enam

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

Orang bilang penyesalan selalu datang di akhir dan itu yang sedang Hana rasakan sekarang.

 

Andai saja dirinya tidak mengiyakan ajakan rekan-rekan kerjanya untuk ikut makan bakmi pedas level 10, dirinya mungkin tidak akan tersiksa seperti ini. Entah apa yang menghasutnya kemarin sampai-sampai mengabaikan kemampuan dirinya sendiri dan ikut taruhan menghabiskan sepiring makanan setan itu. Jelas-jelas bahwa di antara rekan kerjanya itu, dirinya termasuk yang payah dalam menikmati makanan pedas.

 

Ini sudah menit ke 20 Hana mendekam di dalam bilik terujung toilet kantor. Meskipun sudah minum obat sejak siang tadi, tetapi nampaknya perutnya masih harus berjuang keras untuk mencerna segala sesuatunya. Dirinya hanya bisa bersyukur karena hari ini tidak ada jadwal siaran anchor, yang pastinya akan menjadi masalah jika sedang sakit perut.

 

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel yang sedang Hana genggam. Ia sudah mulai tidak berharap banyak akan pesan dari Anggi, tetapi nyatanya agak sedikit kecewa ketika membaca nama kontak di notifikasi yang bukan Anggi.

 

Entah apa yang ingin EP-nya bahas, Hana tidak bisa memikirkan hal itu sekarang karena gejolak panas dalam perutnya mulai menyeruak lagi.

 

 

 

Selesai dengan pertempurannya di toilet, Hana melangkah lemas ke arah meja kerjanya untuk meneguk air dalam tumblernya dan menelan sebutir obat diare, dosis keduanya di hari itu.

 

“Auhh, malangnya nasibmu nak… Habis menang taruhan, duitnya langsung buat berobat,” celetuk Sophie yang dibalas dengan kekehan orang-orang di sekitarnya.

 

“Sialan lo, teh. Kapok gue, ga mau lagi,” sambar Hana menatap lemah seniornya itu.

 

Cindy yang masih nyengir pun ikutan meledek, hingga teringat akan sesuatu. “Eh lo dicariin Mam Jo tadi,” membuat Hana tersentak karena lupa. Lalu segera menuju ke pantry.

 

 

Sesampainya di sana, Mama Jo nampak sedang berbincang dengan news manager mereka, Bu Vina. Melihat kedatangan Hana, perbincangan mereka pun disudahi dan Bu Vina pamit keluar area pantry. Tanpa basa-basi, Mama Jo langsung bicara to the point dengan produser mudanya itu.

 

“Duduk sini, Han,” katanya seraya menunjuk kursi di sampingnya, yang tadinya diduduki oleh manager mereka. “Jadi gini, kakak sepupu gue lagi bingung gara-gara anaknya kelihatannya lagi ada masalah. Yang namanya ibu kan bisa ngerasain yah kalo anaknya lagi gimana gitu. Katanya juga sekarang anaknya jarang pulang ke rumah. Katanya lagi, memang anaknya sibuk kerja, tapi kerjanya tuh yang kayak ngotot kerja tanpa istirahat cukup,” mama Jo memberi jeda untuk menghela nafasnya. “Dia khawatir sama kesehatan anaknya, kemarin telpon minta bantuan ke gue kan, tapi gue juga ngga tahu harus gimana. Jadi gimana, Han? Bisa bantu?”

 

Hana yang sedari tadi mendengarkan pun hanya bisa mengerjapkan matanya, tidak tahu apa hubungan antara dirinya dengan masalah keluarga ini. Hingga sel-sel di otaknya mulai ia genjot untuk berpikir cepat ketika menatap wajah EP-nya yang penuh dengan concern itu.

 

Serasa ingin mengutuki diri sendiri, Hana pun baru tersadar ketika ia berhasil menyambungkan titik-titik poin perbincangan mereka.

 

Oh! Yang Mam Jo maksud “kakak sepupu” itu Bunda. Dan anaknya berarti…

 

“Aku bisa bantu gimana ya, mam?” Hana akhirnya buka suara.

 

Mama Jo pun menggenggam tangan Hana, “Kamu kan deket sama Anggi, coba ditanya dia ada masalah apa? Kabarnya gimana? Kalo bisa temenin biar Bundanya ga kepikiran. Kasihan kakakku tuh, udah ditinggal mati suami yang sakit mendadak, sekarang gantian ngurusin mertua yang sakit juga. Kalo anak satu-satunya juga bikin kepikiran, gue ga ngerti karma apa lagi yang dia tanggung.”

 

Mungkin memang permintaan ini agak sedikit membebani Hana, tetapi setelah mendengarkan dan menimang perkataan Mama Jo, sepertinya Hana memang punya andil khusus untuk bisa meringankan beban itu. Yang ia butuhkan hanyalah rasa bodo amat dengan egonya, pun dengan sisa-sisa perasaan yang ia punya akan kawan baiknya itu.

 

Kalaupun setelah ini pertemanan mereka akan semakin goyah, setidaknya Hana sudah berusaha untuk mempertahankan dan mencoba menerobos batas perlindungan diri Anggi, demi Bunda.

 

 

Sepulang dari kantor, Hana langsung menuju stasiun untuk naik komuter menuju ke rumah Anggi. Yes, dirinya sudah bertekad bulat untuk menyelesaikan apapun yang sedang terjadi malam itu juga.

 

Tidak ada persiapan khusus yang Hana sediakan, hanya berbekal bocoran jadwal dari orang dalam — Ayung, itu sudah lebih dari cukup. Di malam ini, Hana siap untuk melakukan penggrebekan.

 

Keluar dari rentetan gerbong komuter, dirinya pun langsung memesan ojol untuk menuju ke rumah yang sudah ia hafal alamatnya. Anggi mungkin masih ingin waktu sendiri untuk menguraikan masalah apapun yang sedang ia hadapi, tetapi tidak dalam radar seorang Hana Azalia. Apalagi setelah mengetahui bahwa permasalahan itu tak kunjung usai. Gemas sekali rasanya untuk segera ikut campur dan membantu meluruskan segalanya.

 

 

Setibanya di depan rumah Anggi, Hana melirik ke arah digit angka di pergelangan tangannya, 23:40. Waktu yang sangat tidak sopan untuk bertamu, tetapi mau bagaimana lagi? Ini masalah yang mendesak dan Hana baru bisa pulang kerja di jam-jam absurd ini.

 

Dirinya pun menoleh ke arah jendela atas, tempat di mana ia tahu persis akan Anggi tuju setibanya di rumah: ruang keluarga. Dan benar saja, lampu ruangan itu masih menyala, menandakan bahwa kawannya pasti sedang tiduran di sofa sambil mengutak-atik ponsel dengan televisi yang menyala untuk sekadar pengisi suasana saja.

 

Hana pun menghela nafasnya, sedikit deg-deg-an karena akan memulai aksi selanjutnya: menghubungi sang pemilik rumah.

 

 

Hana kembali mendongakkan kepalanya dan menangkap bayangan di balik gorden putih itu. Dirinya pun mendengus ketika melihat Anggi yang sedang mengintip ke arahnya, lalu ia mengacungkan jari tengah ke wajah kawannya itu. Bodo amat, tidak akan ada orang lain yang melihat juga.

 

Tak lama kemudian, pintu depan pun terbuka, menampilkan sosok Anggi yang masih mengenakan celana seragamnya. Hana bisa melihat semuanya karena gerbang rumah itu tidak terlalu tinggi. Baju korsa Anggi nampak sudah ia tanggalkan, menyisakan tank top hitam yang dilapisi jaket kuning kesayangannya yang selalu nampak bodoh di mata Hana.

 

“Temenin gue, yuk? Jalan ke taman. Situ kan, tamannya?” Sapa Hana ketika Anggi sudah berada dekat gerbang, sambil menunjuk ke arah yang ia yakin adalah taman kompleks.

 

Anggi pun mengerjabkan matanya beberapa kali, masih bingung dengan realita yang terjadi. Lagian kalau dinalar, mana ada orang Jakbar ke Tangerang jam segini cuma buat jalan ke taman kompleks? Ada sih, Hana.

 

Anggi menoleh sebentar ke arah pintu depan yang masih terbuka, lalu kembali ke Hana yang sedang berdiri menunggu di balik gerbang. “Bentar, gue ganti baju dulu. Tunggu aja di dalem,” pintanya sambil membuka kunci gerbang dan mempersilakan kawannya masuk ke rumah.

 

Hana duduk selonjor di sofa ruang tamu yang temaram, sembari menunggu Anggi turun dan melancarkan aksi selanjutnya. Atmosfer kompleks ini cukup sunyi, dibandingkan dengan apartemen Hana yang terletak di dekat jalan raya. Membuat dirinya teringat akan cita-cita masa depannya untuk memiliki rumah di pinggiran kota yang jauh dari polusi suara. Sama seperti rumah yang telah diwariskan ayah Anggi ini.

 

Lagi-lagi, bayangan tubuh Anggi membuat Hana sedikit terkejut, lantaran sedari tadi lampu ruang tamu tidak dinyalakan. Hanya mengandalkan cahaya dari arah luar.

 

“Masih mau jalan? Kayaknya udah nyaman banget di situ,” goda Anggi ketika melihat kawannya yang sudah terkapar di gumpalan empuk sofa. Ia sudah mengganti seluruh pakaiannya, menjadi kaos oversized dan celana pendek.

 

“Harus jalan, kalo nggak gue bisa beneran tidur nanti,” balas Hana yang sekuat tenaga bangkit dari duduknya.

 

Mereka pun berjalan keluar, menyusuri jalanan aspal kompleks dalam diam. Tidak tahu harus bicara apa, mulai dari mana, dan bagaimana menuturkannya. Hanya sibuk dengan pikirannya masing-masing.

 

Hingga langkah mereka pun terhenti di depan taman kompleks, tempat di mana warga perumahan beraktivitas di waktu senggang. Ada ring basket, perosotan, bangku-bangku, dan ayunan — yang akhirnya menjadi pilihan mereka berdua.

 

Tapi tidak seperti orang yang sedang bermain ayunan, keduanya hanya duduk terdiam, tidak mengayun sekalipun.

 

“Gue kalo ada salah tolong kasih tahu dong, Nggi. Biar bisa gue perbaikin.” Hana akhirnya jadi yang pertama membuka percakapan. “Jangan bilang soal kolam renang itu?”

 

“Ga ada, Na. Beneran. Kolam renang juga udah beres, kan,” jawab Anggi di sebelahnya.

 

“Kalo gitu, lo yang lagi ada masalah apa? Ini udah hampir dua bulan lo kayak gini. Ga mungkin kalo cuma masalah sepele,” Hana mulai mencecar perlahan.

 

“Lagi banyak pikiran aja.”

 

“Ga mau share ke gue sama sekali? Lo punya gue lho, temen serius lo. Jangan dianggurin aja, libatin gue. Bakal gue bantu semampu gue kok, daripada lo pikul sendirian. Berat, capek.”

 

Anggi pun sedikit menunduk dan menatap tautan jemarinya di atas paha. “Emang ribet dan berat, Na. Biar gue sendiri aja yang tanggung. Kan masalah-masalah gue, jangan sampe ngebebanin orang lain juga.”

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet