Cinta Tak Pernah Adil

The Understudy

Ada banyak sekali hal aneh yang pernah dialami Luhan selama ini.

Seperti saat ia benar-benar dikira seorang anak perempuan waktu TK(Dia bahkan tidak pakai rok! Salahkan baju blus biru pastelnya yang terlalu feminin dan ibunya yang belum sempat mengajaknya ke tukang cukur rambut). Itu jelas-jelas aneh, dan Luhan merasa agak dendam pada gurunya yang memasukkannya di grup anak perempuan.

Atau saat ia pertama kali dimintai tanda tangan di SMA, oke, mungkin jabatannya sebagai kapten tim sepak bola sedikit banyak(atau seluruhnya) amat berpengaruh. Yang satu ini sebenarnya cukup keren tapi pada awalnya Luhan juga bingung kenapa pula dia punya sebuah klub penggemar sendiri yang terdiri dari adik-adik kelas bahkan teman seangkatannya yang asal kau tahu saja, sangat berdedikasi dan sampai sekarang masih suka mengirimkan kado di hari ulang tahun Luhan. Itu juga aneh.

Tapi, pagi ini Luhan bangun dengan perasaan paling aneh sedunia.

Perasaan yang rasanya nyata, biasa diucapkan dan dianggap remeh, namun dahsyat menerpa hati Luhan, seperti bunga yang baru merekah. Segar, hidup dan cantik.

Luhan bahagia. Entah mengapa.

Mungkin butuh segelas kopi lagi atau bahkan satu dua tamparan di pipinya untuk benar-benar membangunkannya, tapi tanpa kedua hal itu buktinya sekitar 5 menit kemudian, Luhan kembali ke alam sadarnya.

“DI MANA AKU?” panik, Luhan meneliti sekelilingnya. Nampaknya ia tertidur di kafe semalam, dengan posisi terduduk dan ouch, lehernya baru terasa sakit sekarang. Cahaya matahari belum sepenuhnya menerangi kafe, mungkin baru sekitar pukul 6 pagi(aneh, ya) dan astaga, jaket siapa yang ada di pundaknya ini?

Luhan benar-benar bingung harus apa, tapi ia mencoba menarik napas untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu, bersyukur bahwa setidaknya pakaiannya masih melekat utuh padanya, barang-barangnya juga masih di sisinya dan ia sama sekali tidak terluka.

Memberanikan diri, Luhan berdiri lalu melangkahkan kakinya masuk ke belakang konter, mengarah ke dalam dapur kafe itu.

“Permisi.. apa ada orang di sini?” tanya Luhan takut-takut.

“Halo...” panggilnya lagi. Luhan terus menjelajahi dapur yang ternyata cukup luas itu, dengan 2 pintu di sisinya. Yang satu pintu keluar dan yang satu sepertinya pintu penyimpanan bubuk kopi dan bahan-bahan kopi lainnya seperti krimer, gula dan cokelat(sejak kapan Luhan begitu peduli?).

“Kau sudah bangun.” Kata sebuah suara dari belakang Luhan.

“AAARGH!” Luhan menjerit sekuat tenaga. “Aaa...” menyadari bahwa tidak ada tanggapan atas teriakannya ataupun ada yang berusaha melukainya, Luhan memelankan suaranya lalu menoleh ke sumber suara yang ternyata adalah Sehun.

“Sudah selesai teriaknya?” tanya Sehun datar. Sedatar ekspresi wajahnya.

“Erm, i-iya.” Astaga kenapa pula Luhan harus bicara tergagap-gagap begitu? Biasa saja, Luhan. Biasa saja. Pura-pura saja Sehun di pagi hari bukan pemandangan paling indah yang pernah kau lihat, kau kan pintar akting. “I-ini jaketmu, ya?” Luhan menyodorkan jaket di tangannya ke Sehun. Kenapa tanganku pun ikut gemetar?, Luhan jujur tidak mengerti.

“Hm.” Jawab Sehun, menerima jaketnya lalu melipatnya rapi dan disampirkan di tangan kirinya. Sepertinya Sehun ini punya masalah dengan komunikasi. Sesekali ia bisa menumpahkan seluruh rahasianya, lain waktu ia bisa diam seribu bahasa, tsk.

Astaga.

Rahasia itu!

Eh, apa Sehun ingat ya kalau semalam dia menceritakan itu? Haruskah kubicarakan?, batin Luhan.

“Akan kubuatkan kopi. Tenang saja, gratis.” Sehun langsung menghambur ke arah mesin kopi. Untuk sepersekian detik Luhan tersenyum karena kepeduliannya namun kemudian ia baru saja menyadari kalimat selanjutnya. Dasar kurang ajar, dipikirnya Luhan tidak punya uang.

Mungkin dia kaya dan bisa seenaknya tapi Luhan juga bekerja dan ia jelas-jelas punya uang.

Oh Sehun.

Aneh.

Pendiam.

Misterius.

Tapi menarik???

_

Kopi hitam di pagi itu bukan favorit Luhan.

Tapi, bisa jadi momen pagi itu adalah favorit Luhan.

Oke, Luhan jelas-jelas bukan orang yang suka bangun pagi, mengamati matahari terbit dan duduk di singgasananya, menghirup udara segar dengan membuka jendela atau segala macam yang seperti itu. Luhan BENCI bangun pagi. Kecuali ia ada pentas atau latihan sepak bola.

Orang selalu berubah, begitu juga Luhan. Ia belajar menyukai pagi hari. Begitu juga Sehun. Dia..

Pagi ini, Luhan diam mendengarkan Sehun berceloteh tentang matahari. Sehun yang dingin lenyap entah ke mana digantikan oleh Sehun yang ramah dan penuh tawa. Luhan sampai mencubit lengannya beberapa kali untuk meyakinkan ia tidak sedang bermimpi dan yap, itu lumayan sakit, jadi Luhan seratus persen bahwa dirinya sedang terbangun.

“..menurutku kehidupan SMA itu sangat menyebalkan. Aku bersyukur aku sudah melewatinya 2 tahun lalu. Aku merasa sangat bebas, kau tahu?” cerocos Sehun.

“Tunggu dulu, 2 tahun lalu?” selidik Luhan.

“Iya, memang kenapa? Aku kan kelahiran 1994.” Jawab Sehun santai.

“Astaga, kau bahkan lebih muda dariku! Kau harus panggil aku hyung!”

“Hah? Kau setua itu? Tidak kusangka.”

“Heh, sopanlah sedikit! Kau ini..” Luhan mulai tak sabar. Anak ini memang aneh dan tidak sopan, ya.

“Jadi.. seperti yang kubilang tadi, menurutku kehidupan SMA itu sangat menyebalkan, bukan begitu Luhan?”

Hyung, Luhan hyung!”

“Terserah kau.”

HYUNG!” kata Luhan gemas.

_

Hari itu hari Minggu yang berarti latihan dimulai lebih pagi. Luhan dan Sehun berangkat bersama ke Moonlight dan tiba pukul 10 lewat sedikit. Semua pasang mata terkesiap saat Sehun dengan lugunya mengikuti(atau tepatnya mengekor pada) Luhan memasuki teater. Apalagi Minseok. Jelas saja, dia bahagia semua krunya mulai akrab, tapi dia sudah kenal Luhan cukup lama untuk tahu Luhan bukanlah orang yang paling mudah untuk diajak bicara. Tapi kini Sehun sudah menempel terus pada Luhan, saling menimpali dan menertawai seakan mereka kawan lama.

“Jadi, tunggu apa lagi? Ayo latihan, semua pada posisinya. Kita rolling dari scene 1!” komando Minseok. Luhan segera melompat ke atas panggung sementara Sehun dengan cuek duduk di salah satu kursi, menyaksikan gladi resik Luhan dan sesekali bertepuk tangan.

Luhan selalu tampil berbeda dan berkarisma di panggung. Tapi hari ini, auranya terpancar lebih hangat, lebih indah. Pipinya bagai merona dan suaranya seperti alunan musik klasik. Tariannya ditampilkan seperti tanpa beban. Gladi resik hari itu bisa dibilang merupakan penampilan terbaiknya. Bukan, penampilan terbaiknya bukanlah di pentas terakhirnya -ataupun saat ia masuk sebuah artikel koran sekalipun. Ia yakin, hari inilah, di panggung sederhana nan syahdu Moonlight, ditemani peluh dan semangat segenap kru dan sahabatnya serta para pemain lain dan disaksikan oleh Sehun, ia menyajikan performa terbaiknya dan saat scene terakhir selesai, seluruh bagian Moonlight menggema oleh tepuk tangan dari pemirsa yang hanya sedikit itu.

Luhan bangga.

Dan di sudut hatinya, ada suatu perasaan yang tak dapat ia jelaskan saat Sehun berdiri dan bertepuk tangan atas penampilannya, dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

Senyum itu -Luhan yakin, bukan sekedar senyum biasa.

_

Dewa tertinggi memanggil Lou ke angkasa untuk menghadapnya.

Lou, merasa tidak melakukan kesalahan apapun, datang dengan santai, mengira ia akan mendapat suatu tugas baru.

“Hormatku, Dewa Tertinggi. Ada masalah apa hingga kau memanggilku?” Lou bertanya, segera saat dia dipersilakan duduk.

“Aku ingin membicarakan beberapa hal denganmu, Lou.” Jawabnya, sambil sesekali memelintir janggutnya yang putih panjang. Lou melirik ke sekelilingnya. Hanya ada dia dan Dewa Tertinggi. Sepertinya ini hal yang serius.

“Baiklah, hal apakah itu?”

“Kau telah melakukan suatu kesalahan, Lou.”

DEG! Kesalahan apa?

“Sebelumnya aku minta maaf, namun boleh aku tahu kesalahan apa itu?”

“Sebuah kesalahan besar, Lou.. kesalahan itu adalah.. kau jatuh cinta pada seorang manusia.”

Hening.

“Aku tidak mengerti.”

“Mungkin harus kutegaskan lagi, bahwa kita sebagai dewa dilarang berhubungan terlalu dekat dengan manusia. Aku membiarkanmu kemarin, namun rasanya sekarang kau sudah agak keterlaluan.”

“Bukankah kita tidak bisa memilih pada siapa kita jatuh cinta?”

“Justru itu, Lou. Cinta tidak pernah adil.” Jelas Dewa Tertinggi, Lou hanya bisa tertunduk lesu.

_

Kepuasan itu masih membuncah di dada Luhan.

Bahkan saat jam menunjukkan pukul 10 malam, dia masih tidak ingin pulang. Beruntung, Minseok sedikit menyadarkannya bahwa besok hari Senin yang berarti hari kerja dan Luhan harus masuk kerja kalau ia belum gila. Sehun sudah pulang lebih awal, meski Luhan sedikit berharap bahwa Sehun akan setidaknya menunggunya sampai selesai, tapi saat Sehun meninggalkan Moonlight, harapan itu hancur dan Luhan jadi agak dongkol pada kafe sialan yang harus diurus Sehun.

Tapi tetap saja, perasaan bahagia itu masih memenuhi seluruh tubuh Luhan, deras adrenalin mengalir di darahnya. Pentas tinggal kurang dari seminggu lagi. Luhan merasa amat siap.

Lebih siap dari apapun dan itu jujur agak menakutkan baginya.

Meski itu bukan masalah besar karena, hei, siapa pula yang tidak butuh pasokan kepercayaan diri sebelum pentas?

Luhan pamit pada Minseok lalu segera melangkah ke motornya.

Awalnya ia melaju dengan pelan. Tapi -terkutuklah adrenalin dari naik motor di malam hari, Luhan mulai menambah kecepatannya. Jalan raya pada malam hari di kota kecilnya sangat sepi. Lampu-lampu toko sudah mulai redup. Beberapa lampu penerangan masih setia memendarkan cahayanya menemani Luhan.

Luhan terus menambah kecepatan.

Terus, terus, terus. Ia mengencangkan posisi jaketnya. Angin dingin menerpa sekujur tubuhnya.

Terus, terus, terus..

BRAK!

Luhan baru saja menerobos lampu merah di sebuah persimpangan yang dikiranya cukup sepi, namun ada mobil dari arah berlawanan yang juga berpikiran sepertinya. Tabrakan pun tak terhindarkan.

_

“Apa anda kerabat dekat dari Tuan Luhan?”

“Saya sahabatnya, ada apa ya?” jawab Minseok tegang.

“Sahabat anda baru saja mengalami kecelakaan.”

_

“Tidak bisakah kau mengganti aturan bodoh tidak-boleh-jatuh-cinta-dengan-manusia itu?” suara Lou meninggi, makin serak dan emosinya meluap tak karuan.

Ia boleh disalahartikan, diremehkan atau diacuhkan.

Tapi dia tidak terima saat sebuah haknya yang paling fundamental direnggut begitu saja.

Dia tidak suka ditindas, dia tidak akan terima!

“Lou! Sadarlah, tidak ada manfaat dari mencintai manusiamu itu!” Dewa Tertinggi pun mulai kehilangan kesabaran.

“Apa pedulinya kau, hah? Hidupku bermanfaat atau tidak, pentingkah bagimu?”

“Apa dia bahkan tahu kalau kau bukan manusia?”

“Ya, dia tahu dan menerimaku apa adanya!”

“Apa yang diajarkan manusia gila itu padamu, hah? Untuk membangkang? Untuk membuat aturan-aturan baru?”

“Dewa Tertinggi, maafkan ucapanku. Namun mungkin, kau sendiri belum mengerti apa yang aku kini mengerti, berkat Shia. Apa yang dia ajarkan? Dia ajari aku hidup, bahagia, bersyukur pada hal-hal paling sederhana sekalipun, tersenyum, dan yang paling penting.. dia mengajariku cinta.”

“Aku sudah cukup mendengar penjelasanmu. Telah kupertimbangkan hukuman yang layak bagimu, Lou. Mulai sekarang, kau dilarang menginjakkan kaki di bumi-”

“TAPI!” sanggah Lou.

“-diam! Kau dilarang menginjakkan kaki di bumi mulai sekarang dan untuk selamanya. Kami juga akan menghapus ingatan manusia itu tentangmu.”

“APA KAU GILA? APA KAU TIDAK PUNYA PERASAAN?”

“Tenanglah, Lou. Aku masih punya sedikit simpati terhadapmu. Kau boleh menyimpan kenangan manismu dan mengawasi kekasihmu itu sepuasmu. Kau juga boleh bicara dengannya, selama satu menit tiap bulan purnama.”

“Kau pasti benar-benar gila..” Lou mondar-mandir, masih tak percaya.

“Aku mungkin tidak mengerti cinta sepertimu Lou, tapi aku mengerti keadilan dan tanggung jawabku di sini. Semua sudah diputuskan dan hukumanmu mulai berlaku hari ini. Ini semua salahmu sendiri, Lou. Tidak seharusnya kau jatuh cinta padanya.”

_

Hai. Earlier updates because I won't be updating this Sunday but here you go.

Maap untuk judulnya ini udah jam 21:12 wow bagus ya dan hey, aku sangat ngantuk and I've got school tomorrow.

So see you all next week, hopefully :)

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
erunna #1
Chapter 6: ini apa? inniii appaaa??? why? whyyy??? the kiss!! at least let me see the real kiss, omg! 5 chapter dan hanya ciuman di dahi?? astaga, kau kejam T-T
dragonmafia #2
Chapter 5: Kesel banget kurang pangjaaaaaang aaaaaaaaaah
callaghan
#3
aku suka gaya nulisnya. Jangan di kasih tag .plis *apa.ini?*-*