delapan

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

Anggi mulai menata hidupnya kembali, meluruskan masalahnya yang sudah kusut karena ia acak-acak sendiri. Hana membantunya untuk mengurai kekusutan itu secara perlahan. Saran dari Hana selalu ia dengar dan Anggi tidak pernah merasa seberuntung itu bisa memiliki Hana di sisinya.

 

 

Suatu hari di Sabtu siang, Anggi mengajak Bunda dan Hana pergi jalan-jalan bertiga. Dengan tujuan akhir adalah makan malam bersama dan membicarakan tentang rumah peninggalan ayahnya. Anggi tidak mau kehilangan momentum ketika Bundanya mulai mau membahas tentang rumah, sedikit demi sedikit. Kehadiran Hana di sampingnya memberi Anggi kekuatan tersendiri untuk lebih bersabar dengan Bunda, bahwa mereka memang tidak bisa memaksakan kehendak jika hati Bunda masih kuat berada di setiap sudut rumah itu.

 

“Bunda teh bukannya ga setuju, dek. Bunda paham maksud dan tujuan adek kayak gimana. Cuma Bunda merasa masih butuh waktu buat melepas kenangan yang masih Bunda simpan di rumah itu. Adek tahu kan, Ayah sama Bunda udah tinggal di rumah itu sejak Ayah pindah kerja di sini? Waktu adek masih umur tujuh tahun, masih tengil suka main bola sama anak-anak kompleks tiap sore, usil gembosin sepeda Mang Udin satpam kompleks sampe orangnya ga bisa pulang ke rumah, nraktir anak-anak cilok sampe abis 50 ribu tapi ga bilang-bilang Bunda? Sampe rumah direnov, adek yang dari remaja sampe dewasa, dan sekarang tinggal kita berdua. Kan banyak memorinya, dek,” kenang Bunda sambil menepuk-nepuk punggung tangan anaknya di atas meja.

 

Anggi melepaskan senyum penuh perhatian kepada ibundanya, membuat Hana yang duduk di sampingnya ikut terhanyut dalam kehangatan keluarga kecil itu.

 

“Bunda oke kok sama rencana adek. Ga nyangka malah anak manis Bunda teh bisa mikir dewasa sampe sejauh ini. Bunda cuma minta waktu. Bunda tahu cepat atau lambat keputusan ini memang harus kita ambil,” tambah Bunda, lalu menggenggam tangan Anggi dengan penuh rasa sayang.

 

Pembicaraan itu pun membuahkan hasil dan kesepakatan. Mereka akan mempertahankan rumah itu hingga Bunda siap untuk melepasnya, kira-kira tahun depan. Tabungan keduanya pun masih sangat cukup, tidak ada kebutuhan yang mendesak sama sekali, sehingga menjual rumah itu bukan menjadi prioritas mereka. Melainkan hanyalah referensi demi efisiensi kehidupan sehari-hari.

 

Begitupun dengan tawaran pekerjaan yang Anggi terima. Suatu sore, ia pun mengajak Hana untuk datang ke kantor lebih awal, demi ikut menemani pembicaraan dengan Bu Vina dan berdiskusi lebih lanjut tentang tawaran yang ia terima. Yeps, Anggi berhasil memantapkan keputusannya untuk memilih stay di LuminousTV dan menolak tawaran di Mobius si TV kuning.

 

 

“Suami saya kan head akuntan di sana, Nggi. Dia lapor ke saya waktu lihat kamu ngobrol sama manajer news di kafe towernya. Jadi saya langsung pasang strategi lah biar ga kehilangan kamu. Atasan juga setuju kalau saya bikin program baru. Jadi nanti kalau kamu ada usulan atau ada yang ga pas sama satu dua hal, langsung ngomong ke saya ya,” tutur Bu Vina dengan senyum ramahnya. Anggi pun mengucapkan terima kasih lagi dan menjabat tangan manajernya itu. Terjawab sudah rasa penasarannya tentang orang dalam.

 

“Kalau mau usul pakai konsep presenter, misalnya, ngajak temen kamu juga ga pa-pa,” sambung wanita paruh baya itu.

 

“Hah? Siapa, Bu?” Anggi menghentikan pergerakan tangannya di udara.

 

Bu Vina melirik ke arah bayangan di luar diding kaca ruangannya yang terlapisi kaca es. “Itu…yang nemenin kamu di luar dari tadi. Siapa itu? Ga mungkin kalo bukan anak sini, kan?”

 

Mendengar hal itu Anggi pun tertawa canggung, “Oh hehe, iya Bu, itu Hana, saya minta ditemenin tadi.”

 

“Nahhh, pas banget. Coba aja kamu ikut pikirkan konsepnya, saya mau denger. Pokoknya harus udah jadi sebelum masa kontrakmu habis lho, ya.”

 

“Siap, Bu Vina. Terima kasih, Bu. Saya pamit keluar ya, Bu.”

 

Dan Anggi tidak pernah merasa selega itu keluar dari ruangan manajernya, apalagi ketika mendapati kawannya yang masih setia menunggunya di depan ruangan. Tidak perlu banyak kata, Hana sudah bisa menangkap perasaannya lewat ekspresi yang Anggi keluarkan. Gadis itu pun ikut tersenyum lega.

 

“Selamat Anggi… Gue ikut berbahagia,” kata Hana sambil menggenggam lembut tangan kawannya itu.

 

“Gue masih ga nyangka, ternyata selesaiin masalahnya satu-satu bisa bikin selega ini,” Anggi mengeluarkan tawa ringan, melihat tautan tangan mereka, lalu mengangkatnya untuk mengecup lembut punggung tangan Hana. “Makasih ya, sayang, udah mau bantuin.”

 

Tautan tangan dan raut kebahagiaan di wajah Hana semakin meyakinkan Anggi bahwa keputusan yang ia pilih adalah langkah terbaik untuk mengamankan sebagian dari rencana masa depannya.

 

Dua masalah sudah Anggi hadapi, bahkan dalam jangka waktu yang cukup singkat, tiga minggu saja. Sekarang gantian meladeni masalah utama yang selalu membuatnya ingin menghindar sedari awal: kejelasan arti perasaan dirinya dan yang Hana miliki.

 

Omongan dari Cindy tentu membuatnya penasaran, terutama pada bagian di mana Hana tidak bahagia dalam menjalani budaya pertemanan baru yang mereka terapkan.

 

 

“Bang,” panggil Anggi kepada partner juru kameranya yang sedang konsentrasi memilah uban pada rambutnya yang agak gondrong. Bang Jamil pun membalasnya dengan gumaman, tidak ingin konsentrasinya terpecah.

 

“Gue nanya random ya. Dulu sama bini lo jadiannya gimana?”

 

Bang Jamil pun terkekeh pelan, “Kepo amat, lu.”

 

“Ya namanya juga random, Bang. Bosen gue nungguin sidang gini.” Batang nikotin di antara jemari tangannya Anggi hisap kembali.

 

“Gua dulu mah so swit kayak di pelem-pelem. Bini gua udah lama naksir, tapi gua cuekin soalnya lagi ga mau pacaran. Kesian kalo dipikir-pikir, tapi guanya sok kul. Eh akhirnya suatu saat bini gua

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet