? Aku juga melihat pria itu di hari kematian seorang senior dengan jaket berlumuran darah! Daerah ini sangat tidak aman.”

Jinri meletakan novel detektifnya kembali. Oke, mungkin novel detektif juga pass.

Lalu apa? Jinri menggeleng, mencari novel  dengan genre selain romance, horror, atau detektif. Tapi uh, mungkin memang hanya tiga genre itu yang dia miliki.

Jinri baru akan mengembalikan semua novelnya ke dalam kotak saat sebuah buku tebal bersampul biru menarik perhatiannya. Oh, ini album yang berisi foto-fotonya saat masih sekolah menengah atas. Jinri tersenyum, merapikan buku-buku yang lain dan membawa album fotonya ke atas tempat tidur.

Halaman pertama berisi fotonya dengan dua buah tropi, ini pasti hari kelulusan. Jinri ingat hari itu dia menerima dua buah tropi penghargaan dari sekolah dan memaksa kedua orang tuanya untuk mengambil gambarnya, –“Ini luar biasa, mama. Kapan lagi aku bisa dapat tropi?” “Ya, Jinri. Mama pikir kamu tidak akan pernah dapat penghargaan.”. Jinri tidak percaya dia berhasil mendapat tropi penghargaan, tapi rupanya kedua orang tuanya lebih tidak percaya lagi.

Halaman kedua berisi fotonya bersama Soojung. Ini pasti dari kelas satu. Jinri dan Soojung berteman akrab dari kelas satu, walau Jinri tidak benar-benar yakin jika dia bisa memanggil Soojung temannya karena waktu mereka akan dihabiskan oleh bertengkar (ya, Soojung memang bukan temannya tapi sahabatnya).

Halaman ketiga lagi-lagi berisi fotonya dan Soojung. Kali ini mereka berada di sebuah restoran sehabis makan. Jinri terlihat masih lapar, sementara Soojung mengantuk karena kekenyangan.

Halaman keempat berhasil membuat Jinri tertawa terbahak-bahak, foto ini berisi empat botol kecil yang di ikat dengan benang merah. Ini pasti hasil dari ritual ‘Menjadi Sahabat Sehidup Semati’ yang Soojung temukan di internet. Sampai sekarang Jinri masih tidak mengerti kenapa mereka –terlebih Jiyoung yang paling rasional, setuju dengan ide gila Soojung.

Foto-foto lain berisi gambarnya dengan Soojung, Jiyoung atau Suzy (Jinri baru sadar mereka tidak pernah benar-benar berfoto berempat). Sampai pada halaman terakhir dia menemukan foto mereka berempat. Foto yang diambil di hari kelulusan mereka. Jinri mengamati foto itu.

Dia berdiri di ujung paling kiri, tapi bukannya menatap ke kamera Jinri justru sedang menghadap Soojung disebelahnya dengan wajah masam –oh Jinri ingat kejadian ini, saat itu mereka sedang meributkan masalah kamera. Di sebelah Soojung ada Suzy yang menoleh ke arah mereka dengan mulut terbuka lebar –kalau tidak salah saat itu Suzy sedang berusaha menghentikan pertengkaran mereka. Dan di sebelah kanan ada Jiyoung yang sedang tersenyum lebar, terlihat lebih normal dari tiga yang lain. Ck, dari dulu Jiyoung memang yang paling normal.

Tapi apa ini?

Jinri melihat gambar itu lebih dekat, entah kenapa gambar di bagian Jiyoung terlihat lebih kabur daripada yang lain. Mungkin karena gambar ini sudah cukup lama (atau mungkin juga karena gambar ini di cetak di percetakan murah dekat pasar ikan Busan –percetakan itu mematok harga 2 dollar untuk 4 lembar foto, bagaimana bisa Jinri menolaknya?)

Ngomong-ngomong soal Jiyoung, Jinri ingat pernah bertemu Jiyoung di daerah Ewha saat sedang berbelanja beberapa bulan lalu, mereka hanya sempat bertukar salam karena Jiyoung tampak sangat sibuk dan tergesa-gesa. Walau begitu masih lebih baik, Jinri bahkan tidak pernah bertemu Soojung atau Suzy selepas kelulusan –sebab Soojung pasti sedang menghabiskan waktunya mempelajari pajak di KAIST sementara Suzy sibuk menghafal nama-nama obat di Inha.

Ugh, sekarang dia merindukan ketiga temannya. Mungkin sulit menemui Soojung atau Suzy, tapi dia masih bisa bertemu Jiyoung.

Ya, tentu saja! Hanya memakan waktu lima belas menit dengan taksi untuk menuju Universitas Ewha, sekolah Jiyoung (Jinri masih tidak mengerti kenapa Jiyoung memilih sekolah yang seluruhnya berisi wanita, bagaimana dia bisa ‘cuci’ mata? Tapi mungkin karena dia Jiyoung, si-normal-kang-jiyoung bukannya Jinri atau Soojung yang perlu mencari ‘pencuci mata’ setidaknya sehari sekali –Suzy tidak perlu mencari air bening untuk mencuci matanya karena justru dialah si pencuci mata itu.)

Jinri membalik gambar itu, di belakangnya berisi tulisan nomor dan e-mail dari teman-temannya. Oke, ayo berharap Jiyoung masih belum mengganti nomor teleponnya. Jinri mengambil telepon genggamnya lalu mulai menekan nomor Jiyoung.

Beep

Beep

Be- “Halo?”

Oh, Jiyoung masih memakai nomor yang sama!

“Jiyoung, aku Choi Jinri.”

Terdengar suara tawa dari ujung seberang sana, “tentu saja aku tau kau Jinri. Namamu di kontakku masih Choi Jinri heart heart.”

Jinri ikut tertawa, ternyata Jiyoung masih menyimpan nomornya, uh sekarang Jinri menjadi merasa sedikit bersalah karena tidak menyimpan nomor Jiyoung kembali saat telepon genggamnya terformat waktu itu.

“Jiyoung ayo bertemu!”

“Apa? Sekarang?”

Jinri melirik tumpukan tugas Akuntansi Biaya yang harus dia kerjakan, “tidak, tidak sekarang. Uh, tiga hari lagi?”

“Oke, tiga hari lagi. Ayo bertemu di dekat Ewha, ada sebuah café yang menyediakan patbingsoo jumbo disini. Oh, mereka juga menyediakan patbingsoo greentea kesukaanmu!”

Dan Jiyoung bahkan masih ingat makanan kesukaanku, Jinri membatin.

“Tentu saja! Kirimkan alamatnya melalui pesan, ayo bertemu pukul tiga sore. Sampai jumpa lagi, Jiyoung!”

“Sampai jumpa Jinri!”

Jinri mematikan teleponnya, lalu berjalan menuju tumpukan buku tugas yang sempat diabaikannya tadi. Oke, sekarang dia mulai bersemangat untuk mengerjakan tugas ini.

 

*****

 

Kang Jiyoung melangkah memasuki sebuah café kecil di daerah Ewha, matanya tertuju pada sofa coklat untuk dua orang di ujung kiri café dekat jendela kaca besar. Itu tempat favorite nya, dia dapat mengamati semua pengungunjung sekaligus para pejalan kaki tanpa perlu membuat orang lain tidak nyaman.

“Aduh!”

Jiyoung menoleh ke arah suara, seorang pelayan menjatuhkan mangkuk kaca patbingsoo kosong. Bahaya, dia bisa terluka. Jiyoung menggeleng, berjalan mendekati pelayan itu lalu mengambil beberapa lembar tisu yang selalu tersimpan di dalam tasnya.

“Jangan pakai tangan, bahaya.” Jiyoung membungkuk, menyerahkan tisunya pada pelayan lalu mengangkat beberapa pecahan kaca dan meletakannya ke nampan.

“Terimakasih. Biar saya saja.” Pelayan itu menjauhkan tangan Jiyoung sambil menggeleng panik dan mulai mengambil pecahan kaca dengan tangan kirinya.

“Oh anda terluka.” Jiyoung menunjuk jari telunjuk kanan si pelayan, pasti karena dia berusaha mengambil pecahan kaca dengan tangannya tadi. Jiyoung membuka tasnya, dia yakin masih ada beberapa lembar yang tersisa ..nah!

“Ini.” Jiyoung meletakan selembar plester dengan motif kepala babi lucu ke tangan kanan si pelayan dan segera beranjak pergi menuju sofa fkesukaannya tanpa mendengar ucapan terimakasih pelayan.

“Ah sayang sekali.” Jiyoung menghembuskan nafas kecewa saat melihat sofa tujuannya sudah diisi pasangan murid SMA yang tampak asyik bercanda. Jiyoung menahan diri untuk mendengus, berpacaran  di tempat umum (apalagi saat masih sekolah menengah) benar-benar bukan suatu hal yang dapat dia mengerti.

Jiyoung memutar kepalanya, lalu menemukan sebuah sofa di ujung kanan, tidak dekat dengan jendela besar favoritnya, tapi cukup jauh dari pasangan murid SMA tadi.

Jinyoung memilih duduk di sofa itu, memesan segelas air mineral pada pelayan sembari menunggu kedatangan Jinri (Jiyoung bukannya berniat untuk merugikan pihak café dengan menu iritnya, tapi café ini hanya menyediakan latte, soda dan patbingsoo, dan Jiyoung tidak minum latte atau soda karena keduanya ‘tidak menyehatkan’, lagipula saat Jinri datang nanti, temannya itu pasti akan memesan banyak minuman jadi Jiyoung yakin café ini tidak akan rugi, dia yang akan rugi).

Masih pukul tiga kurang lima belas. Lima belas menit lagi sebelum kedatangan Jinri. Bukannya Jinri terlambat, tapi Jiyoung yang datang terlalu cepat. Bukan hal yang buruk juga, lagipula Jiyoung lebih memilih untuk menunggu daripada ditunggu.

Jinri sering memarahinya karena hal ini –“Kau terlalu baik Jiyoung! Orang-orang akan memanfaatkanmu.” Nah, mereka hidup di zaman dimana kebaikan adalah suatu hal yang salah.

“Kang Jiyoung!”

Jiyoung menoleh ke sumber suara. Jinri? Bagaimana bisa Jinri datang secepat ini?

“Aku tau kamu pasti akan datang sekian menit lebih cepat.” Jinri mendengus, lalu memeluk Jiyoung.  “Aku kangen.”

Ah, Jiyoung mengangguk, ternyata Jinri masih ingat kebiasaannya.

“Ngomong-ngomong, mana patbingsoonya?” Jinri bertanya setelah melepas pelukannya.

“Kamu pesan sendiri, nanti aku yang bayar.” Jiyoung menunjuk ke arah kasir.

Mata Jinri terlihat berbinar, “aku akan pesan yang banyaaaak.”

Dan Jinri memang tidak pernah memesan sedikit, seperti sekarang.

 “Ini Green Tea Patbingsoo Jumbo.” Jinri menunjuk pada mangkuk besar yang baru saja di letakan oleh pelayan, “Mango Patbingsoo, Strawberry Patbingsoo, dan kesukaanmu Grass Jelly Patbingsoo! Dan aku rasa aku tidak pesan Green Tea Latte?”

Si pelayan menggaruk rambutnya gugup dan melirik Jiyoung “Ini ..uh, free service.”

“Gratis? Terimakasih!” Jinri menyeruput lattenya, lalu berbisik dengan suara kecil “Pelayan ini pasti tertarik padaku.”

Jiyoung memandang pelayan, lalu mengangguk. Ini pelayan yang menjatuhkan mangkuknya tadi. Jadi beberapa lembar tisu dan satu plester bisa menjadi segelas latte? Seharusnya dia memberi lebih banyak tisu tadi.

“Kamu masih ingat kenapa dulu kita begitu terobsesi dengan sekolah di Seoul?” Jinri memulai, tangannya sibuk menyekop Patbingsoo teh hijau nya.

“Karena makanannya.” Jiyoung tertawa kecil, ikut mencolek Patbingsoo milik Jinri, tidak buruk, tapi teh hijau bukan benar-benar rasa yang disukainya.

“Ya, maksudku, kita harus mengendara minimal setengah jam di Busan untuk mencari café yang menjual Patbingsoo dengan berbagai rasa. Tapi disini kau bisa berjalan kaki beberapa menit dan menemui banyak café seperti ini.” Jinri menjelaskan, mulutnya penuh dengan es dan kacang merah.

Kadang Jiyoung heran bagaimana Jinri bisa bicara jelas dengan mulut penuh.

“Belum lagi makanannya. Aku ingat kedai makanan kecil di sebelah sekolah kita, aku sempat membenci odeng karena aku kira rasanya memang semenjijikan itu, tapi aku tau odeng makanan yang enak setelah merasakan odeng di Seoul. Dan mereka bilang Busan terkenal dengan olahan ikannya.” Jinri mengoceh lagi, tangannya beralih ke Patbingsoo Mangga “Soojung akan sangat menyukai ini.”

 “Tapi makanan di Busan tidak seburuk itu juga.” Jiyoung berkata, “masih ada beberapa makanan Busan yang jauh lebih enak daripada makanan disini.”

“Contohnya?” Jinri bertanya, sekarang sibuk memakan stroberi.

Uh, Sashimi? Tidak ada Sashimi Seoul yang sesegar Sashimi Busan.”

“Oke, kurasa aku harus setuju dengan itu.”

Dua jam selanjutnya mereka habiskan dengan membahas makanan dan ...makanan. (Tidak banyak topik yang bisa dia bicarakan dengan Jinri. Sebab hal yang disukai Jinri selain makanan adalah makhluk lawan jenis berlabel pria, dan Jiyoung tidak benar-benar suka menggosipkan  masalah pria, Jinri bisa melakukan itu dengan Soojung nanti.)

“Jinri, kurasa aku harus pergi.” Jiyoung melihat jam tangannya, sudah pukul 5 sore. Dia harus membantu seorang junior belajar di perpustakaan hari ini.

“Ya, pergi saja duluan. Aku masih harus …menghabiskan semua ini.” Jinri menunjuk satu mangkuk Patbingsoo yang tersisa di hadapannya.

“Baiklah, sampai jumpa nanti.” Jiyoung berdiri, memeluk Jinri sebentar lalu berjalan menuju kasir. Berapa yang harus dia bayar untuk semua pesanan Jinri?

“Semua sudah dibayar.” Gadis dikasir terlihat bingung, lalu menunjukan notanya.

Oh, harusnya dia sudah tau. Jiyoung melihat ke arah Jinri , temannya itu masih asik menggali patbingsoonya. Jiyoung ingin kembali dan memaksa Jinri menerima uangnya, tapi dia sudah benar-benar terlambat. Mungkin nanti saja.

Jiyoung melangkah keluar café, dia perlu menyebrang jalan dan berjalan sekitar lima menit untuk tiba di perpustakaan. Dia hanya akan terlambat beberapa menit tapi tentu saja ini bukan hal yang disukainya, Kang Jiyoung tidak pernah terlambat.

Jiyoung melihat ke arah lampu di ujung jalan. Lampu pejalan kaki sudah menyala, Jiyoung segera berlari menyebrang tanpa benar-benar memperhatikan jalanan, tanpa benar-benar melihat sebuah mobil dari kanan yang melaju cepat, dan tanpa benar-benar mendengarkan teriakan beberapa orang di pinggir jalan.

Jiyoung baru sadar saat sesuatu yang besar menabraknya, saat tubuhnya terasa melayang dan terhempas keras ke tanah.

Hal terakhir yang Jiyoung lihat adalah wajah kaget Jinri di pinggir jalan.

Lalu semuanya menjadi hitam.

 

*****

 

Choi Jinri menyelipkan satu batang bunga ke dalam kotak kaca tempat penyimpanan guci dari abu jenazah Jiyoung. Sesuai keinginan kedua orang tuanya, jenazah Kang Jiyoung di kremasi dan disimpan di rumah duka di Busan, tempat kelahirannya.

Setelah tertabrak mobil saat menyeberang kemarin, Jiyoung menghembuskan nafas terakhirnya tanpa sempat di bawa ke rumah sakit. Jinri sendiri langsung terbang bersama jenazah Jiyoung ke Busan, mengikuti serangkaian acara kremasi tanpa tidur sedikitpun. Bagaimana bisa dia tidur setelah salah satu sahabat terdekatnya meninggal? Saat sedang sendirian, kadang Jinri berpikir, bagaimana kalau hari itu Jiyoung tidak menemuinya? Bagaimana kalau hari itu mereka tidak bicara begitu lama? Bagaimana kalau dialah yang keluar lebih dulu?

Apa mungkin, mungkin Jiyoung masih hidup sekarang?

“Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”

Jinri membalik tubuhnya, Soojung?

“Dari ekspresimu itu, aku tau apa yang kamu pikirkan sekarang. Aku dengar Jiyoung kecelakaan setelah bertemu denganmu?” Soojung mendekat, menempelkan selembar foto di kotak kaca milik Jiyoung. “Apa kamu pikir kalau saat itu kalian tidak bertemu Jiyoung masih tetap hidup sekarang? Tidak, apapun yang terjadi, hari itu Jiyoung memang sudah ditakdirkan untuk mati. Kau hanya kebetulan berada disana, Choi.”

Jinri menatap Soojung, Soojung terlihat sama persis seperti Jung Soojung yang dulu, tidak ada yang berubah.

“Mau minum?”

Soojung membawa Jinri ke rumahnya. Rumah Soojung terletak tepat di depan sungai Nakdong, sungai terbesar di Korea Selatan. Saat masih sekolah rumah Soojung sudah seperti camp bagi ke empat sahabat itu. Jinri ingat sering bermain-main di ujung sungai sambil menikmati camilan buatan mama Soojung.

“Nah.” Soojung menyerahkan sekaleng minuman dingin, lalu duduk di sebelah Jinri yang sedang mengamati sungai berair jernih di hadapan mereka.

“Terimakasih, kamu datang pagi ini?”

“Ya, begitu mama mengabariku tentang kematian Jiyoung aku segera terbang dari Daejeon.”

Oh, Jinri baru sadar karena begitu panik dia bahkan tidak sempat mengabari siapapun, Jinri juga baru sadar kalau dia meninggalkan telepon genggamnya di Seoul, uh.

“Maaf, aku tidak memberi kabar.”

“Tidak apa.” Soojung menggeleng, “kamu pasti terlalu kaget saat itu.”

“Bagaimana dengan Suzy?”

“Aku coba telpon tapi tidak berhasil, dia pasti mengubah nomor teleponnya. Tapi aku sudah kirim e-mail.” Soojung melirik Jinri, “Kau baik-baik saja?”

“Ya, ini hanya… terlalu cepat. Pada suatu saat aku sedang berbincang dengannya tentang odeng dan lainnya, lalu pada saat lain Jiyoung sudah terbaring di tengah jalan, dengan mobil dan, dan..” Jinri menggeleng, rasa bersalah itu datang lagi.

“Aku sudah bilang jangan salahkan dirimu sendiri. Jiyoung tidak akan suka itu.”

“Ya, karena Kang Jiyoung terlalu baik.” Jinri memandang lurus ke depan, dia sudah bilang berulang kali kalau menjadi orang yang terlalu baik itu berbahaya.

“Kau ingat saat kita kelas dua? Saat aku meminta kalian melakukan ritual bodoh itu dan Jiyoung justru jadi orang pertama yang setuju? Padahal kita tau Jiyoung lah yang paling rasional di antara kita berempat.” Soojung tertawa.

“Ya, dan kamu yang paling tidak rasional.” Jinri ikut tertawa.

“Ngomong-ngomong soal ritual itu…” Soojung memandang pepohonan besar di pinggir sungai. “…mau menggalinya?”

“Apa –oh.” Jinri mengangguk, mulai terlihat bersemangat.

“Kamu pergi duluan, aku akan ambil sekop.”

Kalau tidak salah disekitar sini, Jinri mengamati pohon-pohon besar di pinggir sungai dengan teliti, mencoba mencari sebuah pohon dari tiga tahun lalu. Jinri berhenti di sebuah pohon besar dengan ukiran tanda panah yang mengarah ke bawah di batangnya. Nah yang ini.

“Aku harap masih ada.” Soojung datang, menyerahkan sebuah sekop pada Jinri lalu mulai menggali tanah di bawah pohon.

Setelah menggali sedalam tiga puluh senti meter, Soojung merasakan sesuatu di ujung sekopnya, “aku rasa masih ada!” Soojung melempar sekopnya entah kemana, kemudian memasukan tangannya ke dalam lubang dan mengambil beberapa botol berisi cairan merah yang terikat menjadi satu.

“Hanya ada tiga?” Jinri bertanya, ikut menunduk untuk mencari botol lain dari dalam lubang, lalu mengangkat sebuah botol kosong. “Bagaimana bisa botol ini tumpah dan keluar dari ikatannya?”

“Aku sudah bilang kita harusnya mengikatnya dengan kencang.” Soojung mengangkat bahu, “mungkin anak-anak bermain disekitar sini dan menemukan botol-botol itu lalu menumpahkan isinya, siapa tau?”

Ya, mungkin saja. Jinri mengangguk, mengamati botol kaca kecil itu, dan terdiam begitu menyadari nama yang tertulis di atasnya.

“Jung?”

“Ya?”

“Ini botol milik Kang Jiyoung.”

 

 

*) Patbingsoo = Dessert kacang merah yang di sajikan dengan es serut dan susu kental manis. Biasanya di tambah berbagai buah dan ice cream sebagai topping.

*) Odeng = Jajanan kaki lima yang dibuat dari campuran tepung dan ikan.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
seungcheoreo #1
Chapter 6: idk why tapi aku selalu kebayang penggambaran myungsoo itu mingyu trs bukannya L ahahaha. nice fic, ceritanya bagus, bahasanya gampang dicerna. uh love you a lot!<3
hanieychoi #2
Chapter 5: Aku suka dengan jalan ceritanya. Aku tak sangka ceritanya berakhir dengan semuanya mati. Keep writing author. Fic kamu semuanya sangat bagus.
aliceeuu #3
Chapter 6: Yaampun ceritanya ganyangka banget. Ternyata myungsoo emang benar2 suka sama soojung sampai kayak gini. Ganyangka sumpah. Sungyeolnya kasian dia ga salah apa2 tapi dia mati. Ceritanya seru bangeeet!
babbychoi
#4
Chapter 5: I just...ugh! jinri dibunuh myungsoo?
yah bener2 dah
tapi bagus kok. ceritanya tapi tidah untuk myungsoo yang tiba tiba suka soojung dan bunuh jinriku!
hweeee :(
yunita_aulia
#5
Chapter 6: Omg, gue reader baru. Dan cerita ini serius, creepy bgt tapi keren! Hahaha. keren keren! Update terus, thor!
no-w-here
#6
Chapter 6: Akhirnya.... semua mati. OTL. Whyy Myungsoo? Tp aku rasa ceritanya dah di atur takdir (?) Yg nyebabin sumpah mereka itu jd kenyataan.. btw.. ga diceritain gimana akhirnya soojung jatuh? Bunuh diri kah krn depresii?
Btw aku nungguin updatean ff km yg the truth..
meimeipai #7
Chapter 6: ini semacam flashback gitu ya
babbychoi
#8
Chapter 4: Aku ga ngerti? Myungsoo kamu ngapain? Aku...ah entahlah. Jangan bilang myungsoo suka soojung :(
Lalu jinriku gimana? Pasti sungyeol nyelamatin jinri pas nyebrang ya?
Ah tunggu saja update selanjutnya. Cepet ya kak
Aku juga nunggu the truth sama ff myungli yg baru :D
seiranti
#9
Chapter 4: Gw ga nyangka myungsoo but why he hv to kill his friend too sungyeol.. Gw kira yg bakal jd heroicny jinri too bad she hv to die.. Next chap plss
no-w-here
#10
Chapter 4: Ini apaa yg terakhirr? Update sooooon pls.