Part 03

Best Mistake

Part 03

.

“Kau gila!!”

Teriakan Jimin bukan kali pertama terdengar memekak sejak beberapa saat yang lalu. Ia cukup frustasi menghadapi Jiyeon yang masih keukeuh mempertahankan keinginannya untuk menikah cepat. Apa yang sebenarnya ada di otak Jiyeon hingga terpikirkan ide gila ini.

Sekitar tiga puluh menit yang lalu keduanya memulai pembicaraan masalah pernikahan ini. Hal yang perlu mereka garis bawahi jika benar-benar akan melangsungkannya segera. Sebuah kemauan dan kasih sayang. Oh, kalau kemauan saja sulit didapat, lalu bagaimana dengan kasih sayang?

Apalagi Jimin menolak keras pejodohan ini.

Jiyeon menghela nafasnya keras. Haruskah ia mengulang lagi kalimat yang menjadi alasan mengapa ia menginginkan ini semua?

“Ini demi kebaikanmu Jimin. Demi kebaikan keluargamu.”

Jimin tertawa sinis. Selalu saja jawaban itu yang keluar saat Jimin bertanya apa alasannya. Kebaikannya? Kebaikan apa? Peduli setan bicara kebaikan.

“Kebaikan keluargaku? Apa?”

Sebelah ujung bibir Jiyeon terangkat kecil. “Bukankah perusahaan Park Ajusshi sedikit mengalami hambatan dana? Appa-ku bisa mengucurkan dana untuk kelangsungan perusahaannya dengan cepat.” Tukasnya.

“Dana? Kau pikir kami pengemis? Kau pikir aku!!! Argghh!!” jimin mengacak surainya kesal. Jawaban dari Jiyeon memang memiliki kebenaran. Sebuah kenyataan yang mengaduk pikirannya. Perjodohan ini dilandaskan kepentingan bisnis selain hubungan dekat kedua belah pihak, terutama sang eomma masing-masing. Tapi tetap saja, rasanya konyol kalau Jiyeon beralasan demikian.

Sejak kapan Jiyeon peduli pada perusahaannya? Atau jangan-jangan..

“Ayolah Jimin!! Apa yang salah dengan menikah cepat? Kau hanya..” Jiyeon mengatupkan bibirnya. Seolah ia tak ingin kelepasan mengatakan sebenarnya apa yang menjadi dasar Jiyeon ingin mempercepat pernikahan ini.

Jimin tersenyum sinis. “Apa? Hanya apa? Atau jangan-jangan kau...” Jimin mendekat pada Jiyeon yang duduk tenang di sofa. “Kau mulai menyukaiku? Kau mulai mencintaiku dan kau tidak ingin melepau??”

“Ya. Ya aku mulai mencintaimu.”

Deg~

Jimin terhenyak mendengar jawaban lantang dari Jiyeon. Mata sipit lelaki itu mendadak membesar. Ia tak percaya bahwa Jiyeon akan mengatakan hal demikian. Apa memang benar?

Sementara Jiyeon, ia sendiri tak tahu bagaimana bisa mengatakan jawaban itu. Bukankah selama ini ia mengelak bahwa dirinya tak mencintai Jimin? Kenapa mulutnya reflek mengatakannya? Jiyeon merapatkan belah bibirnya setelah menyadari apa yang baru saja ia katakan. Apakah sebenarnya ia memang mencintai Jimin? Mengingat ia merasakan sakit yang teramat saat melihat Jimin bersama Yoongi. Mungkin saja...

Jimin tertawa aneh; ia masih berusaha menutupi keterkejutannya. “Sudah ku duga kalau kau memang menyukaiku sejak awal. Tapi asal kau tahu, aku tidak menyukaimu Jiyeon-sshi. Jadi lupakan pernikahan ini dan bilang ke eomma kalau kau membatalkannya!!” Kalimat panjang dari Jimin mengakhiri percakapan mereka. Jimin tak ingin mendengar alasan dari Jiyeon lagi. Ia lekas pergi ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya dan keluar dari apartemen meninggalkan Jiyeon.

Sedangkan gadis cantik itu masih terpaku di tempat. Otaknya bingung dan kacau. Bagaimana caranya membuat Jimin setuju dengan rencananya ini? Masih dengan rasa tak percaya bahwa ia mengatakan hal itu kepada Jimin, Jiyeon juga memikirkan hal lain yang menjadi alasan keinginan ini.

Alasannya adalah Jiyeon ingin menyelamatkan Jimin dari resiko yang mungkin tak bisa Jimin tangani sendiri. Sebenarnya Jiyeon ingin menghindarkan Jimin dari kemarahan keluarga jika saja mereka tahu bagaimana Jimin sesungguhnya.

Bahwa sang anak laki-laki yang dielu-eluhkan ternyata mengidap hal tidak normal. Tidak salah kan Jiyeon ingin membantu?

.

.

.

Hanya menatap kosong minuman di tangan dengan sedotan yang terus-terusan diputar. Jiyeon sama sekali tidak bernafsu untuk meminumnya barang setegukpun. Sejak ia duduk di antara jejeran bangku kantin, hanya tangannya yang aktif memainkan sedotan itu. Sesekali ia menoleh pada Nayeon yang terus mengoceh tanpa memberikan respon.

Dalam otak Jiyeon masih terjadi beberapa pergulatan. Banyak pikiran yang membuatnya tak nyaman. Terutama masalah cara membuat lelaki itu mau menuruti inginnya dan hubungan Jimin dengan kekasihnya yang telah kondang di berbagai tempat. Jiyeon tak tahu jika ternyata rumor itu begitu cepat menyebar di kampus ini.

“Apa yang ada di pikiranmu Jiyeon? Kenapa dari tadi hanya diam, menggeleng lalu menggangguk saja?” Nayeon sedikit gemas melihat perubahan sikap Jiyeon yang pelamun. Oh, ini bukan Jiyeon. Biasanya meski sedikit, Jiyeon akan memberikan tanggapan. “Masalah Jimin?”

Jiyeon menoleh. Tangannya melepaskan sedotan lalu beralih pada tepi gelas minumannya.

“Bagaimana caranya agar Jimin menyetujui pernikahan ini?” Tanyanya pelan.

Nayeon mendelik. “Ja-jadi? Jadi kau tetap ingin menikah dengan Jimin setelah tahu dia seperti apa?” Tanya Nayeon setengah terkejut.

“Ya, aku memang akan menikah dengannya. Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja Nay.”

Nayeon mengernyit kecil. Ada yang aneh mendengar jawaban Jiyeon. “K-kau?”

“Ya, aku mulai mencintainya. Kali ini aku mengakui kalau aku mulai mencintai Jimin.”Jiyeon mengakuinya. Di depan Nayeon, ia mengakuinya. Toh tidak salah juga bukan mengakui apa yang sebenarnya terjadi. Menyembunyikan perasaan juga tidak akan membantu Jiyeon.

“Sungguh? Oh Tuhan..”

Dan setelah itu Jiyeon mulai menceritakan bagaimana awal mula permasalah ia ingin menikah cepat dengan Jimin. Berawal dari hal yang tak sengaja ia lihat sampai Jiyeon meminta kepada sang eomma untuk mengatur pernikahan mereka ke depan. Jiyeon juga mengungkapkan bagaimana perasaannya saat melihat Jimin berciuman dengan Yoongi. Semua yang menjadi unek-unek Jiyeon lekas ia lepas di hadapan Nayeon.

Nayeon menggeleng tak percaya. Sahabatnya itu ternyata memiliki kisah cinta yang terbilang rumit. Ia masih ingat jika sahabatnya itu minim pengamalaman cinta. Bisa dibilang mungkin ini adalah kali pertama Jiyeon ingin menjalankan hubungan yang serius.

“Kenapa kalian tidak tunangan dulu saja?? Itu juga mengikat bukan??”

Jiyeon menggeleng. “Memang, tapi tunangan bisa kapan-kapan berpisah. Kalau menikah??” Sanggahnya.

“Menikah juga bisa berpisah kapan-kapan.”

“Tapi prosesnya sulit.” Jiyeon menghela nafasnya pelan. Rasanya tak tahu mengapa ia begitu ngotot ingin menikah dengan Jimin selain alasan di atas. Atau mungkin ia benar-benar tidak ingin kehilangan Jimin?

“Kau ambisius sekali. Itu tidak baik Jiyeon.”

“Aku tahu.”

Nayeon mengusap punggung tangan Jiyeon. “Semangatlah!! Aku akan membantumu sebisa mungkin. Lebih telaten saja dengan sikap Jimin, kalau kau sering dan sabar menghadapinya pasti Jimin akan luluh juga.” Seulas senyum muncul dari bibir Nayeon. “Bukankah batu akan berlubang jika terus ditetesi air hujan?”

“Benar.” Jiyeon mengangguk. “Terima kasih. Kau memang sahabat terbaikku.”

Selepas itu, Jiyeon dan Nayeon kembali membahas masalah-masalah yang mungkin membuat mereka sedikit meradang. Nayeon mendengarkan dengan seksama bagaimana penuturan Jiyeon. Ia bisa merasakan keinginan yang kuat dari gadis itu.

.

.

.

Apartemen Jimin tidak sepi kali ini. Sejak dua jam yang lalu, Jimin ditemani oleh Yoongi yang kebetulan tidak ada kuliah. Kebetulan juga Jiyeon tidak datang lagi hari ini. Jimin yakin, mungkin karena amarahnya Jiyeon memilih untuk tidak datang. Lagipula itu adalah yang diharapkan oleh Jimin.

Ia juga sudah mengganti password-nya untuk menghindari Jiyeon.

Oh, ya bulan Oktober aku ada tawaran untuk menjadi asisten produser. Han sajangnim menghubungiku kemarin sore.”

Jimin yang tengah memainkan game di ponsel lantas menoleh. “Sungguh? Kenapa hyung baru mengatakan sekarang??” Tanyanya dengan nada terkejut.

“Aku baru ingat setelah melihat tayangan itu.” Dagu Yoongi mengarah pada acara musik yang sedang tayang di televisi. “Mungkin aku akan sedikit sibuk nanti. Aku juga akan menyelesaikan skripsiku bulan depan.”

A-ah, sepertinya waktu kita berdua akan banyak tersita untuk itu. Tidak masalah, inikan yang ditunggu-tunggu oleh hyung? Menjadi produser profesional.”

“Ya.” Yoongi mengangguk. “Lalu kau? Apa yang akan kau lakukan saat aku sibuk nanti??”

“Aku...”

Lelaki yang lebih muda terdiam beberapa detik. Otaknya memutar ingatan tentang perjodohan, pernikahan dan bulan September. Tunggu!! Tadi Yoongi mengatakan akan sibuk pada bulan Oktober? Itu berarti sebelum bulan September. Sementara Jimin akan melangsungkan pernikahan –jika ia mau- pada bulan September.

“Apa?”

Selama beberapa detik Jimin terdiam, ia menggeleng dengan senyum kikuk mengembang. Sebaiknya tidak usah memberi tahu sekarang. Lagipula Jimin juga masih keras menolak. Jika memang nanti usahanya menolak tak berhasil baru ia memberi tahu baik-baik pada Yoongi. Jimin tak ingin merusak suasana nyaman yang telah tercipta hari ini.

Setidaknya nikmati waktu yang ada sebelum semuanya benar-benar pergi.

Oh hyung, apa lagu demo yang kau buat itu sudah didengar oleh produser dari sana?” Tanya Jimin untuk menghilangkan kecanggungan di hatinya.

Yoongi menoleh. “Demo yang mana? Aku buat banyak.” Sahutnya sedikit bercanda.

“Yang mana saja.”

“Yang pertama dan kedua sudah masuk dapur rekaman. Kau tahu solois Kim Sunggyu? Dia yang menggunakan laguku.”

Jimin bertepuk tangan. “Waahh, kau memang hebat hyung!! Aku bangga menjadi kekasihmu.” Serunya senang.

“Kau bisa saja..”

Musik, mungkin berawal dari musik pertemuan keduanya terjadi. Jimin masih ingat bagaimana keduanya bisa menjadi satu seperti ini. Berawal dari sekolah menengah atas yang sama dan memiliki hobi yang sama pada akhirnya mereka saling mengenal satu sama lain. Jimin tak tahu awalnya jika Yoongi adalah seorang gay. Setelah sekian lama berteman, mereka mengungkapkan perasaan masing-masing.

Dan Jimin berharap hubungan mereka bisa bertahan lama.

Hyung!! Malam ini menginap disini lagi yaa..”

Senyum Yoongi terulas lebar. “Baiklah, aku akan menemanimu kapanpun sayang.”

Assa!! Kau memang kekasih terbaik.”

.

.

.

Pagi ini Jiyeon melakukan hal yang sudah menjadi kebiasaannya. Setelah beberapa hari tak datang, hari ini ia memutuskan untuk menemui Jimin dan membicarakan lagi masalah itu. Siapa tahu Jimin bisa diajak kompromi.

Jika ditilik dengan baik, sepertinya Jiyeon yang terlalu bersemangat dengan masalah ini. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Nayeon kalau ia terlalu ambisius. Jiyeon tahu, dan Jiyeon tak peduli. Baginya apa yang menurutnya baik tidak masalah bukan terus dikejar. Toh ini juga untuk kebaikan bersama.

Terutama kebaikan sang hati.

Sesampainya ia di depan apartemen Jimin, segera ia menekan kode password. Alis Jiyeon menaut jadi satu manakala suara password salah terdengar. Sekali lagi ia mencoba, namun hasilnya tetap sama. Jiyeon mendesah kasar. Sepertinya Jimin telah mengganti password-nya sehingga ia tak bisa masuk sembarangannya.

Lantas Jiyeon menekan bel apartemen. Jiyeon yakin seratus persen Jimin ada di dalam. Ia ingat betul jadwal kuliah lelaki itu. Berkali-kali sudah Jiyeon menekan bel namun tak ada tanggapan dari sang pemilik. Tak habis akal, Jiyeon mengambil ponselnya dan mencoba menghubungi Jimin.

Satu panggilan tak dijawab, Jiyeon melakukan panggilan lagi. Dua panggilan tak terjawab, ia menekan nomor Jimin dan mendialnya lagi. Tiga panggilan tak terjawab, Jiyeon mengulanginya. Kali ini bukan tak terjawab melainkan ditolak oleh Jimin.

Jiyeon menggeram kecil. Ia menghentakkan kakinya kesal. Lalu harus apa? Sebentar berpikir, nama seseorang melintas di otaknya.

Jari-jarinya dituntun untuk menekan nomor ponsel seseorang.

“Hallo unni?”

Uh, Myungeun-ah, kau dimana?” Rupanya Jiyeon melakukan panggilan pada sang calon adik ipar.

“Aku di rumah, kenapa?”

“Tidak. Boleh unni datang ke rumah?”

Tak peduli sekarang masih pagi, Jiyeon ingin datang ke rumah Jimin.

“Boleh. Datang saja unni.”

“Oke, dua puluh menit sampai. Bye-bye.”

Selepas memutuskan sambungan telepon, Jiyeon segera berlari menuju mobilnya dan pergi ke rumah Jimin yang memilik jarak lumayan jauh dari sini. Tak lupa ia juga mampir membeli buah-buah sebagai buah tangan. Rasanya kurang enak kalau datang tidak membawa apa-apa.

.

.

.

Oh, unni...” Seru Myungeun begitu melihat Jiyeon berdiri di depan pintu dengan tangan membawa buah-buahan.

Jiyeon melengkungkan bibirnya dalam. Detik selanjutnya ia mengulurkan buah-buahan itu pada Myungeun lalu memeluknya.

Adik perempuan Jimin itu lekas menggandeng Jiyeon untuk masuk. Pertama kali Jiyeon melangkah masuk ke dalam rumah ini adalah mengedarkan pandangan. Ah, rumah ini begitu besar jika hanya ditempati beberapa orang saja. Sepertinya nyaman sekali. Tapi kenapa Jimin malah menginginkan apartemen sendiri. Jiyeon menggeleng kecil lalu mengikuti langkah Myungeun yang berhenti pada ruang tengah. Mata kecilnya bisa melihat layar televisi yang sedang menyala. Sepertinya Myungeun tengah menonton tv saat ia datang.

“Kau tidak kuliah Myung?” Jiyeon membuka percakapan ketika dirasa suasana cukup hening.

Myungeun meletakkan buah-buahan itu di lemari es dapur yang tak jauh dari tempat Jiyeon. “Libur. Kebetulan hari Selasa aku tidak ada kuliah.” Sahutnya.

“Park Ahjumma mana? Apa pergi bekerja?”

“Tidak, eomma pergi ke kantor appa. Sepertinya ada masalah serius di kantor. Aku tidak tahu apa.” Myungeun mengambil dua botol minuman kaleng dari dalam lemari es. “Ada apa unni? Kau mencari siapa di rumah?”

Jiyeon mengulas senyum tipis. “Jimin, apa oppa-mu pulang? Unni tidak bisa membuka apartemennya.” Jawabnya.

“Sungguh? Apa Jimin oppa mengganti password-nya?”

“Sepertinya iya.” Jiyeon mengambil alih minuman kaleng dari tangan Myungeun. “Aku juga tidak bisa menghubunginya.”

Myungeun mangut-mangut paham. “Nanti biar aku yang tanya. Kalau oppa tidak mau memberitahu, biar eomma yang menanganinya.” Ujar Myungeun dengan senyum khas miliknya.

Dan keadaan kembali hening. Tidak, ada suara dari layar kaca yang mengimbangi keheningan. Jiyeon bingung mau memulai percakapan lagi dengan kalimat apa. Mereka tidak dekat. Mungkin ini kali kedua mereka bertemu. Memang, sebelumnya mereka tak saling mengenal. Jika saja Jiyeon tak dijodohkan dengan Jimin, hubungan keduanya juga tak akan terjalin.

Demi menghilangkan rasa suntuk, Jiyeon ikut memperhatikan layar kaca.

Unni.”

Jiyeon menoleh manakala panggilan didengar. Ia tersenyum senang, sepertinya Myungeun tahu apa yang ada di dalam otaknya.

“Ya?”

“Apa alasanmu ingin menikah dengan Jimin oppa cepat-cepat? Kau tahu aku cukup kaget saat mendengar kabar dari eomma kalau unni ingin menikah cepat.”

Jiyeon tersentak dengan pertanyaan Myungeun. Namun sebisa mungkin ia menormalkan ekspresinya. Jiyeon tak ingin Myungeun melihat ada yang aneh disini.

Ah itu..” Jiyeon mengatupkan belah bibirnya sejenak. “Itu... Itu karena unni merasa cocok dengan Jimin. Yah, unni tahu Jimin belum bisa menerima ini. Tapi unni yakin dengan menikah cepat, Jimin akan jatuh juga kepelukanku.” Sahutnya dengan sedikit nada bercanda.

“Sungguh? Waah, sepertinya unni jatuh cinta dengan Jimin oppa yaa?”

Seulas senyum diberikan sebagai jawaban serta anggukan kecil.

“Beruntung sekali Jimin oppa mendapatkan unni.”

Jiyeon bersyukur melihat reaksi dari Myungeun. Ia nyaris melupakan fakta bahwa keluarga Jimin memang mendukung rencana pernikahan ini. Rasanya akan sangat menyenangkan jika Jimin juga menyetujuinya. Ngomong-ngomong soal Jimin...

Apakah Myungeun tahu kabar yang beredar tentang Jimin?

“Myungeun-ah.”

Hmm?”

Jiyeon memainkan sejenak bibir bawahnya. “Hmmm, apa kau tahu kabar tentang Jimin?” Tanyanya hati-hati.

“Kabar?” Kedua alis Myungeun menaut. “Kabar apa?”

Melihat reaksi yang diberikan oleh Myungeun sepertinya gadis ini tak tahu menahu tentang Jimin. Lebih baik Jiyeon tidak usah membahasnya.

A-ah, tidak. Maksudku kabar terbaru tentang Jimin, ya.. Apa Jimin pulang ke rumah??”

Sedikit merasa aneh dengan sikap Jiyeon, Myungeun hanya mengikuti alur. Ia mengangguk kecil. “Ya, kemarin saat eomma memberi tahu kabar tentang unni yang ingin menikah cepat, Jimin oppa pulang.” Jawabnya terus terang.

Ah..”

Sepertinya radar Myungeun mengatakan hal sebaliknya. Ada yang ditutupi oleh Jiyeon. Oh, Myungeun memang baru mengenal Jiyeon belum lama ini. Tapi ia bisa melihat sesuatu tersembunyi di balik kelopak tipis yang membungkus kristal indahnya. Ada apa?

.

.

.

Siang ini sepulang kuliah, Jiyeon memilih datang ke gedung perkuliahan Jimin. Tak ada cara lain yang bisa ia lakukan selain menemui langsung Jimin. Datang ke tempat ini mungkin salah satu cara yang tepat. Mengingat lelaki itu sama sekali tak memperdulikan panggilan yang ia buat, kedatangannya di apartemen ataupun bantuan dari sang eomma.

Jimin mengabaikan setiap pesan dan telepon dari Jiyeon, Jimin tak akan membuka pintu untuk Jiyeon saat Jiyeon berusaha mati-matian menekan tombol bel apartemen, Jimin menolak permintaan Nyonya Park untuk memberitahukan berapa password apartemennya. Dan Jiyeon rupanya cukup kesal oleh sikap Jimin yang sepertinya memang berniat menghindar dari Jiyeon.

Kali ini bahkan kuasa sang eomma tak sanggup menembus keukeuh-nya hati Jimin.

Dengan sabar Jiyeon berdiri di depan ruang kuliah Jimin. Beruntung ia bisa mendapatkan informasi cepat dimana Jimin kuliah. Jiyeon memperhatikan jam di tangan. Bukankah seharusnya jam kuliah Jimin sudah selesai?

Tak butuh waktu lama seperti apa yang diperkirakan oleh Jiyeon, gerombolan mahasiswa keluar dari ruang itu. Kepala Jiyeon melongok demi menangkap sosok Jimin yang berada di antara gerombolan itu. Senyumnya mengembang manakala ia bisa melihat jelas Jimin yang keluar dengan tangan memegang ponsel.

“Jimin-ah!!” Seru Jiyeon begitu jarak keduanya tak terlampau jauh.

Yang panggil berhenti. Ada raut keterkejutan di wajah manisnya. Ia bahkan melebarkan bola matanya dan menghentikan jemarinya yang sempat bermain di atas layar ponsel.

“Aku ingin bicara padamu.” Tak perlu ijin dari Jimin, Jiyeon menarik tangan Jimin. Sempat Jimin mengelak namun cengkraman Jiyeon terlalu kuat. Gadis itu tak peduli dengan pekikan Jimin maupun tatapan heran dari teman-teman Jimin. Yang penting saat ini, keinginannya untuk bicara bisa terpenuhi.

Di depan taman dekat ruang kelas tadi Jiyeon melepaskan cengkramannya.

“Kita perlu bicara.”

“Apa yang perlu kau bicarakan Jiyeon-sshi?” Jimin menatap datar setengah kesal pada Jiyeon.

Jiyeon menghela nafasnya kasar. “Kenapa kau menghindariku? Kenapa kau tidak mengangkat teleponku? Kenapa?” Tanyanya.

“Kenapa?” Jimin tertawa sinis. Baginya lucu sekali jika ia menanggapi pertanyaan itu. “Perlu aku jelaskan kenapa? Bukankah sudah sangat jelas kalau aku menghindarimu karena aku tidak menyukaimu?”

“Ya, ya aku tahu kalau kau menghindariku.” Jiyeon menarik nafasnya. “Aku tahu kau tidak menyukaiku juga. Tapi tidak seharusnya kau seperti itu.”

Jimin masih memasang ekspresi tak peduli. Ia menyilangkan tangan di depan dada.

“Ada apa denganmu Jiyeon? Kau getol sekali mengejarku? Apa kau sungguh benar-benar mencintaiku?”

Mendengar serentetan kalimat menyindir dari Jimin itu memberikan rasa sakit di hatinya. Entah mengapa Jiyeon merasa sesak dan perih. Sejak kapan hal ini dimulai pun tak tahu. Bukankah ia telah terbiasa diperlakukan demikian? Tapi kenapa kali ini rasanya berbeda?

“Aku minta maaf kalau memang itu mengganggumu tapi aku mohon..”

“Mohon untuk setuju dengan pernikahan ini??” Potong Jimin.

Gadis cantik itu mendongak dan menatap dalam lelaki di depannya. Kepalanya perlahan mengangguk lemah dengan gigitan kecil di bibir bawahnya.

“Itu tidak akan terjadi.”

“Bagaimana caranya agar kau setuju? Apa yang harus aku lakukan agar kau mau??”

Jimin memandang tak percaya pada Jiyeon yang seakan mencoba mengalah kali ini. Oh, kemana gadis tangguh dan menyebalkan itu pergi? Kenapa Jiyeon jadi serendah ini? Jimin hanya tertawa garing lalu menyunggingkan senyum miring.

“Kau murahan sekali memohon seperti itu.”

Dada Jiyeon bergemuruh. Sesak dan perih seketika muncul saat itu juga. Apalagi melihat sosok Jimin yang melangkahkan kakinya meninggalkan Jiyeon sendiri setelah mengatakan hal menyakitkan itu. Jiyeon pun hanya terdiam membeku. Ia tak tahu mengapa kalimat itu bisa terucap begitu saja. Apa memang Jiyeon tampak murahan?

Dan setetes air turun dari sudut mata indahnya.

.

.

.

.

Malam harinya Jimin menghabiskan waktu di apartemen. Tidak ada jadwal keluar dengan sang kekasih. Ia memilih untuk berbaring di ranjang dengan tangan memainkan ponsel. Sesekali ia mengecek grup sekolahnya apakah ada berita terbaru atau tidak. Juga sesekali ia melihat sosial media.

Kelopak mata Jimin terbuka lebar ketika ia membaca pesan dari teman SMA-nya. Oh Jimin masih ingat siapa dia, Kim Taehyung. Pesan yang dikirim merupakan sebuah foto screenshoot dari percakapan grup. Jimin terkejut bukan main ketika grup sekolahnya dulu membicarakan orientasi seksualnya. Apakah sudah banyak yang mengetahuinya?

Tiba-tiba Jimin menjadi resah dan sedikit cemas. Bagaimana jika..

Tidak, Jimin menggeleng kecil. Melihat beberapa komen yang dilontarkan, sepertinya teman-temannya itu mendukung apa yang menjadi pilihan. Memang hubungan sesama jenis masih di anggap tabu. Tapi itu pilihan bukan? Itu hak bukan?

Semoga saja semua seperti apa yang diharapkan.

Saat jimin akan membalas pesan dari Taehyung, bel apartemennya berbunyi. Siapa malam-malam begini menamu? Apa mungkin Jiyeon?

Dengan sedikit malas, Jimin keluar kamar dan membuka pintu. Ia menatap heran sosok yang baru saja melangkah masuk ke dalam apartemen. Park Myungeun. Ada apa adiknya datang kemari?

“Kenapa password-mu diganti?” Myungeun duduk di salah satu sofa lalu meraih remot tv.

Jimin yang tahu kebiasaan Myungeun hanya mendesah pelan dan ikut duduk di sebelah gadis itu.

“Aku bosan dengan password lama.”

“Lalu kenapa tidak memberi tahu eomma atau aku?”

“Penting?”

Myungeun memutar bola matanya jengah. Sikap kakak lelakinya itu begitu menyebalkan. Lelaki itu jauh lebih menyebalkan dibandingkan beberapa saat yang lalu sebelum niat keluarga menjodohkannya.

“Menghindar dari Jiyeon unni?” Myungeun menaikkan sebelah alisnya. “Oppa bodoh sekali menghindar dari Jiyeon unni.”

Kening Jimin mengernyit tipis. Apa maksud perkataan Myungeun?

“Apa maksudmu?”

“Padahal Jiyeon unni ingin melindungimu.”

Jimin berdecak kecil mendengar perkataan dari Myungeun. Sebenarnya apa yang ingin diungkapkan oleh adiknya itu? Kenapa berbelit-belit dan membawa-bawa nama Jiyeon segala?

“Kau mau bicara apa Myungeun?”

Myungeun tersenyum lembut. Namun beberapa detik kemudian, ia tersenyum miring. Atensinya yang semula berkutat pada layar kaca berpindah pada sang kakak. Sorot datar penuh makna itu menghujam iris segaris Jimin.

“Apa rumor yang beredar itu benar?”

Jimin menautkan alisnya seolah menanyakan apa maksud Myungeun.

“Rumor bahwa oppa menyukai sesama jenis? Apa itu benar?”

Deg~

Jimin tersentak. Tubuhnya menegang seketika. Pertanyaan dari Myungeun ini jauh lebih mengagetkan jika dibandingkan dengan ungkapan rasa cinta Jiyeon. Jimin menenggak ludahnya susah payah. Darimana adik perempuannya itu tahu rumor ini? Darimana? Lalu apa yang harus dilontarkan sebagai jawaban?

“K-kau?”

“Aku tahu darimana?” Myungeun menaikkan sebelah bibirnya. “Kabar ini sudah menyebar di SMA. Apa oppa lupa kalau kita satu sekolah?” Satu helaan muncul percuma dari bibir Myungeun. “Menyedihkan. Aku tidak menyangka kalau oppa memiliki kelainan seperti ini.”

Jimin kaku. Lidahnya mendadak kelu. Ia tak sanggup menyanggah atau melawan kata-kata Myungeun.

“Bagaimana kalau seandainya eomma dan appa tahu?”

Bagaikan sebuah tombak. Pertanyaan Myungeun menohok ulu hati. Rasanya sungguh menyakitkan dan ini bukan hal yang diinginkan oleh Jimin untuk didengar.

“Myungeun-ah!!”

Oppa takut kalau aku mengatakannya pada eomma?”

Jimin mendekat pada Myungeun dan menatapnya dalam. Dari tatapan itu Myungeun bisa melihat ada sirat memohon.

“Turuti keinginan Jiyeon unni. Maka semua tidak akan terjadi.”

“A-apa maksudmu Myungeun?” Jimin mengerut bingung dengan pernyataan Myungeun. Apa hubungannya dengan Jiyeon? Apa saat ini Myungeun mengancamnya?

Myungeun tertawa sinis. “Oppa sama sekali tidak mengerti? Betapa kasihannya oppa. Seharusnya oppa sadar kalau Jiyeon unni melakukan ini untukmu.” Myungeun terdengar sedikit frustasi dengan kebodohan Jimin yang tak bisa membaca situasi. Padahal dirinya yang hanya melihat gerak-gerik aneh Jiyeon dan mendengar kabar dari teman sekolahnya bisa menebak maksud dari Jiyeon. Kenapa Jimin tidak bisa?

“Maksudmu apa dengan Jiyeon melakukan ini untukku? Jelas ini bukan untukku.”

“Jiyeon unni tahu kalau sebenarnya oppa itu gay!! Dia tahu, dan dia ingin melindungimu!! Dengan kalian menikah, eomma dan appa tidak akan percaya kalau seandainya kabar itu akan menyebar. Oppa!!” Myungeun mendesah kasar lalu memutar bola matanya manakala melihat Jimin yang tampak terhenyak. “Kenapa kau tidak peka sekali sih? Jiyeon unni itu peduli padamu. Sekarang coba oppa pikir. Kalau oppa menikah dengan Jiyeon unni, lalu nanti kabar tentangmu terdengar di telinga eomma atau appa? Bukankah unni bisa mengatakan kalau itu tidak benar??”

“Tidak mungkin!!”

“Kau memang bodoh oppa!!”

Jimin terdiam beberapa saat untuk meresapi rangkaian kata dari Myungeun. Kalau dipikir lebih dalam memang benar yang dikatakan. Tapi sungguhkah Jiyeon melakukannya untuk itu? Bukan karena nafsunya sendiri?

“Tapi aku tidak mencintai Jiyeon. Aku tidak mau pernikahan tanpa cinta.”

“Dan kau akan menikah dengan pasangan gay mu? Siapa yang akan merestui? Oppa pikir eomma atau appa akan setuju? Coba saja kalau oppa berani. Paling mereka akan mengusirmu dan menghapusmu dari daftar keluarga. Mau??”

Jimin memejam. Kalimat panas yang terdengar dari bibir tipis adiknya ini sungguh menyakitkan. Ia memang tak menginginkan hal itu terjadi. Tapi ia juga tak ingin menikah dengan Jiyeon. Gadis yang telah merusak ketentraman hidupnya.

“Akan aku coba.”

Senyum miring penuh remeh terukir dari bibir tipis Myungeun.

“Kita lihat!! Bagaimana nanti.”

Rasanya Jimin bagaikan dipukul oleh batuan besar dan diremat oleh tangan setan. Menyakitkan. Kenapa hidupnya jadi seperti ini? Tapi kembali lagi. Bukankah ini salah satu resiko atas pilihannya?

.

.

.

TBC


Mind to comment ? Thanks~

.

.

~Deer Luvian~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????