Sempurna

The Understudy

Malam pementasan semakin dekat saja, sekitar dua minggu lagi.

Dua minggu lagi untuk Luhan berlatih dan membuktikan kemampuannya.

Dua minggu lagi untuk memberi kesan yang baik pada Kang Hyunjae.

Luhan tidak lupa meminum vitaminnya dan sesekali mencoba lari pagi di hari Minggu, demi staminanya. Tubuhnya, walaupun sempurna, sebenarnya sudah agak jarang dipakai berolahraga, semua karena pekerjaannya sangat menguras kebanyakan waktunya. Luhan sampai lupa segala hal yang dulu penting baginya. Salah satunya sepak bola. Dan alasan utama ia begitu mencintainya.

_

Luhan kecil sedang asyik bermain dengan sebuah bola yang baru saja dibelikan ibunya. Anak laki-laki harus bisa main bola, kata beliau. Oke, satu jam pertama Luhan hanya menatapi dan menendang-nendang bola itu sekenanya. Bola karet yang empuk itu, yang mungkin lebih cocok jadi mainan anak bayi, hanya berguling ke depan dan ke belakang. Sudah lama Luhan menunggu ayahnya pulang. Ayahnya janji akan mengajarkannya bermain bola.

Ini bukan yang pertama ayahnya tidak menepati janji. Tapi Luhan kecil dengan sabar memberi kesempatan demi kesempatan bagi ayahnya meski tak juga beliau berusaha untuk menyayangi Luhan dengan layak. Mau bagaimana lagi?

Waktu telah menunjukkan pukul 9.30 malam, ayah Luhan tidak juga pulang. Luhan kecil sudah dipaksa masuk rumah dari sore, namun masih saja memainkan bola itu. Ibunya hanya bisa tersenyum.

“Ibu,” panggil Luhan. “Bisakah Ibu bermain bola juga?” tanya Luhan, sorot matanya agak kecewa, lagi-lagi ayahnya tak pulang. Padahal ia sangat tertarik dengan bola itu.

“Tidak terlalu sih, tapi mungkin bisa ibu coba.” jawab ibunya.

“Benarkah?” Luhan berubah ceria seketika.

“Ya, setahu ibu, kau hanya perlu terus menendangnya dan lari ke depan, Sayang.”

“Maksudnya?” Luhan bingung.

“Dalam hidup ini, entah rintangan apapun yang menerpa, teruslah melihat ke depan demi cita-citamu, Luhan. Ibu sayang sekali padamu..” katanya bijak, setetes air mata jatuh di pipinya. Butuh sekitar 20 tahun kemudian bagi Luhan untuk memaknai kalimat itu, dan saat sudah bisa memaknainya, ia tak henti mencoba mengingat segala nasihat ibunya kala dulu demi motivasi. Luhan bukan yang paling senang akan pekerjaannya, lagipula.

“Kenapa Ibu menangis?” Luhan kecil segera saja memeluk tubuh kurus ibunya. Ibu Luhan pekerja keras yang selalu ingin membahagiakan keluarganya sampai melupakan dirinya sendiri, sifat yang menurun ke Luhan. “Maafkan Luhan, Bu. Luhan nggak ingin melihat Ibu nangis..” Luhan kecil ikutan berlinang air mata.

“Kamu satu-satunya sumber senyuman Ibu, Sayang. Terus kejar mimpimu, janji?”

“Luhan janji.” Kata Luhan mantap, mereka berdua berpelukan erat. Luhan mulai mempelajari sendiri sepak bola secara otodidak. Berlatih seharian hingga semasa SMP ia ditunjuk menjadi kapten tim sepak bola, hal itu berlangsung sampai SMA. Walaupun di SMA, waktunya terbagi dengan ekskul teater, klub bolanya tetap berjaya. Luhan selalu dikenal sebagai pemain bola terbaik sekolahnya; dengan tendangan yang keras dan trik yang apik, tubuh yang fit dan dicari hampir semua pencari bakat. Tapi itu bukan satu-satunya mimpi Luhan.

_

Lou tidak pernah merasa selengkap ini seumur ratusan tahun hidupnya. Lou memiliki hidup yang hampir sempurna. Tapi, sekarang ia yakin benar ia telah sempurna. Seutuhnya. Kesempurnaan itu sedang duduk di sampingnya, dengan kedua mata yang penuh rasa ingin tahu, masih sama dengan yang pertama kali dilihatnya, dengan senyum secantik bulan sabit dan kulit sebersih dan seputih selembar kertas. Rambut panjang, lurus nan hitam tertiup angin pantai selagi Lou menatapi sosok di depannya. Kesempurnaan bernama Shia, miliknya.

Langit senja mulai menampakkan dirinya, semburat jingga kemerahan mewarnai angkasa, angin bertiup semakin kencang, membuat Lou semakin erat mendekap Shia, yang dengan santainya bersandar, semakin tenggelam dalam pelukan Lou. Tidak ada yang terasa lebih sempurna.

Selain dua hati yang menjadi satu.

Berjam-jam dalam diam, dalam rasa nyaman dan tenang, akhirnya Shia angkat bicara.

“Lou, aku ingin bertanya.”

“Apa?”

“Apakah ada yang ingin kau tukar dengan saat ini?”

“Maksudmu?”

“Apabila kau bisa mengulang suatu saat terbaikmu, hanya untuk sekali saja namun kau harus kehilangan momen ini, apa kau akan melakukannya?”

Lama Lou terdiam. Bukannya tak tahu jawabannya, tapi hanya terdiam meresapi kata-kata Shia. Akankah ia menukar suatu saat keemasannya demi detik itu? Menit itu? Jam itu, hari itu dan tempat itu bersama Shia?

Dengan satu kecupan cepat di dahi Shia, Lou menjawab, “Tidak akan pernah. Inilah yang sempurna.”

Kedua mata Shia berkedip, bersinar semakin terang sampai-sampai Lou yakin ada bintang jatuh di kedua mata itu. Kalaulah dulu pernah ada ragu, kata-kata Lou tadi sudah cukup baginya menghapus semua ragu dan cemasnya. Ia dan Lou terasa sangat sempurna.

"Kamu sangat berbeda dari yang lain, tapi rasanya aku pernah mengenalmu di kehidupanku yang lama, kalau memang aku pernah hidup sebelum ini." Celetuknya, dan Lou hanya bisa tertawa. Berharap ia bisa membingkai saat itu, menghentikan waktu atau apalah agar bisa lebih lama bersama Shia. Matahari terbenam menambah kesempurnaan mereka berdua.

_

Hari ini Luhan berlatih lebih lama dari biasanya. Luhan percaya pada teori lima menit lebih lama dalam berusaha benar-benar akan berbeda hasilnya dengan usaha biasa(ia pernah baca ini di majalah). Jadi, dengan bodohnya ia tak menghiraukan gemuruh di langit dan suara rintik hujan di luar sana.

Tidak sampai rintik itu berubah menjadi hujan deras, dentuman air jatuh di atap Moonlight cukup menakutinya. Dia tidak bawa mantel. Tidak mungkin dia memaksakan diri naik motor dan pulang diguyur hujan. Itu sama saja bunuh diri. Itu sama saja ia menyerahkan peran Lou ke tangan Sehun dengan kedua tangannya sendiri. Tidak, Luhan tidak akan coba-coba.

Jadi, sebelum sempat membuka pintu keluar, ia melangkah kembali ke dalam, membuka lembaran dialognya. Tubuhnya sudah lelah menari, jadi ia duduk di salah satu kursi. Lampu Moonlight saat itu agak redup, tapi ia tetap semangat membaca dan menghapal naskah. Ia lagi-lagi tidak menghiraukan sekelilingnya, hingga ia mendengar lagu scene 7 diputar. Scene ini mengandung unsur tarian solo Lou, yang mengekspresikan perasaan bahagianya. Tarian ini tidak kalah melelahkan dari koreografi Minjoo lainnya.

Dan Luhan hanya bisa terbelalak menyaksikan gerakan-gerakan yang diajarkan Minjoo ditarikan dengan sempurna(harus diakui, sedikit lebih baik dari Luhan) oleh Sehun.

Beraninya dia, masuk Moonlight seenaknya.

Berlatih seenaknya.

Mengganggu Luhan seenaknya.

Tapi lihatlah kedua kaki jenjang itu dan wajah yang fokus itu menari dengan sempurna. Terlalu banyak kata sempurna dalam sehari dan Luhan mulai merasa agak pusing. Tak berkedip ia menyaksikan keseluruhan tarian itu, tanpa dia sadari. Saat musiknya selesai, Sehun tidak langsung duduk. Ia berdiri mematung di pose terakhir, menunduk lalu mulai berjalan menuruni panggung.

