Part 04

Best Mistake

 

 

 

Part 04

.

Bentangan awan putih yang menggantung di langit perlahan menghilang. Pekat hitam telah menggantikan jernihnya langit biru. Gemerisik angin khas musim panas juga sudah menunjukkan diri menemani cahaya samar bulan yang tertutup awan hitam.

Malam ini, Jiyeon berkutat dengan beberapa model interior gedung saat pernikahan. Bolak-balik ia membuka halaman demi halaman untuk mendapatkan yang menurutnya cocok dengan konsep yang ia inginkan. Jiyeon terlalu larut dengan aktivitasnya itu tak menyadari sosok lain yang duduk di sebelahnya.

“Kau benar-benar ingin menikah cepat yaa?”

Jiyeon lekas mendongak. Senyumnya mengembang manakala melihat siapa yang bertanya.

Oppa.”

Myungsoo tersenyum lalu mengusak surai cokelat tua milik Jiyeon. “Pikirkan lagi, jangan terburu-buru. Apa sebenarnya yang membuatmu ingin menikah cepat dengan Jimin??” Tanya lelaki itu. Memang rasa penasaran ini masih melekat sejak beberapa hari yang lalu Jiyeon meminta pada Nyonya Kim. Myungsoo masih belum dapat jawaban yang pasti. Begitu juga dengan keluarga yang lain, karena memang Jiyeon tak memberitahu kenyataan yang ada.

Senyum cantik juga melengkung dari bibir tipis Jiyeon.

“Aku mencintai Jimin dan aku tidak ingin kehilangan dia oppa.”

Aigoo~.” Ia mengusap pipi Jiyeon. “Terlalu sering bersama Jimin, kau jadi jatuh cinta padanya?”

“Mungkin.”

“Apa Jimin juga punya rasa sepertimu? Yang oppa dengar, dia menolak bukan perjodohan ini? Kau juga gagal mengajaknya berkencan kemarin.” Ada nada cemas di sela-sela suara Myungsoo yang mengalun. Ia mengenal adiknya dengan baik, ia takut kalau adiknya akan terluka dengan keputusan yang dibuatnya itu.

Jiyeon memainkan bibir bawahnya. Ditanya soal itu berkali-kali membuat hatinya miris. Rasanya menyedihkan sekali hidup ini. Meski ia tahu bahwa luka akan datang seiring bertambahnya hari, ia tetap keukeuh dengan keputusannya itu. Ada asa yang terus ia junjung tinggi, sebuah harapan dimana Jiyeon percaya Jimin akan jatuh cinta kepadanya.

“Tidak, dia masih belum menyukaiku.” Senyum selembut sutra itu terukir kembali dari bibir Jiyeon. “Tapi aku yakin Jimin akan menyukaiku nanti setelah kita menikah.”

Mau menyanggah, Myungsoo tak sanggup. Mendengar penuturan Jiyeon membuat dadanya sesak. Kasihan sekali hidup Jiyeon. Ia tahu bahwa sebuah perjodohan memang akan menyebabkan hal seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Toh ini juga sudah keputusan keluarga.

“Semoga Jimin cepat melirikmu. Dia sangat bodoh tidak bisa melihat gadis secantik dirimu.” Sahutan Myungsoo disertai usapan pada pipi Jiyeon.

Jiyeon mengangguk kecil. “Iya, oh ya oppa. Menurutmu interior yang seperti apa yang bagus untuk konsep negeri dongeng?” Jiyeon mengalihkan pembicaraan dengan menunjukkan beberapa majalah konsep pernikahan.

Myungsoo ikut jatuh dalam kubangan ajakan Jiyeon untuk mencari persiapan terbaik pernikahan Jiyeon nanti. Keduanya tampak antusias mendiskusikan hal itu.

.

Sementara di sisi lain, keluarga Jimin tengah menikmati makan malam bersama. Bisa dibilang ini adalah makan malam pertama sejak beberapa bulan yang lalu. Terkadang saat Jimin memutuskan pulang, ia tidak bisa makan bersama seperti ini. Appa-nya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang menurut kabar tengah dalam posisi yang menyulitkan.

Acara makan malam kali ini pun tak luput dari bahasan-bahasan kehidupan sehari-hari. Mereka merindukan suasana seperti ini, terutama Nyonya Park yang sering ditinggal oleh anak-anaknya. Mengingat Jimin dan Myungeun sudah menginjakkan kaki di bangku kuliah dan jarang sekali berada di rumah.

“Bagaimana dengan kantor appa?” Myungeun bertanya setelah ia menyelesaikan suapa ketiga dari makan malamnya.

Tuan Park yang juga selesai membahas tentang penjualan tanah di daerah Gwangju dengan Nyonya Park menoleh pada Myungeun.

“Kita masih kekurangan dana Myung. Penjualan tanah di Gwangju tidak cukup untuk membayar bahan material.”

Jimin menghentikan laju sendoknya. Selama ini ia tak begitu tertarik dengan dunia bisnis sang appa. Jimin hanya tahu tentang barang apa yang diproduksi perusahaan Tuan Park. Tapi untuk masalah-masalah lainnya Jimin tak begitu mengetahui. Dan apa ini? Bahan material tidak cukup dibayar? Ada apa dengan perusahaan sang appa?

“Lalu bagaimana appa?” Myungeun bertanya lagi. Jika dibandingkan oleh Jimin, Myungeun mungkin lebih paham. Selain ia memang mengambil Administrasi Bisnis, ia memiliki keinginan untuk mengambil alih perusahaan sang appa nantinya. Mengingat Jimin tak terlalu suka dunia bisnis yang demikian. Ia ingin menjadi produser handal ketimbang pebisnis muda.

Sebelum menjawab tanya Myungeun, Tuan Park mengarahkan pandangan pada Jimin yang tampaknya mulai memperhatikan bahasan ini.

“Jimin-ah, apa kau masih bersikeras untuk menolak perjodohan ini?”

Jimin mengerutkan keningnya. Beberapa detik kemudian ia mengangguk.

“Kenapa? Padahal appa sangat berharap pada bantuan Tuan Kim dalam hal ini.”

“Jadi? Appa menukar Jimin untuk kelangsungan bisnis appa?”

“Bukan begitu Jimin. Ini juga untuk kebaikanmu.” Tuan Park mencoba menjelaskan pada Jimin. “Kalau bisnis appa selesai, kau bisa apa? Apa kau akan hidup dengan uangmu sendiri? Kau bahkan kuliah masih meminta appa.”

Jimin berdecak pelan. Ia sudah tahu kalau jawaban itu akan keluar. Memang keluarganya itu pandai mengelak dan beralasan. Setelahnya, ia meletakkan sumpitnya dan menatap malas pada Tuan Park.

“Tapi appa!! Aku tidak bisa melakukan pernikahan ini. Aku tidak menyukai Jiyeon. Aku tidak mau menikah dengan orang yang tidak aku sukai.”

“Lalu? Apa kau punya kekasih?”

Ada yang perlu diingat oleh Jimin. Walaupun Tuan Park pandai dalam beralasan, ia masih memiliki nurani untuk mendengarkan pendapat sang anak. Selama ini yang menuntut Jimin menyetujui perjodohan ini adalah sang eomma, bukan sang appa. Hanya saja kebetulan dengan adanya perjodohan ini, dana perusahaan sedikit ada yang menyokong.

“Ya aku punya kekasih.” Jawab Jimin.

Dari seberang meja ada suara dengusan remeh. Siapa lagi kalau bukan Myungeun. Ia ingin tertawa dengan jawaban yang dilontarkan oleh Jimin. Apa? Kekasih?

Hah, kekasih.” Sindir Myungeun dengan nada penuh hina.

Jimin seketika menatap Myungeun dengan pandangan tak suka.

“Siapa kekasihmu Jimin?” Kali ini Nyonya Park menyahut. Pasalnya wanita paruh baya itu tak mengetahui sama sekali tentang kekasih Jimin. Lagi pula lelaki muda itu juga tak pernah menceritakan pada sang eomma.

Jimin terdiam sejenak sebelum membuka suara.

“Dia..”

“Seorang calon produser.” Alih-alih Jimin yang berucap, Myungeun memotong ucapan Jimin dengan nada remeh yang masih kentara.

Jimin mendelik pada Myungeun.

Oh, calon produser? Wah, hebat sekali kekasihmu Jimin.” Tuan Park tersenyum hangat. “Tapi ngomong-ngomong Myungeun, kau tahu kekasih oppa-mu?”

Myungeun tersenyum penuh arti. Mungkin di mata Tuan dan Nyonya Park, senyum penuh keramahan tertera disana, namun bagi Jimin senyum itu layaknya senyum setan yang senang dengan penderitaannya.

“Aku tahu, tapi tanyakan sendiri pada Jimin oppa siapa kekasihnya.” Sahutnya dengan tangan kembali meraih sendok miliknya.

Tuan Park mengarahkan pandangan pada Jimin dengan sebelah alis naik. Hanya melalui tatapan itu, Tuan Park meminta penjelasan dari Jimin.

“Nanti aku akan membawanya kemari.” Susah payah Jimin mengatakan itu. Banyak rasa gelisah yang membungkusnya saat ini. Takut juga kalau tiba-tiba Myungeun mengatakan hal yang tidak-tidak.

Myungeun tertawa sinis dari seberang. Ia menegak cepat minumnya lalu menatap Jimin dengan pandangan tak percaya.

Waahh, ternyata Jimin oppa serius juga.” Ia mengusap bibirnya. “Aku sudah selesai makan. Aku mau tidur. Selamat malam, appa-eomma. Dan kau oppa, semangat!!” Ucapnya terdengar mengejek.

Jimin hanya bisa melihat kepergian Myungeun dengan rahang mengeras. Dalam hati ia mengutuk adik perempuannya itu. Salah apa Jimin memiliki adik seperti Myungeun. Tak lama setelah kepergian Myungeun, Jimin juga pamit ke kamar. Ia kurang begitu nafsu meneruskan acara makan malam itu.

.

.

.

Sepulang kuliah, Jiyeon sengaja mampir ke tempat ini. Rencananya ia ingin datang ke apartemen Jimin dengan membawa kue. Entah mengapa hati Jiyeon ingin sekali bertemu dengan calon suaminya itu. Padahal sudah sekitar tiga hari mereka tidak bertemu setelah terakhir kali Jiyeon mendapatkan perlakuan kasar darinya.

Memang dasarnya Jiyeon memiliki sifat yang keras. Apapun akan ia lakukan jika itu bisa membuat hatinya lega. Salah satunya adalah menemui Jimin.

“Terima kasih.” Jiyeon menerima bingkisan kue pesanannya dengan senyum terulas. Ia lekas mengulurkan lembaran won kepada pegawainya. “Aku akan menikmatinya dengan baik.” Sebelum Jiyeon benar-benar pergi, ia membungkuk pada pegawai toko.

Dengan tangan membawa bingkisan kue, Jiyeon keluar toko. Saat ia akan membuka pintu mobil, seseorang tertangkap lensanya. Jiyeon terdiam sejenak dan mengikuti langkah sosok itu. Kenapa sosok itu sendiri? Berarti..

Mumpung ia bertemu disini, kenapa tidak mengajak bicara saja? Ini kesempatan yang baik.  Segera Jiyeon berdiri di sebelah mobil dan menunggu sosok itu keluar dari toko yang sempat ia masuki juga.

Sekitar sepuluh menit menunggu, sosok itu keluar dari toko. Jiyeon mengunci pintu mobil lalu menghampiri sosok itu.

Hey!! Bisa kita bicara sebentar?”

.

