Chapter three
Apollo & Icarus3. He knew you were destined to be doomed;
You were red, and you liked me because I was blue. But you touched me,
and suddenly I was a lilac sky
- Halsey
Seungcheol tidak menghubunginya.
Seharian Jisoo menunggu penuh harap kabar dari sang kekasih yang tidak juga kunjung tiba. Ia berakhir dengan tidak fokus sama sekali mendengarkan ocehan dosen di kelas dan berulang kali selalu mengecek ponselnya secara obsesif. Tapi tetap saja nihil, tidak ada notifikasi dari Seungcheol sama sekali. Jisoo menghibur diri dengan mencoba berpikir bahwa kekasihnya pasti sibuk dan punya urusan penting yang membuatnya tidak dapat memberi kabar.
Begitu lebih masuk akal, walau rasa kecewa yang bersarang nyatanya sulit sekali dihalau.
“Choi Seungcheol masih belum menghubungimu?” Jeonghan bertanya dengan nada basa-basi ketika mereka sedang makan siang di kantin gedung fakultas teknik. Pemuda berambut panjang itu adalah mahasiswa Arsitektur, dan Jisoo sering mendapati dirinya mendatangi gedung fakultas ini tiap jam makan siang jika tidak sedang bersama Seungcheol.
Kepalanya hanya ia gelengkan dengan lemah sebagai balasan, sementara doenjang jjigae yang menjadi menu makan siangnya kali ini ia aduk tak bernafsu.
“Aku ingin bilang ‘kubilang juga apa’, tapi aku sedang tidak ingin menjadi sahabat yang menyebalkan jika melihatmu sedang menderita seperti ini.”
Jisoo mengeluarkan dengusan pelan, tapi tidak tahan juga untuk tidak merasa geli dengan ucapan barusan.
“Mungkin dia sibuk, Hyung.” Junhui, yang juga bergabung bersama dengan mereka di jam makan siang kali ini, ikut berkomentar setelah mengunyah satu potong kimbap. “Sibuk dengan pacar-pacarnya yang lain.”
Ekspresi Jisoo berganti suram, sementara Jeonghan yang berbaik hati menggantikan pemuda itu untuk memberi tabokan keras ke punggung Junhui. “Ya, kau benar-benar tahu cara menghibur orang, Wen Junhui!”
Junhui hanya bisa meringis kesakitan, tapi dia memasang wajah tanpa dosa ketika melanjutkan. “Maksudku, mungkin saja, kan? Dulu saja dia pernah mempunyai lima orang lebih yang mengaku sebagai pacarnya.” Melihat Jeonghan menyiapkan tangan untuk kembali menaboknya, Junhui buru-buru memandang Jisoo dan menambahkan. “Tapi tentu saja Choi Seungcheol tidak mungkin melakukan itu padamu, Hyung.”
“Jun, aku melarangmu bicara sampai akhir makan siang ini.” Jeonghan memberikan ultimatum dan pelototan yang membuat Junhui menunduk takut.
Jisoo menghela napas. Ia bukannya tersinggung dengan ucapan Junhui barusan, percayalah itu bukan kali pertama seseorang menyebutkan keburukan Seungcheol di masa lalu padanya. Ia hanya, entahlah, sedang rindu? Di waktu lain mungkin ia akan menanggapi perkataan Junhui dengan cuek, tapi kali ini—ketika Seungcheol sedang berada entah di mana dan tidak memberinya kabar sama sekali—ia untuk pertama kalinya memikirkan kemungkinan itu.
Seungcheol sedang sibuk bersama orang lain.
Seungcheol mempunyai kekasih lain.
Pikiran itu terlalu absurd dan di saat bersamaan menyakitinya lebih dari yang ia mau akui.
“Yeah,” Jisoo bergumam lirih. “dia tidak mungkin melakukannya.” Kalimat barusan lebih seperti ia ucapkan untuk dirinya sendiri, untuk meyakinkan dirinya sendiri.
“Jika dia melakukannya, menduakanmu atau apa pun yang membuatmu terluka, aku akan membunuhnya.” Jeonghan berdesis geram sambil menyendokkan makanannya agak keras di piring. “Kau tenang saja, Jisoo, I got your back.”
“Benar, Hyung,” Junhui ikut menimpali dengan cepat, seakan untuk mengganti dengan yang lebih baik kalimat yang sebelumnya ia ucapkan. “kami selalu ada untukmu.”
“Terima kasih.” Hanya itu balasan yang Jisoo berikan sambil menyunggingkan senyum.
Jenis senyuman yang tidak mencapai mata.
*
Jisoo memutuskan untuk mendatangi apartemen Seungcheol ketika kuliahnya berakhir pada sore hari.
Ia tidak biasanya datang berkunjung jika tidak mendapat undangan dari sang kekasih terlebih dahulu, tapi ponsel Seungcheol dari tadi tidak aktif dan satu-satunya hal terdekat yang bisa Jisoo dapatkan dari merasakan kehadiran pemuda itu hanyalah dengan berada di apartemennya.
“Seungcheol?” Jisoo memanggil nama itu saat memasuki unit apartemen di lantai dua puluh dua yang dalam keadaan sunyi senyap. Bahkan tidak ada pencahayaan yang dinyalakan, itu sudah cukup menjadi jawaban bahwa tuan rumah sedang tidak berada di tempat.
Ia awalnya sempat ragu, merasa tidak seharusnya berada di sini jika Seungcheol sedang tidak ada. Tapi kekasihnya sudah sering mengatakan bahwa apartemen ini bisa Jisoo gunakan sebebas mungkin laiknya rumah sendiri berhubung password-nya sudah diberikan padanya. Dan juga karena ia pikir ia butuh ini, hanya berada di tempat ini yang bisa sedikit mengobati kerinduannya.
Destinasi yang Jisoo tuju langsung ke kamar utama dari lima kamar tidur yang ada, tempat favoritnya dari apartemen ini yang tiap sudut ruangannya sudah ia hafal di luar kepala. Tubuhnya dibaringkan ke atas ranjang king size itu dan matanya memandang langit-langit kamar dengan pandangan melamun. Ia selalu berpikir ranjang ini sangat empuk dan mempunyai sesuatu yang membuatnya enggan untuk turun, Jisoo baru sadar bahwa kenyamanan yang ia rasakan hanya karena keberadaan Seungcheol di atasnya.
Tanpa Seungcheol, ranjang ini terasa begitu dingin.
Jisoo mendesah, entah sudah berapa lama ia melamun di kamar ini. Tangannya kembali meraih ponsel yang tergeletak di sisi, helaan napas berat keluar ketika melihat notifikasi yang ia tunggu-tunggu tidak juga muncul. Hanya ada chat kakaotalk dari Jeonghan dan grup kelas yang ribut membicarakan tugas esai mata kuliah Kritik Sastra Inggris untuk minggu depan, sementara kekasihnya masih tanpa kabar sejak terakhir kali Jisoo melihatnya di depan kontrakan tadi pagi.
Ia tahu apa pun yang sekarang sedang Seungcheol lakukan pasti adalah urusan keluarga, bukan berarti kekasihnya sedang main-main dengan orang lain seperti yang dikatakan Junhui. Ia tahu reputasi buruk Seungcheol, setia dan komitmen bukan kata yang tepat untuk disandingkan dengan pemu
Comments