Part 02

Best Mistake

Part 02

Yoongi mendesah pelan.

“Jadi? Kenapa kau tidak bilang sejak awal?”

Sedikit ada rasa kesal ketika sesuatu yang baginya penting malah ditutup rapat dan sama sekali tak ada celah untuk tahu. Yoongi sedikit kecewa dengan Jimin yang tak menceritakan sejak awal bahwa ia telah dijodohkan oleh keluarganya dengan gadis yang baru ia temui. Jika Yoongi tahu Jimin akan dijodohkan mungkin ia akan mengurangi frekuensinya.

Jimin menunduk bersalah. Setelah semua tentang Jiyeon dan bagaimana awalnya diungkapkan oleh Jimin, suasana mencari lebih tegang. Ada derap aneh yang membumbung di telinga ketika mendengar helaan nafas penuh kekecewaan dari Yoongi. Bukan maksudnya untuk tak memberitahu pada Yoongi. Hanya saja Jimin tidak ingin melukai sosok yang ia sayangi. Hal ini akan memecah hubungan di antara keduanya. Jimin tidak ingin hal yang sama sekali tak ia terima malah membuat runyam segalanya.

Hyung, aku akan berusaha untuk menolak ini. Aku sama sekali tidak ingin dijodohkan.”

“Jangan bicara sembarangan!! Itu pilihan kedua orangtuamu. Lagipula...” Yoongi menghentikan ucapannya dan menatap Jimin dalam. Dari sana ia bisa melihat sorot menyesal yang kentara. “Jimin-ah.”

Jimin menaikkan sebelah alisnya lalu mendekat pada Yoongi.

“Lakukan apa yang menurutmu baik.” Tukasnya pelan.

“Aku akan membatalkan perjodohan ini. Tenang saja, aku akan membatalkannya.” Jimin menarik pergelangan tangan Yoongi dan memaksa si pemilik kembali duduk.

Yoongi menurut, ia duduk dengan perasaan sedikit gusar. Memainkan telapak tangan untuk menguranginya, lalu ia membalas tatapan Jimin yang sedari tadi menghujamnya.

“Aku tidak mencintai gadis itu hyung. Kau tahu kan?”

Yoongi kembali menemukan ketenangannya. Ia menghela nafas pelan lalu mengangguk.

“Sekarang? Kita jadi jalan-jalan?”

“Terserah kau saja.”

Mendengar jawaban seperti itu dari Yoongi memancing semangat Jimin dalam hati. Ia ingin mengembalikan mood Yoongi yang hilang gara-gara kehadiran Jiyeon. Seharusnya sejak awal dirinya saja yang menyusul Yoongi bukan malah Yoongi yang menyusulnya hingga terjadi hal yang demikian.

Ini kali pertama keduanya berada dalam keadaan yang seperti ini setelah sekian lama bersama. Jimin hanya bisa berharap sanggup lepas dari apa yang tak ia inginkan. Jika saja kekuatannya lebih tinggi dari sang eomma, mungkin..

Tapi itu hal mustahil. Bukan hanya eomma, bahkan appa dan adik perempuannya pun mendukung perjodohan ini.

Keduanya lantas keluar dari apartemen dan pergi tempat yang diinginkan mereka. Meski suasana sedikit kurang mengenakan namun mereka masih melewatinya dengan baik.

.

.

.

.

Masih pagi sekali. Sekitar jam delapan dan Jiyeon sudah berkeliaran di kampus. Hari ini jadwal kuliah dimulai pukul sepuluh. Oh bukan karena Jiyeon kerajinan hingga ia datang begitu pagi. Jiyeon melupakan satu tugas dari ekonomi makro yang seharusnya sudah selesai dan dikumpulkan nanti. Mau tak mau Jiyeon mengebut demi menunaikan tugasnya sebagai mahasiswa dengan mengunjungi perpustakaan sepagi ini.

Untungnya Nayeon mau membantu –lagi- kali ini.

Sebelum Jiyeon pergi ke perpustakaan, ia ingin ke toilet lebih dulu. Tangannya terasa kotor dan ia juga ingin buang air kecil.

Lebih dulu mencuci tangan lalu keluar dari toilet. Rupanya Jiyeon tak sendiri manakala ia membasuh tangannya. Ada dua mahasiswi yang tak Jiyeon kenal. Mereka berbincang-bincang cukup keras sejak Jiyeon masuk ke dalam kamar mandi tadi.

“Sekarang lagi marak berkencan dengan sesama jenis.”

Jiyeon menghentikan gerakan tangannya dan menoleh sedikit untuk mendengar lebih jelas percakapan dua gadis itu. Apa tadi? Berkencan sesama jenis?

“Paling banyak mereka yang berada di Fakultas Seni kau tahu??”

Sedikit mengecilkan laju keran, Jiyeon ingin mendengar lebih lanjut. Hubungan sesama jenis masih terasa asing di telinganya. Dan apa tadi? Fakultas Seni? Itu kan..

Masih dengan gerakan pelan-pelan, Jiyeon memperhatikan seksama kalimat yang keluar selanjutnya.

“Yang paling hits itu, Daehyun dan Youngjae sunbaenim. Tapi aku dengar ada pasangan baru, Jimin dan Yoongi..”

Jiyeon membelalak. Mata cantiknya itu menajam seiring dengan telinga yang ingin mendengar lebih. Apa tadi? Jimin dan Yoongi? Bukankah itu adalah nama-nama orang yang ia kenal? Lalu apa? Hubungan sesama jenis? Mana mungkin.

“Uh, sayang sekali Yoongi sunbae memilih jalan yang sama seperti Jimin sunbae. Tapi bukankah hubungan sesama masih sangat tabu di sini?? Tapi sepertinya anak-anak tidak masalah dengan hal itu.”

Kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang Jiyeon dengar percuma hari ini. Kedua gadis itu pergi setelah selesai dengan urusan mereka. Sementara Jiyeon masih mengelap tangannya dan memikirkan baik-baik apa yang baru saja ia dengar. Benarkah itu?

Benarkan Jimin dan Yoongi ada hubungan lebih dari sekedar teman biasa? Kalau seperti itu mungkinkah...

Ah, Jiyeon menyadari sesuatu. Sepertinya ini berhubungan dengan apa yang ingin dikatakan oleh Nayeon. Apakah rumor ini yang dimaksudnya?

Segera Jiyeon menyelesaikan urusannya di toilet dan bergegas pergi ke perpustakaan. Ia ingin memastikan hal ini pada Nayeon. Temannya itu mungkin lebih banyak tahu masalah ini.

.

.

.

“Sesuatu membuatku kepikiran sepanjang jalan.”

Jiyeon meletakkan asal tas dan buku yang ia bawa di atas meja depan Nayeon. Ia mendesah kemudian duduk di sebelah Nayeon.

Nayeon yang semula fokus pada buku bacaannya mulai mengalihkan pandangan pada Jiyeon. Ada kerutan jelas yang tercetak di keningnya.

“Apa?”

Gadis itu tak lekas menjawab, tangannya lebih dulu mengucir surainya dan bersiap-siap untuk mengerjakan tugas sembari membahas masalah yang cukup mengganggunya.

Ia menatap Nayeon dengan tatapan setengah tak percaya. “Masalah Jimin.” Sahutnya pelan.

“Kenapa? Kau tidak datang ke apartemennya lalu menyesal?”

“Bukan.” Jiyeon membuka bukunya. “Apa kau tahu rumor tentang Jimin??” Tanya Jiyeon dengan tatapan serius. Kedua mata melengkung milik Jiyeon memancarkan sebuah rasa penasaran yang kentara.

Nayeon melebarkan mata indahnya. Ada apa dengan Jiyeon yang tiba-tiba bertanya demikian? Ataukah temannya itu telah mengetahui hal yang selama ini ia sembunyikan? Sedikit memperbaiki posisi duduk, ia akan menjawab pertanyaan Jiyeon.

“Rumor yang mana? Bukankah kau bilang jangan percaya rumor??”

Jiyeon mengangguk. Ia mengeluarkan buku dan alat tulisnya. “Tapi aku mendengar di toilet kalau Jimin berkencan dengan sesama jenis. Benarkah itu??” Tanya Jiyeon kemudian.

“K-kau??” Nayeon nyaris tersedak dengan ludahnya sendiri. Ia tak menyangka jika Jiyeon akan menanyakan hal ini. Memang Nayeon mengetahui sesuatu tentang Jimin tapi bukan masalah berkencan. Melainkan masalah Jimin yang suka dengan sesama jenis. Lalu darimana kabar kalau Jimin telah berkencan? “K-kau tahu darimana??”

“Anak-anak di toilet. Aku juga baru tahu tadi. Benar ya? Apa ini yang ingin kau katakan padaku kemarin-kemarin?”

Anggukan kecil diberikan sebagai jawaban atas rasa penasaran Jiyeon.

“Sungguh?”

“Aku tidak tahu kalau dia berkencan. Setahuku Jimin itu penyuka sesama jenis.”

Jiyeon tampak terdiam beberapa saat. Ia tengah meresapi bait kalimat jawaban dari Nayeon. Ada beberapa bayangan yang melintas tentang hal ini. Terutama kilas balik di saat ia berkunjung ke apartemen Jimin untuk mengajak sang empunya pergi dan ternyata saat itu Jimin bersama dengan Yoongi.

Ah, Jiyeon juga teringat beberapa kali Jimin selalu mengungkit nama Yoongi ketika percakapan mereka lakukan. Sejauh itu kah hubungan Jimin dan Yoongi? Apakah karena itu juga Jimin menolak perjodohan yang dilakukan kedua belah pihak keluarga?

Hah, bagaimana bisa calon suamiku seorang gay.” Celetuk Jiyeon tiba-tiba. Ia baru saja tersadar dari pikirannya.

Segera Nayeon menoleh. Ia memperhatikan raut wajah Jiyeon yang entah menunjukkan apa. Sebenarnya ia tak tega melihat Jiyeon yang mulai menyadari kenyataan itu. Tapi lebih baik Jiyeon tahu sekarang daripada nanti kan?

“Lalu? Kau akan menolak perjodohan ini?”

Sebentar Jiyeon menghentikan gerakan tangannya dan menengok pada Nayeon. Iris sepasang itu menyorot dalam kristal Nayeon. Detik selanjutnya ia menggeleng.

“Tidak, aku tidak akan menolak perjodohan itu. Lagi pula aku juga masih belum yakin kalau mereka memang ada hubungan. Setidaknya biarkan aku melihat dengan mata kepalaku lalu aku akan memutuskan apa yang harus aku lakukan selanjutnya.”

“Kau benar-benar.” Nayeon menggeleng tak percaya kemudian melanjutkan aktivitasnya.

Jiyeon pun demikian. “Sudah itu kita bahas nanti. Sekarang mana tugasmu? Aku benar-benar buntu untuk mengerjakannya sendiri.” Tukasnya seraya menarik buku tugas milik Nayeon.

Sementara sang pemilik hanya mengiyakan dan memberikan sedikit penjelasan tentang soal yang telah ia kerjakan.

Mereka berdua larut dalam keheningan yang mengantarkan keduanya untuk menyelesaikan tugas. Sesekali Jiyeon bertanya pada Nayeon tentang hal yang tak dimengerti. Sejenak masalah tentang Jimin terlupakan. Jiyeon ingin fokus dengan tugasnya. Lagipula seperti apa yang telah ia ungkapkan, masih ada sedikit ketidakpercayaan jika Jiyeon tak melihatnya sendiri.

Jiyeon memang seperti itu. Ia akan percaya jika sang mata yang menangkapnya sendiri.

.

.

.

