epilog

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

“Bunda, aku pergi dulu yaaa. Baliknya soreannn!” teriak Anggi yang mencoba mengimbangi suara mixer Bunda yang tak kalah kerasnya. Ia pun mencium pipi ibunda sekilas dan pergi ngacir begitu saja.

 

“Mau ngapainnn?” susul Bunda ikut berteriak ketika anaknya sedang buru-buru memakai sepatu di pintu depan.

 

“Pacarannn!”

 

“Jangan lupa pesenan Bunda!”

 

Permintaan Bunda tempo bulan, agar Hana salim dan meminta izin secara langsung sudah mereka lakukan. Sehingga sekarang Anggi bisa lebih bebas mengekspresikan perasaannya di hadapan sang ibunda.

 

 

Hari ini mereka sepakat untuk bertemu di Tangerang dan merayakan hari jadi Anggi yang ke-29. Kini giliran Hana yang akan jadi sugar mom bagi sugar baby-nya yang sudah menentukan dresscode denim untuk couple look mereka.

 

“Mau ke mana kita?” sapa Hana, memberi sebuah ciuman di pipi Anggi.

 

“Showroom mobil.”

 

Hana berdecak sambil menatap Anggi dengan tajam, “Yang manusiawi dikit dong, say.”

 

“i-Box.”

 

“Lu punya misi memiskinkan gue kah dalam sehari?”

 

Anggi pun terkekeh. “Ya udah, pasar buah, deh.”

 

“Nahhh gitu dong. Deal,” ucap Hana lalu mengenakan sabuk pengamannya. “Let’s go!”

 

Anggi pun geleng-geleng kepala dengan senyum lebarnya, dan melajukan si ganteng menuju ke pasar buah.

 

Sebetulnya Anggi tidak sepenuhnya bercanda karena Bunda memang membutuhkan beberapa macam buah untuk topping kue pie yang akan dijadikan kue ulang tahunnya nanti malam.

 

Selesai membeli buah, Anggi baru membawa Hana pergi ke beberapa tempat yang sudah ia tentukan untuk mereka kunjungi.

 

 

Malam harinya, Bunda, Hana, dan Anggi mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan ulang tahun Anggi di taman belakang yang sudah dibersihkan. Meski tidak seindah dan sesubur ketika ada Ayah yang merawatnya, tetapi itu sudah lebih dari cukup bagi mereka.

 

Lampu-lampu pijar menerangi langit yang sudah berubah menjadi gelap. Hana dan Anggi bergantian menata dan membawa peralatan serta makanan dari dapur ke atas meja panjang di taman.

 

 

Setelah semuanya siap, Hana pun menyalakan lilin di tengah kue pie buah berukuran sedang yang sudah Bunda buat siang tadi. Selebrasi pun mereka lakukan sebelum menyantap sajian makan malam yang Bunda pesan dari resto favorit Anggi.

 

Tiada kecanggungan yang terjadi di antara mereka bertiga, topik pembicaraan pun bisa terus mengalir dari a hingga z. Sampai tiba akhirnya Bunda membahas tentang hal yang tidak Anggi duga sebelumnya.

 

“Dek, Bunda udah siap buat pindah ke Bogor.”

 

Bak sebuah petasan yang dilemparkan begitu saja, Anggi pun terkejut bukan main, hingga bakmi yang sedang ia makan hampir meluncur bebas ke tenggorokannya.

 

Setelah dibantu oleh Hana yang duduk di sampingnya, hingga kembali ke kondisi normal, Anggi pun menimpali pernyataan ibunda.

 

“Serius, Bun? Toko gimana? Ntar mau tinggal di mana? Kenapa akhirnya Bogor?”

 

“Satu-satu, Yang,” kata Hana menimpali, bersimpatik dengan Bunda.

 

Namun sang ibunda malah mengeluarkan senyumnya.

 

“Bunda teh udah atur semuanya, dek. Toko nanti dipegang sama manager di sini, kan selama ini juga Bunda ga perlu datengin tiap hari. Nanti Bunda buka cabang di Bogor, udah dapet partner di sana. Tinggalnya ya sementara sama Eyang dulu, toh kamar juga ada kosong, dua. Bunda udah bilang ke Eyang kemarin. Si Eyang teh langsung seneng, nambah temen di rumah, katanya. Nah, sekarang gantian Bunda yang nanya, adek mau ngikut keputusan Bunda atau ada yang adek ga setuju?”

 

“Aku percaya Bunda tahu mana yang terbaik buat kita, buat Eyang juga. Jadi aku ngikut aja, Bun. Paling ini sih, aku ga ikut ke Bogor, tapi pindah Jakarta. Gimana?”

 

“Mau barengan sama Hana?” todong Bunda tiba-tiba.

 

Kedua gadis di hadapannya pun sama-sama panik dan saling tumpang tindih menjawab pertanyaan Bunda. Untung keduanya sedang tidak makan ataupun minum, bisa bahaya nanti. Bunda pun malah tertawa, puas karena sukses mengeluarkan isengnya. Momen lain buat ‘like mother like daughter’.

 

“Belum tahu, Bun. Harus diskusi dulu kan,” jawab Anggi menepis asumsi Bunda.

 

Jika sebagai teman, Anggi pernah tidak masalah untuk tinggal satu kamar, bahkan satu kasur dengan Hana, tetapi sekarang — sebagai pacar — tentu banyak hal yang harus ia pertimbangkan terlebih dahulu. Juga dengan Hana yang harus ia dengar pendapatnya.

 

 

Pada akhirnya, Hana dan Anggi sepakat untuk tinggal bersama, tetapi di kamar yang berbeda. Alias menyewa unit apartemen lain dengan dua kamar, sehingga mereka masih memiliki ruang privasi sendiri-sendiri. Si ganteng pun ikut diboyong Anggi untuk memudahkan aktivitas kesehariannya.

 

Meskipun Hana dan Anggi sudah menjalani hubungan spesial mereka lebi

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet