Part 05

Best Mistake

Part 05

.

“Jadi bagaimana perkembangan kisah cintamu dengan Jimin?”

Baru saja Jiyeon sampai di tempat duduknya, sebuah pertanyaan menyakitkan menghampiri. Ia menghela pelan nafasnya lalu menempatkan tas jinjing di atas meja. Lantas ia menoleh, menatap dalam sejenak sosok yang bertanya.

“Sesuatu buruk? Kau tidak lagi bercerita sejak beberapa hari yang lalu.”

Jiyeon mengangguk. Benar, mungkin setelah Jimin tahu bahwa sebenarnya Jiyeon mengerti keadaan Jimin ia tak lagi bercerita pada Nayeon. Ia meloloskan nafasnya untuk yang kesekian kali dengan sedikit lebih berat. Rasanya mengingat apa yang baru saja ia alami dengan Jimin meremukkan kembali perasaannya.

“Dia akan pindah ke Amerika.”

“Apa?”

Bahkan tanpa harus diulang kedua kalinya, Nayeon dapat menangkap apa yang diucapkan oleh Jiyeon. Hey, telinganya masih berfungsi dengan baik. Lalu yang baru saja terdengar itu membuatnya sungguh tak percaya. Oh ternyata Jimin punya pemikiran yang luar biasa luasnya. Pindah ke Amerika. Siapapun akan mengerti dengan maksud ini jika mereka paham dengan keadaan Jimin.

Jadi Jimin benar-benar tidak memiliki rasa untuk Jiyeon?

Memikirkan ini membuat Jiyeon tak mampu memejamkan mata. Bayangkan saja, saat ia mencoba memejam, ucapan Jimin terus meraung-raung dalam pikiran. Ia bisa apa? Apalagi raungan itu begitu menyiksa. Pindah ke Amerika. Suatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan olehnya.

“Ya, dia benar-benar akan menikah dengan Yoongi sunbae dengan pindah ke Amerika. Sepertinya aku kalah.” Ia menunduk dan menopang wajahnya dengan tangan. Matanya terasa panas. Entah kenapa, ia tak tahu pasti. Apakah ia ingin menangis?

Nayeon mengusap punggung Jiyeon dengan sayang. “Apa ini seorang Jiyeon yang selama ini ku kenal? Bukankah kau tidak akan menyerah?” Senyuman terukir di wajah cantik Nayeon. “Aku telah mendukungmu Jiyeon. Jangan menyerah!! Aku tahu, maksudmu berbuat ini adalah yang terbaik. Aku tidak ingin kau menyesal. Apalagi jika cintamu tidak tersampaikan.”

Rasanya seperti mendapatkan sebuah siraman air salju pada saat musim kemarau. Bibir tipis Jiyeon ikut mengembang kecil. Ia tahu ini akan menjadi sedikit sulit. Namun mendengar apa yang diucapkan oleh Nayeon membuatnya sadar. Oh, benar. Jiyeon adalah sosok yang tidak pernah menyerah. Lalu kenapa ia harus menyatakan bahwa dirinya kalah saat perang belum dimulai?

Selama Jimin masih berada di tanah Korea ia akan berjuang.

Tidak ada yang tidak mungkin bukan?

Ia menoleh pada Nayeon lalu mengangguk. “Baiklah!! Aku akan berjuang untuk perasaanku.”

“Itu baru Kim Jiyeon.”

Dan setelahnya hanya ada tawa kecil menggema di ruangan yang masih terbilang sepi.

.

.

.

Rencana memang harus dilakukan bukan? Demi melancarkan segalanya, Jimin berniat untuk menemui orangtua. Tidak mungkin Jimin memutuskan tinggal di Amerika tanpa ijin orangtua. Mau makan pakai uang siapa ia?

Setelah berbincang-bincang dengan Yoongi, hari ini Jimin akan pulang. Mumpung orangtuanya tidak terlalu sibuk. Walaupun ia tahu bahwa saat ini perusahaan sang ayah sedang berada dalam ketidakseimbangan, tapi ia berharap sang ayah akan mengerti keinginannya.

Namun ada yang membuat Jimin sedikit kepikiran sejak beberapa hari yang lalu. Alasan apa yang akan ia katakan di depan ayah maupun ibunya?

Apapun nanti respon dari mereka, Jimin tetap nekat untuk pergi ke Amerika.

Dan tak butuh waktu yang lama untuk membuat Jimin tiba di rumahnya. Segera ia melangkah masuk. Sepertinya keadaan rumah sangat sepi. Apa Myungeun belum pulang kuliah dan kemana juga ibunya? Ia tahu kalau sang ayah masih berada di kantor.

“Jimin?” Jimin tersentak mendengar panggilan itu. Lekas tubuhnya berbalik dan melihat siapa yang memanggilnya.

Sang ibu.

“Ada sesuatu yang kau cari?”

Sang ibu tahu bahwa Jimin tidak mungkin pulang ke rumah kalau tidak ada sesuatu yang penting. Lalu ada apa anak lelakinya itu pulang ke rumah?

“Ada yang ingin Jimin bicarakan dengan eomma dan appa. Emmm...” Jimin mengambil tangan sang eomma dan mengajaknya duduk di sofa. “Mungkin nanti setelah appa pulang, aku akan mengatakan pada kalian.”

Nyonya Park mengangguk kecil. “Baiklah, apa kau mau makan sesuatu?” Tanyanya seraya membelai wajah tampan sang anak.

“Tidak eomma, Jimin sudah makan tadi sebelum kemari.”

“Baiklah, kau bisa beristirahat. Appa-mu mungkin akan pulang saat makan malam nanti.”

Jimin memberikan respon dengan anggukan kecil lalu membiarkan sang ibu pergi dari sisinya. Saat itu Jimin mulai berpikir, apa yang akan ia gunakan sebagai alasan? Apakah ia akan mengatakan bahwa hidup di Korea kurang menyenangkan? Konyol sekali..

.

.

.

“Jadi apa yang ingin kau katakan Jimin?”

Seperti biasa, saat makan malam akan dijadikan sebuah pertemuan keluarga dan momen untuk membicarakan hal-hal penting yang tak bisa mereka katakan ketika kesibukan merajai. Jimin berdeham kasar. Ia sedikit tak yakin akan mengatakan hal ini. Namun semua kemungkinan yang bisa saja terjadi telah ia pikirkan bagaimana cara mengantasipasinya.

Ia memutar kepala, melihat satu persatu anggota keluarga yang menanti apa yang sebenarnya ingin ia katakan.

“Ini..” Jimin mengulum sebentar bibir tebalnya. “Ini masalah kuliah dan... Ah, appa!! Emmm, apa appa akan mengijinkanku untuk pindah kuliah??”

“Kau bilang apa?”

Bukan hanya Tuan Kim, melainkan seluruh anggota keluarga yang ada disana menautkan alis mereka dengan pandangan bingung tak percaya. Pendengaran mereka masih berfungsi dengan baik bukan?

Oh, Jimin merasa sedikit kurang enak hati dipandang demikian. Sepertinya pertanyaan itu mengganggu mereka.

“Pindah kuliah ke Amerika.”

“Untuk apa?”

Belum sempat Jimin menjawab tanya Tuan Kim, Myungeun dari seberang berdecak pelan. Sepertinya sang adik mengerti kemana arah pikiran Jimin. Siapapun akan tahu dengan cepat jika telah paham dengan kondisi Jimin saat ini. Amerika, sebuah negara dengan fasilitas yang luar biasa bagi kaum seperti Jimin.

Jimin mengulum kecil bibirya lalu menatap ragu sang ayah. “Ku rasa Amerika akan membantuku berkembang lebih baik. Appa tahu bukan kalau Amerika merupakan negara dengan kreativitas musik yang tinggi? Banyak sekali produser terkenal dari Amerika.” Jelas Jimin.

“Tidak!! Pasti bukan itu alasannya.” Tuan Kim mengusap ujung bibirnya. “Kenapa baru sekarang? Kau ingin menghindar dari pernikahanmu dengan Jiyeon kan?”

Bola mata Jimin membesar. Ah, Jimin bahkan hampir melupakan sebuah fakta dimana ia akan menjadi suami dari Jiyeon dalam waktu dekat. Ia menggeleng kecil, menampik alasan itu. Alasan utama bukan karena itu melainkan..

Tapi mana mungkin Jimin akan mengatakannya. Bukankah lebih baik ia mengakui hal itu saja?

“Y-ya, appa tahu sendiri bukan kalau aku sangat tidak menyetujui perjodohan ini?”

“Tapi kau terlambat Jimin.” Tuan Kim menatap tajam anak sulungnya.

Jimin menghembuskan nafasnya pelan. “Bukankah sejak dulu Jimin menolak dan appa juga eomma seakan tuli? Jimin tidak ingin dituntun seperti ini appa, eomma.”

“Dan kau ingin hidup bebas di Amerika. Berani menjamin hidupmu akan bahagia?” Alih-alih sang appa atau sang eomma, Myungeun malah melempar tanya sinis.

Lelaki itu menatap datar pada Myungeun. Tanpa harus ditanya, ia paham.

“Kau juga bukan Tuhan yang akan tahu apakah aku bahagia jika tetap tinggal disini dan menikah dengan Jiyeon!!”

“Tidak bisa Jimin.” Sahut Tuan Kim sebagai pelerai cekcok kedua anaknya. “Kau tidak akan tinggal di Amerika dan meninggalkan Jiyeon. Kau akan tetap menikah dengannya. Kau tahu kan bisnis appa saat ini sedang dalam masa buruk? Kau ingin menambah runyam masalah appa?”

“Tapi appa!!”

“Apa kau ingin hidup dengan biaya sendiri disana? Mana mungkin!!”

Seketika ia bungkam. Pertanyaan dan sanggahan dari sang ayah membuatnya kalah telak. Jelas sekali hal itu. Kemungkinan untuk menghidupi sendiri dirinya itu hal mustahil. Selama ini Jimin selalu meminta apapun kepada sang ayah atau ibu. Lalu hidup dengan biaya sendiri di negeri orang? Bisakah iya?

Lalu? Ia harus bagaimana? Lari dan berbuat nekad? Atau...

Membicarakan kembali dengan Yoongi?

Kenapa sulit sekali?

.

.

.

Dan Jiyeon masih berada dalam keadaan yang sama.

Entah mengapa rasa yakinnya berubah tiba-tiba. Saat ia mulai percaya bahwa Jimin akan berada di dalam genggamannya, saat itu juga sesuatu membuatnya jatuh. Sedikit demi sedikit pemikiran bahwa Jimin akan semakin jauh membuatnya takut. Jiyeon mulai takut kehilangan. Ia meyakini bahwa dirinya benar-benar mencintai Jimin sepenuh hati. Fakta tentang Jimin yang menyukai sesama jenis nyatanya tak membuat Jiyeon goyah.

Semakin lama rasa yang ada di dalam hati Jiyeon semakin besar adanya. Namun semakin dingin sikap Jimin semakin membuat Jiyeon merasa bimbang.

Apakah ia harus meneruskan atau berhenti saja?

“Sesuatu membuatmu kepikiran?” Nyonya Kim duduk di sebelah Jiyeon setelah ia memperhatikan sang anak yang menunjukkan wajah bingungnya.

Jiyeon menggeleng kecil disertai senyum yang terulas. “Tidak.” Sahutnya tenang.

“Apa? Katakan saja pada eomma, siapa tahu eomma bisa membantu.”

Saat ini Jiyeon tengah berada dalam keadaan enggan bercerita. Lebih baik ia memilih bungkam daripada harus menjawab tanya sang eomma dengan sekenanya. Berbaris luka menggerogoti semangatnya. Kentara dan terasa menyengat. Hal itu membuat bibir Jiyeon seakan berat untuk dibuka.

Sisi lain penyebab enggannya itu adalah beban yang bertumpuk di pundaknya. Sebuah kenyataan yang entah kenapa membuat Jiyeon terpontang-panting saat memikirkannya.

Jimin akan ke Amerika, lalu ia harus bagaimana?

Eomma?”

Pada akhirnya Jiyeon memutuskan untuk bersuara.

Alis yang naik sebelah menjadi pertanda bagi Jiyeon untuk memulai.

“Ada kabar terbaru dari keluarga Park? Eum, maksudku, apa Nyonya Park atau Tuan Park mengatakan sesuatu?”

Jiyeon ingin memastikan bahwa keluarga Park tidak memberi tahu kepindahan Jimin. Dengan kata lain, jika memang keluarga Park belum memberi tahu apa-apa kemungkinan Jimin pun belum mengatakannya pada keluarga.s

“Apa maksudmu sayang? Tidak, mereka tidak mengabari eomma apa-apa. Kenapa?”

Lengkungan canggung terbentuk dari bibir Jiyeon meski ada kelegaan yang terbawa.

“Tidak, aku... Aku hanya tidak sabar ingin menjadi bagian dari keluarga mereka. Ah, maksudku, kalau aku jadi bagian dari keluarga mereka pasti akan tahu bagaimana kabar dari mereka.”

Jiyeon paham dengan baik apa yang baru saja ia katakan adalah hal aneh. Tapi Jiyeon tak mengerti bagaimana mengontrol cara berucapnya saat itu.

Untungnya Nyonya Kim tak merasa janggal dengan jawaban Jiyeon. Wanita paruh baya itu ikut tersenyum lalu mengecup puncak kepala Jiyeon. Sedikit memberikan bisikan dan wejangan, Nyonya Kim beranjak setelahnya. Beliau lantas meninggalkan Jiyeon yang masih berada dalam ambang kebimbangan.

Ia tak tega memberi tahu pada eommanya. Jiyeon takut mengecewakan sang eomma. Karena Jiyeon tahu bahwa dibalik pernikahan ini terselip kebahagiaan bagi sang eomma.

.

.

.

Pagi datang dengan indahnya. Tak berbeda dengan hari-hari yang lalu, pagi ini cukup disyukuri oleh Jiyeon. Saat ia menjejakkan kaki di deretan gedung dekat apartemen Jimin, ia merasa beruntung. Udara segar dan cicitan burung masih jelas ia rasakan. Hal ini perlahan membantu melepas kesedihan yang selama ini menyertai.

Untuk sesaat, Jiyeon berhenti di taman itu. Menghirup dalam udara yang menyesak dada dan melepaskannya. Air mata turut menyertai gerakan Jiyeon. Satu dua tetes air turun dari kelopak Jiyeon. Lekas tangan lembutnya menyeka dan menghapus jejak itu.

Ia harus segera menemui Jimin sebelum lelaki itu berangkat kuliah.

Dan Jiyeon membeku manakala sosok lain membuka pintu apartemen. Jika biasanya Jiyeon akan membuka sendiri kali ini sosok lain yang membuka pintu itu.

“Min Yoongi sunbaenim?” Jiyeon menggumam kecil menyebut nama sosok itu.

Yoongi sedikit terkejut dengan kedatangan Jiyeon di saat masih terlalu pagi. Ia tak tahu jika Jiyeon memiliki kebiasaan menyambangi kediaman Jimin saat pagi tiba.

“Masuklah!!” Yoongi meninggalkan Jiyeon setelah ia menyuruh Jiyeon untuk masuk.

Untuk beberapa saat, Jiyeon terdiam lalu memutuskan untuk melangkah masuk. Mata cantiknya memindai sekitar. Ia masih belum mendapati Jimin ada di lensanya. Kemana Jimin? Apa lelaki itu lebih dulu keluar sebelum Jimin datang?

“Kau mencari Jimin?” Yoongi seolah paham dengan gerak kepala Jiyeon. Meskipun tanpa ditanya ia pun tahu bahwa tujuan Jiyeon datang kemari adalah untuk Jimin. “Dia sedang keluar membeli sarapan.”

Jiyeon menghela nafasnya pelan. Apa Jimin lupa kalau tiap pagi ia akan membuatkan makanan untuknya. Kenapa harus pergi keluar untuk membeli?

Ah. Iya!!” Jiyeon mengumpulkan keberaniannya. Sekelebat bayangan saat dulu meminta lelaki di hadapannya itu untuk pergi dari samping Jimin muncul tiba-tiba. “Oh ya, kenapa kau ada disini?”

Yoongi menatap bingung Jiyeon sejenak sebelum mengulas senyum tipis.

Ah, aku lupa!! Aku lupa kalau kau memintaku menjauhi Jimin.” Tukasnya pelan. “Aku sudah mencoba tapi aku tidak bisa. Bukan aku, melainkan Jimin. Bocah itu yang terus menghubungiku!!”

Jiyeon menggenggam tangannya. Perasaan kalah yang membumbung tinggi semakin tertawa dalam otaknya. Seharusnya ia sadar bahwa Jimin memang bukan orang yang mudah untuk ditaklukkan. Lagi-lagi kebimbangan menggumpal dalam hati.

Lantas ia berdeham kecil. “Baiklah!!” Senyum palsu Jiyeon paksa untuk muncul. “Sepertinya cinta kalian memang benar-benar kuat. Tapi aku tidak akan menyerah!! Bukankah kau tahu kalau pernikahanku dan Jimin akan dilaksanakan sebentar lagi?”

“Ya aku tahu!! Tapi Jimin memintaku pindah bersamanya ke Amerika dalam waktu dekat. Apa kau tahu?”

Jiyeon terkesiap seketika. Mata cantiknya membulat tak percaya. Sejauh itukah rencana Jimin? Ia pikir Jimin hanya main-main tapi nyatanya. Jiyeon mencoba meredam rasa yang ada dalam hati. Ia mengepalkan tangannya di balik tas yang ia bawa.

Ah, sungguh? Sepertinya itu tidak akan terjadi.” Jiyeon mengelak.

Yoongi tertawa. “Ya, aku juga tidak tahu!! Pernikahan kalian pun juga mungkin saja tidak akan terjadi.”

Mendengar itu membuat Jiyeon sedikit kalap. Ia ingin menampar wajah Yoongi namun diurungkan. Apa yang akan dikatakan oleh Jimin jika ia menampar kekasihnya. Demi membuat hatinya kembali tenang, Jiyeon bangkit dan memandang Yoongi sejenak.

Lantas Jiyeon membersihkan tenggorokannya. “Oke!! Kita lihat saja nanti.”Jiyeon berpura-pura melihat jam di tangan. “Sepertinya Jimin akan lama. Kalau begitu aku pamit saja. Katakan pada Jimin bahwa aku datang kemari.” Ucap Jiyeon lalu menggerakkan kakinya menjauh dari hadapan Yoongi.

 Ia tak peduli dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Yoongi setelah kepergiannya. Sesampainya Jiyeon di depan apartemen Jimin, ia terduduk. Lututnya terasa lemas sekali. Hatinya terasa tercabik oleh pernyataan Yoongi. Sungguh, ia benar-benar menekankan kata kalah kali ini. Apa sebaiknya ia menyerah saja?

Sudah terlalu jauh Jiyeon melangkah, namun apa yang ia inginkan tak kunjung datang.

.

.

.

“Jiyeon baru saja datang kemari.”

Adalah sambutan yang diberikan kepada Jimin setelah lelaki itu duduk manis di sofa. Ia baru saja kembali dengan tangan membawa dua makanan siap saji.

Mata sipit Jimin membesar. Sekelebat tampak rasa terkejut, namun ia menutupinya dengan baik. Lelaki yang lebih muda itu hanya tersenyum miring tak berarti. Kakinya dibawa naik ke atas meja.

“Ada urusan apa ia datang kemari?” Tanyanya seolah tak pernah tahu kebiasaan Jiyeon. Ia menyenderkan tubuhnya lalu meraih remot tv.

Tak lantas menjawab, Yoongi tertawa aneh. “Dia adalah calon istrimu!! Dia kemari untuk menunjukkan betapa pedulinya dia kepadamu.” Sahut Yoongi kemudian.

“Lucu.” Jimin tampak tak berselera untuk membalas ucapan Yoongi. Memang baginya saat ini mengungkit masalah Jiyeon di depan Yoongi hanya akan memperburuk keadaan. Jimin tak ingin hubungan keduanya rusak karena masalah ini. “Biarkan saja!!”

Dan Yoongi menurut. Lelaki yang lebih tua itu membungkam mulutnya. Untuk beberapa saat sekitar mereka tampak menghening. Baik Jimin maupun Yoongi tak lagi mengeluarkan kata. Bukan karena keduanya malas atau sejenisnya. Melainkan ada pemikiran lain yang mencoba menghasut otak mereka. Masing-masing punya pemikiran yang cukup dalam merenggut perhatian mereka.

Masalah bagaimana hubungan keduanya akan berjalan. Tipikal Yoongi yang tak bisa melepas masalah begitu saja. Ia cukup runyam dengan tugas akhir untuk kelulusannya nanti dan saat ini ditambah dengan hubungannya bersama Jimin. Sungguh, Yoongi merasa hidupnya kali ini berlipat susahnya.

Nyaris sama dengan Yoongi, pikiran Jimin pun tak jauh menyangkut tentang hubungan keduanya. Penolakan yang dilakukan oleh orangtua Jimin menuntunnya untuk memutar otak. Kali ini apa yang harus ia lakukan agar bisa membatalkan pernikahannya dengan Jiyeon dan tinggal bersama Yoongi? Ini masalah yang cukup sulit untuk Jimin pecahkan.

Apa?

Demi membungkus keterdiaman, Yoongi berinisiatif memakan makanan yang dibelikan oleh Jimin. Lelaki itu mengambil satu mangkuk ramnyun dan mulai menyantapnya. Melihat Yoongi, Jimin pun mengikuti. Satu ramnyun sisa itu dimakan olehnya.

Masih dengan keheningan yang merajai.

Tak butuh waktu lama, Yoongi tuntas dengan ramnyunnya. Ia bangkit untuk mengambil minuman di kulkas. Sedangkan Jimin, lelaki yang lebih muda itu masih berkutat dengan ramnyun yang tinggal sepertiga.

“Apa kita harus seperti ini terus? Aku benar-benar tidak bisa konsen mengerjakan tugas akhirku.”

Yoongi pada akhirnya mengungkapkan apa yang ia rasa. Terlalu lama dibiarkan terpendam membuatnya sakit kepala.

Jimin yang masih menuntaskan satu sendok terakhir menatap penuh tanya pada Yoongi.

“Ayolah Jimin!! Kau bilang kita akan tinggal di Amerika!! Tapi mana? Apa kau main-main dengan ucapanmu?”

“Aku tidak main-main!!” Jimin mengusap bibirnya. “Aku bersungguh-sungguh ingin mengajakmu tinggal di Amerika. Tapi appaku tidak mengijinkanku!!”

Yoongi tersenyum miring. “Lalu bagaimana? Sudah jelas kan kalau keluargamu tidak pernah menginginkan kita.” Lirih Yoongi.

“Bagaimana kalau aku membawa hyung ke hadapan orangtuaku?” Nada serius keluar dari bibir Jimin.

Hal itu jelas membuat Yoongi tersentak kaget. Benarkah Jimin akan membawanya ke hadapan orangtuanya? Oh itu bukan pilihan yang baik. Yoongi tahu betul bagaimana keadaan keluarga Jimin. Apalagi saat ini mereka gencar ingin menikahkan Jimin dengan Jiyeon agar ekonomi mereka bisa sedikit terselamatkan. Apa yang akan terjadi seandainya kenyataan itu terungkap?

“Kau.. tidak serius kan?”

Jimin mengangguk mantap. “Ya, aku serius. Kita harus segera mengatakan ini kepada orangtuaku. Jika tidak, kita tidak bisa bersama.” Tukasnya.

“Tapi.” Yoongi memutar tutup botol yang masih ia bawa. “Apa kau yakin orangtuamu akan menerima kita? Ada jaminan?”

Jimin menghela pelan lalu menggeleng. “Tidak.” Ia bangkit dari duduknya. “Tidak ada jaminan. Hanya saja setidaknya aku telah berusaha mengatakan apa keinginanku. Jika memang mereka tidak menerima, kita bisa hidup sendiri. Aku akan keluar dari daftar keluarga itu.”

Yang lebih tua memejam. Setiap baris kata itu membuatnya terasa aneh. Apa mungkin? Hidup dengan Jimin dalam pelarian? Itu sama seperti lari karena tindak kriminal. Kenapa tiba-tiba Yoongi jadi seperti ini?

“Kita akan datang ke rumah nanti malam hyung.” Jimin mengecup pipi Yoongi. “Tidak ada bantahan, aku mohon.”

