Selesai

The Understudy

Minseok segera menuju rumah sakit selepas menutup teleponnya. Beruntung, ia baru saja akan meninggalkan Moonlight, dan beruntungnya lagi, Moonlight terletak tidak terlalu jauh dari rumah sakit tempat Luhan berada. Dengan jantung berdebar dan perasaan tak menentu, Minseok masuk menembus resepsionis, langsung mencari-cari Luhan di sekitar IGD.

Rumah sakit penuh sesak oleh pasien dan suster yang sibuk berlalu lalang, dokter-dokter berjas putih yang telat datang dan sesama keluarga/kerabat pasien. Tapi yang dicari Minseok tersembunyi entah di mana. Luhan, semoga kau tak apa-apa..

Aroma disinfektan menyebar di seluruh ruangan.

Minseok menghampiri salah satu dokter jaga, “Permisi, saya Minseok. Saya ke sini karena ditelepon pihak rumah sakit dan ingin mencari teman saya yang tadi mengalami kecelakaan. Namanya Luhan. Apa anda tahu dia ada di mana?”

“Tunggu sebentar..” dokter itu mengecek sebuah daftar  di tangannya, “..dia sudah dipindahkan ke ke kamar pasien nomor 212.”

“Terima kasih banyak.”

_

Luhan jarang sekali sakit, meski dengan jadwal kerjanya yang gila dan betapa sedikit kepeduliannya pada kesehatannya sendiri, dia termasuk cukup sehat. Luhan kecil pun jarang sakit, di saat teman-teman sekelasnya terkena wabah cacar atau terjangkit flu di musim pancaroba, Luhan kecil selalu sehat dan riang. Tapi kini, Luhan kesakitan. Sangat kesakitan. Seluruh badannya pegal-pegal hebat, semua ototnya benar-benar tegang seperti habis berolahraga ekstrim dan kakinya, astaga kakinya benar-benar sakit. Apa yang terjadi, Luhan tidak tahu. Tidak tahu yang benar-benar tidak tahu, blank, seperti saat ia mengerjakan soal fisika, dulu.

Rasanya Luhan seperti sedang tidur yang tidak nyenyak. Tidur yang seperti saat kau butuh tidur setelah lama sekali terjaga. Ingin ia membuka matanya, namun sekeras apapun ia mencoba, matanya masih terpejam rapat. Seperti seseorang menyuntiknya dengan obat tidur. Namun sayup-sayup, dia bisa mendengar suara-suara di sekelilingnya.

Tunggu dulu.

Memangnya tadi dia sudah sampai rumah? Bukankah dia masih dalam perjalanan? Bukankah..

Oke, semuanya mulai masuk akal. Pasti ada sesuatu yang terjadi di jalan.

Ayo Luhan, buka matamu. Buka matamu, kau pasti bisa.. ayo..

_

“Dokter, dia sudah sadar!”

“Kamar 212, tolong bantu sahabat saya, dia sudah sadar!”

Minseok?

“LUHAN!” Minseok menghambur memeluk sahabatnya erat.

_

Setelah beberapa menit lebih dihabiskan untuk berpelukan dan sesi curhat Minseok tentang bagaimana ia tak ingin kehilangan Luhan, Luhan dibantu seorang suster untuk duduk tegak dan kini sedang balik menginterogasi Minseok(susternya segera pergi meninggalkan mereka berdua).

“Jadi, kenapa kau di sini?” selidik Luhan.

“Aku ditelepon pihak rumah sakit, bodoh. Ternyata nomorku ada di salah satu speed dial-mu.” Kata Minseok, tersenyum bangga. Aneh, tapi ya, Minseok bangga memiliki sahabat sungguhan.

“Ya, aku butuh kau kadang-kadang. Lalu, apa kau tahu yang terjadi padaku?” lanjut Luhan.

“Tidak begitu. Tapi astaga Luhan, setidaknya kau masih hidup dan berbicara padaku, astaga.. aku takut sekali kau mati, kau-”

“MINSEOK!” keluh Luhan. Lagi-lagi dengan kata-kata ‘mati’, Luhan agak curiga apa sebenarnya Minseok menginginkannya untuk mati, mungkin saja..

“Iya?”

“Apa kata dokter?”

“Kauterserempetmobildankakikirimupatah, astaga kau masih hidup! Ah, aku hampir depresi saat menerima telepon itu-” Minseok mempercepat kalimat pertamanya, tahu persis bahwa Luhan akan..

“KAKIKU PATAH?” ..meledak.

“Luhan, dengarkan aku-”

“Tidak, tidak, tidak.. ini.. sudah beberapa hari terakhir menjelang pentas.. kakiku.. aku..” Luhan mengayunkan tangannya di udara, membuat gestur-gestur aneh tanda ia frustasi. Semua yang ia perjuangkan, semuanya untuk pentas ini. Melatih dialog picisan Hyunjae, menarikan koreografi Minjoo yang super melelahkan, segalanya telah Luhan lakukan! Hyunjae akan tiba lusa! Luhan tidak mungkin menari dengan satu kaki.. Luhan tidak mungkin bisa..

“Luhan, mungkin kau harus-”

“Tinggalkan aku sendiri, Minseok. Tolong.”

_

Hidup tidak pernah bisa diduga, itu kini amat diyakini Luhan. Satu saat, kau bisa begitu bahagia hingga terasa melayang di awan. Di saat lain, kebahagiaan itu bisa direnggut begitu saja. Luhan tidak pernah menyangka akan mendapatkan pelajaran itu sekarang. Meski berjuta pikiran merasuki otaknya, tidak satupun kata ia ucapkan semenjak Minseok ke luar dari kamarnya. Bahkan saat Minseok kembali lagi esok paginya membawakan dua gelas kopi, Luhan masih sibuk menatap pintu di depannya, atau sesekali, langit-langit putih kamar 212. Beberapa suster datang mengeceknya, menanyakan keadaannya.

Bagaimana kabarku?

Kabarku?

Sepertinya aku akan menjadi gila, pikir Luhan.

Oke, mungkin Luhan terdengar sangat tidak bersyukur saat ini, maksudnya, bisa saja dia harus diamputasi seperti di film-film atau apa, tapi tidak, kakinya hanya patah cukup parah dan seluruh anggota tubuhnya yang lain masih utuh menyatu. Meski kulitnya dihiasi sedikit lebam dan luka, Luhan merasa itu semua tak sebanding dengan mengetahui usahanya sebulan terakhir ini sia-sia. Ia tidak akan mampu memerankan Lou.

Lou.

Dewa yang jatuh cinta pada manusia itu.

Ini berarti, Sehun yang akan menggantikannya. Luhan merasa sedikit lega bahwa setidaknya pentas itu tidak akan gagal total. Sehun adalah harapan terakhirnya.

Aneh, Luhan pikir, bahwa semudah ini ia bisa memercayai bocah bipolar itu. Anehnya lagi, Luhan merasa ingin menonton pentas itu dan mendukung Sehun??

_

“Halo?”

“Ada apa, Minseok hyung?”

“APA?”

“Tunggu dulu, kau-”

“Maaf hyung, aku tidak bisa.”

_

Langkah kedua kaki yang terburu-buru berderap, terdengar nyaring di telinga Luhan. Namun Luhan sedang tidak mood untuk bicara. Ia menarik selimutnya ke atas, menutupinya sampai ke leher, lalu meringkuk senyaman mungkin sambil memejamkan mata.

Derap langkah kaki itu makin jelas, makin dekat, tak sabar untuk sampai. Derap itu berhenti tepat di depan pintu kamar 212, dan perlahan pintu itu terbuka.

“Luhan..”

Bukankah itu suara-

“Dasar bodoh.”

_

Sehun, yang sedang mengambil shift pagi(Jongdae sedang ada acara keluarga, katanya), saat itu sedang mengelap permukaan meja-meja di kafenya. Saat itu juga, ponselnya berdering dan cepat ia mengangkatnya.

Isi percakapannya terasa bagai petir di siang bolong.

Ia diminta memerankan Lou, memerankan yang berarti tidak, ia bukan pemeran pengganti lagi namun sekarang ia pemeran utama sungguhan!

Oke, lupakan peran gila itu.

Tapi kenapa?

Kenapa, Sehun bertanya dan Minseok dengan tenangnya menjelaskan bahwa Luhan habis kecelakaan. Hampir saja dunia Sehun runtuh. Untungnya Minseok meyakinkannya bahwa Luhan baik-baik saja, hanya kakinya yang patah, yang berarti ia tak akan bisa menari pada hari pentas dan Sehun sedikit bisa bernapas lega. Ia takut kehilangan.

Tapi, masalah utamanya kini adalah Lou.

Sehun merasa ini bukan haknya.

Lou adalah perannya Luhan. Lou adalah Luhan.

_

Sehun, itu pasti Sehun. Luhan memejamkan matanya seerat mungkin.

“Jangan pura-pura tidur, aku tahu kau terbangun.”

Anak ini memang sok tahu atau sebenarnya memiliki bakat meramal? Suara kursi digeser terdengar dari samping Luhan, kursi yang kini dibelakangi punggungnya.

“Luhan, kau harusnya hati-hati.. semua orang kan jadi khawatir.”

Apa dia akan mulai dengan pengakuannya yang aneh-aneh lagi? Apa ada rahasia lain yang belum Luhan ketahui?

“Luhan, asal kau tahu saja.. aku menolak menggantikan peranmu karena-”

“APA KAU GILA?” spontan Luhan berbalik menghadap Sehun. Muka datarnya berubah terkejut sesaat, lalu kembali ke format datarnya yang biasa.

“Menurutmu?” tanyanya santai, tubuhnya tegak dan tenang seperti tak ada apa-apa.

“Aku tidak berlatih berbulan-bulan demi pentas yang tidak akan berlangsung, Oh Sehun!” Luhan yakin ia hampir gila sekarang. Baru saja ia merasa senang Sehun akan menggantikannya, kini bocah ini datang dan bilang ia tak mau? Lalu untuk apa audisi menjadi pemeran pengganti kemarin? Dasar!

“Aku tidak bisa.” Tegas Sehun lagi, mantap akan pilihannya.

“Kenapa kau bilang kau tidak bisa, hah? Kau, Oh Sehun, kau penari yang lebih baik dariku!” bentak Luhan emosi. Sehun benar-benar tertegun kali ini. Luhan menganggapnya sebagai penari yang lebih baik? Apa ia tak salah dengar?

“Luhan, aku..”

“AKU TIDAK MAU TAHU! POKOKNYA FOREVER IN MY HEART HARUS TETAP DITAMPILKAN! POKOKNYA-” dua lengan yang kurus dan panjang melingkari tubuh Luhan dan mendekapnya erat. Oke, ini bukan seperti apapun yang Luhan bayangkan.

Satu menit.

Dua menit.

Tiga menit.

Luhan masih kaku di pelukannya, tapi sepertinya Sehun tidak berencana melepaskan tangannya kapanpun. Mungkin Sehun sudah tertidur?

“Sehun-”

“Diam.”

“Aku pegal.”

Please, sebentar saja aku ingin tetap begini..”

“Baiklah..” Luhan menepuk-nepuk punggung Sehun dengan canggung. Beberapa detik kemudian, Sehun menarik dirinya ke belakang, melepaskan Luhan. Tatapannya jatuh ke lantai, ekspresinya bukan seperti Sehun yang biasanya, dan Luhan tidak bisa membacanya. Tapi dengan sedikit kewarasan yang tersisa, Luhan menggenggam tangan Sehun erat dan menatapnya tajam.

“Kenapa?”

“Ini peranmu Luhan, bukan peranku.”

“Tapi -bukan bermaksud menyombong, kau pemeran penggantiku. Ini kewajibanmu.”

“Aku tidak bisa, Luhan, sungguh.”

“Aku percaya sama kamu.” Ujar Luhan. Jelas dan lantang. Kedua matanya bagai berbinar dengan harapan dan Sehun merasa ingin meleleh saja.

Sehun menatap Luhan balik, bingung.

“Sungguh?”

“Ya.” Jawab Luhan tanpa beban.

Hening. Rasanya jawaban terakhir Luhan masih menggema di seluruh ruangan. Luhan baru menyadari kata-katanya sendiri. Apa dia benar-benar percaya pada Sehun? Apa dia sudah menerima fakta ia tidak akan mungkin mengikuti pentas itu? Apa dia sudah gila? Pengaruh apa yang diberikan rumah sakit ini padanya??

“Kalaupun aku bisa, aku tetap tidak mau.” Tegas Sehun, teguh pada pendapatnya.

“Astaga, Sehun! Yang harus kau lakukan hanyalah menyeret pantat malasmu ini ke Moonlight! Apa susahnya?”

“Aku tidak bisa melakukannya tanpamu."

“Sejak kapan kau bergantung padaku?”

“Sejak dulu.”

“Dulu?”

_

Sehun merasa gagal. Sehun merasa ia sudah berada di ambang pintu kehancuran. Oh Sehun, pewaris utama Oh Enterprise, telah menghancurkan perusahaan yang dibangun dari peluh kakek dan ayahnya dengan kedua tangannya sendiri. Sehun merasa bersalah, merasa harusnya kakaknyalah, Oh Sejong, yang menempati posisinya, dan mungkin Oh Enterprise tidak akan menghadapi bangkrut seperti ini. Sehun berharap hidup tidak sesulit ini. Sehun berharap ia bisa kembali menjadi anak kecil berusia 5 tahun lagi, mungkin bebannya tidak sebesar ini. Tapi tak bisa dipungkiri, apa yang mungkin kau harapkan dari anak 17 tahun yang belum lulus SMA?

Sehun meminta maaf kepada seluruh pegawai dan keluarganya. Satu keputusannya yang salah telah mengakibatkan perusahaannya jatuh bagai kapal karam.

Sehun membawa sedikit dari kekayaan keluarganya yang tersisa setelah lulus SMA. Ia membangun perusahaan baru yang lebih kecil, namun cukup sukses. Dihantui kritik dan cemoohan tentang bagaimana ia tidak sesukses ayahnya, ia mencoba lari dari kenyataan.

Ia benar-benar lari dari gedung perusahaannya, berlari hingga kedua kakinya letih, hingga ia sampai di sebuah taman. Ia tidak sendirian. Seorang pria, yang wajahnya tampak lebih muda darinya, yang tampaknya sedang mabuk berat, terduduk di sebuah kursi taman. Bukan sebuah mungkin, karena tepatnya satu-satunya kursi di taman itu. Lelah dari berlari, Sehun duduk di samping laki-laki yang apabila dilihat dari dekat wajahnya secantik perempuan itu.

Laki-laki itu masih mengenakan baju kantor; kemeja biru garis-garis, celana bahan warna hitam yang sudah agak kumal, namun rambut cokelatnya acak-acakan, aroma alkohol mengelilinginya. Laki-laki itu menyandar ke belakang, lehernya mengarah lurus ke langit, kepalanya dibiarkan begitu saja, padahal di kursi yang pendek itu, posisi begitu pasti tidak nyaman.

“Kau tahu?” laki-laki itu bersuara. Sehun terkejut, namun mendengarkan dengan seksama.

“Ayahku bisa jadi sangat menyebalkan.”

Ayah? Mungkinkah mereka punya masalah yang sama? Sehun mendengarkan laki-laki itu berucap lagi.

“Seumur hidupku, rasanya apapun yang kulakukan hanya untuk membuatnya senang. Tapi..” laki-laki itu cegukan, “..kau tahu? Dia bahkan tak menghiraukan aku di lift tadi! Aku pikir jika aku benar-benar berusaha keras, aku setidaknya akan mendapat pengakuannya! Bahwa setidaknya ia, dibalik kesombongannya, mau mengakui aku sebagai putranya. Tapi ternyata..” laki-laki itu cegukan lagi, kini menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri, tanda tak setuju. Sehun mengerutkan dahinya, bingung, namun tetap menyimak kalimat selanjutnya.

“Kau tidak boleh seperti aku, sobat. Kau harus bahagia! Kau berhak bahagia!”

Sehun tidak mengerti apa yang membuatnya tetap mendengarkan ocehan mabuk laki-laki di sampingnya. Sehun merasa seperti sudah menempel dengan kursi itu. Atau mungkin laki-laki di sampingnya itu punya efek magnetis tertentu.

“Kau.. jalanilah hidup dengan caramu. Bukan dengan cara yang semua orang suruh, atau cara yang kau pikir benar.”

Ucapan laki-laki ini menancap tepat di hati Sehun.

Tanpa benar-benar mengenalnya, laki-laki itu bicara seakan mengerti Sehun seumur hidupnya, tapi benar yang ia katakan. Selama ini, Sehun hidup hanya mengikuti perintah, hanya ingin membahagiakan orang lain tanpa mementingkan dirinya sendiri.

Sepersekian detik kemudian, Sehun merasakan sebuah badan menimpa pundaknya. Sebentuk wajah yang sempurna menghadapnya, tertidur lelap dengan mulut yang sedikit terbuka dan terdengarlah beberapa dengkuran halus. Sehun memberanikan diri menatap kedua mata orang asing di pundaknya yang terpejam. Kedua mata besar itu, hidung kecil dan bibir yang menghiasi wajah itu, dengan segala ocehannya..

Dan tanpa sadar Sehun sudah menjadikan laki-laki itu tujuan hidupnya.

_

“Ini aneh.”

“Aku tahu, dan untuk itu aku minta maaf.” Sehun berusaha menyembunyikan wajahnya, malu. Well, dia baru saja secara tidak langsung mengakui bahwa selama ini dia telah menguntit Luhan dan bagi Luhan itu sangat aneh, bahkan agak mengerikan. Tidakkah Sehun ingin menyapanya? Kenapa harus mengikuti diam-diam?

“Maaf atas apa?”

“Karena mencintaimu?” ups, satu lagi rahasianya terbongkar. Masa bodoh, lebih baik sekalian malu sekarang. Sehun tak akan menahan apapun lagi. Mungkin ini saatnya Luhan tahu.

“Kau gila.” Luhan menarik selimutnya lebih tinggi, menjauhkan dirinya sejauh mungkin dari Sehun.

“Aku tahu ini aneh dan tiba-tiba dan.. entahlah. Kurasa ini waktu yang tepat, maksudku, sudah berapa tahun aku..”

“Ya ya, aku mengerti kau amat mencintaiku dan, oh! Sehun, ini serius.” Tiba-tiba Luhan kembali ke dirinya yang lama, yang tak bisa diam, yang kreatif dan berisik. Ide-ide jenius mengaliri kepalanya.

“Apa?”

“Kalau kau benar-benar mencintaiku, harusnya kau mau membantuku.”

“Bantu apa?”

“Forever In My Heart harus tetap berjalan.”

Skak mat.

_

Minseok tidak pernah merasa setegang ini dalam hidupnya. Kru dan pemain mondar-mandir di hadapannya namun otaknya seperti kosong. Kang Hyunjae belum datang! Padahal pentas akan dimulai dalam lima menit! Oke, penulis itu sudah agak tua, tapi astaga, 4 menit lagi sudah harus buka tirai dan ia belum datang! Minseok mengucap segala sumpah serapah di otaknya sembari kembali bekerja, memastikan semua kru dan pemain siap.

“Minseok, santailah sedikit.” Ujar Minjoo yang sedang membantu kru lighting.

“ASTAGA DIAMLAH MINJOO!” Minseok hampir kehilangan akal.

_

Sehun tidak lebih baik. Sehun juga setegang Minseok, atau mungkin lebih. Ah, siapa yang peduli? Sehun ingin menggaruk-garuk kepalanya, ingin melempar barang-barang atau apa, karena otaknya stress sekali.

Sejujurnya, ia tak pernah begitu berminat pada akting. Menari? Mungkin hanya hobi sampingannya. Tapi akting, menyanyi dan menari sekaligus? Itu semua adalah Luhan. Luhan. Laki-laki mabuk di kursi taman yang menghiburnya, yang ia tonton setiap pentasnya. Satu hari, ia memberanikan diri bicara pada Minseok. Tanpa sadar, Moonlight telah menjadi dunianya juga.

Tapi ia kini merasa seperti siswa taman kanak-kanak yang tak tahu apa-apa dan disuruh mengerjakan soal logaritma.

“3 menit lagi, kau harus segera ke belakang tirai, Sehun!” mendengar namanya dipanggil, ia menoleh ke sumber suara. Minjoo sedang wira-wiri di belakang panggung. Dengan gemetar Sehun beranjak,  bersiap menampilkan scene 1.

_

Kang Hyunjae masuk di pertengahan scene 1, duduk di bangku depan. Beberapa kali ia terkekeh mendengar dialognya sendiri. Sehun tidak terlalu peduli. Sehun peduli dengan laki-laki yang pincang, yang disangga dua kruk berjalan tertatih-tatih kemudian duduk di kursi tengah.

Keduanya bertukar senyuman tipis sesaat, kemudian Sehun kembali fokus pada perannya, sementara  Luhan sibuk memperhatikan semua detail agar sempurna.

Sejauh ini, semuanya lancar.

_

Lou, dengan segala ketidakpatuhannya pada Dewa Tertinggi segera melesat menuju bumi, ke tempat  manusia yang amat dicintainya, tempat Shia berada.

Segala kekuatannya dikerahkan dalam berpacu melawan waktu.

Yang dicarinya sedang duduk santai di pantai seperti waktu itu. Sedikit lega, Lou rasakan, karena Shia tampak baik-baik saja.

“Shia..” panggilnya lembut.

“Iya?” Shia menengok, dan langsung saja Lou memeluknya.

“Shia.. kau tidak melupakanku, aku sangat takut-”

“Maaf, apa aku mengenalmu?” kedua tangan Lou, disusul sekujur tubuhnya segera membeku. Perlahan, ia melepaskan kedua tangannya dan menatap Shia dalam-dalam, mencari jawaban di matanya. Namun Shia tampak sungguh-sungguh bingung, mengetahui ada seorang yang tidak dikenal memeluknya begitu saja.

“Kau.. tidak tahu siapa aku?” tanyanya lagi, sekeping harapan masih bertengger di hatinya. Tegang, kedua tangannya mulai dibasahi keringat dingin.

“Apa aku seharusnya tahu? Maaf, aku benar-benar tidak tahu siapa kau.”

Apa ini nyata? Benar-benar terjadi?

Lou segera mencari seikat kalung yang seharusnya melingkari leher Shia. Kalung kerang pemberiannya.

“Bukankah kau mengenakan sebuah kalung kerang?”

“Tidak, aku tidak begitu suka perhiasan.”

“Kalau begitu aku minta maaf, mungkin aku salah orang.” Tak tentu, Lou beranjak meninggalkan Shia.

“Tunggu!” panggil Shia. Lou menengok, harapan kembali bersinar baginya. “Bagaimana kau tahu namaku?”

Lalu harapan itu tersapu ombak begitu saja, tertiup angin dan mungkin tak akan kembali.

“Aku tahu saja. Kau tidak perlu khawatir, aku akan.. tetap menjagamu.”

_

Gema tepuk tangan dan riuh sorak penonton menggema di seluruh penjuru Moonlight. Sehun dan Luhan saling tersenyum, bertukar pandangan penuh rasa syukur, puas dan bahagia. Kang Hyunjae pun ikut memberikan standing applause.

Sehun membungkuk memberi hormat kepada penonton.

“Terima kasih pada Minseok, selaku pemilik dan pengurus utama teater ini. Terima kasih kepada Hyemi, aktris yang sangat berbakat di sampingku ini. Terima kasih pada Minjoo dan semua kru tari, lighting, setting dan semuanya, kalian amat luar biasa. Terima kasihku yang paling besar, pada Luhan. Kau yang membantuku menjiwai peran Lou. Kau adalah Lou sejati bagiku.”

_

Luhan berjalan dengan kedua kruk di sampingnya menuju ke arah Sehun di belakang panggung. Gembira, bangga, semuanya campur aduk di hatinya. Samar ia mendengar suara-suara orang mengucapkan selamat, bersorak bersama, atau menangis haru bersama.

Semakin dekat, semakin jelas ia melihat Sehun. Di hadapannya ada Kang Hyunjae.

“..Sehun, kau amat berbakat. Pentas tadi sangat menakjubkan.” Puji Hyunjae.

Ya, Luhan setuju.

“Terima kasih.” Jawab Sehun sopan.

“Untuk peranmu tadi, aku memiliki tawaran bagus, anakku..”

Tawaran?

“Maaf, apa maksudmu?” tanya Sehun. Luhan mencoba tidak menguping namun rasa penasaran mengalahkan segalanya. Ia bersembunyi di balik rak-rak kostum.

“Aku ingin kau ikut aku ke Amerika. Aku ingin kau mencoba panggung broadway sungguhan di sana.”

AMERIKA?

Amerika, negara impian Luhan.

Amerika, yang Kang Hyunjae sekarang tawarkan pada Sehun.

Amerika..

_

Ini sudah bulan purnama entah ke-berapa semenjak hukuman itu dijatuhkan. Shia, yang tidak ingat apa-apa selalu merasa takut saat Lou berusaha bicara dengannya. Meski sudah berkali-kali dijelaskan, Shia justru merasa gila dan Lou hanya bisa dengan miris menyaksikan kekasihnya harus bolak-balik ke psikolog untuk mengecek kejiwaannya.

Malam ini, Lou masih akan mencoba.

Lou tidak akan pernah putus asa. Itu tekadnya.

Saat Shia hampir terlelap, ia memanggil namanya lembut.

“Shia..”

“...”

“Shia-ku yang cantik..”

“Astaga, suara-suara itu lagi!” Shia segera bangun, mengambil satu pil obat penenang di meja sebelahnya dan segera menenggaknya. Selalu begini. Maka ia selalu menyiapkan segelas air di meja kamarnya.

“Shia, berhentilah minum obat-obatan itu.. ini aku, Lou. Kau tidak gila.”

“KALAU AKU TIDAK GILA KENAPA AKU BISA BICARA HANYA DENGAN SEBUAH SUARA TANPA WUJUD, HAH?” Shia mulai lepas kendali. Perlahan, ia menarik dan membuang napas sesuai anjuran psikolognya, namun hatinya tetap tak karuan.

“Shia, hanya dengan ini aku bisa bicara denganmu. Kau tak tahu betapa aku ingin menemuimu langsung, tapi.. keadaan yang tak memungkinkan..”

“Kenapa kau harus selalu menggangguku, hah?”

“Aku hanya ingin kau tahu, Shia. Aku masih mencintaimu, meskipun kau melupakanku. Atau tepatnya, dihapus ingatannya tentangku.”

“Bila kau mencintaiku, bila kau benar-benar mencintaiku, berhentilah menakut-nakutiku seperti ini! Aku bisa gila, kau tahu!”

“Shia, aku hanya merindukanmu.. itu saja. Maaf..”

“Tapi aku tidak tahu siapa kamu. Aku berusaha sekuat tenaga mengingat siapapun itu kamu di masa laluku, tapi tetap tak ada jawabannya. Aku juga minta maaf.. tapi, aku tidak bisa begini terus. Aku ingin hidup tenang.” Isak Shia. Lou sedih, namun ia harus menerima kenyataan.

“Boleh aku minta satu hal lagi, Shia?”

“Iya, boleh.”

“Aku hanya ingin kau tahu..”

“Kau ingin aku tahu bahwa..”

“I love you. You’ll be forever in my heart.”

_

“LUHAN, TUNGGU!” Sehun dengan terburu-buru mengejar Luhan. Luhan jelas tidak akan memenangkan lomba lari ini, lihat saja kedua kruk di sampingnya. Sehun dengan cepat menyusul Luhan, lalu menghalangi jalannya.

“Luhan, ada apa denganmu?” Sehun bertanya, cemas. Luhan menunduk sedih, matanya mulai berkaca-kaca.

“Luhan, jawab! Kau kan tidak bisu!”

“LUHAN KALAU KAU TIDAK MAU JAWAB-”

“Jangan!” Hah?, Sehun bertanya-tanya apa maksud Luhan mengatakan jangan tapi dengan segera ia mendapatkan jawabannya. Luhan melepas kedua kruknya dan menjatuhkan diri ka arahnya, memeluk Sehun sekuat tenaga. Harus Sehun akui, jantungnya berdegup dahsyat dan wajahnya merona seketika.

“Jangan.. pergi.”

“Apa maksudmu?”

“Jangan pergi, ke Amerika. Tunggu dulu.. PERGILAH! PERGI SAJA KE AMERIKA!” kata Luhan, cepat berubah pikiran.

“Pergi ke Amerika? Untuk apa?”

“Mewujudkan mimpi teatermu, bodoh!”

“Untuk apa aku mau ke Amerika?” Sehun masih bingung.

“Kang Hyunjae mengajakmu, bukan?” tanya Luhan polos dan Sehun hanya bisa tertawa. “Tidak ada yang lucu, tahu!” Luhan meninju pundak Sehun ringan.

“Kau.. haha.. harus melihat ekspresimu tadi, ahahahaha..” Sehun berusaha menahan tawanya.

“Sehun, aku serius.”

“Luhan, tidak ada yang akan pergi.”

“Tapi, Kang Hyunjae sendiri yang mengajakmu dan kau harusnya-” Sehun mendengarkan Luhan dengan santai, kedua dahi mereka kini saling berimpit, Sehun menatap kedua mata Luhan yang ketakutan. Kedua mata besar itu kini makin membesar, dua jantung berdegup kencang, dua hati berirama.

“Tidak ada yang akan pergi..”

Sehun mengecup kening Luhan lembut, lama, seakan waktu di dunia ini berhenti dan astaga, Luhan sungguh-sungguh berharap waktu bisa berhenti.

“..karena kesempurnaanku ada di sini.”

_

TADAHHHH.. AKHIRNYA FF INI COMPLETE JUGAAAA.

TERIMA KASIH BUAT HUNHAN INSPIRASIKU, KOMPETISI INI DAN SEMUA YANG SUDAH MEMOTIVASI AKU MENULIS :)

AKU CINTA KALIAN, SARANGHAJA!!!

Chennaz

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
erunna #1
Chapter 6: ini apa? inniii appaaa??? why? whyyy??? the kiss!! at least let me see the real kiss, omg! 5 chapter dan hanya ciuman di dahi?? astaga, kau kejam T-T
dragonmafia #2
Chapter 5: Kesel banget kurang pangjaaaaaang aaaaaaaaaah
callaghan
#3
aku suka gaya nulisnya. Jangan di kasih tag .plis *apa.ini?*-*