Jiyeon duduk di antara bangku-bangku kantin yang masih kosong. Selepas mata kuliah pertama, ia memutuskan untuk mengisi kembali energinya di kantin. Lumayan daripada ia menghabiskan uang di luar kampus. Selain harga di kantin yang lumayan murah, waktu yang diperlukan juga tak banyak mengingat setengah jam lagi kelas kedua akan dimulai.

Dengan tangan menggenggam roti isi, Jiyeon memperhatikan deretan bangku kanan kantin yang terisi banyak mahasiswa. Kalau Jiyeon tak salah menebak, sepertinya itu bukan mahasiswa ekononomi maupun bisnis. Dari penampilan Jiyeon bisa mengatakan bahwa mereka berasal dari mahasiswa kedokteran. Tapi kenapa sampai ke wilayah ini?

Setelahnya ia mengalihkan pandangan ke arah lain. Keningnya mengerut seiring dengan picingan mata yang mengarah pada salah satu tempat. Apa Jiyeon salah lihat? Tapi..

Tidak mungkin. Bagaimana bisa Jimin ada di wilayah ini? Ini kantin Fakultas Ekonomi. Letaknya lumayan jauh dari Fakultas Seni. Lalu kenapa sampai disini?

Pada akhirnya Jiyeon bangkit dan mengambil iced americano miliknya. Ia berniat untuk mendekati Jimin yang tampak seorang diri.

“Boleh duduk??”

Jimin yang tengah asyik dengan makanannya lantas mendongak. Ia menatap datar sosok yang meminta ijin darinya.

Hanya melihat tatapan itu, Jiyeon tak perlu menunggu jawaban. Daripada ia harus pergi lebih baik langsung duduk saja. Ia memperhatikan Jimin yang makan ramen dengan segelas jus jeruk.

“Kenapa bisa disini?” Jiyeon bertanya sebelum ia menyeruput iced americano-nya.

Jimin menyeruput cepat juntaian ramen di mulutnya lalu ia kunyah dan ia telah segera. Ia meletakkan sumpit dan balik menatap Jiyeon.

“Kau suka sekali menggangguku ya? Salah kalau aku datang kemari?”

“Tidak. Hanya aneh saja. Bukankah di gedung sana juga ada kantin?”

Jimin memutar bola matanya malas. Baginya sosok Jiyeon itu pengganggu nomor satu yang perlu dimusnahkan. Sejak kehadiran Jiyeon di sekitarnya, hidup yang semula begitu tenang jadi sedikit goyah. Jimin tak tahu sebenarnya apa tujuan keluarganya menjodohkan dirinya dengan Jiyeon. Apa tidak ada sosok lain yang lebih baik?

“Yoongi hyung ingin makan disini.”

Jiyeon yang semula sibuk dengan sisa roti isinya mendadak diam. Telinganya baru saja mendengar nama itu. Nama yang sempat mengacaukan pikirannya beberapa saat yang lalu. Lekas ia memandang Jimin yang kembali fokus pada ramennya.

“Yoongi? Sebenarnya siapa Yoongi itu Jimin? Kenapa kau seiring sekali berdua dengannya?”

Dan Jiyeon bisa melihat dengan jelas keterkejutan di mata Jimin. Kenapa Jimin berjengit kaget saat Jiyeon menanyakan hal itu?

Jimin memang terkejut. Sebenarnya itu pertanyaan yang wajar tapi saat Jiyeon menanyakan dengan ekspresi demikian membuat Jimin memutar otak. Apa mungkin?

“Teman baik. Sahabat.”

“Hanya sahabat??”

Pertanyaan sangsi dari Jiyeon menarik atensi Jimin. Lelaki itu menaikkan sebelah alis dan lensanya menatap curiga Jiyeon.

“Hanya? Terus apa lagi?”

Jiyeon tersenyum kecil. “Tidak. Ku pikir kalian..” Jiyeon menggantungkan kalimatnya dan mulai mengaduk asal iced americano di tangan.

“Tumben kau tidak datang pagi ini.”

Seolah Jimin tahu kemana arah kalimat yang sengaja tak diteruskan oleh Jiyeon, ia memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi memang, hal yang ditanyakan oleh Jimin adalah sesuatu yang menyenangkan untuk diketahui alasannya. Mengingat selama dua minggu lebih Jiyeon tak pernah absen untuk berkunjung.

“Kau merindukanku?”

“Sama sekali tidak. Lebih baik seperti ini, jangan datang lagi ke apartemenku.”

“Aku akan melakukannya sewaktu-waktu.”

Sorot tajam mata sipit Jimin menghujam.

“Datang ke apartemenmu, apalagi?”

“Siapa kau berani seenaknya seperti itu?”

Jiyeon tersenyum hangat. Ia meraih sumpit Jimin dan mengapitkannya di antara jari-jari Jimin. Detik berikutnya, Jiyeon menuntun Jimin untuk kembali makan.

“Park Ahjumma punya kendali akan hal itu. Dan untungnya aku diberikan ijin melakukannya.”

Jimin berdecak kesal. Rasanya ingin sekali ia memukul gadis di depannya ini. Menyebalkan sekali.

“Terserah kau saja!!”

“Aku akan---”

“Jimin-ah!!”

Jiyeon menengok pada sosok yang memanggil nama Jimin. Bola mata Jiyeon lekas membesar manakala mengetahui siapa yang datang. Ah, bahkan ia nyaris lupa kalau sebenarnya keberadaan Jimin disini adalah karena sosok itu. Jiyeon tersenyum hangat saat tatapan mata sosok itu tak sengaja berbeturan dengan miliknya.

“Aku akan pergi saja.”

Dan Jiyeon bangkit dari duduknya. Ia mendekat pada Jimin seraya berbisik. “Tunggu aku, aku pasti akan datang ke tempatmu.”

Tak butuh jawaban dari Jimin, kaki Jiyeon telah menapak beberapa langkah lalu meninggalkan keduanya.

Sementara Jimin mengalihkan sorot matanya pada sosok yang baru saja datang. Tatapan meyakinkan kentara disana. Seolah Jimin tengah mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa dan tak perlu khawatir.

.

.

.

.

“Calon istrimu manis dan baik. Sepertinya dia menyukaimu.”

“Kau bicara apa hyung!!”

Jimin mengubah posisi duduknya agar lebih nyaman lagi. Sejengkal lebih ia berada di sebelah Yoongi. Lelaki bersurai lebih terang dari milik Jimin itu menolak untuk jadi senderan.

Salu helaan nafas panjang lolos dari bibir Yoongi. “Aku bisa melihat dari tatapan matanya. Jimin-ah, apa kau tidak khawatir kalau seandainya dia tahu siapa dirimu yang sebenarnya?” Pertanyaan yang berisi sedikit rasa cemas itu memaksa Jimin untuk memalingkan wajahnya kepada Yoongi.

Hyung.”

“Kau tidak bisa selamanya bersembunyi. Bagaimana kalau dia tahu lalu bicara pada orangtuamu?” Tukasnya. “Kau bahkan tahu kalau hubungan kita sudah hampir menyebar di kalangan anak-anak.”

Jimin diam. Kalimat yang baru saja terekam indera pendengarannya itu melayang dalam otaknya. Benar juga, bagaimana jika hubungan ini diketahui oleh Jiyeon lalu orangtuanya.

Bagaimana?

Bagaimana jika?

Selama ini Jimin terlalu cuek dengan resiko yang pasti akan terjadi. Mungkin karena dulu tak ada pengganggu dalam hubungan mereka, tapi sekarang? Kehadiran Jiyeon seolah petaka yang akan menghancurkannya.

“Itu.. tidak mungkin--”

“Dia akan tahu?!” Yoongi memotong sahutan Jimin. “Mana mungkin dia tidak akan tahu. Mana mungkin juga dia akan diam kalau nanti tahu.”

Jimin menggenggam tangan Yoongi. “Apa hyung akan meninggalkanku kalau dia mengetahui hal ini?” Tanyanya lirih.

“A-aku, y-ya mungkin aku tidak meninggalkanmu. Tapi ini akan memberatkanmu Jimin.”

Hyung.”

“Apa keluargamu menerima hubungan sesama jenis??” Jimin diam dan Yoongi menghela nafasnya pasrah. “Jika mereka sama seperti keluargaku, kita bisa berjuang sama-sama. Kalau tidak??”

Alih-alih menjawab tanya Yoongi, Jimin memeluk lelaki yang lebih kecil darinya itu. Ia menelusupkan kepala di leher Yoongi lalu mengusap punggung yang lebih tua.

“Jangan bahas ini ya?? Kita akan menghadapinya bersama jika memang nanti terjadi.”

Dan Yoongi hanya diam. Berada di pelukan Jimin membuatnya terasa lebih nyaman. Meski kenyataan sebenarnya tengah menghantui, tapi Yoongi yakin semua akan bisa ia lewati. Bukankah segala pilihan memiliki resiko?

Ya, Jimin pun paham dengan resiko ini. Meski sebelumnya ia tak peduli, kali ini resiko itu seolah mengetuk dinding otaknya dan memaksa untuk dipahami. Apa yang akan ia lakukan jika resiko itu terjadi?

Jimin benci perpisahan. Tidak, Jimin tidak akan berpisah dari Yoongi. Hubungan yang telah ia bangun bersama Yoongi selama lebih dari setahun ini tak bisa berakhir begitu saja. Apapun itu Jimin akan melakukan demi Yoongi. Bukankah Yoongi telah berjuang untuk mereka di depan kedua orangtuanya?

Ini adalah kesempatan Jimin untuk melakukan hal yang sama.

.

.

.

.

Kamis pagi, rutinitas yang sempat tertunda akibat tugas kemarin hari memaksa Jiyeon untuk kembali pada hari semula. Bertandang ke apartemen Jimin untuk menyiapkan sarapan dan demi mempererat hubungan keduanya. Ah, ada misi lain yang ingin digali lebih oleh Jiyeon. Masalah hubungan Jimin dan Yoongi. Mungkin Jiyeon bisa mengorek dari sang sumber utama.

Ketika Jiyeon sampai pada parkir apartemen Jimin, ponselnya berdering. Segera ia mengambil dan melihat siapa si penelpon. Im Nayeon, ada apa pagi-pagi menelpon.

Uh? Kenapa?”

Jiyeon menggerakkan kakinya sedikit lebih cepat. Sesekali ia melirik jam yang melingkar ditangan.

“Aku sedang di apartemen Jimin. Ah, tugas akuntasi sudah aku kerjakan. Tenang saja.” Sesampainya Jiyeon di depan apartemen Jimin, ia membuka penutup password. “Mungkin sedikit lebih telat. Sudah ya. Uh, aku akan sampaikan salammu pada Jimin.” Jiyeon menekan password lalu menutup telepon Nayeon.

Langsung saja ia masuk ke dalam apartemen Jimin. Kemana Jimin? Kenapa sepi sekali? Atau mungkin Jimin masih tidur. Tapi tunggu..

Jiyeon membalikkan tubuhnya dan menjatuhkan pandangan pada rak sepatu bawah pintu. Ada sepatu lain yang sepertinya bukan milik Jimin. Atau mungkin...

Perasaan Jiyeon mengatakan ada yang tidak beres di dalam apartemen ini. Dengan langkah hati-hati ia mendekat pada kamar Jimin yang tak tertutup erat. Satu hembusan nafas ia lakukan sebelum memicingkan mata untuk mengintip ke dalam sana.

Dan..

Jiyeon terkesiap, pandangan di dalam membuatnya tak mampu berkata. Segera ia menutup mulut agar tak kelepasan berteriak. Nafasnya tersengal dan ia berbalik segera. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa? Apa yang..

Ah...

Jiyeon sedikit melupakan rumor yang beredar beberapa hari terakhir ini. Jadi benar? Sepertinya memang iya. Dengan bukti jelas itu Jiyeon tak bisa memungkirinya. Jimin dan Yoongi memang berkencan. Mana mungkin sekedar sahabat harus berbagi ciuman panas seperti itu?

Tak ingin membuat kekacauan, Jiyeon memilih pergi. Masih dengan keterkejutan yang jauh lebih parah dari kemarin hari, Jiyeon keluar apartemen. Ia tak sanggup melihat adegan itu.

Rasanya dada Jiyeon menyesak dan perih berbarengan. Jiyeon bahkan sulit bernafas dan matanya memanas. Apa mungkin ia telah...

Jiyeon memejam, bulir yang ingin keluar dipaksanya untuk kembali.

.

.

.

.

Kelas masih akan dimulai pukul satu nanti. Jiyeon kembali ke rumah setelah syok melihat bagaimana Jimin bersama Yoongi di dalam kamar Jimin. Dadanya sakit, nafasnya tercekat bahkan ia sempat menitikkan air mata. Rasa terkejut itu seolah menghantamnya dan memberikan banyak sugesti tentang bagaimana ke depan hubungan mereka.

Apa Jiyeon menyerah saja? Toh, sudah sangat jelas Jimin bukan lelaki normal. Pantas jika selama ini ia menolak mentah-mentah. Pantas jika selama ini ia tak tertarik padanya. Tapi rasanya itu akan sangat menyakitkan jika melihat Jimin seperti ini.

Takdir Jimin bukan dengan seorang laki-laki.

“Jiyeon-ah!!” Jiyeon menghentikan langkahnya dan menoleh pada sumber suara; sang eomma. “Kau sudah pulang? Bukankah baru saja kau berangkat??” Raut keheranan menghiasi wajah cantik sang eomma.

Jiyeon tersenyum lalu mengangguk. “A-aku..” Ia terdiam sejenak. “Eomma...”

Nyonya Kim mengangkat dagu.

Jiyeon berpikir ini mungkin yang terbaik untuknya. Tunggu, sejak kapan pikiran ini terlintas di otaknya?

“Bisa eomma percepat pernikahanku dengan Jimin? Aku tidak mau menunggu sampai lulus.”

Nyonya Kim terkesiap. Belah bibirnya menjauh seiring dengan bola mata yang membesar. Tak mengerti apa alasan sang anak mengatakan hal itu. Lekas tangan lelahnya menyentuh pundak Jiyeon lalu menarik yang empunya agar duduk bersama.

“Apa maksudmu Jiyeon? Kenapa kau terburu-buru ingin menikah dengannya?”

Beberapa detik Jiyeon biarkan dalam keheningan. Benak Jiyeon masih kabur dalam memikirkan hal ini. Ada pro dan kontra di dalam sana. Sebagian mendukung dan sebagian menolak. Sejenak ia menata pikirannya sebelum memberikan jawaban pada sang eomma. Satu detik dua detik hingga ke tiga puluh detik Jiyeon mengangguk kecil.

“I-ini yang terbaik untuk aku dan Jimin. Kalau aku dan Jimin tidak segera menikah, Jimin akan semakin menolak dan tidak akan menerima perjodohan ini.” Jiyeon mati-matian menutup rasa cemas dan rasa entah apa itu namanya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tak dicurigai bahwa ada maksud yang lain di balik ini semua.

Nyonya Kim hanya mengulas senyum hangat. Ia mengusap pipi Jiyeon.

“Kita akan bicarakan ini hmm? Tapi jangan sampai kau menyesal nanti kalau sudah menikah cepat.”

“Aku janji tidak.”

.

.

.

.

Kali pertama Jimin menginjakkan kaki di rumah orangtua setelah beberapa bulan tidak pulang. Jimin sedikit curiga dengan telepon sang eomma yang bilang akan menyampaikan kabar penting. Kabar apa? Kenapa tidak memberi tahu lewat telepon saja? Merepotkan.

Kaki Jimin melangkah lebih masuk ke dalam rumah. Sepertinya sang appa sedang bekerja. Lalu kemana eomma dan adiknya –Myungeun- ??

Oppa.”

Jimin menoleh, senyuman Myungeun menyambutnya. “Mana eomma?” Tanpa basa-basi Jimin menanyakan keberadaan sang eomma.

“Lagi memasak di dapur. Tumben oppa pulang ke rumah?” Myungeun duduk di salah satu sofa depan tv. Tangannya segera mengambil remot dan menyalakan tv sembari menunggu jawaban dari sang kakak.

Eomma menyuruhku.”

Ahh..”

“Jimin, kau sudah datang?” Sesaat Jimin akan meninggalkan Myungeun, Nyonya Park lebih dulu menyapa. Beliau baru saja datang dari dapur dengan tangan membawa camilan untuk Myungeun.

Jimin lantas duduk di sebelah Myungeun. “Sebenarnya apa yang membuat eomma memintaku datang ke rumah??” Tanya Jimin.

“Kau mau minum apa? Biar Myungeun buatkan. Kau sudah makan? Atau kau lapar?”

Eomma!!”

Jimin menghela nafasnya manakala tak langsung mendengar alasan sang eomma memanggilnya. Ia sedikit kurang suka dengan sifat berbelit-belit dari sang eomma yang seakan menyembunyikan sesuatu. Jika saja Jimin tak memiliki waktu luang mungkin ia tak akan berada disini. Benar ini adalah rumahnya, tapi entah mengapa Jimin kurang suka berada di rumah.

Sementara Nyonya Park hanya mengulas senyum. Dalam hati, paham dengan sifat sang anak yang kurang sabaran.

“Ini masalah perjodohanmu.”

“Perjodohan?” Kening Jimin mengernyit dengan tatapan bingung. “Ada apa dengan perjodohan?”

Nyonya Park menarik nafasnya perlahan. “Apa kau masih menolak perjodohan ini Jimin??” Alih-alih menjawab, Nyonya Park justru memberikan tanya lagi.

“Y-ya, ya aku masih menolak. Lalu apa masalahnya?”

“Jimin-ah, kau tidak bisa menolak perjodohan ini.” Nyonya Park menatap serius mata sipit Jimin.

“Kenapa? Kenapa tidak bisa? Sudah sering aku mengatakan pada eomma kalau aku tidak ingin perjodohan ini.” Sungut Jimin tak terima.

Nyonya Park menggenggam tangan Jimin. “Memang, tapi pihak Keluarga Kim menginginkan pernikahan kalian dilangsungkan segera.” Balas Nyonya Park.

Jimin tersentak kaget. Telinganya masih berfungsi baik kan? Apa yang baru saja dikatakan oleh sang eomma? Pernikahan mereka akan dipercepat? Hey, Jimin bahkan menolak pernikahan ini, lalu kenapa malah dipercepat?

Eomma..” Jimin menggeleng ragu. “Eomma bercanda kan? Jimin menolaknya, kenapa malah akan dilangsungkan segera??” Tolak Jimin.

“Kau tidak bisa menolak Jimin, ini keinginan Jiyeon sendiri.” Jimin membelalak. Jiyeon? Jiyeon? Apa yang dipikirkan oleh gadis itu?

“September nanti pernikahan kalian akan dilangsungkan.”

“September?” Sebuah batu besar menghujam kepala Jimin. Kenapa secepat itu? “I-itu..”

“Ya, dua bulan lagi Jimin.”

Jimin memijit pelipisnya. Ia menghela nafasnya pasrah dan berulang kali mengutuk nama Jiyeon di dalam hati. Apa-apaan ini? Dalam dua bulan pernikahan mereka akan dilangsungkan? Dua bulan ke depan? Jimin sama sekali tak menginginkan pernikahan ini. Apalagi dirinya telah memiliki sosok yang spesial.

Ah..

Jimin teringat sosok Yoongi. Bagaimana ini? Sepertinya ia harus berbicara dengan Jiyeon tentang masalah ini.

“Kim Jiyeon!! Kau..”

.

.

.

.

TBC

.

Hay, bagaimana? Silahkan direview.. ^^,

Yoongi mendesah pelan.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????