empat

What Are We?
Please Subscribe to read the full chapter

 

Hana mendorong pintu besi studio dengan kedua tangannya yang membeku. Suhu drastis lorong langsung menyambutnya, seakan meluluhkan adrenalin yang sudah terpacu sejak beberapa menit yang lalu.

 

Ia pun langsung melemparkan tubuhnya yang mulai melemas ke sosok Anggi yang menyambutnya dengan lapang. Seketika, sensasi dingin di sekujur tubuhnya berubah menjadi hangat. Apalagi ketika lengan panjang itu menyelimuti dan mengelus punggungnya perlahan. Membentuknya menjadi sebuah kenyamanan yang Hana idamkan.

 

Dirinya tahu pelukan itu seharusnya tidak bertahan lama, tetapi kenyataannya, keduanya membiarkan hal itu terjadi selama beberapa saat.

 

“Gimana, tadi?” Suara Anggi menyeruak dengan lembut ke telinga Hana. Menanyakan kabar tentang proses audisi news anchor yang baru saja kawannya ikuti.

 

“Gue ga inget sama sekali saking groginya.” Hana bisa merasakan getaran tawa Anggi dalam dekapannya.

 

“You did well. Gue sih percaya lo pasti lolos. Tapi apapun hasilnya nanti, lo udah lakuin yang terbaik buat sekarang,” kata Anggi sambil membelai lembut belakang kepala Hana. “Gue bangga banget sama lo.” Lalu dirinya memberi kecupan singkat pada pangkal kepala itu, membuat Hana semakin mengeratkan dekapan mereka.

 

Anggi menurunkan lengannya dan mencari tangan Hana yang masih terasa dingin, menggenggam dan menuntunnya untuk meninggalkan lorong studio menuju lift. Tidak sekalipun genggaman itu mereka lepas, meskipun ketika berpapasan dengan orang-orang yang mereka kenal, meskipun ruang gerak di lift cukup terbatas, meskipun detak jantung Hana terpacu lebih cepat dibandingkan ketika mengikuti audisi barusan.

 

“Nggi? Nggak mau dilepas?” tanya Hana, akhirnya menyerah, ketika mereka sudah berjalan di kompleks luar gedung belasan tingkat itu. Tidak ingin terbuai dengan harapan-harapan lagi. “Tangan gue basah,” imbuhnya merasa insecure tiba-tiba.

 

“Tangan gue juga,” jawab Anggi sekenanya, malahan semakin mengeratkan tautan kedua tangan mereka.

 

Hal ini membuat kedua pipi Hana semakin merona, mengalahkan blush on yang sudah bersarang di pipinya sejak pagi tadi.

 

Sialan! Cuma gitu doang ga usah pake tersipu segala!

 

“Mie ayam taman, mau nggak? Udah lama gue ga makan situ,” usul Anggi sambil menuntun langkah mereka keluar dari kompleks kantor.

 

Audisi Hana berakhir pada 13.45, pas sekali untuk langsung makan siang, sebelum Anggi presensi masuk di jam 15.00. Itulah mengapa Anggi sudah mengenakan seragam tempurnya, yang dibalut dengan jaket parasut kuning kesayangannya.

 

“Tapi baju gue, Nggi…,” kata Hana ragu, merasa aware akan outfit formal studio yang masih melekat dengan tubuhnya. Setelan blouse hitam yang dipadukan dengan blazer maroon beserta celana trouser yang senada. Kontras dengan yang Anggi kenakan. Membuat orang-orang di sekitar mereka otomatis akan melirik Hana. Apalagi di siang bolong seperti sekarang, di mana orang-orang, terutama pedagang dan driver ojol pengkolan yang siap untuk cuci mata.

 

Hana pun tambah was-was ketika genggaman tangannya dilepas sepihak oleh Anggi. Membuatnya bertanya-tanya apakah dirinya salah bicara? Atau keringat di tangannya sudah menjadi-jadi? Tapi ia pun tersentak dari dugaan-dugaan itu tatkala Anggi malah merengkuh pinggang rampingnya dari samping. Semakin mendekatkan tubuh mereka berdua.

 

Dan benar saja, panggilan serta siulan dari para lelaki itu pun menyeruak ke telinga Hana. Membuat Anggi semakin mengeratkan pegangannya.

 

“Bacot lu, anjir,” balas Anggi kepada gerombolan itu. Ia merentangkan tangan lainnya di hadapan mereka berdua untuk memberi jarak layaknya seorang bodyguard.

 

“Nggak. Minggir…minggir,” lanjutnya ketika beberapa dari mereka menawarkan jasa ojeknya atau bahkan menanyakan nomor ponsel Hana.

 

Makian dan respons melecehkan pun dilontarkan, membuat Anggi mati-matian menahan emosinya agar tidak ia ladeni. Urusannya akan panjang nanti, dan ia tidak ingin waktu makan siang mereka terganggu begitu saja.

 

Setelah berhasil melewati kerumunan itu, Hana dan Anggi pun bisa bernafas lega dan menyantap mie ayam gerobak yang beberapa waktu lalu pernah menjadi menu favorit mereka.

 

 

 

Hana lolos audisi news anchor. Tidak perlu bertanya siapa yang pertama kali dirinya hubungi, karena sudah jelas orang itu adalah Anggi.

 

“Kapan siaran perdananya?” tanya Anggi dari ujung sambungan telepon.

 

“Gue belum dapet jadwal, tapi semoga aja bukan News Pagi atau Siang sih. Bisa makin ancur nanti jam tidur gue.”

 

“Aduhh, semoga dapet sore atau malem, plisss. Gue juga pengen lo telpon dari studio, pasti asyik banget.”

 

Hana memandangi langit-langit kamarnya sambil tersenyum, membayangkan bila skenario itu terjadi. Dirinya yang bukan lagi hanya di control room untuk menelepon Anggi dari balik layar, tetapi berdampingan muncul di layar televisi sebagai pembaca berita dan penyampai berita.

 

“Lo kenapa ga mau nyoba anchor, Nggi? Dari dulu lho, pada banyak yang nawarin juga.”

 

“Nggak ah…gue lebih pede di lapangan daripada dandan rapi di studio. Lebih kerasa natural gitu kalo gue ada di habitat asli.”

 

“Iya dehhh,

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
fearlessnim
thank you semuanya yang sudah mau baca sampai akhir! respons darimu sangat ku nantikan yaa ;)
bisa juga ke tellonym.me/kebanyakanbias

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet