Part 06

Best Mistake

Part 06

.

Saat ini membaca menjadi satu aktivitas bagi Jiyeon untuk meredakan sejenak kekecewaan dan sakit hatinya. Bersikap bagaimanapun Jimin masih akan tetap menolaknya bukan? Jiyeon memang peduli dengan apa yang dirasa, namun jatuh terlalu dalam hanya akan menyebabkan lubang yang ada semakin membesar.

Jiyeon sadar, bahwa Jimin memang tidak memiliki keinginan untuk mencintainya. Jangankan mencintai, sekedar melihat saja rasanya ogah-ogahan. Daripada terus menetesi batu dengan air hujan, Jiyeon memilih untuk membiarkannya rapuh karena cahaya matahari. Bagaimanapun suatu saat nanti pasti keangkuhan itu akan melembut layaknya sebutir debu.

Demi menyingkirkan beban yang akhir-akhir ini menempel kuat di benaknya, Jiyeon memilih membaca beberapa majalah. Ada yang perlu ia korek lebih dalam. Entah itu hanya sebuah alibi atau memang keharusan, Jiyeon tetap keukeuh memperhatikan bait kata yang tertera di dalamnya. Sampai-sampai ia tak menyadari sosok lain datang dengan wajah gelisah yang kentara.

“Jiyeon?”

Um?”

Nyonya Kim duduk sedikit tak tenang di sebelah Jiyeon. Ia memperhatikan putri kesayangan yang larut dengan aktivitasnya saat ini. Satu hembusan nafas putus asa mengalun begitu saja.

“Kau--” Ragu, jelas. Ia ragu untuk memulai percakapan yang entah bagaimana akhirnya.

Jiyeon merasakan ada yang tidak beres dengan sang ibu. Lekas ia mengalihkan atensinya dari majalah ke arah wajah ayu itu.

“Ada apa eomma? Kenapa wajahmu tampak seperti itu?”

Beberapa detik Nyonya Kim membiarkan udara sekitar menampar keberaniannya. Ada ketidaktegaan untuk menyampaikan apa yang telah ia dengar lebih dulu.

Ini masalah yang cukup sensitif bagi Jiyeon. Masalah Park Jimin.

“Jimin--”

“Kenapa dengan Jimin eomma?”

“Kau- Kau belum mendengar kabar darinya? Apa Jimin tidak menghubungimu?”

Jiyeon mengernyit bingung. Kenapa sang ibu bertanya demikian? Bukankah ibunya tahu bagaimana hubungan Jiyeon dan Jimin? Mereka masih dalam tahap yang tak mungkin Jimin memberi tahu. Jangankan memberi tahu apa yang tengah ia lakukan, sekedar mengirim pesan kosong pun tak pernah.

“Kabar?” Jiyeon mengubah posisi duduk. Ia menatap penuh tanya pada sang ibu. “Kabar apa?”

Melihat reaksi Jiyeon, Nyonya Kim sanggup menyimpulkan bahwa putri bungsunya memang tak tahu apa-apa. Ia tak lekas menjawab, tangannya lebih dulu menjamah pundak sang putri. Memberikan sedikit usapan lalu menekan lembut.

“Jangan terkejut saat eomma mengatakan ini!!” Nyonya Kim menatap dalam manikan cantik milik Jiyeon. “Jisung-ie, Park Jisung mengusir Jimin dari rumah.”

“Huh? Park Ajusshi mengusir Jimin dari rumah? Kenapa?”

“Jimin—Jimin mengaku kalau dia memiliki kekasih seorang lelaki.”

Deg~

Jiyeon terkesiap saat itu juga. Keterkejutan menghantamnya dengan sangat keras. Apa yang baru saja ia dengar? Jimin diusir karena mengaku? Lalu, lalu dimana Jimin sekarang? Kemana Jimin pergi? Dimana?

Jiyeon lantas bangkit dan menatap sang ibu dengan tatapan khawatir yang kentara.

“La-lalu? Lalu dimana Jimin? Apa eomma tahu dimana Jimin? Apa mereka tahu dimana Jimin? Kemana Jimin eomma?”

Nyonya Kim tahu pasti akan seperti ini. Ia ikut bangkit dan memeluk Jiyeon.

“Tenanglah!! Kita memang tidak tahu kemana Jimin saat ini, tapi ia pasti kembali.”

Langsung saja Jiyeon melepas pelukan sang ibu.

“Aku akan pulang malam. Aku harus mencari Jimin!!”

“Hey, yaa... Kim Jiyeon!!”

Jiyeon tak mendengarkan lagi teriakan sang ibu yang berusaha menghentikannya.

.

.

.

Bagaikan sebuah bom yang baru saja meledak di dalam Jiyeon, kabar itu tak bisa Jiyeon terima dengan baik. Ia pernah, ia pernah membayangkan hal ini terjadi. Tapi tak sampai seburuk ini. Jiyeon tak menyangka jika calon suaminya itu akan diusir dari kediamannya.

Memang nyatanya apa yang diputuskan oleh Jimin bukan sesuatu yang dapat dibenarkan. Jimin salah disini. Ia salah. Tak seharusnya ia menyimpang dari apa yang ditakdirkan. Jika memang Jimin harus menjalani itu, maka jangan berbicara apalagi mengaku. Hal itu tak akan membuatnya terusir dari kediamannya.

Jiyeon terjerembab. Ia tak bisa keluar dari apa yang telah ia masuki. Jiyeon akan tetap mencari Jimin kemanapun sampai lelaki itu berdiri di hadapannya. Saat ini yang ada adalah rasa khawatir, gelisah dan tak tega. Harus dimana Jimin berakhir? Apa yang akan dilakukan Jimin selanjutnya? Bagaimana Jimin bisa melewatinya? Jiyeon tak mampu menjangkau semua itu dengan baik saat ini.

“Hallo—Hallo, Park Myungeun? Bisakah kita bertemu sekarang?” Jiyeon memang tak sanggup merengkuh tubuh Jimin saat ini. Namun ia akan berusaha untuk mengerahkan kemampuan dan kekuatannya untuk kehadiran Jimin kembali di hidupnya.

Cinta memang akan melakukan apapun, bukan?

Dan Jiyeon duduk berhadapan dengan adik Jimin. Dengan wajah yang nyaris tak menunjukkan sinarnya, ia menatap dalam penuh rasa penasaran pada sang lawan.

“Aku tidak tahu kemana Jimin oppa, unni.” Myungeun menunduk. Ada rasa bersalah yang begitu kuat membumbung. Bagaimanapun ia memiliki andil dalam pengusiran Jimin kali ini.

Jiyeon menghela nafas. Sesekali ia mengusap air mata yang masih saja turun.

“Kau tidak bisa menghubunginya?”

“Tidak.” Myungeun menggigit bibirnya kecil. “Sejak kemarin Jimin oppa mematikan ponselnya. Berulang kali aku dan eomma mencoba menghubunginya, tapi tidak ada hasilnya.”

“Lalu kemana Jimin?”

Myungeun meraih tangan Jiyeon dan mengusap punggung tangan itu dengan hangat. Rasa bersalah yang masih terus bertengger itu mendorongnya untuk memberikan ketenangan bagi Jiyeon. Hal wajar jika gadis di depannya ini begitu mengkhawatirkan Jimin. Ia tahu dengan pasti bahwa Jiyeon mencintai Jimin dengan sangat.

Unni tenang saja, aku yakin Jimin oppa akan baik-baik saja. Dia bukan anak kecil. Lagi pula dia juga pergi bersama dengan Yoongi-sshi. Aku pikir dia akan baik-baik saja.”

Jiyeon mendongak. Membalas tatapan mata Myungeun yang tengah meyakinkannya.

“Kau benar!! Aku harus menghubungi Yoongi sunbae. Aku harus tahu dimana Jimin sekarang berada.” Jiyeon melepas genggaman tangan Myungeun dan mulai merogoh ponselnya.

Ia berusaha menghubungi sosok yang sebenarnya tak ingin ia hubungi. Karena sosok ini pula yang menyebabkan salah satu ambisinya harus pupus seketika.

Satu, dua, tiga kali Jiyeon mencoba. Hasil baik masih belum berpihak padanya. Ia menghela nafas pelan. Yoongi tak bisa ia hubungi. Tersambung, tapi sang pemiliki serasa enggan mengangkat untuk menenangkan hatinya. Dan Jiyeon kembali menunduk. Kumpulan air yang bersembunyi di balik kelopaknya turun begitu saja.

Sampai sekarang rasa khawatir dan gelisah Jiyeon bertambah. Bahkan semakin lama semakin tumpah.

.

.

.

“Untuk sementara kita tinggal di apartemenku saja.”

 Sebagai pihak tertua, Yoongi memberikan tempat berteduh bagi Jimin. Toh ini juga bagian dari konsekuensi yang harus mereka terima. Yoongi sempat ragu bukan dengan keinginan Jimin untuk mengaku. Ia yakin bahwa hal ini akan terjadi.

Tanpa harus diyakinkan sebenarnya itu terlihat dengan jelas. Mana ada yang akan menyetujui hubungan sejenis?

Jimin menghembuskan nafasnya pelan. Rasa bersalah menguar begitu saja. Jika seandainya ia mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yoongi, pasti hal ini tak akan terjadi. Ia memang bodoh, tak berpikir dalam dulu dan langsung saja melakukan apa yang ia kehendaki.

“Maaf, karenaku kau jadi seperti ini. Pasti berat.” Ungkap Jimin penuh penyesalan.

Yoongi menoleh pada Jimin. Tatapannya dalam namun tak menyiratkan kemarahan. “Sudahlah!! Ini sudah terjadi. Lalu kau mau bagaimana selanjutnya? Apa tetap tinggal disini? Atau seperti yang kau inginkan? Hidup di Amerika?”

“Apa mungkin?” Alih-alih menjawab, Jimin malah melontar tanya. “Bagaimana bisa aku hidup di Amerika bila hidup disini saja aku masih menumpang.” Tanya Jimin dengan kesangsian yang ia rasakan.

Yoongi mengulum bibirnya kecil. Ia harus hati-hati menanggapi Jimin jika tak ingin hal buruk terjadi. Semenjak kejadian pengusiran itu membuat Yoongi harus berhati-hati lagi. Takutnya Jimin akan bertindak yang tidak-tidak.

“Itu..” Yoongi menatap Jimin yang tampak putus asa dan menyedihkan. “Kau harus mencari kerja Jimin. Aku juga tidak bisa menghidupimu.”

“Iya, aku memang harus mencari kerja.” Jimin menghela nafasnya kemudian. “Maafkan aku hyung!! Aku benar-benar menyusahkanmu.”

Yoongi hanya mengulas sebuah senyum. Ia menepuk pundak Jimin.

“Iya, tidak masalah. Sekarang kau pikirkan bagaimana caranya kau bertahan hidup dan menyambung kembali hubunganmu bersama orangtuamu. Apa kau akan terus-terusan pergi dari mereka?”

Menyambung kembali? Jimin memainkan kata-kata itu di dalam otaknya. Sepenggal kalimat yang membuatnya meradang. Hey, mana mungkin keluarganya akan menerima baik sosok Jimin yang jelas-jelas telah memalukan keluarga. Lagipula sepertinya Jimin tak memiliki keinginan untuk kembali.

Bukankah keinginannya adalah bertahan dengan Yoongi?

Lantas ia hanya mengulas senyum tipis. “Yaa, aku akan memikirkannya nanti.” Sahutnya sedikit merasa aneh.

Sementara Yoongi, ada sesuatu yang mengganjalnya saat ini. Benar ia memang mencintai Jimin dan mengharapkan hidup bersama Jimin layaknya orang-orang lainnya yang hidup dengan sosok dicintai. Tapi entah kenapa sebilik hatinya merasa sedikit tidak setuju. Apa karena ia telah melanggar peraturan sehingga membuatnya merasa bimbang? Mungkin saja, Yoongi hanya perlu meyakinkan diri bahwa apa yang telah terjadi memang ada hikmahnya.

Ada yang ia korbankan dan ada yang ia dapatkan.

.

.

.

Ini sudah hari kedua sejak Jiyeon tak lagi melihat sosok Jimin. Gadis cantik itu tak bisa menutup rasa khawatir dan kehilangan yang teramat. Masih, setelah pertemuannya dengan Myungeun kemarin Jiyeon masih mencari Jimin kemana saja. Ia menghubungi berulang lelaki itu juga. Tapi rasanya hasil memuaskan masih enggan datang kepada Jiyeon.

Dengan hati yang tak karuan Jiyeon memaksa tubuhnya duduk di bangku kelas. Ia sedikit lelah dan wajahnya pun tampak tak menarik lagi.

“Kau benar-benar mengerikan.” Celetuk gadis dengan gigi kelinci itu. “Semalam tidur jam berapa?”

Jiyeon melenguh kasar. Ia benar-benar tak memiliki kekuatan hari ini.

“Aku harus mencari Jimin kau tahu.”

“Jimin? Kemana dia?” Alis Nayeon menaut heran.

Jiyeon menghembuskan nafasnya yang lagi-lagi terasa kasar. “Kau tidak tahu?” Ia menjeda ucapannya untuk menggigit bibirnya sejenak. “Jimin benar-benar pemberani. Ia bahkan memilih keluarga dari keluarga Park daripada harus bertahan denganku.”

“Maksudmu apa Jiyeon? Aku tidak mengerti.”

“Dia mengaku kepada keluarga kalau dia adalah gay. Dia juga membawa Yoongi sunbaenim ke hadapan orangtuanya.” Jiyeon menunduk sejenak lalu mendongak. “Dan konsekuensinya saat ini dia diusir dari keluarga Park.”

Nayeon terkesiap. Ia menjauhkan belah bibirnya terkejut. Ada ketidakpercayaan yang begitu kuat membelenggunya. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Jimin melakukan hal ini? Nayeon pusing seketika. Ia tak pernah menyangka jika calon suami dari Jiyeon ini berani berbuat nekad. Lantas ia menelengkan kepala, ada rasa penasaran yang masih mengitari.

“Lalu?” Nayeon bertanya hati-hati. “Apa yang akan kau lakukan? Apa kau akan menyerah padanya?”

“Tidak!!”

Uh?

Ada seulas senyum yang tampak cantik. Nayeon cukup terkesima dengan gadis cantik yang saat ini ada di hadapannya. Meski hati Jiyeon sakit luar biasa ia masih bisa mengukir sebuah senyum seperti itu.

“Aku akan mencari Jimin sampai ketemu. Aku akan meyakinkan keluarga Park untuk menerimanya lagi. Kalau memang Jimin mau.. Aku akan tetap menikah dengannya.”

Nayeon memejam sejenak. Ia tahu bahwa keteguhan hati Jiyeon begitu kuat dibandingkan dengan harga diri. Ia tahu bahwa menikahi seorang gay pasti akan menjadi buah bibir yang sangat nikmat itu dilakukan. Tapi Jiyeon memilih menelan itu dan membuat Jimin kembali pada apa yang seharusnya.

“Aku akan mendukungmu.”

Dan Jiyeon tahu. Gadis ini tak akan menentangnya atau mengatainya. Gadis dengan gigi kelinci itu pasti akan mendukung setiap apa yang ia lakukan. Toh mau memaksanya untuk berhenti Jiyeon juga tak akan melakukannya. Selama bagi Jiyeon itu adalah yang terbaik ya Jiyeon akan melakukannya. Pun dengan Nayeon. Jika bagi Jiyeon hal itu adalah pilihan yang terbaik, ia hanya bisa mendukungnya sampai titik terakhir.

“Terima kasih, Im Nayeon.”

Nayeon mengangguk. “Sama-sama. Tapi kau tidak lupa tugas kuliahmu kan?” Kerlingan mata Nayeon jahil menggoda.

“Tentu saja tidak.”

Lalu tawa terdengar menggema setelahnya.

.

.

.

.

Ada yang mengganggu pikiran Yoongi selama ini. Setelah ia menerima Jimin di dalam apartemennya, alih-alih sebuah ketenangan karena bisa bersama kekasih malah rasa aneh menjalar tiba-tiba. Ada pro kontra yang tengah menggelayuti hatinya.

Yoongi bimbang. Entah kenapa tiba-tiba pikirannya menjadi tak menentu. Ia senang memang bisa tinggal bersama Jimin. Tapi ada bisikan-bisikan yang membuatnya kembali ragu. Terutama dari mereka pihak yang menentang hubungan mereka.

Lalu ia masuk ke dalam apartemennya. Hembusan nafas pelan menguar manakala manikan kecil miliknya menangkap sosok Jimin yang sedang melihat tv.

“Kau sudah pulang?” Rupanya Jimin menyadari kehadiran Yoongi.

Hmmm.” Hanya gumaman kecil diberikan sebagai jawaban.

Merasa aneh dengan jawaban Yoongi, Jimin mengalihkan atensinya. Ia menatap heran sosok yang baru saja datang. Raut muka itu menunjukkan ketidaksukaan.

“Kau kenapa hyung?”

Yoongi melengos tak menjawab. Lelaki yang lebih tua memilih langsung masuk ke dalam kamar. Sementara Jimin menghembuskan nafasnya. Ada apa?

Cukup lama waktu berselang. Jimin masih betah berada di tempatnya. Sedangkan Yoongi belum menunjukkan diri. Jimin merasa khawatir. Apa lelaki itu sakit? Tapi saat tadi ia pamit kuliah sepertinya baik-baik saja. Lalu apa?

Sedikit menghembuskan nafasnya, Jimin memutuskan untuk bangkit dan melihat keadaan Yoongi. Sebelum ia masuk ke dalam kamar lebih dulu ia mengambil minuman untuk kekasihnya itu.

Hyung?” Jimin membuka pintu kamar Yoongi yang kebetulan tidak dikunci.

Yoongi hanya menoleh sejenak lalu kembali pada aktivitasnya semula. Ia tengah meneruskan tugas akhir miliknya.

Jimin duduk di tepi ranjang seraya meletakkan minuman yang ia bawa. “Ada apa denganmu hyung? Apa kau sakit?” Tanya Jimin khawatir.

“Tidak.”

“Lalu?”

Untuk beberapa saat dibiarkan keheningan menyelimuti. Sungguh, saat ini Yoongi tak memiliki minat untuk berbicara dengan Jimin. Tak tahu kenapa rasa itu tiba-tiba muncul lagi. Ditambah dengan ingatan-ingatan yang bermain-main di benak Yoongi. Sejak awal ini semua memang bukan hal yang baik. Lalu untuk apa diteruskan lagi?

Sepertinya pengaruh yang tengah ditanam oleh sahabatnya mampu bertahan lama di otak Yoongi.

Hyung!!” Jimin memanggil lagi setelah tak mendapatkan sahutan dari Yoongi.

Yoongi mendesah kasar lalu membalikkan badannya. Tatapan datar sedikit bumbu kekesalan menghujam kristal bening milik Jimin. Lelaki itu jelas kentara menunjukkan sebuah ketidaksukaan pada yang lebih muda.

“Bisakah kau keluar? Aku harus menyelesaikan tugas akhirku.” Ucapnya dingin.

Jimin yang tak pernah mendengar nada suara seperti itu memaku tak bergeming. Tubuhnya nyaris tak bisa bergerak. Ada yang salah dengan Yoongi. Pasti ada sesuatu di balik ini semua.

“A-ada apa sebenarnya denganmu hyung?” Suara Jimin terdengar parau.

“Pergi Jimin!! Aku tidak ingin melihatmu hari ini!!” Seru Yoongi dengan menaikkan satu oktaf suaranya.

Jimin terkesiap. Ia menelan ludahnya susah payah. Dalam otaknya banyak bergelantungan tanya yang perlu jawaban segera. Kenapa dengan Yoongi? Kenapa tiba-tiba lelaki itu menjadi seperti ini? Apa salahnya? Ada apa? Masih dengan tanya yang tak terjawab, Jimin melangkahkan kakinya. Mungkin saat ini Yoongi butuh waktu sendiri.

Sementara Yoongi, ia mengacak-acak surainya frustasi. Tak tahu kenapa pikirannya kacau. Sejak hubungannya ditentang oleh orangtua Jimin semua menjadi tak beraturan seperti ini. Hidupnya tak tenang dan kebimbangan terus menghantuinya. Ia ragu, ia takut, ia bingung. Apa yang harus ia lakukan? Apa semua pilihannya ini benar? Kenapa semua jadi seperti ini?

Ditambah dengan bujukan dari teman-temannya yang mengatakan bahwa Jimin adalah pembawa sial. Kenapa ia harus mudah terhasut? Bukankah justru dirinya yang menjadikan Jimin pecinta sesama jenis? Kenapa semuanya jadi seperti ini?

Yoongi mengerang kacau. Ia tak tahu harus bersikap bagaimana lagi saat ini. Sudah tugas akhir tak kunjung selesai. Sekarang ditambah masalah kisah cintanya. Yoongi benar-benar butuh waktu sendiri.

.

.

.

“Kalian benar-benar menghapus Jimin oppa dari daftar keluarga?”

Myungeun membuka percakapan setelah keluarga Park itu menikmati makan malam mereka. Keadaan begitu hening. Ini jauh dari kebiasaan keluarga Park yang selalu berbagi cerita apa saja yang telah dilakukan. Semenjak kejadian dimana Jimin membawa Yoongi dan mengaku jika ia memiliki seks yang menyimpang, keluarga Park menjadi sedikit lebih diam.

Tuan Park yang semula tampak tenang menyantap makan malamnya menghentikan gerakan tangan. Untuk sejenak ia tak lekas menoleh pada Myungeun. Melainkan menatap dalam makanan yang masih tersisa banyak. Beberapa detik kemudian ia mengalihkan sorot matanya.

“Kenapa kau memulai percakapan ini, Myungeun?” Alih-laih sebuah jawaban, Myungeun malah menerima tanya dari sang appa.

Myungeun menghela nafasnya dalam. Ia turut menghentikan laju tangannya dan meletakkan sumpit di sebelah nasi.

“Aku kepikiran dengan Jimin oppa.” Ia mengulum bibirnya. Dalam otak, Myungeun sedang menyusun kata yang tak akan menimbulkan sesuatu yang buruk. “Bagaimana keadaannya sekarang.”

“Anak seperti dia tidak pantas untuk dikasihani!!” Timpal Tuan Park dengan nada berisi emosi yang jelas. Myungeun bisa melihat bahwa sang appa masih belum sanggup memaafkan apa yang telah Jimin perbuat. Untung saja berita ini tak sampai menyebar. Jika berita ini menyebar, pasti bisnis Tuan Park juga akan ikut hancur. Bukan perkara mudah menumbuhkan kembali kepercayaan yang susah-susah dibangun. Tidak seperti menghancurkannya.

Sang anak menunduk kecil. Ada rasa menyesal telah mengungkit masalah ini. Namun ia menyempatkan untuk melirik ke arah sang eomma. Dari sana tampak jelas sebuah ekspresi yang berbeda jika dibandingkan dengan sang ayah. Mungkin Nyonya Park merasa kehilangan sosok Jimin. Bagaimanapun Jimin adalah anak kesayangan Nyonya Park.

“Jangan kasihani dia Park Myungeun!!” Myungeun mendongak, melihat sang ayah yang menatapnya nyalang. “Biarkan Jimin tahu apa akibatnya telah memalukan keluarga ini!!”

Ya, Myungeun memang awalnya merasa bahwa ia akan menang jika berhasil mengungkap orientasi seksual Jimin. Tapi rasa bersalah jelas membumbung di dalam diri. Ia juga turut andil dalam masalah ini.

“Apa Jimin makan dengan baik?” Lirihan pelan Nyonya Park menyentak telinga Myungeun. Mungkin saja Tuan Park tak mendengar lirihan itu. Namun tidak dengan Myungeun. Gadis itu bisa mendengar jelas bagaimana ungkapan hati sang eomma.

Myungeun tak bisa apa-apa selain memberikan usapan pada punggung tangan sang eomma. Ingin rasanya mengucapkan kalimat penenang, Myungeun takut jika sang appa akan mendengar. Lalu ia harus bagaimana lagi dengan keadaan keluarga ini? Sampai kapan Jimin tidak akan diterima di keluarga ini?

Hey, Myungeun memang turut andil dalam pengusiran Jimin. Tapi ia juga merasa kasihan. Bukankah tujuannya agar Jimin mengaku adalah supaya Jimin mau menerima perjodohannya dengan Jiyeon? Dan sampai sekarang pun Jimin masih belum menunjukkan tanda-tanda akan menerima perjodohan itu.

Tunggu!!

Jika nanti Jimin menerima perjodohan itu, mungkinkah sang appa akan menerimanya kembali?

.

.

.

Pagi akhirnya datang menyapa. Masih pagi memang. Bahkan mentari masih enggan untuk muncul dengan sempurna. Tetapi gadis cantik itu telah siap untuk menggebrak apartemen Jimin.

Siapa? Siapa lagi kalau bukan Jiyeon. Ia telah sampai pada gedung apartemen milik Jimin. Masih, masih kuat harapan Jiyeon untuk menemukan sang pujaan di apartemen ini. Mungkin saja Jimin akan datang kembali ke tempat ini. Banyak do’a yang ia haturkan dan Jiyeon berharap do’a-do’a itu didengar Tuhan.

Segera saja ia menekan angka-angka password apartemen ini. Tak butuh waktu lama Jiyeon telah sampai di dalam. Namun desah pasrah terus menguar begitu tak mendapati sosok yang dicari ada disana. Lalu dimana sebenarnya Jimin berada?

Jiyeon menelusuri lebih dalam ruang-ruang disana. Semuanya tampak pengap. Ia meyakini jika apartemen ini tak lagi dikunjungi oleh sang pemilik. Lalu Jiyeon harus bagaimana lagi? Dimana Jiyeon harus mencari Jimin?

Tak ingin terus berada di dalam ruangan ini, Jiyeon memilih pergi dari sana.

Sementara itu..

Di sisi lain Negara Korea Selatan. Mentari yang telah menunjukkan diri merembes masuk melalui celah-celah jendela. Cahaya itu sampai pada wajah sosok lelaki yang masih terlelap. Sejak pertengkaran dengan Yoongi kemarin malam, Jimin memilih untuk tidur di ruang lain. Biasanya ia akan tidur bersama Yoongi namun kali ini Jimin ingin memberikan waktu sendiri bagi lelaki itu.

Kelopak mata Jimin bergerak gelisah. Cahaya itu mengganggu ketenangannya dalam tidur. Langsung saja ia duduk dari tidurnya dengan tangan mengucek kedua matanya. Melirik jam setelahnya. Pukul delapan pagi. Lekas ia bangkit untuk keluar dari kamar.

Saat kakinya melangkah di ruangan luar kamar, mata Jimin tidak mendapati Yoongi. Kemana lelaki itu? Jimin paham betul jadwal kuliah lelaki itu. Dan pagi ini tidak ada kelas. Lalu kemana? Apa ia bimbingan tugas akhir? Sepertinya tidak.

Tak ingin membuang waktu, Jimin masuk ke dalam kamar Yoongi. Sepi. Jimin membelalakkan mata saat melihat meja belajar Yoongi bersih tak tersisa apapun. Ada yang mengganjal disini. Dadanya bergemuruh tak menentu. Apa mungkin?

Tidak-tidak.

Jimin ingin berpikir positif. Lalu ia mengecek lemari milik Yoongi. Dan tubuh Jimin harus merosot turun dengan ketidakpercayaan yang menyelimutinya.

Kemana Yoongi? Kemana lelaki itu? Kenapa ia membawa baju-bajunya? Apa ia pergi? Tapi kemana? Jimin memejam. Dadanya sesak dan air mata mendesak ingin turun. Apakah pertengkaran kemarin menyebabkan Yoongi memilih pergi?

Entahlah, Jimin tak tahu lagi. Ia benar-benar tak bisa berpikir dengan jernih untuk saat ini.

.

.

.

TBC


Mind to review?

Thanks

.

.

Deer Luvian

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????