Dia

The Understudy

Luhan menyukai banyak hal. Sepak bola, akting, menyanyi, menari, melihat bayangan dirinya sendiri di cermin, aroma kopi di pagi hari, bangun siang di akhir pekan, drama Korea yang cengeng tapi kadang sejalan dengan cerita hidupnya dan masih banyak lagi. Di antara hal-hal yang disukainya, ekonomi sama sekali tidak ada dalam daftar.

Namun, Luhan hanya bisa meneguk lebih banyak kopi hitam yang pahit(mungkin sepahit hidupnya) –entah sudah gelas ke-berapa malam itu, dengan tumpukan kertas berisi angka-angka yang asing di mejanya dan layar laptop yang tak berhenti berkedip di depan matanya.

Antara hidup dan mati, Luhan tidak yakin lagi.

Setidaknya, sampai nanti jam menunjukkan pukul 11 malam, saat jam lemburnya selesai dan ia bisa keluar dari penjara bernama Lu Corps, kantornya. Jika kau pikir Luhan sebagai anak direktur utama sekaligus pendiri perusahaan itu akan dengan mudah meraih jabatan tinggi, kau salah. Ayah Luhan bukan tipe orang yang peduli dengan putra satu-satunya bernama Luhan dan ia juga tidak begitu ambil pusing dengan penerus perusahaan berkeuntungan jutaan dollar Amerika setiap tahunnya itu. Luhan, tidak seperti ekspektasi orang, mengikuti prosedur melamar kerja seperti pegawai lainnya di kantor itu, bekerja keras siang dan malam demi posisi secuilnya jika dibandingkan dengan ayahnya. Jangan harap Tuan Lu akan menyapa putranya saat berpapasan.

Untuk apa, dari semua pekerjaan di dunia ini, Luhan memilih pekerjaan yang berhubungan dengan ayahnya? Pekerjaan yang gedung kantornya saja ada di kota yang lain dari kota Luhan tinggal, yang harus ditempuhnya dalam 1 jam perjalanan setiap harinya. Mungkin pengakuanlah yang Luhan cari. Kedua orang tuanya sudah lama bercerai dan ia tinggal dengan ibunya saat masih anak-anak. Mungkin ia ingin mencari figur seorang ayah yang lama kosong di hidupnya. Mungkin ia ingin ayahnya menonton pertandingan sepak bolanya, walaupun agak terlambat sekarang. Tapi setidaknya, Luhan tetap berjuang.

Tapi tak bisa dipungkiri, itu semua bukan hasratnya.

Luhan, selama 24 tahun hidupnya sadar betul bahwa darah akting dari ibunya mengalir deras di sekujur tubuhnya. Luhan selalu ingin menjadi aktor. Itu, dia tahu pasti.

Seandainya saja dunia bisa diajak berkonspirasi untuk mewujudkan mimpinya itu. Selama ini, hanya rintangan dan halanganlah yang menghampiri hasrat aktingnya.

Jadi Luhan bertahan. Membuka matanya besar-besar(meski kedua matanya sudah cukup besar) melawan rasa kantuk yang menerpa, meneruskan mengetik, menghitung, menulis dan menghabiskan waktunya di penjara itu. Penjara yang dia panggil hidupnya.

_

Di kota kecil(sebenarnya tidak terlalu kecil) tempat Luhan tinggal, ada sebuah teater bernama Moonlight. Letaknya tidak jauh dari apartemen sederhana milik Luhan –properti dari gaji seadanya, dekat alun-alun kota, tidak ramai dan tidak juga sepi. Tempat itulah rumah Luhan yang sebenarnya.

Luhan menemukan tempat ini di suatu sore, saat ia baru pindah. Ia sedang mencari toko swalayan dan tidak sengaja menyadari keberadaan gedung yang cukup kuno namun megah itu berdiri di depannya, seakan memanggil namanya.

Lama Luhan menatapi gedung itu, kemudian ia pun memasukinya.

Semenjak itu, Luhan tidak pernah absen mengunjungi tempat ini seharipun. Itu rumah keduanya(teorinya sih begitu), namun rumah sejati hasratnya.

Tidak berbeda dengan hari ini. Sabtu yang cerah, hari di mana Luhan bisa pulang lebih awal, kemudian ia langsung bergegas menuju Moonlight. Ia tidak menghiraukan peluh yang menetes di dahinya selagi ia mempercepat laju sepeda motornya. Jarak Moonlight dari kantornya cukup jauh, namun Luhan semangat sekali, senyum lebar mengembang di wajahnya.

Bagaimana tidak? Semalam, ia ditelepon Kim Minseok, pemilik teater sekaligus sahabatnya yang mengatakan bahwa ia ditunjuk langsung untuk memerankan sebuah peran utama pria, dan bukan untuk judul drama sembarangan. Kang Hyunjae, seorang penulis drama terkenal di Korea, kebetulan lahir dan besar di kota itu. Kini ia kembali dengan misi mementaskan salah satu naskahnya, di teater tempatnya menggali inspirasi di awal karirnya, sebagai semacam bakti untuk kotanya. Ia ingin membesarkan nama teaternya dan menyorot aktor dan aktris berbakat di sana. Luhan salah satunya.

“Lu, kamu nggak akan percaya!” Minseok meracau tak jelas.

“Penting? Aku ngantuk, nih. Dah..” jawab Luhan malas, hampir menutup teleponnya.

“KANG HYUNJAE, LUHAN. KANG HYUNJAE YANG SANGAT PENTING DI MATA KITA BERDUA!”

“KENAPA? KENAPA DENGANNYA?” Luhan ikutan bersemangat mendengar nama yang disebut.

“Ia sepertinya sudah menonton beberapa judul pentas kita di internet.. dan dia.. dia..” Minseok menarik napas, menunda-nunda hingga tak karuan Luhan dibuatnya. Napasnya memburu, detak jantung berdebar-debar, mulut kering dan tak bersuara.

“..dia menunjukmu langsung untuk memerankan salah satu naskah tulisannya.”

Hidup Luhan tidak bisa lebih baik lagi.

Atau setidaknya, itu menurutnya.

_

영원히 내 마음에(Forever In My Heart)

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang dewa bernama Lou. Lou adalah dewa yang sempurna, yang dikagumi seluruh dewa-dewi lainnya, bahkan manusia dan hampir semua makhluk hidup yang ada.  Wujud dewa Lou menyerupai seorang manusia yang sangat tampan, dengan wajah yang tak ada satupun kekurangannya; dagu kecil meruncing, bibir tipis yang lucu sekali jika sedang merengut, hidung yang mancung serta sepasang mata yang besar dan lugu.

Kemampuan Lou beragam, ia cerdas, bijaksana dan kuat.

Selain dikagumi, tentu saja banyak yang juga iri padanya. Lou tidak pernah mengerti mengapa. Karena ia sendiri selalu merasa tidak sempurna. Bahwa di dalam dirinya, ada sebuah lubang yang menganga lebar yang hingga kini tidak ada penutupnya.

Lubang itu, jika dilihat lebih seksama, ternyata adalah isi hatinya sendiri. Hampa.

Lou tidak pernah berpikir ia akan merasa hampa. Dengan semua penggemar dan sahabatnya, ia yakin tidak akan merasa hampa. Tapi kini, ia terdiam sendiri. Hampa jelas terpancar dari dirinya.

Lalu ia berkelana. Ia menjelajahi semua tempat yang ia tahu, mencoba mencari apa yang selama ini terlewatkan dalam hidupnya. Di hari ke-100 pencariannya, ia bertemu dengan seorang perempuan di bumi. Singkat kata, ia jatuh cinta pada pandangan pertama.

Doanya pun terjawab saat sang pujaan menyimpan rasa yang sama. Mereka berdua saling menyayangi, meski sang perempuan cantik, Shia yang pendiam, mengetahui pasti Lou bukan manusia.

Ujian datang saat dewa tertinggi tidak merestui hubungan mereka. Lou dan Shia berusaha mempertahankan cinta mereka. Namun, keputusan sudah diambil. Lou dihukum, yaitu dengan tidak boleh mengunjungi bumi lagi. Ingatan Shia tentang Lou dihapus. Tapi, Lou diberi sedikit keringanan. Ia tetap bisa mengawasi Shia dari atas langit, terutama saat bulan purnama, saat ia bisa semenit bicara pada Shia, meski Shia tidak menghiraukannya(dia pikir di rumahnya ada hantu). Dengan segenap cintanya yang tulus, Lou tetap menjaga Shia, menunggu setiap bulan purnama untuk mengatakan ia masih mencintai Shia sepenuhnya, melihat Shia hidup bahagia, meski dengan manusia lainnya. Cinta Lou pada Shia bertahan untuk selamanya, terukir di bulan purnama.

_

Sinopsis yang sangat klise, pikir Luhan. Luhan tahu betul siapa Kang Hyunjae dan tulisan yang dibacanya sama sekali bukan cerita yang khas Kang Hyunjae –sekelas Romeo dan Juliet, atau komedi yang menyindir nan menggelitik, atau cerita sejarah yang menakjubkan. Cerita ini, hanya sebuah cerita cinta biasa. Luhan ragu. Namun, Luhan(dengan bakat aktingnya) mengangguk-angguk meyakinkan, berusaha kelihatan sedang meresapi naskah yang dipegangnya. Hampir lima menit sejak naskah itu berada di tangannya dan nampaknya Luhan belum tertarik untuk membalik halamannya. Menggantung. Mungkin seperti itulah perasaannya.

“Jadi?” Minseok menatap Luhan, tak pasti.

“Erm.. aku jujur nggak tahu harus komentar apa.” Luhan mengedikkan bahunya, kemudian menjatuhkan diri duduk di salah satu bangku berwarna merah yang biasa ada di teater-teater.

“Kamu bisa bilang ceritanya bagus?” saran Minseok asal.

“..nggak juga sih.” Jawab Luhan jujur.

Well, ini naskah pertamanya sih, bisa dibilang..” Minseok beralasan, “..dan yah, dia masih ditolak beberapa kali sebelum pentas perdananya.”

“...”

“Dan ini terinspirasi dari nama teater kita, Moonlight. Dulu masih dikelola ibuku saat dia sering ke sini.” Minseok menambahkan.

“Oh.” Kedua pria itu terdiam canggung.

“Aku tahu ini bukan seperti drama lain yang pernah kau perankan..”

“Yang jelas bukan yang aku harapkan.” potong Luhan tegas. Ia selalu bermimpi memerankan salah satu tokoh sejarah di cerita Kang Hyunjae atau menjadi komedian cerdas sekalipun, tapi sebagai dewa yang terkesan lemah dan cengeng?

“..atau apalah itu yang pernah kau baca, tapi.. tapi ini Hyunjae. Kang Hyunjae, Luhan. Buat dia terpukau semalam saja dan esoknya, kau bisa kabur dari penjaramu! Kau bisa hidup bebas, Luhan! Di duniamu, dunia yang benar-benar kau inginkan!” terang Minseok panjang lebar. “Kau tidak akan merelakan peran ini begitu saja, kan?” tanya Minseok, meski lebih terdengar sebagai pernyataannyalah yang membutuhkan konfirmasi. Minseok menunggu Luhan menjawab, tak sabar. Moonlight sempat diam tak bersuara selama sepersekian detik, seakan suara jarum jatuhpun akan terdengar nyaring di telinga.

“Tentu tidak, Minseok. Mari kita pukau dia.” Kata Luhan mantap, meski belum juga membuka halaman dialog selanjutnya. Terserahlah. Memainkan peran ini tidak akan menyulitkan. Repot sedikit demi masa depannya, Luhan rasa itu setimpal.

_

Sepanjang sore, Luhan melatih beberapa dialog di depan Minseok. Minseok banyak memberikannya masukan, supaya ia terdengar lebih menghayati(ini agak sulit, Luhan belum mendapatkan koneksi apapun dengan tokoh Lou). Luhan ingin tertawa hampir di setiap kalimat, namun.. Luhan yang setiap hari bagai robot bekerja siang dan malam berbeda dengan Luhan yang berakting, menyanyi dan menari. Luhan yang sekarang adalah Luhan yang kedua. Fokus, semangat, berkarisma.

Saat jam menunjukkan pukul 8:30, sayangnya, Minseok izin pulang lebih dulu. Selain memiliki teater, ia juga punya bisnis lain yang harus diurusnya –restoran makanan Korea milik ayahnya dan toko buku miliknya sendiri(Minseok lahir di keluarga pebisnis). Luhan tinggal sendiri di teater sampai sejam berikutnya, saat dia memutuskan ingin segelas kopi hangat.

Dia akhirnya meninggalkan teater dan mengendarai motornya ke arah kafe terdekat dari teater itu.

Moon/Sun Cafe

Kopi, Kue dan Es Krim

BUKA 24 JAM

Lambang bulan dan matahari menghiasi jendela kaca kafe tersebut.

Ada apa dengan bulan? Terlalu banyak nama-nama bulan di hidupku, pikir Luhan geli.

Luhan mengintip ke dalamnya sebentar, menghela napas lega mengetahui kafe kecil itu masih buka. Seorang pelayan, laki-laki yang nampaknya seumuran(atau lebih muda darinya, ia tidak yakin) dengannya sedang mengelap gelas-gelas kopi di sudut meja kasir.

“Malam, saya Jongdae. Mau pesan apa?” sang pelayan bicara, suaranya merdu sekali meski hanya bicara, matanya masih menatap gelas di depannya tapi ia tersenyum ramah, segera menghampiri Luhan dengan selembar kertas bertuliskan daftar menu kafe itu.

Luhan, mungkin setengah mengantuk dari dialog-dialog tadi, justru memperhatikan kertas di tangannya, bukan isi tulisannya. Kertasnya semacam kertas karton berwarna kecokelatan, ditulis tangan dan di-laminating. Ujung-ujung plastik laminating di kertas itu masih lancip, mungkin menu baru. Sebelum asumsi Luhan berjalan makin jauh, Jongdae berdehem (lagi), “Bisa saya bantu?”

Luhan agak terkejut dan dengan cepat mengucapkan ‘Capuccino hangat, please.’ dan tanpa babibu duduk di salah satu kursi untuk pengunjung. Jongdae terkekeh sebentar sebelum menghilang di balik mesin pembuat kopi, mulai membuat pesanan Luhan. Deru halus mesin penggiling kopi menemani lamunan Luhan.

Kafe ini cenderung feminin, Luhan perhatikan. Meski warna cokelat mendominasi temboknya, kursi bulat-bulat putih, meja kayu yang juga bulat-bulat dan beberapa vas bunga dan bunganya(yang juga bulat-bulat) menghiasi keseluruhan ruangan.

Luhan cukup terkesan dengan kafe ini.

Kemudian, Jongdae kembali dengan segelas capuccino di gelas plastik untuk pembeli yang ingin kopinya dibawa pulang. Luhan bingung.

“Apa kafe ini akan ditutup?” tanyanya bingung.

“Kau tidak baca tulisan di depan?” jawab Jongdae santai, sambil mengenakan jaket kulit hitamnya.

“Kau tampak seperti ingin pergi..”

“Memang aku akan pergi, shift ku sudah selesai.”

“Oh.” Jawab Luhan malu-malu.

“Pintunya tidak akan dikunci, kok. Kau kukasih gelas plastik supaya lebih mudah jika kau ingin pulang sebelum kopimu habis. Ada plastik di ujung meja, aku rasa kau bisa mencarinya sendiri.” Jelas Jongdae lagi.

“Terima kasih.” Luhan tersenyum tulus.

“Baiklah, sampai jumpa!” seru Jongdae sambil berjalan ke arah pintu. Luhan mengamati tubuh Jongdae melewati pintu kaca, menjauh, berbelok sedikit, kembali terlihat namun sedang menumpangi sebuah sepeda motor, lalu kembali menjauh, meninggalkan Luhan dengan pikirannya.

Luhan tidak yakin apa maksud Jongdae meninggalkan kafe ini begitu saja dengan seorang yang baru saja ia kenal. Tapi Luhan yakin ia belum ingin meninggalkan tempat ini. Ia kembali menyeruput kopinya pelan-pelan, membiarkan aromanya menggelitik hidungnya, menghangatkan dirinya di kedinginan malam. Sekitar 10 menit kemudian, kopinya sudah habis(ia ingin lagi tapi siapa yang akan membuatkannya sekarang?). Luhan melirik ke seluruh penjuru kafe sebelum memutuskan mungkin tak apa ia pergi. Jongdae saja santai. Luhan membuang gelas plastiknya ke tempat sampah lalu berjalan ke pintu. Ping, ponselnya berbunyi. Ia mengeluarkan ponselnya dan mengecek sms masuk. Ternyata Minseok. Ternyata dia sudah berkali-kali mencoba menghubungi Luhan lewat sms. Luhan merasa sedikit bersalah tapi, hei, bagaimana jika kau salahkan saja kopi buatan Jongdae yang sempurna?

Maka Luhan terus berjalan tanpa menyadari ada seseorang di depannya. Seseorang yang jauh lebih tinggi darinya, berambut cokelat lurus, lebih terang dari rambut cokelatnya dan orang itu sedang menatap Luhan heran. Sepersekian detik berikutnya(yang tidak disadari Luhan), ia sudah menabrak laki-laki itu -mirip adegan di salah satu K-drama yang baru ditonton Luhan. Suara kunci jatuh menghantam lantai menyadarkan Luhan, yang langsung mengesampingkan ponselnya.

“Oh, maaf.” Luhan berinisiatif mengambil kunci yang sekarang tergeletak begitu saja di lantai(yang bukan kuncinya) lalu menyerahkannya pada laki-laki di depannya.

“Pembeli macam apa yang tinggal di kafe saat bahkan tidak ada pegawai? Apa kau tidak punya pekerjaan?”  kata orang itu, jutek. Mata Luhan terbelalak. Ia pikir laki-laki di depannya ini lebih pendiam, atau setidaknya sopan. Tidak sedetikpun ia menyangka akan mendapatkkan sapaan yang justru seperti itu.

“Pembeli yang membayar! Jelas aku bebas melakukan apa yang aku mau, pembeli kan raja!” kata Luhan, mendengus kesal lalu ambil langkah seribu ke sepeda motornya. Laki-laki itu memasuki kafe, tidak menghiraukan Luhan dan perasaan sebal Luhan kepadanya. Laki-laki itu mengenakan celemek bertuliskan namanya, Oh Sehun, dan mulai bekerja.

Ada pembeli yang sangat cocok dengan tipemu, maka aku pulang lebih dulu, biar kau bisa berduaan.

                                                                                                                                                                                Jongdae

_

AUTHOR'S NOTE : Bahahahaha.. first chappie, yehet. Semoga tidak begitu membosankan, ya. Oh dan Chen, oh my.. lol. I just love him so much, kekeke. Keren ya hangeul hasil google translatenya? Aku jadi terkesan pintar kan hihihi :3

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
erunna #1
Chapter 6: ini apa? inniii appaaa??? why? whyyy??? the kiss!! at least let me see the real kiss, omg! 5 chapter dan hanya ciuman di dahi?? astaga, kau kejam T-T
dragonmafia #2
Chapter 5: Kesel banget kurang pangjaaaaaang aaaaaaaaaah
callaghan
#3
aku suka gaya nulisnya. Jangan di kasih tag .plis *apa.ini?*-*