“Hei!” panggil Luhan.

“Hei, apa kau tuli? Apa kau bisu juga? Jawab aku!” sembur Luhan, berusaha menghentikan langkah Sehun meninggalkan Moonlight.

“Tidak.”

“Baguslah kau bisa bicara. Astaga, ini aneh sekali. Kau datang di tengah hujan lebat, memperagakan scene 7 dengan sangat jelek lalu ingin pergi begitu saja? Kau pikir kau ini siapa?” Luhan merasa kesal dengan kalimatnya sendiri tapi ia lebih kesal lagi dengan wajah datar Sehun yang tak berkerut sedikitpun, menatapnya balik, dengan dahi yang dikerutkan pertanda bingung.

“Aku sibuk seharian, baru bisa latihan tadi saja dan shift ku di kafe sebentar lagi.” Jelasnya. Luhan tetap tidak puas.

“Terus?”

“Hmm, aku tidak punya alasan lain.”

“Astaga, kau ini. Tidak bisa dipercaya..”

“Mereka sangat salah, ya.” Komentar Sehun.

“Mereka siapa? Salah tentang apa?”

“Katanya kau baik dan menyenangkan.”

“APA MAKSUDMU, HAH?” bentak Luhan, semakin emosi saja.

“Kau sendiri kenapa di sini sampai malam?”

“TIDAK BOLEHKAH PEMERAN UTAMANYA BERLATIH LEBIH KERAS?” kata Luhan tak sabar.

“Aku hanya pikir.. kau menanyakan keberadaanku di sini jadi sewajarnya aku juga menanyakan hal yang sama.”

“Terserah kau sajalah. Aish, dingin sekali pula! Aku butuh kopi..” keluh Luhan.

“Terserah kau juga, sih.. tapi hujan sudah reda dan kafeku berjarak 10 menit dari sini.. tenang saja aku tidak berpikiran untuk meracuni kopimu, kok.” kata Sehun masih dengan ekspresi datarnya.

“ASTAGA SALAH MAKAN APA KAU INI?”

_

Kau bisa panggil Luhan gila sekarang. Tapi beberapa menit setelah Sehun meninggalkan Moonlight, ada rasa sepi yang sangat aneh mengisi hati Luhan. Luhan mencoba tak menghiraukannya(dia rasa dia cukup ahli dalam tak menghiraukan hal) tapi ternyata dia salah. Ia mengutuk dirinya sendiri, mengapa pula ia memikirkan Sehun si bocah tengil itu? Apa dia sudah sampai di kafe dengan selamat? Apa dia butuh bantuan? Jadi tanpa terlalu pikir panjang ia menyusul Sehun ke Moon/Sun Cafe dalam kurang dari 10 menit, melesat bagai kilat.

Sehun tidak menyambut Luhan seramah Jongdae. Ia hanya tersenyum tipis, tak lebih dan tak kurang. Sehun juga tidak semahir Jongdae dalam membuat kopi. Capuccino Jongdae lebih nikmat menurut Luhan. Tapi seakan ada sesuatu yang menahan Luhan di kursinya. Mungkin saja dia masih ingin mencari kekurangan Sehun atau dia benar-benar bosan, tapi dia sudah setengah jam lebih hanya menyeruput kopi pelan sambil sesekali melirik ke arah Sehun. Yang dilirik tidak repot-repot merespon. Saat ada pelanggan lain datang, sikapnya pun sama dinginnya dan Luhan jadi agak bersyukur bahwa dia bukan satu-satunya.

Tak terasa sudah pukul 1 dini hari dan Luhan masih di tempat duduknya, sabar mengawasi Sehun bagai elang mencari mangsa. Makin lama, efek kafein kopi pada tubuh Luhan menghilang dan Luhan mulai menyandarkan kepalanya di meja, matanya perlahan terpejam.

Satu detik, dua detik.

Satu menit, dua menit.

Apa ia sudah terjatuh di alam mimpi?

“Tolong jangan membenciku.” Kata sebuah suara yang diyakini Luhan adalah suara(tak lain dan tak bukan)Sehun. Luhan mendengarkan, tapi masih pura-pura tertidur.

“Aku tidak bermaksud merebut apapun darimu. Aku juga tahu peran ini sangat penting bagimu. Tapi setidaknya kau tahu ceritaku dulu..” mulai Sehun. Cerita apa?

I need another story

Something to get off my chest

My life gets kinda boring

Need something that I can confess

“Aku tidak terlalu berbeda denganmu. Akting dan teater juga dunia pelarianku. Bekerja di sini pun hanya kedok yang kubuat. Aku lelah dengan hidupku yang terlalu lurus dan tak berwarna. Lalu aku menemukan Moonlight. Lalu kubeli tanah ini dan kuberi nama kafe ini Moon/Sun dan kupekerjakan Jongdae bersamaku. Aku menyembunyikan identitasku bahkan darinya. Bos kami yang sebenarnya tidak pernah hadir secara langsung, karena itu sama saja membuka kedokku. Aku masih mencari kesempurnaanku, tidak seperti Lou yang sudah sempurna..”

TUNGGU DULU!

Sehun.. adalah pemilik kafe ini?

'Til all my sleeves are stained red

From all the truth that I've said

Come by it honestly I swear

Thought you saw me wink, no

I've been on the brink, so

“Kurasa aku tidak seharusnya bicara padamu tentang ini. Membuka rahasia-rahasia besar pada seorang yang tidak kukenal sama sekali, tapi entah kenapa.. senang rasanya aku bisa membagi rahasia ini. Walaupun kau tertidur dan mungkin tidak akan mengingatnya esok pagi..”

Tell me what you want to hear

Something that will light those ears

Sick of all the insincere

So I'm gonna give all my secrets away

“Kau tahu? Kadang dunia ini terlalu dipenuhi kebohongan. Aku benci itu, tapi aku sendiri membohongi orang lain. Lucu ya? Tapi rasanya, aku tidak bisa peduli lagi. Apa yang sudah aku lakukan dan apa yang kupilih tidak kulakukan, begitulah adanya hidup. Tidak bisa diganti atau diulang. Bukan begitu, Luhan?”

This time don't need another perfect lie

Don't care if critics ever jump in line

I'm gonna give all my secrets away

Sehun mengambil jaketnya yang tergantung di pojokan, lalu diletakannya di pundak Luhan, menyelimuti sosok laki-laki yang terlalu cantik itu yang sudah benar-benar terlelap dengan segelas kopi yang tinggal setengah di sampingnya. Sehun mendadak tidak lagi terlalu membenci shift malamnya.

_

Lou terbangun di tempat yang aneh. Ia tidak ingat tempat ini adalah bagian dari istananya di angkasa. Tempat ini kecil, dengan hiasan bunga-bunga di sekelilingnya, dengan wangi segar dan suasana damai menyelimutinya.

Ini jelas-jelas bukan tempat yang familiar baginya.

Butuh waktu lama bagi Lou untuk menyatukan semua fakta, hingga ia dapat menyimpulkan tempat ini adalah kamar Shia.

Yang disebut tak lama kemudian memasuki kamar dengan sebuah nampan berisi sarapan lengkap dengan sepotong bunga mawar.

“Pagi, Lou.”

“Pagi, Shia..” Lou menjawab dengan terbata-bata.

Semuanya terlalu cepat berjalan, membuat kepala Lou terasa berputar-putar tujuh keliling. Seperti naik roller coaster. Seperti terombang-ambing di tengah lautan bebas. Seperti jatuh bebas dari ketinggian jurang. Seperti menyeberangi samudera yang dalam.

Dan tidak sedikitpun Lou keberatan.

Senyum Shia menemaninya menghabiskan sarapan pagi itu. Sempurna.

_

Hello babies. Minggu ini amat fenomenal yah.. sibuk melanda. Minggu depan apalagi, dan aku nggak yakin bisa update.

TLPinIndonesia, asdfghjkl.

Sementara aku terpaksa ke kawinan sepupuku.

Tak dapat bertemu dengan bias-biasku :( Setidaknya kita melihat langit yang sama..

Oke ini mulai gak penting. Yaudah. Bay.

Anyways, lirik di atas adalah Secrets by One Republic and it happened to be one of my fav songs I mean have you seen Sorcerers Apprentice? Well yeah that'll explain everything..

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
erunna #1
Chapter 6: ini apa? inniii appaaa??? why? whyyy??? the kiss!! at least let me see the real kiss, omg! 5 chapter dan hanya ciuman di dahi?? astaga, kau kejam T-T
dragonmafia #2
Chapter 5: Kesel banget kurang pangjaaaaaang aaaaaaaaaah
callaghan
#3
aku suka gaya nulisnya. Jangan di kasih tag .plis *apa.ini?*-*