Dan Yoongi hanya bisa melihat punggung Jimin yang menjauh dari jangkauannya.

.

.

.

Ini adalah hal yang pernah Yoongi bayangkan sebelumnya.

Ya, Yoongi pernah membayangkan berdiri di depan keluarga Jimin dengan tatapan beragam dari masing-masing anggota. Yoongi pernah membayangkan dan berusaha untuk memikirkan bagaimana cara mengantisipasinya. Tapi hal yang membuatnya tak percaya adalah ini datang terlalu cepat.

Bahkan Yoongi masih belum siap untuk mengatakan sepatah kata sebagai balasan dari berbagai tanya yang dilayangkan. Yoongi harus menjawab apa?

Meski Jimin masih belum memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Jimin, tapi tetap saja. Rasa was-was begitu jelas memburu di dalam hati. Yoongi takut sesuatu hal buruk akan terjadi. Walaupun kenyataannya ia yakin sembilan puluh persen, hal buruk pasti menimpa keduanya.

Waah, baru kali ini kau membawa temanmu pulang.” Seru Nyonya Park seraya mendekat ke arah Yoongi.

Yoongi bisa melihat jelas ada ekspresi senang yang tersebar di wajah cantik ibu Jimin, tapi satu gadis lagi itu? Ekspresinya jelas menunjukkan ketidaksukaan dan sikap jijik yang kentara.

Eomma!!” Jimin menanggapi. “Diaa-”

“Kenapa kalian masih disini? Ayo kita makan malam bersama.” Suara Tuan Park menginterupsi Jimin.

Lantas mereka pun berjalan menuju ruang makan. Selama dalam perjalanan, Jimin memutar otaknya agar bisa mengatakan segalanya dengan baik. Ia tidak ingin hal menyakitkan diterima Yoongi. Walaupun pada kenyataannya hal itu jelas akan terjadi nanti. Jimin menarik dan membuang nafasnya berulang.

Seakan saat ini ia tengah berada di dalam dua dunia yang tak dapat ia jangkau bagian tepinya. Kemana ia harus melangkah?

“Jadi oppa, ini kah temanmu yang sering kau ceritakan?” Myungeun membuka percakapan setelah mereka mengambil makan malam masing-masing.

Jimin yang mendapatkan pertanyaan itu lekas menoleh pada Myungeun dengan pandangan yang sulit diartikan. Ia sedikit mengeratkan garpu digenggaman begitu melihat seringaian dari Myungeun.

Oh kau mengenalnya Myungeun?” Nyonya Park tampak tertarik dengan ucapan Myungeun.

Myungeun hanya mengulas senyum yang lebih manis. “Dia adalah teman Jimin oppa, seorang musisi dan calon produser terkenal nantinya. Dia adalah sosok yang membuat Jimin oppa menolak perjodohannya.” Tukas Myungeun.

“Myungeun!!” Bentak Jimin. Ia mendidih begitu mendengar penuturan dari Myungeun. Tak menyangka jika sang adik akan mengatakan hal demikian.

Nyonya Park dan Tuan Park saling menatap satu sama lain. Kemudian mereka melihat ke arah Jimin yang tampak menahan emosi. Ada yang aneh dengan raut muka Jimin juga Yoongi.

“Maksudmu apa Myungeun?” Nyonya Park mengalihkan atensinya pada Jimin. “Maksud Myungeun apa Jimin? Apa benar yang diucapkannya?” Tanya Nyonya Park dengan sedikit bingung.

Jimin tak lekas menjawab. Lebih dulu ia melirik ke arah Yoongi yang nampaknya terkejut dengan ucapan Myungeun. Ia sedikit merasa tertekan dan tak enak hati. Apakah mereka pada akhirnya harus berbohong lagi? Tapi, keduanya tak bisa sepenuhnya berbohong mengingat di antara mereka ada sosok Myungeun yang telah mengetahui semuanya.

“Itu...”

“Benar apa yang aku katakan eomma!! Keduanya memang memiliki hubungan yang membuat Jimin oppa menolak perjodohannya dengan Jiyeon unni.”

“Park Myungeun!!”

Kali ini emosi Jimin tak sanggup ia tahan lagi. Rasanya ia ingin sekali menampar mulut Myungeun yang mengatakan tidak-tidak. Mengambil nafas dalam, Jimin menoleh pada Tuan dan Nyonya Park yang seolah menunggu penjelasan dari ucapan Myungeun.

Jimin mengambil nafas sekali lagi. “Tidak benar yang dikatakan Myungeun.”

“Bohong!!”

“Park Myungeun!!” Nyonya Jung mengangguk setelahnya. Memberikan isyarat pada Myungeun untuk membiarkan Jimin bercerita.

“Dia memang temanku.” Jimin menggigit bibir bawahnya sejenak. “Tidak, dia bukan temanku tapi....”

Yoongi mulai merasakan getar di tubuhnya. Tatapan mata Jimin membuatnya lemah. Seakan saat ini ia tahu kemana arah percakapan mereka selanjutnya. Lekas ia menyiapkan diri untuk menerima segala kenyataan yang membuat hidup keduanya akan berubah.

Dan pastinya menerima apa yang akan menjadi keputusan keluarga Park.

“Tapi dia adalah kekasihku!!”

Sejalan dengan ucapan Jimin, tangan Yoongi mengerat di bawah meja. Bahkan ia tak memiliki nyali untuk melihat bagaimana reaksi Tuan dan Nyonya Park yang jauh berbeda dengan Myungeun dimana adik perempuan Jimin itu tersenyum miring dengan tawa menghina.

“A-apa kau bilang Park Jimin?” Suara dingin Tuan Park mengunci semua keadaan yang ada.

Jimin menelan ludahnya susah payah. “Dia--,”

“Kekasihku..”

Sontak hal itu membuat Tuan Park kalap. Dengan gerakan cepat ia bangkit lalu berjalan menuju Jimin.

Plak.. Plak..

Tak tanggung-tanggung dua kali tamparan diterima Jimin saat itu juga. Emosinya jelas kentara terlihat dari merahnya wajah Jimin.

“Kau memang anak kurang ajar!! Bagaimana bisa kau berkencan dengan seorang lelaki? Ha!! Kau mau menghancurkan imej keluarga Park? Kau mau??”

Plakk!!

Sekali lagi tamparan diterima oleh Jimin.

Sementara Jimin hanya bisa mengusap pipinya yang kesakitan. Ia menatap kedua orang tuanya yang sama-sama menunjukkan amarahnya. Lalu pada Myungeun yang tersenyum menang dan terakhir pada Yoongi yang tertunduk takut.

Ah!! Jadi ini maksudmu membawa lelaki tak tahu diri ini pulang ke rumah? Kau benar-benar ingin membuat keluarga Park malu? Ha!! Kau ingin? Sekarang lebih baik kau pergi dari rumah!! Pergi!!” Bentakan Tuan Park membuat Jimin mengulum bibirnya. Ia ingin sekali membantah namun sepatah katapun tak keluar dari mulutnya.

Tuan Park mengalihkan atensinya pada Yoongi yang tak memberikan perlawanan atau bantuan atas ini semua.

“Dan kau lelaki kurang ajar!! Jangan pernah menampakkan wajahmu di keluarga ini!! Kau hanya bisa membuat Jimin melenceng dari seharusnya. Kalian semua pergi!! Pergi!! Aku tidak akan pernah menganggapmu sebagai anakku Park Jimin!!”

Dan Jimin hanya bisa menatap kedua orangtuanya dengan tatapan yang entah apa maksdunya. Lantas ia bangkit seraya menarik tangan Yoongi untuk ikut dengannya. Masih dengan kepala yang menunduk, Yoongi mengikuti langkah Jimin.

Ada kasak-kusuk umpatan yang nyaring terdengar di telinganya. Yoongi sungguh tak tahu mengapa tak sanggup mengucapkan sepatah katapun. Ini adalah hal yang paling ia takutkan.

Kenyataan bahwa sosok yang ia sayangi harus menerima penderitaan akibat keegoisannya.

.

.

.

TBC


Bagaimana? silahkan direview..

Kalau ada yang aneh bilang yaa..

terima kasih ^^,

.

.

.

Deer Luvian

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????