Chap I

Humming

 

 

Humming

a wordless tone with meaningful melody.

 

when time makes you hurt to speak.

sometimes Hum is the only way to express your feeling

 

*

 

Prolog

 

 

Dengan kertas baru dan pensil usang yang kecil
Aku menggambar masa depan kau dan aku

 

Tanpa bersuara kau mendengarkan dengan seksama
Tanpa kusadari aku tertidur dengan tersenyum

 

Saat aku naik ke atas bukit dan melihat ke bawah
Hanya terlihat dirimu seorang di tengah dunia yang sangat luas ini

 

Pejamkan matamu sebentar dan jangan bergerak
Aku menghapus, gambarku hampir selesai

 

Ada pot bunga kecil di atas atap merah dan pohon yang besar
Dan dua anak berkejar-kejaran

 

Isi dan penuhi peti harta karun dengan keinginan kita
Lalu sembunyikan di bawah pohon yang kita sepakati
Dongeng kau dan aku

 

Di antara gambar cantik yang terkuak di depan mata
Terdengar suara tawa anak-anak yang bahagia

 

Asap dari cerobong dan burung camar di lautan
Kau menyerah atas mimpi yang kau gambar, cintaku

 

Bukit impian di bawah sinar matahari yang cerah
Hanya anak-anak yang bermain dan kita berdua
Hanya kau, aku, dan anak-anak

 

 

소녀 시대 – My Child

 

 

 

 

Selama lima belas tahun Kyungsoo dibesarkan oleh wanita bernama Saeron, tapi hingga sekarang pria itu belum bisa memberikan apapun untuk wanita yang seharusnya sudah pantas mendapatkan julukan ibu darinya. Bahkan disaat wanita itu benar-benar membutuhkan sesuatu yang menyangkut dengan hidupnya, Kyungsoo hanya bisa menangis dan tidak tahu harus berbuat apa. sekarang saat dia menatap batu yang mengukir nama wanita itu, hatinya semakin terasa sakit.

Wanita itu mengalami kecelakaan lalu lintas beberapa hari yang lalu, mengalami pendarahan yang cukup parah, dan membutuhkan transfusi. Kyungsoo tentu berniat untuk memberikan bantuan untuk ibunya, tapi melalui serangkai pemeriksaan, Dokter tidak mengizinkan pria itu untuk melakukannya. Dan disinilah ibunya sekarang, berbaring dengan damai, di tempat yang seharusnya. Bahkan hingga saat ini air mata Kyungsoo belum juga habis, mata bulat itu bertambah bengkak, entah bagaimana Tuhan akan mengampuninya, menjadi beban bagi seorang wanita yang harus membesarkan dirinya sendirian, membuat pria itu tidak mengampuni dirinya sendiri. Kyungsoo hanya berharap ibunya bisa beristirahat dengan tenang sekarang. Dan tidak lagi mengkhawatirkan dirinya.

 

*

Kyungsoo tertawa, entah apa yang membuat dirinya tertawa disaat suasana kelam melanda hatinya, tawanya seperti orang yang kehilangan akal, tapi memang begitu, pria itu memaksakan tawanya di saat ia tidak bisa berkata apa-apa lagi pada Tuhan yang sudah menentukan takdirnya.

'jadi begini' pria itu kembali tertawa sambil mengangguk-anggukan kepalanya, seakan mengerti dengan berkas yang sedang dipegangnya sekarang.

'kenapa begitu jahat huh?' pria itu menyeringai, melempar berkas itu ke atas meja yang ada di hadapannya, menaikan satu kakinya, membentuk posisi yang nyaman. Kyungsoo menatap langit-langit rumahnya yang dibeberapa sisinya terdapat lumut akibat air hujan yang merembes masuk kedalam plafon.

 

Kembali dengan pikiran-pikiran patetiknya. Bagaimana ia bisa percaya di antara sekian juta umat manusia di dunia, mengapa Tuhan harus memilih dirinya lahir dan menjalani hidup seperti ini.dan di antara sepuluh dari sembilan puluh persen orang yang menderita hal ini, mengapa dirinya harus masuk ke dalam sepuluh persen itu.

 

Kyungsoo membetulkan posisinya, menatap berkas-berkas medis tadi, bertumpukan dengan surat-surat lusuh yang berserakan di atas mejanya. Ia merapihkan surat-surat itu. Memasukannya ke dalam kotak dimana surat itu seharunya berada.

 

Kyungsoo memutuskan untuk mengejar apa yang memang harus dimilikinya, ia ingin merasakan apa yang selama ini tidak pernah ia rasakan, Kyungsoo akan meminta pertanggung jawaban dari semua yang ia alami saat ini. Pertanggung jawaban mengapa dirinya harus berada di tempat ini. Dan ia berharap Tuhan memberikannya cukup waktu, ia tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya sampai ia bisa mendapatkan apa yang selama ini terlewatkan olehnya itu sudah cukup.

 

*

Kyungsoo kembali memasukkan surat yang ia pegang tadi kedalam saku jaketnya setelah memastikan bahwa inilah alamat yang setiap bulan selalu rutin mengiriminya surat. Surat yang ia terima hanya berisi tentang cerita harian si penulis yang menyatakan diri sebagai ayah dari dirinya. Kyungsoo selalu menanti surat itu setiap tanggal tiga, tidak pernah terlambat, seperti para pekerja yang menunggu datangnya hari gajian, Kyungsoo lebih tertarik dengan tanggal tiga, dia bisa mendengar cerita tentang keluarga dimana ia seharusnya berada.

 

Pria itu memang tidak sepenuhnya ingat bagaimana masa kecilnya dulu, tapi ia bisa merasakan dan membayangkan setiap kalimat yang digambarkan oleh ayahnya di dalam surat itu tentang keluarganya. Dan ia sangat menginginkan hal itu.

 

Pria itu menekan bel yang berada di sudut pagar yang berada di hadapannya, memundurkan dirinya beberapa langkah dan menunggu seseorang membuka pintu. Hampir musim dingin, jadi Kyungsoo berharap orang yang berada di rumah ini segera mempersilahkan dirinya masuk, karena angin yang sedari tadi menyentuh wajahnya hampir membuatnya menggigil.

 

Ia menggoyang-goyangkan kakinya pelan untuk menghilangkan hawa dingin yang ia rasakan. langkah kaki terdengar mendekat. Detak jantung Kyungsoo pun meningkat, membayangkan ia akan bertemu dengan ayah kandungnya sendiri, bertemu dengan saudara-saudaranya, bertemu dengan ibunya. Pria itu mengatur napasnya saat engsel pagar itu berbunyi dan sebuah kepala keluar di antara pagar besi itu.

 

'nuguseyo?'

 

Kyungsoo membulatkan matanya menatap sosok yang kini sudah berada di hadapannya, pria yang hampir lanjut usia dan rambut yang hampir memutih hingga terlihat seperti anggota grup pria jaman sekarang, hanya saja keriput tidak bisa membohonginya. Kyungsoo menelan ludah.

 

'aku Kyungsoo'

Pria tua di hadapannya tergagap, sekarang tubuhnya sudah berada di luar pagar, tepat berhadapan dengan Kyungsoo, tangannya terulur seakan ingin merengkuh tubuh mungil itu, matanya memperhatikan sosok nyata dihadapannya. Perasaan haru tergurat di wajahnya.

 

'kau anakku? Benarkah itu?' pria itu masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, berkali-kali ia menanyakan hal itu dan berkali-kali pula Kyungsoo mengagguk-anggukan kepalanya, dan kemudian mereka berdua berhambur, berpelukan satu sama lain.

 

Kyungsoo seakan merengkuh dunianya, meresakan sesuatu yang sangat ia rindukan. Memang ini yang Kyungsoo butuhkan, pelukan seperti ini yang ingin sekali ia rasakan. Di akhir musim gugur seperti ini, Kyungsoo yakin dirinya tidak akan lagi membeku, kehangatan yang akan kekal selamanya adalah pelukan seorang ayah. Air mata pria itu kini sudah menggantung di ujung matanya, semua perasaannya menjadi satu, jadi jika ada yang bertanya apa yang membuatnya menangis saat ini, Kyungsoo tidak akan bisa menjelaskannya. Merindukan seseorang yang sangat dalam, lelah, takut, bahagia, semuanya menjadi satu dalam air mata itu.

 

*

Pagi ini, setelah kedatangan seorang pria bernama Kyungsoo yang mengaku sebagai anak dari seorang pria tua bernama Kyungmin membuat rumah di pusat kota seoul itu sedikit rusuh. Wanita setengah baya dengan potongan rambut pendek terduduk lemas dan menangis meminta anak itu pergi dari rumahnya, pria bernama Kyungmin itu mencoba menenangkan istrinya dan membawa wanita itu masuk ke dalam kamar.

 

Sedangkan Kyungsoo sekarang duduk di ruang tengah, mengamati kondisi ruangan rumah barunya, kepalanya terangkat menatap sebuah bingkai foto berukuran besar yang langsung menyambut dirinya saat pertama kali ia masuk ke dalam rumah ini. Dia bisa melihat sepasang suami istri duduk dengan gagah di kursi depan dan dua orang pria lainnya berdiri di belakang, tersenyum, seakan merekalah keluarga yang paling bahagia di dunia ini.

 

 

Dua pria yang usianya tampak tak berbeda jauh dengannya hanya menatap Kyungsoo dengan tatapan bingung, heran, kesal dan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tidak tahu siapa Kyungsoo. Kyungsoo lalu tersenyum kepada mereka.

 

 

'Bukankah seharusnya kita bermain?'

Pria yang lebih tinggi di hadapan Kyungsoo mengernyitkan jidatnya. Bermain di saat kondisi seperti ini bukanlah waktu yang tepat menurutnya, tidakkah pria itu mengerti bahwa ibunya sedang gusar karena kehadirannya.

 

'Sebetulnya siapa kau? Apa yang kau inginkan disini?' pria satunya dengan kulit coklat gelap menatap Kyungsoo dengan sebal.

 

'Aku? Tentu saja aku saudaramu' Kyungsoo menyipitkan matanya, menampilkan senyum termanis dari bibirnya.

 

Tapi tentu saja kedua pria dihadapannya ini tidak akan meleleh melihat senyum itu.

 

'Aku tahu nama kalian, kau Chanyeol. Ah ani, Chanyeol Hyung' Kyungsoo kembali dengan senyumnya, rasanya pria berkulit coklat itu ingin menerkam pria dihapadapannya ini setiap kali pria itu menampilkan senyumannya.

 

'dan kau Jongin. Matci?' Jongin terkejut dengan tebakan Kyungsoo. Bagaimana pria asing ini bisa mengetahui namanya, menyeramkan. Sedangkan Chanyeol masih dengan tatapan datarnya, tidak melakukan apa-apa, seakan ia tahu apa yang sebenarnya terjadi.

 

'kau stalker benar?' Jongin menyipitkan matanya. Kyungsoo kembali tersenyum dan berkata dengan tenang

 

'aku saudaramu'

 

*

Entah pembicaraan apa yang telah pasangan itu lakukan, tapi kini Kyungsoo sudah bisa masuk ke dalam kamarnya. Dia berbagi kamar dengan Jongin, pemuda itu bersungut kepada ayahnya, memohon untuk merapihkan gudang agar pria bernama Kyungsoo itu bisa tidur di ruangan yang berada di halaman belakang. Tapi usahanya tidak berhasil saat ayahnya memberikan tatapan mengerikan dan mengancam tidak akan memberi Jongin uang saku dalam seminggu.

 

'hei, letakan tas mu di lantai, jangan di atas kasurku. Itu kotor!' Jongin berteriak saat Kyungsoo akan merapihkan pakaiannya dan meletakkan tas nya di atas ranjang Jongin. Kyungsoo lalu tersenyum dan segera menurunkan tasnya.

 

'kau tidur di bawah oke. Aku akan meminta Ajuma untuk membawakan selimut, tapi jangan berani naik ke tempat tidurku!' Kyungsoo mengangguk dan kembali merapihkan pakaiannya.

 

*

Tentu saja, di malam seperti ini udara akan sangat dingin, Kyungsoo memutar-mutar badannya agar menciptakan lantai yang cukup hangat untuk tidur, selimut yang di berikan oleh seorang Ahjuma yang bekerja disini lebih pantas disebut sebagai sehelai kain tentu saja tidak mampu menahan rasa dingin itu.

 

 

Kyungsoo menghela napasnya, menatap langit-langit kamar barunya sekarang, ia lalu sedikit tersenyum, setidaknya tidak terdapat lumut di langit-langit kamarnya sekarang. Kyungsoo mulai bersenandung, menciptakan sebuah nada tanpa kata, pria itu memang sering bergumam, menurutnya nada itu lebih bisa menyampaikan ketenangan dibandingkan sebuah kalimat.

 

 

Jongin mengerjapkan matanya, dia terbangun karena nada itu, entah apa yang pria itu lantunkan tapi Jongin merasa tenang mendengarnya, seperti merasakan sesuatu yang pernah dirasakan sebelumnya, tapi kau tidak ingat kapan dan hal apa itu, mungkin banyak orang menyebutnya Deja Vu. Dan sekarang Jongin merasakannya.

 

*

Kyungsoo mulai menjalani hari-harinya dalam keluarga yang selama ini ia inginkan, walaupun

pada kenyataannya, pria itu belum mendapatkan sambutan sebagai anggota baru keluarga itu. Istri Kyungmin menjelaskan pada anak-anaknya yang setiap hari selalu bertanya tentang asal-usul seorang pria yang tiba-tiba datang dan mengaku saudara kepada mereka adalah anak dari seorang wanita yang pernah menjalin hubungan dengan ayahnya dulu. Dengan begitu bagaimana mungkin Jongin dan Chanyeol bisa berhubungan baik dengan Kyungsoo yang statusnya adalah saudara tiri mereka, yang membuat ayah mereka berselingkuh, tentu saja kedua anak itu atau Jongin lebih tepatnya tidak menyukai Kyungsoo.

 

Pagi ini di hari ketiga Kyungsoo berada di keluarganya ia selalu bangun lebih awal, menjadi orang pertama yang duduk dengan manis di meja makan, selalu mengucapkan Selamat Pagi kepada siapapun yang tiba dan duduk bersama dirinya, hanya Ayahnya lah yang tersenyum dan menjawab sapaannya, sedangkan ibunya hanya menunduk, tanpa ekspresi, menghindari menatap wajah Kyungsoo.

 

Kyungsoo mulai mengoleskan mentega di atas roti gandungmnya, beberapa roti yang sudah selesai ia letakan di atas piring Chanyeol, Jongin dan juga ayahnya. Sedangkan ibunya sudah mengolesi rotinya sendiri. Jongin menyeringai.

 

'apa yang kau cari disini huh? Uang?' pria itu lalu menatap roti yang berada di piringnya, lalu kembali menatap Kyungsoo.

 

'mungkin kau akan berhasil dengan cara ini jika tujuannya adalah ayahku' Pria tua itu menatap Jongin, membulatkan matanya agar pria berkulit coklat itu berhenti berbicara.

 

'kau hari ini mulai sekolah dengan Jongin kan? Jadi sehabis sarapan kau bisa bersiap-siap' Kyungmin tersenyum kepada Kyungsoo tanpa melihat ekspresi anak bungsunya yang sudah bersungut. Ia lalu meraih tas yang berada di bawah kakinya.

 

'dan ini, untukmu' Kyungsoo meraih tas belanja yang terbuat dari kertas berwarna coklat itu dan melihat isinya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kota persegi panjang dengan lambang N di pinggirnya. Jongin terkejut dengan benda yang sekarang berada di tangan Kyungsoo. Bagaimana mungkin ayahnya memberikan pria itu sepatu baru yang ia inginkan, sedangkan dirinya harus bersusah payah menabung untuk medapatkannya sendiri.

 

'wah, terimakasih..' Kyungsoo tersenyum dan memeluk erat sepatu barunya.

 

*

Kyungsoo tersenyum, berkali-kali ia melangkahkan kakinya, sebanyak itu pula ia merasa langkahnya begitu ringan, tulang pipinya seakan tidak mau turun, selalu terangkat ke atas membentuk sebuah lengkungan yang manis. Entah karena sepatu barunya, tas barunya atau seragam baru yang ia kenakan.

 

 

Jongin melirik pria yang sejak tadi tersenyum sendiri, ia mendesis. Jongin sungguh tidak menyukai Kyungsoo, bagaimana bisa ia berteman baik dengan anak yang menghancurkan keharmonisan keluarganya, setidaknya begitulah pikiran Jongin. Ia terus memikirkan cara untuk membuat Kyungsoo tidak menyukai keluarga ini, membuat pria itu akhirnya menyerah dan meninggalkan dirinya dan keluarganya.

 

'kau bilang kita saudara?' Kyungsoo menatap Jongin, terkejut dengan pertanyaan yang pria itu berikan, dengan penuh semangat Ia lalu menganggukkan kepalanya

 

'tentu saja' Jongin menyunggingkan senyumannya melihat ekspresi Kyungsoo, seakan berhasil menangkap seekor ikan dengan umpannya.

 

'apa yang biasanya dilakukan oleh saudara kepada adik atau kakaknya?'

 

Kyungsoo memutar matanya, menatap jalanan di depan sambil berpikir. Ia lalu menggumam sebentar dan menjawab pertanyaan Jongin.

 

'saling berbagi, saling menyayangi' Jongin kemudian menghentikan langkahnya lalu menatap Kyungsoo.

 

'kalau begitu, aku menginginkan sepatu baru mu. Berikan kepada ku' Kyungsoo menahan napasnya mendengar permintaan Jongin. Tentu saja ia mau berbagi apapun dengan saudaranya ini, tapi memberikan sepatu nya di tengah perjalanan ke sekolah, sedangkan pria itu tidak mempunya sepatu lain, bagaimana mungkin. Kyungsoo menggigit bibirnya tidak yakin.

 

'ini sudah lima menit, apakah begitu sulit untuk menentukan kita bersaudara atau tidak?' Jongin menghentak-hentakkan kakinya ke jalanan, memberikan kesan tidak sabar, sambil menikmati ekspresi gelisah Kyungsoo. Kyungsoo lalu menundukkan badannya, mulai melepaskan sepatu yang berada di kakinya. Jongin tersenyum sekaligus sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa pria itu mau melakukan apa yang ia minta.

 

Kini kaki Kyungsoo sudah tidak beralaskan lagi, ia melihat Jongin melepaskan kedua sepatunya dan menggantinya dengan yang baru. Kyungsoo kembali menatap Jongin yang siap melanjutkan perjalanan ke sekolah mereka.

 

'bisakah kau berikan sepatu mu yang lama?' Jongin membalikan tubuhnya ke arah kyungsoo yang masih belum beranjak dari tempatnya.

 

'aku tidak pernah menganggapmu sebagai saudaraku, jadi aku tidak perlu berbagi bukan?' Jongin menyeringai, dan kemudian berjalan meninggalkan Kyungsoo dengan kaki telanjangnya.

 

Jongin tentu berhasil membuat pria itu malu, tapi hatinya merasakan sesuatu yang lain, bukan sesuatu yang membuatnya belum puas, ia merasa keterlaluan mungkin?, Jongin menggelengkan kepalanya, mencoba menepis rasa iba terhadap pria dengan rambut coklat itu dan dengan langkahnya yang cepat ia kembali menuju sekolah, bahkan tidak sekalipun ia membalikkan tubuhnya untuk memastikan apakah pria itu mengikutinya atau tidak, Jongin benar-benar tidak peduli dengan pria itu.

 

*

Hari pertama di sekolah baru sungguh jauh dari harapan Kyungsoo, pria itu berhasil membuat semua orang menatap dirinya, bukan karena ia cukup tampan dan menjadi pusat perhatian, tapi baru kali ini di sejarah sekolahnya yang baru menerima seorang murid tanpa alas kaki, tentu saja semua murid yang berada di sekolah itu mentertawakannya dan menatapnnya aneh. Kyungsoo berkali-kali menatap Jongin yang duduk di sudut kelas, berharap pria itu mau membantu dirinya. Tapi hal itu sepertinya memang tidak mungkin, Jongin malah ikut tertawa bersama teman-temannya yang lain.

 

Kyungsoo menggumamkan nada-nada itu dari mulutnya, menikmati angin sore yang menerpa wajahnya. Kaki Kyungsoo sekarang sudah beralaskan, sepulang sekolah tadi ia memutuskan untuk membeli sepasang sandal pantai di toko yang berada di perempatan jalan dekat sekolahnya. Tapi untuk sepanjang pelajaran tadi pria itu hanya menyembunyikan kakinya di balik meja, tidak melangkah kemanapun. Bahkan niatnya untuk menjelajahi sekolah barunya tidak bisa ia lakukan. Nada itu terus ia lantunkan, ia teringat kepada seseorang yang mengenalkannya pada nada indah itu, seseorang yang mengantarkannya kepada sebuah mimpi terindah dalam sebuah kehidupan, sampai tiba-tiba ia tersadar dan terbangun di dunia nyata yang tidak ia kenal sebelumnya

 

Karena jarak sekolahnya yang dekat dari rumah, pria itu hafal dengan rute rumahnya, selama perjalanan pulang pikiran pria itu kembali ke masa dimana ia tidak bisa melakukan apa-apa, dimana ia percaya bahwa ia hadir dari rasa sayang kedua orang tuanya hingga suatu saat ia tahu, bahwa kenyataan membawa dirinya pada sebuah dunia yang tidak ia kenal, siapa dirinya, apa yang menyebabkan ia berada di dunia. Sekarang Kyungsoo berjanji pada dirinya sendiri, bahwa ia harus egois terhadap keadaan, ia tidak mau mengalah, karena kali ini waktu nya terbatas.

 

*

Mata Jongin terus lekat dengan layar smartphonenya, Chanyeol yang berada di belakang kemudi sesekali menatap adiknya itu.

 

'kemana Kyungsoo?' Jongin masih tidak bergeming, terkadang pria itu terlihat tersenyum sendiri dengan benda yang berada di tangannya.

 

'Yya- Jongin ah!' Jongin memalingkah wajahnya menatap Chanyeol. Ia lalu menyenderkan kepalanya ke jok mobil.

 

'dia kubiarkan pulang terlebih dahulu, aku harus latihan sepak bola hyung' Jongin mengatur posisi tubuhnya agar nyaman untuk memejamkan matanya sebentar, lagipula jika ia tidur kakaknya ini tidak perlu cerewet menanyakan dirinya lagi. Chanyeol memperhatikan Jongin sekilas, ia lalu menangkap ada sesuatu yang aneh di tubuh Jongin, dengan kaki pria itu lebih tepatnya.

 

'Jongin! Bagaimana sepatu itu bisa denganmu?' Jongin terkejut, ia lupa bahwa kakaknya itu pasti akan menanyakan sepatu baru Kyungsoo yang diberikan oleh ayahnya. Jongin lalu sesekali membenarkan posisinya lagi dan menjawab dengan mata tertutup agar tidak merasa terintimidasi dengan tatapan Chanyeol.

 

'aku meminjamnnya dan dia memberikannya. Memangnya salah?' Chanyeol menarik napasnya, dia berharap Jongin tidak melakukan hal yang keterlaluan kepada Kyungsoo.

 

'kau jangan terlalu membencinya, kau tahu, dia itu saudara kita.' bibir Jongin bergerak-gerak, menirukan ucapan Chanyeol.

 

 

'aku hanya tidak ingin kau menyesal dengan perbuatan mu Jongin' pria itu bangkit dari posisinya, kupingnya panas mendengarkan ceramah Chanyeol

 

'apa yang kau katakan? Dia bukan saudara kita Hyung. Dan kau tega melihat Eomma menangis karena kehadiran anak itu?' Jongin mendesis.

 

'aku bahkan tidak pernah menyangka Appa ternyata tega melakukan hal itu' Chanyeol menghembuskan napasnya. Bagaimana ia harus memberi tahu adiknya ini bahwa belum tentu yang ia pikirkan itu adalah yang sebenarnya.

 

'aku hanya memintamu jangan terlalu berlebihan kepadanya'

 

'dia bukan saudara kita, lihat saja tubuhnya kecil seperti itu' Jongin menghempaskan tubuhnya kembali ke jok mobil, Chanyeol melirik adiknya sekilas.

 

'kau juga tidak lebih tinggi dariku, dan lihat kulitmu gelap' Chanyeol melirik adiknya jahil.

 

'Hyung!!' pria itu lalu tertawa.

 

*

'aku pulang' Kyungsoo melepas sendal pantai yang ia beli tadi di perjalanan pulang lalu meletaknya di rak ujung meja. Ia melihat sekeliling rumahnya, seperti nya belum ada yang pulang, Chanyeol biasanya pulang sekitar jam enam malam karena kampusnya berada cukup jauh dari rumah, sedangkan Jongin harus berlatih sepak bola. Kyungsoo melangkahkan kakinya ke arah dapur, dan ia mendapati wanita paruh baya dengan apron warna krem melingkar di pinggangnya, pria itu tersenyum lalu menghampiri wanita itu.

 

 

'Eomma, apa yang sedang kau masak, biarkan aku membantu' wanita itu terkejut dengan keadiran Kyungsoo, ia langsung sibuk dengan kegiatannya, mengiris wortel, mengecek air yang mendidih, yang menurut Kyungsoo terlihat di paksakan.

 

'tunggu sebentar, aku akan mengganti bajuku' Kyungsoo berlari kecil ke arah tangga di belakangnya kemudian wanita itu membalikkan tubuhnya menatap punggung Kyungsoo.

 

'kenapa kau kesini?' Kyungsoo menghentikan langkahnya.

 

'untuk apa kau kesini?' suara wanita itu bergetar, nadanya terdengar sedikit frustasi

 

'aku sudah membiayaimu dari kecil, apa itu masih belum cukup? Kau ingin lebih? Katakan padaku, berapa yang kau inginkan?' Kyungsoo kini berbalik dan menatap wanita itu sambil tersenyum.

 

'aku sudah memaafkanmu, kau tidak perlu bersembunyi di balik sikap itu. Eomma' kalimat terakhir yang di ucapkan oleh Kyungsoo seakan menusuk hati wanita itu. Eomma. Wanita itu tahu bahwa Kyungsoo seharusnya memanggil dirinya dengan sebutan itu. Ia mencari tumpuan untuk tubuhnya yang lemas, kakinya seakan tidak bertulang sedangkan Kyungsoo kembali melangkah ke dalam kamarnya.

'maafkan aku-' wanita itu mendekap mulutnya, dan jatuh terduduk kelantai.

 

*

'Appa.. Appa.. jangan pergi.. Appa...' 'Kyungsoo dengar, ini eomma mu sekarang, Appa nanti akan membawa Chanyeol dan Jongin sering berkunjung dan bermain di sini arra?' 'sirheo..' 'Appa.... Appaa..'

 

Pria itu membuka matanya, dadanya naik turun, terkejut dengan mimpi yang ia alami. Kyungsoo mencoba menenangkan dirinya. Sekarang ia sudah kembali dimana tempatnya berasal, tapi ia masih merasakan ketakutan setiap kali mimpi itu hadir dalam tidurnya, tinggal sedikit lagi ia bisa merasakan apa itu keluarga sebenarnya, merasakan lima belas tahun yang terlewati bersama ayah, ibu dan saudaranya. Kyungsoo mendengarkan detak jarum jam yang jelas berbunyi mengisi kepalanya, ia melihat ke atas ranjang Jongin, tentu saja pria itu sudah tertidur nyenyak. Ia merasakan tenggorokannya gatal, dan mimpi itu membuatnya membutuhkan sedikit ketenangan, jadi pria itu memutuskan untuk turun ke dapur mengambil sedikit air.

