tujuh

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

- start dari chapter ini ceritanya gantian fokus dari sisi Anggi ya -

 

 

Setelah mengakui bahwa perasaan dalam dirinya bukanlah hal yang mengancam kehidupannya, Anggi pun selalu menemukan hal-hal yang berbeda ketika sedang bersama dengan Hana.

 

Mulai dari suara, tawa, wajah, keberadaan diri, bahkan ketikannya pun sudah cukup membuat hati kecil Anggi bergejolak. Apalagi melihat kecantikan wajah Hana yang paripurna. Ia tahu sejak awal bahwa kawannya itu enak untuk dipandang, dari depan, samping, belakang, semuanya eyes pleasing.

 

Termasuk sekarang, ketika Anggi harus menerima kenyataan bahwa dirinya hanya akan menatap punggung cantik Hana sepanjang malam.

 

Ia tidak berani bergerak dari posisi tidurnya, menatap kaos abu-abu miliknya yang dikenakan Hana sebagai baju tidur. Anggi pun menghela nafasnya pelan, bersiap untuk menerima saja nasibnya malam itu. Meskipun ia masih teringat jelas kejadian di taman beberapa puluh menit yang lalu. Dengan berbagai macam tanda tanya di kepalanya yang sepertinya akan ia lanjutkan pagi nanti saja.

 

Hingga ketika Anggi hendak masuk ke alam bawah sadarnya, ia tersentak tatkala mendengar eluhan di depannya. Beberapa detik kemudian, Hana bangkit dari tidurnya dan berjalan keluar kamar. Anggi pun melawan rasa kantuk yang baru saja menyergapnya untuk ikut bangun dari kasur, menyusul Hana keluar kamar.

 

Segelas air kembali Anggi siapkan di meja makan. Sambil menunggu Hana selesai dengan urusannya di kamar mandi, Anggi pun duduk menaikkan kedua kakinya di kursi meja makan untuk dijadikan tumpuan kepala. Ia mengerjapkan kedua matanya, menghilangkan sisa-sisa kantuk, meski hal itu sangat berharga bagi dirinya untuk beberapa waktu ini.

 

Padatnya jadwal kerja dan pikiran berat yang sedang ia alami membuatnya lebih memusatkan diri untuk selalu berada di keramaian, karena jika sendirian dan tidak sedang melakukan apa-apa, pikiran-pikiran itu akan muncul kembali dan membebani kepala Anggi. Jika ia beruntung, kantuk akan menyelamatkannya untuk terbebas sejenak dari pikiran itu. Setidaknya hingga ia terbangun beberapa jam kemudian.

 

Tetapi setelah melepas sebagian beban itu, Anggi tidak lagi merasakan denyutan ekstrim di kepalanya. Bahkan ia bisa lebih tenang dari biasanya. Malahan mengantuk meski suasana di rumah sepi.

 

Mungkinkah Hana adalah kunci dari segalanya?

 

Bisa jadi iya, bisa saja tidak.

 

 

 

Jam antik di ruang tengah menunjukkan pukul 2 dini hari dan tepat 10 menit setelahnya, mereka kembali merebahkan diri di atas kasur double bed milik Anggi.

 

Tidak ingin memandangi punggung lagi sepanjang malam, Anggi pun berusaha untuk membujuk Hana.

 

“Na, lo masih marah sama gue?”

 

“Dikit,” jawab Hana singkat, masih tidak memalingkan badannya ke arah Anggi.

 

“Sorry, ya. Gue cuma bercanda tadi, ga ada seriusnya, sumpah. Kangen, dah lama ga godain lo. Deket sini, dong. Jangan jauh-jauhan gitu. Lo ga kangen sama gue?”

 

Hana pun akhirnya memalingkan badannya dan menatap Anggi. “Jangan diungkit lagi soal tadi.”

 

“Iya, gue janji. Sorry… Sini deket gue.” Anggi mengulurkan lengannya, menyentuh bahu Hana sebelum akhirnya kawannya itu menurut untuk mendekat. Kembali ke posisi seperti biasa ketika mereka saling menginap di tempat masing-masing. Meskipun ukuran kasur Anggi sedikit lebih lebar, tidak afdol rasanya jika kedua bahu mereka tidak saling bersentuhan.

 

Bedanya, kali ini mereka memilih untuk saling memandang wajah satu sama lain. Memperhatikan setiap jengkal detail yang selama ini belum mereka sadari.

 

“Makasih ya, Nggi. Ga lari dari gue lagi,” kata Hana dengan suara yang sedikit berat.

 

“Hmm, makasih juga udah mau nyamperin gue, dengerin gue, dan ga marah lagi ke gue. Ya, kan?”

 

Hana pun mendengus, “Iya, iya…”

 

Entah apa yang keduanya sedang pikirkan ketika mereka tetap mempertahankan posisi itu, saling memandang tetapi seperti takut untuk memulai sesuatu yang lain. Takut untuk merusak lagi batasan yang ada, takut untuk mengambil keputusan bersama atau malah sepihak, dan ketakutan-ketakutan lain yang sepertinya keduanya saling pahami meskipun hanya lewat tatapan mata.

 

Hingga akhirnya Hana mendekatkan tubuhnya dan memeluk pinggang kawannya itu. Ia bisa merasakan ketegangan pada tubuh Anggi, yang kemudian secara perlahan menjadi lebih rileks. Paras ayu seorang Hanggini yang murni tanpa makeup terpampang jelas di hadapannya. Meski Hana tahu bahwa kawannya ini akan tetap terlihat cantik dalam situasi apapun.

 

“Gue mau ngaku. Kalo lo tuh cantik banget sampe gue ngerasa kayak…lo tuh ga nyata,” bisik Hana, tangannya berpindah mengelus rahang Anggi.

 

Hana yang sempat putus asa pun tidak menyangka jika suatu saat Anggi akan mengungkapkan apa yang sebenarnya ia rasa. Dan semuanya itu terjadi malam tadi. Membuat Hana kembali mengumpulkan sisa-sisa harapan yang ia miliki. Harapan agar mereka bisa merajut kisah yang lebih indah, sebagai sepasang kekasih, maupun sahabat. Ia tidak keberatan akan salah satunya. Bersikap realistis adalah jalan ninjanya saat ini.

 

“Tolong selalu kasih wajah ini ke gue ya, Nggi. Wajah yang ga perlu pake topeng buat sembunyiin apapun. Selalu jujur ke gue apapun yang lo rasain dan alami. Gue, sebagai temen serius lo janji bakal nemenin lo dalam keadaan apapun. Inget kalo lo punya gue, dan gue punya elo, oke?”

 

Tentu saja Anggi terbuai dalam dekapan itu, tidak menyangka bahwa sosok Hana bisa seromantis dan seintim itu dengannya. Bahkan hanya dengan sentuhan tangan saja di rahangnya, Anggi sudah si

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet