Chapter four
Apollo & Icarus4. How to love a god: never forget that you will burn;
You know what will happen and you do it anyway.
You burn because this is what it means to love.
This is what it means to fly.
- Natalia Wee
Ketika Jisoo membuka mata, ia sudah berada di atas ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya. Hal terakhir yang ia ingat dari apa yang terjadi dini hari tadi hanyalah ia duduk di sofa ruang tengah dengan Seungcheol tertidur di pangkuannya, kelihatanya setelah beberapa lama ia kemudian ikut melanjutkan lagi tidurnya yang sempat tertunda. Dan kekasihnya tentu saja yang membawanya ke ranjang ini.
Seungcheol, Jisoo menggumamkan nama itu dalam hati, satu-satunya yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Choi Seungcheol sudah kembali padanya.
Ia menolehkan kepala ke sisi ranjang sebelahnya, berharap dapat menghangatkan diri dengan meyusupkan tubuhnya ke pelukan Seungcheol. Keningnya otomatis berkerut melihat tidak ada kekasihnya di sana. Tapi masih tercetak dengan jelas di sprei bekas tidur pemuda itu beberapa saat lalu.
Jisoo, yang masih berpakaian lengkap seperti kemarin, segera menyingkirkan selimut dari tubuhnya dan bangkit dari ranjang dengan langkah sedikit terhuyung. Seungcheol, nama itu kembali ia ucapkan layaknya mantra, ia perlu mencari Seungcheol.
Ia mendengar bunyi shower yang menyala dari arah kamar mandi, dan Jisoo segera membawa langkah kakinya mendekat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. “Seungcheol?” Panggilnya, dengan sebersit nada khawatir dan gugup yang tercampur jika diperhatikan.
Jeda beberapa detik, tapi kemudian ada suara yang menyahut dari dalam kamar mandi bersamaan dengan air shower yang terdengar dikecilkan. “Yes, baby?”
Jisoo baru sadar ia dari tadi menahan napasnya setelah ia mendengar balasan sang kekasih. Tubuhnya disandarkan ke pintu, ia menjawab lirih. “Nothing, just wanna hear your voice.”
“Aku sebentar lagi selesai. Mau bergabung?”
Ia terdiam mendengar tawaran itu, tiap kali Seungcheol mengajaknya shower bersama akan selalu berakhir dengan dirinya didorong ke dinding dan air yang mengucur dari pancuran membasahi keduanya selagi mereka sibuk beradu lidah. Ia menelan ludah, hanya dengan membayangkannya saja sudah sanggup membuat wajahnya merah padam. Bukan itu yang ia butuhkan saat ini, ia butuh menjernihkan pikiran terlebih dahulu. Dan berada di dekat Seungcheol dengan tangan pemuda itu menggerayangi tubuhnya hanya akan membuat pikirannya macet, ia tidak akan diberi kesempatan untuk berpikir ketika sibuk mendesahkan nama sang kekasih.
Akhirnya, ia menjawab cepat-cepat, “Mmm... aku mau membuatkan sarapan dulu.”
Seungcheol hanya memberi jawaban ‘Oke’ yang terdengar samar-samar dari dalam, dan itu tanda bagi Jisoo untuk segera meninggalkan kamar.
*
Begitu tiba di dapur, Jisoo memutuskan untuk membuat pancake pagi ini. Dapur adalah area yang paling jarang disentuh oleh kekasihnya di apartemen ini jika mengingat Seungcheol sama sekali tidak bisa memasak, Jisoo yang justru lebih sering menggunakannya dalam misi ‘membuat Choi Seungcheol lebih sering menyantap makanan buatan rumah’. Sang kekasih menghabiskan tujuh hari dalam seminggu dengan menggunakan jasa delivery atau makan di luar, dan Jisoo merasa berkewajiban untuk setidaknya memasakkan Seungcheol sesuatu jika ia berkunjung ke apartemen ini. Bahkan, bahan-bahan makanan yang ada di kulkas Seungcheol sembilan puluh persen adalah Jisoo yang mengisinya.
Dapur ini lebih sering disalahfungsikan sebagai spot bermesraan oleh Seungcheol yang selalu mengusik kegiatan memasaknya, Jisoo tidak akan berkomentar banyak soal itu kecuali ingin merasakan wajahnya memanas lagi.
Ia banyak berpikir selagi mengangkat adonan pancake yang sudah matang dari wajan; tentang dirinya, tentang hubungan yang sedang ia jalani, dan kebanyakan tentang kekasihnya yang begitu problematik. Di kepalanya, Jisoo membuat daftar untuk mendeskripsikan Choi Seungcheol yang sejauh ini ia ketahui:
Alcoholic Bad temper Heartbreaker Daddy issues That rich guy stereotype
Dan sebagai konklusi untuk merangkum semuanya, Jisoo menambahkan:
But he’s the sweetest boyfriend anyone could ask for.
Jisoo menghela napas seraya mulai menyusun pancake di piring, menaburi gula dan menambahkan potongan stroberi di atasnya. Pikirannya masih bercabang dan tidak sepenuhnya fokus pada urusan dapur. Ia membayangkan skenario di mana Seungcheol suatu saat nanti akan mencampakkannya, dan itu selalu membuatnya dihujani perasaan nyeri bertubi-tubi seakan ia tengah ditusuk-tusuk sesuatu. Bahkan walau Jisoo berulang kali mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ia sudah mempersiapkan diri jika itu benar-benar terjadi, rasa sakitnya tidak berkurang sama sekali.
Hong Jisoo tidak naif, ia tahu siapa dirinya, kedudukannya, di mana posisinya berdiri. Dan ia tahu dengan pasti siapa kekasihnya.
Jika dibandingkan dengan putra tunggal seorang konglomerat, ia yang hanya sebatas mahasiswa perantau dari keluarga Korea sederhana asal Los Angeles tentu saja kalah kelas. Bagai langit dan bumi. Ini bukan dongeng Cinderella, Choi Seungcheol bukan Prince Charming, dan Jisoo sudah belajar sejak awal bahwa mengharapkan akhir bahagia untuk selamanya dari kisah ini adalah hal yang sangat lugu.
Karena bagaimana bisa ia mengharapkan selamanya ketika kemungkinan Seungcheol akan membuangnya suatu saat nanti jika sudah bosan begitu mudah untuk dibayangkan?
Jisoo tidak tahu sejak kapan sisi insecure-nya ini muncul, mungkin sejak Seungcheol pergi kemarin dan tidak memberinya kabar sama sekali seharian, atau sejak menyadari bahwa pemuda itu dengan mudah bisa membawa siapa pun—literally, siapa pun yang ia mau—ke ranjangnya untuk menggantikan posisi Jisoo saat ini. Ia sejak awal tahu bahwa ini bukan hubungan yang seimbang ketika dirinyalah yang memberi terlalu banyak, tapi ia selalu berpikir bahwa ini layak. Rasa perihnya saat ini layak jika dibandingkan dengan kehangatan Seungcheol yang ia dapatkan.
Mencintai dewa bukanlah hal mudah, Jisoo tahu itu. Ia tidak mungkin berharap akan tetap utuh ketika tengah memegang matahari dalam rengkuhannya. Tapi tetap saja, jika tiap kali memandang mata kekasihnya dan yang ia lihat haruslah tragedi yang kelak menimpa dirinya, jujur saja itu bukan jenis hubungan yang ia inginkan.
Itu mulai menakutinya perlahan-lahan; bayangan-bayangan itu, kemungkinan-kemungkinan itu.
“Kau melamun.”
Suara yang tiba-tiba terdengar berbisik tepat di daun telinganya membuat Jisoo tersentak kaget dan membuyarkan lamunannya, ia baru saja memasukkan potongan pancake ke mulut dan nyaris tersedak karena kehadiran orang di belakangnya yang tidak ia sadari.
Seungcheol meloloskan tawa kecil dengan reaksi kekasihnya. Rambutnya yang masih basah menjatuhkan setitik air yang mengenai baju Jisoo, dan kini ia membungkuk dengan posisi dagunya menyentuh bahu pemuda itu. “Apa yang kaupikirkan?”
Kau.
Jisoo tidak bisa berpikir dengan jernih ketika kini Seungcheol menempel begitu dekat hingga pipi sang kekasih yang belum sepenuhnya kering bisa ia rasakan menyentuh wajahnya, wangi shampo dan sabunnya pun bisa Jisoo hirup dengan mudah. Wangi khas Seungcheol, dan apa pun yang menyangkut sang kekasih akan selalu membuatnya mabuk kepayang. Ia menjawab sambil mengunyah potongan pancake-nya dengan susah payah, “Aku memikirkanmu.”
Ia dapat merasakan Seungcheol tengah menyeringai saat ini bahkan tanpa perlu melihatnya. Jisoo tahu Seungcheol menyukai jenis atensi yang terucap secara gamblang seperti itu, untuk semakin meninggikan egonya, untuk mempertegas bahwa ia adalah pusat dari alam semesta dan orang-orang berputar mengelilinginya. Itu tidak sepenuhnya salah, toh. Bagi Jisoo, Choi Seungcheol adalah matahari pribadinya.
Dan mungkin karena itu Seungcheol belum juga bosan dengannya, karena Jisoo adalah seorang penyembah yang taat dan tahu benar cara memuja sang dewa dengan cara yang paling layak.
Mungkin karena itu Seungcheol menyukainya dan menjadikannya favorit.
“Aku, uh,” Jisoo berdehem ketika Seungcheol tidak merespon apa-apa, dagunya bergerak menunjuk sepiring pancake yang masih belum disentuh di ujung meja untuk mengalihkan topik. “sebaiknya kau sarapan dulu.”
Sialnya, Seungcheol selalu bagus dalam urusan timing, Jisoo tidak diberi kesempatan untuk menghindar ketika bibirnya tiba-tiba saja dikunci dengan bibir milik sang kekasih. Lidah Seungcheol menyusup masuk ke dalam mulutnya yang membuka dengan mudah, mengabsen deretan giginya satu per satu, menjelajahi dengan tempo lambat. Jisoo hanya dapat memejamkan mata, tangannya sendiri bergerak otomatis meraih tengkuk Seungcheol untuk memperdalam ciuman itu. Masih ada sisa-sisa sirup stroberi di mulutnya dari pancake yang baru saja ia makan, Seungcheol tampaknya tahu itu, terbukti dari gerakan lidahnya yang semakin menuntut.
Morning kiss tidak pernah lebih baik dibanding ini.
Setelah beberapa saat, Seungcheol akhirnya menarik diri. “Stroberi, eh? Manis.” Ia memberikan seringaian tipis sambil mengusap bibirnya. “Kesukaanku.”
Jisoo ingin bertanya bibirnya atau sirup stroberi yang dimaksud oleh Seungcheol, tapi pada akhirnya ia hanya mengatupkan bibir dengan wajah merah padam.
Seungcheol selanjutnya menjatuhkan diri di salah satu kursi, menarik piringnya mendekat dan mulai mengiris pancake-nya yang masih utuh. “Dapur ini berguna hanya jika ada kau.” Gumamnya dengan nada mengeluh. “Mungkin aku seharusnya menyekapmu saja di sini dan tidak pernah melepasmu pergi.”
Jisoo terkekeh mendengarnya, ia selalu suka jika kekasihnya mau repot-repot mengapresiasi hal-hal kecil yang ia lakukan. “Lalu apa? Kau mau menjadikanku pelayan pribadimu?”
“Oh, bukan ide buruk, kau bagus dalam urusan dapur dan ranjang sekaligus.”
Candaan barusan sukses membuat wajahnya memanas lagi, tawa keras Seungcheol yang selanjutnya terdengar pun tidak membantu sama sekali dan hanya membuat Jisoo semakin menunduk malu.
Ia memikirkannya lagi ketika mereka berdua setelah itu sibuk menghabiskan pancake, ucapan Seungcheol barusan, untuk menyekapnya dan menjadikannya pelayan pribadi. Tahu apa yang membuatnya ngeri? Jika saja Seungcheol serius memintanya, Jisoo tidak akan berpikir dua kali untuk mengiyakan.
*
Kelasnya kosong hari ini, dan setelah lembur semalaman untuk mengerjakan esay, Jisoo merasa tidak ada salahnya jika sisa pagi ini ia habiskan dengan menonton anime. Masih di apartemen Seungcheol, karena kekasihnya sedang dalam mode manja dan memintanya untuk tetap tinggal. Dan apa pun yang Choi Seungcheol inginkan, Choi Seungcheol dapatkan. Sesederhana itu.
Mereka kembali bersantai di atas sofa dengan laptop berada di pangkuannya, sementara Seungcheol menyandarkan kepala ke bahunya. Sang kekasih sibuk sendiri dengan iPad di tangan, membaca berita ekonomi terkini dan terkadang menggumamkan sesuatu mengenai aktivitas pasar saham yang tidak begitu Jisoo pahami. Sesekali ia akan mencuri kec
Comments