 

Kyungsoo membuka pintu refrigator, membuat cahaya putih itu berpencar ke seluruh ruangan. Mengambil sekotak susu dan menuangkannya ke dalam gelas yang berada di atas meja. Mungkin susu bisa membantunya tenang dan membuatnya kembali tidur. Ia lalu meneguk susu dari gelas kaca itu. Mata Kyungsoo tiba-tiba tertarik pada sosok pria tinggi yang duduk di halaman belakang rumahnya. Ia lalu meletakkan gelas susu yang sudah habis dan mendekati sosok itu. Di penghujung musim gugur seperti ini, apa yang dilakukan seseorang di luar rumah, udara pasti sangat dingin, apalagi di malam hari.

Pria itu menggeser pintu kaca yang membatasi ruang keluarga dan halaman belakang, sosok itu lalu membalikkan tubuhnya.

'Kyungsoo, apa yang kau lakukan disini?' Chanyeol terkejut dengan kehadiran Kyungsoo yang tiba-tiba berada di belakangnya.

'belum tidur Hyung?' Kyungsoo duduk disamping Chanyeol, melipat kaki didepan dada, dan memeluknya erat-erat. Chanyeol menggelengkan kepalanya lalu kembali menatap buku yang ia pegang. Kyungsoo mengamati pria yang berada di sampingnya, tidak pernah berubah. Pria itu tidak pernah berubah, masih sama saat ia berumur lima tahun. Beberapa menit, keheningan menyelimuti mereka berdua, hingga Kyungsoo memutuskan untuk berbicara.

'Hyung, kau mengingatku kan?' Chanyeol memalingkan wajahnya menatap Kyungsoo. Ia menelan ludahnya lalu kembali melemparkan matanya ke arah bunga mawar yang ditanam oleh ibunya.

'kau ingat bagaimana dulu kita bermain bertiga, kau tahu, Jongin selalu takut dengan anjing yang berada di sebelah rumah kita, dan kau selalu menggendongnya jika ia mulai merasa kelelahan bermain' Chanyeol menahan napasnya, ia ingin pria itu berhenti berbicara tentang masa lalu, karena hal ini terlalu sulit untuk di bahas. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Chanyeol kembali menatap Kyungsoo, tentu saja pria itu ingat, bagaimana ia bisa melupakan mata bulat itu, bagaimana ia bisa melupakan adiknya sendiri. Tapi keadaan ini terlalu absurd untuk di jelaskan sekarang. Chanyeol lalu beranjak dari kursinya dan masuk ke dalam.

'aku tahu kau mengingatnya Hyung' Kyungsoo lalu tersenyum, ia bisa merasakan bagaimana semua orang di rumah ini mencoba menghindarinya, menghindari kenyataan bahwa mereka seharusnya bersama.

 

*

Chanyeol menghampiri seorang wanita yang duduk di balkon rumahnya, asap mengebul mengelilingi sosok itu, ia lalu menarik sebatang rokok yang berada di selipan jari panjang ibunya.

'tidak ada rokok di rumah ini' wanita itu terkejut dengan kehadiran anak sulungnya. Ia lalu menyenderkan kakinya ke atas meja. Chanyeol sudah menempatkan diri duduk di samping wanita itu. Ikut menikmati pemandangan malam pusat kota seoul yang sebenarnya sama sekali tidak bisa dibilang indah, kau bahkan tidak bisa melihat bintang karena pencemaran cahaya.

'kau tahu bahwa yang kau ciptakan itu bukanlah sebuah robot' wanita itu menatap Chanyeol dengan jidat berkerut. Ibunya sudah berubah beberapa minggu ini, sejak kepindahan Kyungsoo lebih tepatnya, lebih terlihat frustasi dan terkurung dalam rasa bersalah yang dalam, kerutan yang berada di wajahnya terlihat semakin nyata, padahal Chanyeol merasa bahwa ibunya selalu terlihat cantik walaupun usianya tidak lagi muda.

'dulu bayi itu tidak bisa menentukan hidupnya sendiri, dia lahir bukan atas kemauannya. Tapi mungkin sekarang adalah jawabannya' wanita itu menahan air matanya mendengar ucapan anak sulungnya. Ia bahkan lupa bahwa Chanyeol sekarang sudah tumbuh besar, sudah bisa mengutarakan pendapatnya sendiri. Ia menarik napasnya dan menghembuskannya perlahan, mencoba membuat rasa sesak itu ikut keluar dari dalam tubuhnya. Ia tahu ia sudah menciptakan satu makhluk hidup yang mempunyai perasaan, bukan sekedar benda mati yang bisa ia ambil bagiannya lalu ia buang disaat ia tidak membutuhkannya lagi. Wanita itu sama sekali tidak membenci Kyungsoo, hanya saja setiap ia melihat wajah polos itu ia selalu teringat atas kesalahannya atas keegoisannya.

Seandainya waktu bisa diputar kembali, ia akan melahirkan Kyungsoo dengan sempurna, menanti kandungannya yang semakin membesar, menyiapkan baju-baju lucu untuknya, menyiapkan nama yang memang sesuai untuk dirinya. Dan bahagia saat bayi itu lahir di dunia dan berada di dekapannya. Bukan dengan cara seperti ini.

 

*

Kembali ke beberapa tahun yang lalu, disaat sepasang suami istri yang bahagia hidup dengan kedua anak lelakinya, merancang kehidupannya dengan sempurna. Sampai suatu saat kita tidak pernah tahu apa maksud dari kata 'Takdir' sebenarnya.

 

wanita itu mengelus tubuh anaknya yang terbaring di atas ranjang, tanpa busana, anak bungsunya Jongin beberapa hari sakit, dan ia menemukan memar di beberapa bagian tubuhnya, jadi dia memutuskan untuk melakukan pemeriksaan.

'bisa jadi virus, kita akan melakukan tes yang lebih lanjut' Pria dengan jas putih itu memasukkan stetoskop kedalam kantung jasnya. wanita itu menggigit bibirnya, melihat anaknya yang berumur satu tahun terbaring di atas ranjang rumah sakit, dan ia berharap bahwa tidak ada hal serius yang terjadi kepada Jongin kecil.

 

Sepasang suami istri itu memperhatikan seorang pria dengan jas putih datang menghampiri mereka, membawa beberapa catatan medis di tangannya. Wanita itu sibuk menggoyang-goyangkan kakinya, agar bayi yang berada di pangkuannya merasa nyaman. Pria dengan jas putih tadi menundukkan kepalanya lalu mengambil kursi lain dan duduk di hadapan pasangan itu.

'Pagi tuan Kim. Benar?' pasangan itu mengaggukkan kepalanya, lalu kembali fokus dengan apa yang akan pria itu sampaikan. Dokter yang berada di hadapan mereka membetulkan kacamatanya dan membalik lembar pertama berkas yang berada di tangannya.

'kita sudah melakukan pemerikasaan kepada anak kalian, Jongin. Jumlah sel darah putih Jongin di bawah normal, dan kita sudah melakukan ke pemeriksaan yang lebih spesifik. Kanker' wanita itu menutup mulutnya, terkejut dengan diagnosa Dokter itu. Bagaimana mungkin anak berumur satu tahun bisa menderita kanker. Suaminya mengusap pelan punggung istrinya.

'kita membutuhkan transplantasi sumsum tulang, hanya itu satu-satunya cara untuk menyembuhkan Jongin'

'kalau begitu lakukan' wanita itu memajukan tubuhnya dan mendekap Jongin kecil yang berada di pangkuannya erat.

'masalahnya adalah hanya ada satu dibandingkan seratus orang tua yang HLA (Human Leukocyte Antigen) nya cocok dengan anaknya sendiri. Mereka penting dalam pertahanan penyakit. Mereka adalah penyebab utama penolakan Transplantasi'

'bagaimana dengan Chanyeol? Mereka saudara kandung' Dokter itu membetulkan kacamatanya kembali.

'kita tidak bisa memastikan itu' wanita itu menitikan air matanya meletakkan wajahnya di bahu Jongin, ia harus menyelamatkan anak bungsu nya ini.

'saya bisa menyarankan salah satu alternatif lain' pria itu menatap kedua pasangan di hadapannya dengan tatapan ragu-ragu.

'bagaimana dengan mempunyai anak lagi? Kita bisa memastikan kesamaan HLA melalui pemeriksaan. Dan dengan diagnosa genetik itu akan cocok seratus persen' wanita itu membulatkan matanya, tentu saja dia tertarik dengan tawaran dokter itu, apapun untuk kesembuhan anaknya pasti akan ia lakukan. Tapi suaminya hanya diam tidak bergeming, tidak yakin dengan apa yang di sugestikan dokter itu. Karena pria itu tahu, mereka seharusnya membuahi, bukan menciptakan.

 

Beberapa bulan kemudian, setelah kombinasi sempurna antara kedua sel sepasang suami istri itu, seorang bayi bernama Kyungsoo hadir di bumi, bernapas dengan cara yang sama, menangis dengan cara yang sama dan hidup dengan cara yang sama seperti bayi-bayi lainnya. Hanya saja Kyungsoo hadir untuk berbagi dengan saudaranya, ia lahir untuk menyelamatkan nyawa Jongin.

Selama menunggu beberapa tahun untuk kesiapan Kyungsoo mendonorkan tulang sumsumnya Kyungsoo sering bermain bersama Jongin, ibunya juga sering menceritakan Dongeng-dongeng kepadanya, sama seperti anak kecil lainnya, Kyungsoo selalu mendengar cerita bahwa dia lahir atas rasa kasih sayang kedua orangtuanya kepada dirinya.

Dan seakan tidak mendapatkan petunjuk apa-apa, setelah Kyungsoo berusia tiga tahun ia dianggap sudah siap dan matang untuk melakukan transplantasi, karena penanganan untuk Jongin tidak boleh terlambat. Kyungsoo kecil dibawa masuk kedalam ruang bedah, memaksa jarum tebal menembus punggungnya, mengambil secara paksa sesuatu yang mungkin belum tentu ia setujui.

Setelah berumur empat tahun, Jongin dinyatakan telah sembuh dengan perawatan berjalan yang masih harus rutin di lakukan. Orang tuanya bersyukur kepada Tuhan yang telah menolong anaknya, hanya saja ia lupa dengan kehadiran Kyungsoo. Karena alasan memang tidak berencana mempunyai anak lagi, wanita itu membujuk suaminya untuk menyerahkan Kyungsoo kepada seorang temannya yang tidak mempunyai anak, mencoba bersembunyi di balik rasa bersalahnya kepada Kyungsoo, agar ia tidak hidup dalam kejaran dosa setiap hari, karena disaat wanita itu menatap wajah anaknya, ia akan menyalahkan dirinya sendiri. Sikap pengecut yang diambilnya beberapa tahun lalu, kini tetap harus dibayar.

 

 

 

'apa yang kau gambar Kyungsoo?' seorang anak kecil yang mengenakan celana pendek dengan permen di tangannya menghampiri saudaranya yang sedang asik berkutat dengan buku gambar dan pastel hingga membuat tangannya berwarna-warni.

'ini, Jongin lihat' Jongin kini sudah meletakkan permen itu ke dalam mulutnya, memperhatikan gambar yang ada dihadapanya.

'ini kau, ini hyung, lalu ada Appa, dan Eomma' Kyungsoo menunjuk masing-masing bentuk yang ia gambar di atas kertas putih itu, walaupun garis yang di ciptakan Kyungsoo tidak sempurna, tapi bagi Jongin, saudaranya ini sudah bisa menggambarkan keadaan keluarganya dengan sangat indah dalam sebuah gambar.

'lalu kau yang mana?' Jongin membulatkan matanya. Saudaranya lalu kembali dengan posisinya, ingin melanjutkan kembali maha karyanya.

'ini belum selesai Jongin' belum sempat ia menggoreskan pastel berwarna krem itu di kertasnya, ayahnya datang menghampiri mereka, membawa satu koper kecil bergambar kelinci dan wortel.

'Kyungsoo, saatnya pergi' suara ayahnya terlihat lemah, Kyungsoo membalik tubuhnya, menatap pria dewasa itu dengan koper di tangannya.

'pergi kemana? Jongin dan Chanyeol Hyung tidak ikut?' Jongin yang sedari tadi duduk di samping Kyungsoo sekarang ikut bingung dengan sikap ayahnya.

'nanti mereka menyusul' pria itu lalu menarik lengan Kyungsoo ke arah mobil

'Appa!! aku ikut, Jongin ikut appa, aku ingin pergi dengan Kyungsoo' Jongin mengejar langkah ayahnya yang sudah hampir di pintu mobil. Ayahnya menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Jongin.

'nanti kita akan sering menjenguk Kyungsoo, sekarang Jongin jangan sedih, kau masih bisa bertemu Kyungsoo, arra?' ayahnya kini berlutut di hadapan Jongin, Kyungsoo yang berada di belakang pria itu tidak berbicara apapun, hanya diam menatap Jongin, menatap saudaranya agar ia mau membantunya, anak itu memang tidak tahu apa yang akan ayahnya lakukan, ia tidak tahu akan pergi kemana, tapi ia merasa bahwa ia dan saudaranya akan berpisah. Ini tidak seperti berwisata dengan keluarganya, ini berbeda dan Kyungsoo merasakan itu.

'Sirheo! Jongin ikut. Kyungsoo tidak boleh pergi, dia belum menyelesaikan gambarnya appa, jangan bawa dia pergi' ayahnya bangkit, sedangkan Jongin masih menggenggam kertas putih dengan gambar keluarga mereka. Pria itu membuka pintu belakang, memasukkan koper kecil itu lalu menggendong tubuh Kyungsoo untuk duduk di kursi depan, sedangkan Jongin sudah menangis mengikuti setiap langkah ayahnya, menarik kemeja yang dikenakan ayahnya untuk tidak pergi. Setelah Kyungsoo duduk dan dipasangkan sabuk pengaman pria itu berlari memutari mobil dan masuk ke belakang kemudi. Jongin masih sibuk dengan usaha menghentikan ayahnya. Pria itu menatap dari jendela, seandainya ia mempunyai pilihan lain, tapi istrinya tetap bersikeras dengan kemauannya, ia menginginkan Kyungsoo pergi. Benar-benar seperti barang yang sudah tidak di butuhkan lagi, Kyungsoo kini harus pergi meninggalkan keluarga yang memaksanya lahir di dunia ini. Meninggalkan keluarga dimana ia yakin bahwa ia lahir karena kasih sayang.

Chanyeol yang saat itu berumur enam tahun menarik lengan Jongin agar tidak melintasi jalan terlalu jauh mengejar mobil ayahnya sambil terus meneriakan nama Kyungsoo dan menangis, Chanyeol sebenarnya ingin menangis seperti adiknya. Ia merasa bersalah tidak bisa menyelamatkan Kyungsoo, tentu saja anak seumur Chanyeol sudah mengerti apa yang terjadi, dan dia tahu orang tuanya telah melakukan kesalahan besar.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ndreeanny #1
Chapter 1: Bikin nangis tengah malem nih.. baru nemu nih ff, begitu baca langsung dibuat down. Good job authornim!
Ddt_Deriza #2
Chapter 3: gila thor, sumpah ni FF bagus banget.
sampai netesin air mata bacanya.
nggak bisa bayangin tampang D.O nya.
jadi ngerasain apa yang dirasain D.O bacanya.
Banyakin terus FF yang kaya gini ya thor...
Fighting!!!!!!
squishygirl #3
Chapter 3: gila bangus banget thor.
baca ni FF sambil kebayang wajahnya D.O yang melas kyak di drama IOIL, malah bikin aku nangis sesengukkan
banyakin FF kyak gini ya. good luck buat kedepannya
raul_sungsoo12 #4
Chapter 3: sumpah bikin nangis, angst bgt ㅠㅠ
baguss authorr ;))
cabaekhyun #5
Chapter 3: Daebak thorrr.....pertamany agak mirip sama film 'my sister keeper' tapi gile nihh ff
CheRis_couple #6
Chapter 3: Aduh,, ff ini bikin aku nangis sesenggukkan sampe gak bisa napas
Pokoknya suka banget, suka banget :)
aku terhura T_T
nice story, good job!!!
KNaRaXo #7
Chapter 3: Beneran deh, FF ini bagus banget!! Sampek nangis saking sedihnya. Aku suka sama FF ini, author daebak!
Dyanka #8
Chapter 3: maaf, cuma comment di epilog karena aku baru nemu nih FF..
menjadi orang yang nggak dianggap itu emang gak enak, apalagi ini keluarga sendiri..
kehilangan orang yang sudah mengasuh sejak kecil pasti rasanya menyakitkan, apalagi saat kembali ke keluarga malah dapat sambutan buruk...
kamu sukses banget deh, bikin orang nangis..
rainysummer #9
Chapter 3: Daebak!! I like it :"3
12alienaddict #10
Chapter 2: Oh please! Author harus tanggung jawab! Aku nangis ampe sesenggukan masa._. Ini angst yg bener* angst/? Angst kelas kakap/? Kyaa pokoknya DAEBAAAK! \O/~~~