the Stranger

Crown of Legilimency

Oh ayolah... Kakek tua inilah yang harus mengikuti permainanku. Aku tidak suka permainannya yang terlalu bertele- tele.

Tapi—tawarannya tentang rumah impian ‘Marquee’ itu terlalu menarik untuk diabaikan.

Dia tidak sempat tertawa, saat berondongan pistol mulai terdengar. Wajah jeleknya yang panik tereskpos jelas sedangkan gadis SMA itu menundukkan kepalanya, mengatup belahan bibirnya. Ayahku lari bersama pengawalnya. Dia terlindung dengan orang- orang bayarannya itu.

Yah si bodoh. Seharusnya seorang mafia cukup berani untuk mencuri dan membunuh dengan tangannya sendiri. Tapi orang ini tidak. Dia bukan kriminal yang sebenarnya. Dia selalu menggunakan otak liciknya untuk merangkai taktik dan jalur hidup yang terkesan sombrono, walaupun cukup aman. Aku tidak bisa membenarkan kalau dia hebat. Tapi aku juga tidak bisa menyangkal  kalau aku masih bisa hidup sampai saat ini adalah karena tetap berlindung di bawah tangannya.

“Aku mempercayakan Alice padamu.” Kakek tua itu berbisik sebelum berlari menjauh.

Aku menghela nafas panjang. Oh Tuhan... Mulai detik ini—Hidupku akan terasa lebih menyedihkan karena harus mengurusi gadis SMA yang terlihat murahan sepertinya ini.

Alice

Aku menunduk saat mendengar beberapa suara tembakan. Bukan menunduk lagi, aku berjongkok dan memegangi kepalaku. Itu suara tembakan kan? Atau aku salah? Atau itu petir? Atau halilintar? Atau petir? Atau pistol?

“Sial!” Pria berwajah manekin itu mengumpat. Tanpa di sadari, tangannya menarik tanganku. Hei, ngomong- ngomong dia adalah pria ketiga yang bisa menyentuhku. Tentu saja setelah ayahku dan Kai. Eh? Ini bukan saatnya mikirin yang kayak begitu.

Saat ini jantungku berdegup kencang karena suara tembakan itu. Otakku yang kaget tiba- tiba frustasi dan memberikan stimulus yang membuat tubuhku berlari karena tertarik oleh tangan seseorang yang kayaknya bernama Oh Sehun ini.

Tunggu... Dia orang asing... Tapi dia adalah putra mr. Watson. Tunggu.. Bagaimana bisa Mr. Watson yang bantet dan gembul serta berwajah kriminal itu mempunyai putra yang setampan, setinggi, dan berwajah kebule- bulean seperti Oh Sehun? Ini... Tidak masuk akal. Yah... Kecuali kalau ibunya memang cantik atau tinggi banget. Dan kecuali juga kalau Oh Sehun ini baru aja operasi dengan 100 kali prosedur dan 57 teknik operasi pada seluruh tubuhnya. Kira- kira dia asli nggak ya?

“Berhenti memikirkan wajahku!” Sehun berteriak.

Tiba- tiba tubuhku membeku. Kalau saja tidak berlari, mungkin aku sudah mematung seperti terserang hawa dingin yang dapat dengan cepat membekukan tubuhku.

“Ah... Kita mau kemana?” Tanyaku melihatnya membawaku tanpa tau tujuan yang jelas. Kami baru saja melewati kedai bubble tea, beberapa toko baju, dan perumahan elit di daerah Kangwondo ini. Dia tidak menjawab. Ah, sempat- sempatnya aku bertanya kalau memang tidak di jawab. Membuang pasokan air di mulutku saja.

Sehun menoleh kebelakang. Membuatku melakukan hal yang sama dengannya. Gawat! Ada beberapa orang mengejar kami. Sebenarnya aku nggak mengerti hal- hal rumit ini. Tapi perasaanku mengatakan kalau aku sedang berurusan dengan mafia. Mafia satu yang sedang perang dengan mafia lain. Lalu kenapa aku terlibat? Apa karena hutang ayahku? Oh? Apakah karena ayahku juga mafia?

Jujur... Aku merasa ayahku nggak sekeren itu dan aku merasa jijik saat membayangkan kalau saja ayahku yang nyeni banget itu memerintah bawahannya dengan tawa jahanam seperti yang mr. Watson lakukan. *author juga bisa tawa jahat, dulu author di kenal dengan tawa jahatnya. Tapi sejak lulus SMA, author berubah image, sekarang image author imut! Oke abaikan author yang nggak jelas ini*

Sehun menghimpit jari- jariku dengan jari- jari tangannya. Suhu tubuh Sehun sangat dingin. Berbeda dengan Kai. Yah—walaupun aku dan Kai cuma sering bersinggungan lewat lengan dan bahu.

Kami berlari, lari Sehun semakin cepat dan aku semakin nggak bisa mengimbanginya. Saat berbelok, menemui beberapa tikungan yang bangunannya mirip dengan bangunan toko di Dongdaemun, Sehun berbelok saat melihat sebuah celah yang gelap di antara toko kosmetik dan toko jam tangan.

Ah ya! Kami tidak bisa terus berlari. Jarak lobi apartemen dengan tempat parkir saja sudah setengah kilo. Dan lari kami kira- kira sudah dua sampai tiga kilometer. Dan parahnya, aku nggak bisa leluasa berlari karena rok dan seragam musim panas yang sudah kesempitan. Harus ku akui aku naik dua kilo setelah ayahku dipenjara -_-.

“S--st” Sehun mendekapku dengan tubuhnya. Karena kepalaku berada di dadanya, aku bisa merasakan jantungnya yang berdetak tidak beraturan. Nafasnya memburu, dan tangannya yang masih memegang tanganku sudah basah karena keringat.

Karena dekapan yang sangat dekat, dadaku, bersentuhan dengan tubuhnya. Tunggu... Dadaku? Apa ini? Hei, aku seorang wanita dan dia seorang pria. Ini tidak boleh.

“B—isa—kah—kita istirahat di—su—atu tempat?” Tanyaku sambil menjauhkan tubuh Sehun dariku. Aku melihat wajah pria itu. Bahkan setelah kelelahan, wajahnya masih sangat datar. Bola matanya menuju entah kemana dan itu membuatnya terlihat seperti orang idiot.

Sehun berjalan ke arah terang. Memeriksa sesuatu. Hei, aku berani ngomong karena sudah merasa daerah ini aman dan para pengejar itu sudah menjauh.

“Baiklah!” Sehun meraih tanganku lagi, kami berlari.

Aku masih capek. Seluruh tubuhku rasanya seperti mau meledak. Dehidrasi tiba- tiba mulai tergambar jelas melalui lidahku. Selama ini aku belum pernah merasakannya walaupun aku sendiri jarang minum karena sering males ke kamar mandi.

Sehun masih memimpin pelarian kami sampai akhirnya, mataku melotot saat melihatnya membawaku ke sebuah tempat yang jelas- jelas ada tulisan ‘motel’nya di depan tadi.

“Satu kamar!” Pekik Sehun saat kami sudah sampai di depan meja resepsionis. Oke... Aku tau kalau dia tidak punya pilihan lain. Tapi kenapa harus ke motel? Oh Tuhaaan...

“Maaf tuan... Kami tidak di ijinkan untuk menerima tamu kepada anak di bawah umur.”

“Aku 21 tahun!” Sehun mengambil dompetnya, menunjukkan kartu identitasnya.

“Maaf tuan... Tapi pacar anda.” Resepsionis wanita itu menunjuk ke arahku. Sehun berbalik menatapku dan terlihat kesal karena menyadari seragam SMA yang kukenakan sekarang menghambat pelarian kami.

“Aku akan membayar! Berapapun!” Suaranya sedikit mengancam. Tidak riuh, tapi tenang dan sedikit bercampur dengan rasa kelelahan.

“Maaf.. Kami tidak bisa, tuan.”

Sehun berdecak kesal. Dia dengan lunglai berbalik dan keluar. Aku mengikutinya di belakang.

“Sekarang apa?” Tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Aku bisa melihat punggungnya yang basah. Keringatnya membasahi kemeja biru yang ia kenakan pagi hari ini. Oh—ayolah—aku belum tidur seharian dan aku sangat ngantuk. Bagaimana bisa dia yang membawaku pergi tidak tau arahnya dan bertanya ‘Sekarang apa’ padaku?

“Kita naik bus saja. Tapi kemana?”

Sehun tidak bergeming. Dia malah mengelap keringat di wajahnya dengan lengan kemeja biru yang ia kenakan dan dengan malas berjalan menuju halte bus yang letaknya agak jauh dari kami. Aku bisa memastikan bahwa saat ini kami aman. Pelarian kami berhasil.

“Beneran mau naik bus? Lalu kemana?” Aku bertanya lagi. Sehun menatapku dengan pandangan tidak berselera.

“Tidak usah banyak tanya.” Racaunya.

Aku mulai kesal. “Bagaimana bisa? Kau orang asing. Dan aku mengikuti orang asing di jam...” aku melihat jam tanganku, “Di jam 4 pagi ini. Kau tau? Aku belum tidur seharian dan aku harus berlari seperti seorang buronan dengan orang asing yang aku sendiri tidak tau dia akan membunuhku atau menyelamatkanku.”

Eh? Menyelamatkan? Ngomong apa aku ini? Memangnya aku kenapa sampai harus di selamatkan? Kau tawanan Alice... Ingat, kau tawanan!

“Aku penasaran. Kenapa aku harus mengikutimu? Aku tidak tau alasannya. Yang aku tau, sekarang aku adalah tawanan.” Sehun diam saja, tidak mengubris ocehanku. “Apa yang sebenarnya terjadi? Aku nggak ngerti literatur apa yang harus ku baca agar bisa paham mengenai masalah ini. Tapi... Apa aku dalam bahaya?”

Pertanyaanku tidak mengugah hati Sehun. Ya, kira- kira aku sudah melontarkan sedikitnya 30 pertanyaan sejak kami berada di bus tadi. Sehun terus berjalan tanpa melirik sedikitpun ke arahku. Ayolah... Ini menyebalkan! Aku menanyakan hal penting dan dia tidak menjawab satupun.

Sekarang aku merasa lebih kacau karena lapar dan mencium aroma daging panggang dari lobi yang kami lewati. Dan pria berhati batu ini hanya melewatinya saja, tanpa peduli tentang perutku. Aku sudah mengatakan kalau aku lapar. Tapi dia terus menyuruhku untuk nggak banyak omong. Oke aku diam... Percuma saja meracau kepada orang sepertinya. Toh hanya akan membuatku capek.

Ting!

            Ini suara nyaring yang berasal dari lift. Setahuku tadi, si pria manekin ini memencet lantai 12 pada tombol lift. Dan kami mungkin sedang menuju apartemen pribadinya. Yah—Walaupun aku nggak begitu yakin sih—

            “Ya! Chogiyo! Oh—” Aku berbalik, berusaha membelok tapi tali sepatuku terinjak oleh kakiku yang lain dan sukses mendaratkanku di atas lantai. Sebelum itu, aku menarik tubuh Sehun terlebih dulu, tapi balancenya terlalu kurang dan menyebabkan kami terjatuh dengan tubuh Sehun yang menimpa tubuhku. Sakit sekali—Apa dia peduli kalau aku kesakitan?

            Sehun mendongkakkan kepalanya. Matanya yang dingin bertemu dengan mataku. Aku tidak bisa mencerna arti tatapan matanya. Dia terlalu sempurna dalam menyembunyikan ekspresinya. Dan dia juga terlalu sempurna sebagai seorang putra mafia yang mempunyai wajah sedemikian rupawannya. Semua orang akan setuju kalau dia sedingin Edward Cullent atau Malfoy. Tapi dia lebih tampan dari mereka. Lebih tampan beberapa kali lipatnya.

            Aku tidak bisa menjelaskannya secara detail. Tapi wajah Sehun memang terlalu sempurna. Lekukan di setiap wajahnya seperti pemberian dari surga dan damn it! Lekukan- lekukan itu terlihat sangat alami dengan peluh yang menggenangi sebagian permukaan wajahnya. Singkat kata—Dia sangat tampan—

            “Ms. Song...” Sehun membuka suara. “Eoh?” Aku menjawab dan masih tidak mengalihkan pandanganku darinya.

            “Your chest is quite flat.”

            Apa katanya? Hei! Ya! Aku baru sadar kalau tangan Sehun berada di—bagian paling sensitif yang di miliki seorang wanita.

            “Ya! Ya! Bisakah kalian tidak bercinta di koridor apartemen? Aigooo—Bagaimana bisa seorang pemuda membawa anak sekolahan ke apartemennya di waktu fajar? Dasar anak muda jaman sekarang!” Seorang bibi membuat aku dan Sehun yang berada dalam posisi enggak banget itu menoleh. Apa katanya? Dia hanya nggak tau ceritanya dari awal. Kalau dia tau, pasti bibi tua ini akan mengasihaniku.

            “Men—nying – kir!” Aku menendang Sehun dengan kasar. Pria itu nyengir. Oh astaga! Dia tidak mengubris pertanyaanku tadi dan sekarang malah membahas masalah dada. Dasar byuntae!

            Dan lagi, apa dia bertetangga dengan bibi yang mengejek kami barusan? Oh! Tolong lenyapkan aku sekarang juga.

            “Ku peringatkan ya! Hei anak muda! Jangan mentang- mentang apartemen ini sepi waktu pagi, jadi kalian bisa bercinta di sembarang tempat. Apa kalian tidak sadar kalau ada CCTV di atas sana?” Bibi itu menunjuk ke salah satu pojok ruangan. “Aigooo!” Teriaknya lalu beranjak pergi.

            Aku berdecak kesal. Sehun? Aku nggak peduli dia sedang apa. Tapi aku merasa ambigu sejak receptionis motel itu melarang kami masuk karena seragam SMAku dan bibi tua itu melihatku dan orang yang baru kemarin kutemui ini dalam posisi yang mengandung unsur— Yah— Semua orang pasti akan berpikiran kotor kalau melihat yang seperti ini.

            Oh— Tuhan— Aku ingin bertahan hidup. Tapi aku bisa mati karena malu setelah kejadian ini.

            Persetan—sekarang wajahku lebih merah dari buah naga.

 

+++

            “Jangan keluar! Tetap di dalam sini! Aku mau membeli sesuatu.” Aku memperingatkan gadis itu. Dia tidak mengubris.

            Mungkin masih malu mau dengan kejadian tadi. Ah... Dia sangat merepotkan.

            Ocehan- ocehannya itu membuat telingaku sakit.

            Dan entah kenapa aku tidak ingin menjawabnya. Semakin dia melontarkan lebih banyak pertanyaan. Aku semakin tidak mau menjawabnya. Aku membencinya. Aku tidak menyukai cara gadis ini berbicara padaku.

            “Bisa kau belikan aku sebuah pakaian? Dan makanan? Dan—”

            “Ya— ” Aku berjalan keluar sebelum gadis itu mememinta lebih banyak lagi. Kalau saja bukan karena jasa ayahnya, aku tidak akan pernah sudi membackingnya seperti ini. Dan lagi, dia masih tidak tau alasannya. Dia terus- terusan berpikir kalau dia di culik dan di sandera sebagai tawanan. Ah, bodoh sekali! Bagaimana dia bisa dengan mudahnya percaya cerita kacangan yang di karang ayahku? Oh! Thats stupid girl, Oh Sehun... Dan gadis bodoh itu akan membunuhmu perlahan  dengan segala perilakunya yang merepotkan.

+++

            “Sesuai perkiraan. Itu adalah tuan Kim...” Bawahannya melaporkan. Mr. Watson tertawa. Wah, pantas saja suara tembakannya begitu menegangkan. Dalam kalangannya, tuan Kim memang terkenal dengan pasukan penembak jitu.

Mr. Watson geleng- geleng saat memperhatikan kaca mobilnya yang pecah, serta dashboard mobilnya hilang. Dan si pencuri ulung juga mencuri CCTV, lengkap dengan blackboxnya.

            Mr. Wanton menendang mobilnya. Kesal. Dia sudah mulai memperhitungkan gerakan- gerakan massal yang mungkin akan di lakukan beberapa saingannya. Tapi ini belum seberapa. Pewaris rumah ‘Marquee’ baru satu minggu berada di tangannya. Mr. Watson tidak punya pilihan lain selain menikahkannya dengan salah satu putranya.

            Yah—keputusan itu dia ambil untuk melindungi Alice yang memang sedang menjadi rebutan. Dan bodohnya, gadis itu tidak tau kalau dia adalah pewaris rumah yang mempunyai kekuatan luar biasa magis itu.

            Hanya saja ini sulit. Mr. Watson sedang memikirkan berbagai rencana untuk mengaplikasikannya. Dia tidak segenius Dumbledore dan tidak selicik Voldemort. Dia terlalu bertele- tele dan sedikit ceroboh

            “Apa kita perlu mengambil tindakan?” Tanya bawahannya.

            Mr. Watson, menendang mobilnya. Tendangan yang sangat keras sampai bagian pintu dan roda mobil itu hancur. “Tidak usah! Dia hanya mengertak!” Bisik mr. Watson, membuang pandangannya ke arah jalan.

            “Apa anak itu selamat?”

            “Kami sudah menghubunginya. Tuan muda dan ms. Song sudah sampai di apartemen dengan selamat.”

            “Apartemen? Apartemen siapa? Anak itu?” mr. Watson terlihat tidak percaya. Dia memiringkan kepalanya. Bertanya- tanya tentang kejelasan.

            “Ya.. Tuan...”

            “Benarkah? Bahkan dia tidak mengijinkan ibunya masuk ke dalam apartemennya. Tapi gadis itu? Ah—Dia lebih licik dari yang kupikirkan.”

            Nada suaranya terdengar mengancam. Lalu seringai kecil mulai tergambar jelas di wajah mr. Watson. Dia mengetahui sesuatu. Atau dia menyadari sesuatu. Entah apa—dia pintar menyembunyikannya.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
asahi-asa #1
Chapter 9: Cool! It's so cool! Cool!

Kyak'y yg jdi dementor kris dehh #ngarang abis!
Gmana nasib alice?
D tnggu next part'y!
nabilLaLu #2
Chapter 7: Misteri banget! Lanjut, thor *-*