Chapter five
Apollo & Icarus5. How to love a mortal: gods do not love;
I have never met a boy so desperate for the divine, for absolution,
but god, I love him for it.
I want to see him burning, I want to kiss his forehead
right before he falls.
- anatomae
Jisoo tidak merasa lebih baik ketika kini seorang diri berada di kontrakannya.
Rumah kontrakan itu sepi saat ia datang tadi pagi, para penghuni yang lain tampaknya masih berada di kampus dan belum ada satu pun yang pulang. Sendirian seperti ini toh bukan hal buruk untuk Jisoo, itu mungkin yang ia butuhkan saat ini. Untuk menjernihkan pikiran seorang diri dan tidak perlu mendengarkan penghakiman atau opini dari orang lain.
Selagi merebahkan tubuh di ranjangnya, ia memikirkan kembali pertengkarannya dengan Seungcheol tadi pagi—jika itu bisa disebut sebagai pertengkaran. Mereka jarang cekcok sebelum ini, Jisoo selalu sangat pengertian dan tahu kapan waktunya untuk tidak menuntut lebih jauh, dan Seungcheol selalu menghujaninya dengan perhatian yang kadarnya bisa dibilang sangat berlebih. Dalam beberapa aspek, hubungan mereka yang terjalin selama lima bulan terakhir ini sejujurnya tidak pernah ada masalah.
Jikalau ada masalah pun, itu adalah dirinya. Masalahnya selalu dirinya.
Karena ia bukan dewa. Karena ia tidak bisa menyentuh matahari sebelum membiarkan sang matahari yang terlebih dahulu membakarnya. Karena Hong Jisoo tidak akan pernah bisa membuat dirinya dan Choi Seungcheol setara. Dan pikiran-pikiran itulah yang betah bersarang di kepalanya selama ini.
Kau dan aku, yang sedang kita lakukan adalah menulis ulang sebuah tragedi, Seungcheol.
Setelah mengetahui itu semua, Jisoo tidak mengatakan ia ingin mundur atau pergi sejauh-jauhnya dari Choi Seungcheol sebelum ia terhempas ke dasar lautan, ia hanya berpikir ‘betapa menyedihkannya’.
Tangannya meraih novel Demian karya Hermann Hessse yang berada di atas nakas di samping ranjang, ia sedang berusaha mengalihkan pikirannya dengan menuntaskan bacaannya untuk kelas Linguistik besok. Awalnya sempat terpikir untuk kembali melanjutkan saja sesi menonton One Piece-nya yang sempat tertunda, tapi Jisoo rasanya ingin memaki-maki diri sendiri karena laptopnya tertinggal di apartemen Seungcheol. Dan ia tidak ada nyali kembali ke sana untuk mengambilnya.
Terlebih setelah Seungcheol mengusirnya.
Mengusir mungkin kata yang terlalu keras, tapi Seungcheol nyatanya memang memintanya untuk pergi. Kepercayaan diri Jisoo sedang di titik terendah saat ini, ia tidak sanggup melangkahkan kaki kembali ke sana dan berhadapan lagi dengan sang kekasih dalam kondisi seburuk ini. Jika mereka bertemu lagi sebelum kondisinya lebih baik, mungkin Jisoo akan kembali mengatakan hal-hal yang tidak sepantasnya, mengeluarkan tuduhan-tuduhan tidak masuk akal, ia akan menuntut lebih banyak lagi, dan pada akhirnya Seungcheol akan semakin muak padanya. Ia tidak mau itu terjadi.
Ia sedang berada di halaman ke dua puluh ketika pintu kamarnya diketuk berulang kali, berbarengan dengan suara keras yang terdengar dari balik pintu. “Hyung, Jisoo-hyung, hyuuungie, kau di dalam?”
Wen Junhui, tentu saja. Setidaknya pemuda rantauan Cina itu masih punya sopan santun untuk tidak asal membuka pintu sebelum diizinkan. Jisoo melirik dulu jam dinding yang ada di kamarnya untuk mengecek jam berapa sekarang, keningnya otomatis berkerut melihat jarum pendek menunjuk ke angka empat. “Ya, ya, aku di dalam. Pintunya tidak dikunci, masuk saja.”
Junhui muncul dari balik pintu saat itu juga, kepalanya yang lebih dulu menyembul untuk mengecek keadaan kamar. Melihat hanya ada Jisoo yang masih berbaring di ranjang dengan buku di tangan, pintu itu ia buka lebih lebar dan akhirnya ia masuk ke dalam.
“Tidak ke kampus, Hyung?”
“Kelasku kosong hari ini. Kau baru pulang?”
Junhui menggeleng singkat. “Cuma mau ambil baju ganti, habis ini aku harus ke kampus lagi.”
Jisoo menganggukkan kepalanya tanda mafhum, sebagai mahasiswa Teknik Mesin memang tidak heran melihat kesibukan Junhui yang rutinitasnya kebanyakan dihabiskan di laboratorium atau bengkel. Bahkan tidak jarang ia menginap di kampus untuk menyelesaikan proyeknya dengan teman-temannya yang lain.
“Hyung, aku membawakan sesuatu untukmu.”
Jisoo tidak memperhatikannya sebelum ini, tapi sekarang ia melihat Junhui menyodorkan laptop yang ada di tangannya pada Jisoo. Laptop miliknya yang seharusnya masih berada di apartemen Seungcheol.
Tunggu, bagaimana mungkin?
Masih dengan perasaan heran, Jisoo akhirnya bangkit dari posisinya dan berdiri untuk menerima laptop itu. “Kenapa laptopku bisa ada padamu?”
“Choi Seungcheol tadi ada di depan, dia memintaku untuk memberikannya padamu.”
Matanya membulat, “Dia di sini?”
“Yeah, ketika aku datang dia sudah ada di depan, kelihatannya menunggu cukup lama.” Melihat reaksi Jisoo yang secara reflek menoleh ke arah jendela, seakan siap untuk berlari ke depan rumah saat ini juga ketika mengetahui Choi Seungcheol ada di sana, Junhui langsung buru-buru menambahkan, “Tapi setelah itu dia langsung pergi dengan mobilnya.”
Jisoo tidak yakin harus beraksi bagaimana setelah mendengar informasi barusan. Ada sebagian kecil dari dirinya yang merasa tersanjung dengan bentuk kecil perhatian dari Seungcheol, ia merasa hangat hanya dengan memikirkan sang kekasih begitu peduli padanya sampai mau repot-repot mengantarkan laptopnya. Sedangkan sebagian yang lain merasakan sesal dan bersalah karena sampai saat ini masih belum juga memiliki nyali untuk menghubungi kekasihnya sendiri.
Apa Seungcheol kecewa dengan sikap egoisnya ini?
Apa Seungcheol juga menanti-nantikan kabar darinya seperti ia yang selalu mengharapkan hal yang sama dari Seungcheol tiap harinya?
“Ada apa dengan kalian, hyung?” Junhui bertanya dengan nada heran setelah melihat Jisoo tidak memberi respon apa pun. “Aku awalnya berpikir Choi Seungcheol tidak masuk ke dalam karena kau sedang tidak ada di rumah, tapi kenapa dia tidak menghubungimu langsung saja?”
Ah, pertanyaan bagus. Seungcheol bisa menghubunginya jika pemuda itu memang menginginkannya, tapi Seungcheol tidak melakukan itu. Mungkin ia memberi jarak, mungkin ia menunggu Jisoo yang lebih dulu melakukan kontak, atau ia mungkin punya prioritas lain yang tidak menyertakan nama Jisoo di dalamnya. Apa pun itu, Jisoo tidak merasa baik sama sekali dengan jarak yang ada di antara mereka saat ini.
“Aku—kami... entahlah, Jun.” Jisoo menarik napas panjang kemudian, tubuhnya didudukkan di sisi ranjang dengan ekspresi murung tercetak jelas di wajah.
Junhui yang paham situasi langsung ikut menjatuhkan diri di sisi Jisoo. “Mau menceritakannya padaku?”
Sejauh ini, Junhui tidak menentang hubungannya dengan Seungcheol seperti yang dilakukan Jeonghan, tidak juga mencemaskannya secara berlebihan seperti Mingyu. Yang pemuda itu l
Comments