Kecanggungan jelas terasa di antara mereka. Sejak keduanya duduk berhadapan di sebuah kafe, mereka sama sekali masih belum mengatakan apapun selain pesanan. Ya, dan itu pun mengatakan pada pelayan sendiri. Tidak saling bertanya.

Yang dilakukan Jiyeon adalah mengeratkan pegangan pada cangkit teh. Sesekali desah berat memburu di bibirnya. Ia tak tahu mengapa rasanya berat sekali untuk mengatakan sepatah kata. Padahal ia sendiri yang mengajak Yoongi datang kemari.

Tak berbeda jauh dengan Jiyeon, Yoongi pun sama. Ia merasa sedikit bingung dengan sikap Jiyeon. Kenapa Jiyeon tak kunjung mengajaknya berbicara? Bukankah ia yang meminta dirinya ikut dengannya dan duduk berdua disini? Yoongi menghembuskan nafasnya pelan lalu melirik kilat pada Jiyeon yang sedari tadi bermain dengan cangkirnya.

“Jadi apa yang ingin kau bicarakan, Jiyeon-yang?”

Pada akhirnya Yoongi mengalah untuk bersuara. Mungkin faktor usia yang membuatnya lebih berani memulai, meskipun seharusnya Jiyeon lah yang melakukan itu.

Jiyeon menggigit bibir bawahnya beberapa detik.

Euum, ini masalah Jimin.”

“Jimin?”

Jiyeon mengangguk kecil lalu menegakkan posisinya. Ia ingin dipandang sedikit lebih berani daripada sebelumnya.

“Maaf sebelumnya, aku ingin bertanya. Apa kau mencintai Jimin dengan tulus?” Tanya Jiyeon to the point. Oh, Jiyeon telah mengumpulkan segala keberaniannya untuk menanyakan itu.

Yoongi tampak terkejut. Pertanyaan yang sama sekali tak ia antisipasi. Apa mungkin Jiyeon telah mengetahui banyak tentang hubungan cintanya dengan Jimin? Ia lantas mengalihkan atensinya mana kala menangkap sorot mata Jiyeon yang penuh rasa penasaran.

“Itu..” Ia sedikit ragu untuk menjawab. Rasanya ada yang aneh ketika seseorang menanyakan hal ini. Terlebih seseorang itu adalah calon istri dari Jimin. “Y-ya, ya aku mencintainya dengan tulus. Kami sudah berhubungan lama. Mana mungkin aku hanya main-main dengannya.”

Kristal bening milik Jiyeon membesar, ia terhenyak dengan jawaban panjang dari Yoongi. Jiyeon tak menyangka jika lelaki di hadapannya ini memiliki kemampuan untuk berkata dengan baik.

Lantas ia kembali mengulas senyum ramah. “Sungguh? Lalu bagaimana kalian akan menyusun kehidupan di masa depan? Bukankah hubungan seperti itu sangat tidak di terima di Korea Selatan?” Tanggapnya.

Kerutan tipis tampak di kening Yoongi. Matanya memicing seiring dengan rasa aneh di dalam hati.

“Sebenarnya apa tujuanmu Jiyeon-sshi? Apa maumu? Tidak usah berbelit-belit seperti ini.”

Jiyeon lagi-lagi menyungging sebuah senyum di bibir. Ia menggeser cangkir teh di hadapannya dan melipat tangan di atas meja.

“Baiklah, aku akan mengatakan apa sebenarnya keinginanku. Aku hanya ingin kau menjauhi Jimin sekarang juga. Jangan lagi berada di dekatnya!! Apa kau ingin hidup Jimin hancur? Apa kau tidak kasihan melihat Jimin menderita nanti?” Jiyeon menyeruput tehnya kemudian. “Yang aku dengar, keluargamu setuju dengan ketidaknormalan yang kau alami. Tapi keluarga Jimin? Jangan harap mereka mau menerima hubungan ini!! Jadi aku mohon dengan hormat, tinggalkan Jimin!!”

Yoongi terdiam beberapa saat setelah mendengar penuturan dari Jiyeon. Oh, ia tak menyangka jika gadis ini begitu ambisius mendapatkan Jimin. Jangan dikira Yoongi tak tahu apa-apa tentang Jiyeon. Meski Jimin tak menyukai Jiyeon, lelaki yang lebih muda itu akan menceritakan apapun yang diminta oleh Yoongi. Salah satunya info tentang Jiyeon. Namun dari banyaknya info itu, Yoongi masih belum tahu jika Jiyeon ingin mempercepat pernikahannya.

“Kalau aku tidak bisa?”

Jiyeon tersenyum miring. Ia bangkit dari duduknya lalu menatap penuh arti pada Yoongi.

“Aku akan berusaha bagaimanapun untuk memisahkan kalian. Apa kau tidak ingin Jimin bahagia? Jangan hancurkan hidup Jimin!! Aku tahu, kaulah orang pertama yang menyukai sesama jenis.” Gadis cantik itu mengambil ponselnya dari atas meja. “Akan aku pastikan kalau kau mencermati ucapanku.”

Setelah itu, Jiyeon mendorong kursinya dengan kaki. Lalu menggerakkan tungkai kurus berlapis hak tinggi itu menjauh dari hadapan Yoongi. Meninggalkan lelaki yang saat ini tampak bingung dengan keadaan yang baru saja ia alami. Bagaimana ini?

.

.

.

Di tengah malam yang cukup dingin ini, kedua belah pihak tampak menikmati makan malam dengan bercakap-cakap. Mereka tak menunjukkan kecanggungan sama sekali. Sejak sejam yang lalu, ada saja bahasan yang mereka bicarakan. Namun senyaman dan selancar percakapan mereka, ada dua sosok yang tampak berbeda dari lainnya. Siapa lagi kalau bukan Park Jimin dan Kim Jiyeon.

Mereka, ah tidak. Hanya Jimin yang tak begitu antusias dengan pertemuan keluarga ini. Jelas siapa yang akan senang dipaksa ikut ke dalam suatu acara yang sama sekali tak ia sukai. Sebisa mungkin Jimin menunjukkan ketidaktertarikannya, namun gagal. Rupanya Jiyeon lebih pandai bermain disini.

Dan tujuan mereka menggelar pertemuan adalah untuk membahas pernikahan yang benar-benar akan dilakukan September nanti. Padahal sudah jelas Jimin menolak. Tetapi itu tampak sia-sia.

“Bisa ikut denganku?” Jimin berbisik pada Jiyeon. Anggota keluarga lainnya sibuk dengan percakapan mereka tentang bisnis dan lainnya.

Jiyeon yang masih mengunyah makanan itu lantas mengangguk lalu meletakkan sumpitnya.

Eomma, appa, ahjumma, ajusshi, Jiyeon dan Jimin keluar sebentar yaa.” Pamit Jiyeon setelah ia menyelesaikan makannya.

Mereka menatap Jiyeon dengan pandangan senang.

Aigoo~ kalian mau quality time yaa? Oke deh, nanti kembali lagi yaa..” Sahut Nyonya Kim.

Jiyeon dan Jimin menggangguk. Kemudian keduanya berjalan menuju taman belakang. Dimana Jimin yang berjalan lebih dulu sementara Jiyeon mengikutinya dari belakang. Kedunya masih berada dalam situasi dimana masing-masing keinginan harus tercapai. Tidak ada istilah mengalah disana. Baik Jiyeon maupun Jimin, mereka tidak ingin berhenti.

“Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di otakmu Kim Jiyeon.”

Jiyeon mendekat pada Jimin yang telah duduk di bangku taman. Ia menghela pelan nafasnya.

“Apa kau masih belum mengerti ini semua Jimin?”

Lelaki itu menoleh pada Jiyeon. Sebelah alisnya terangkat naik.

“Aku melakukannya demi kau Jimin!! Demi kau. Jangan mengulang-ngulang pertanyaan dan bersikap seolah kau tidak tahu apa-apa!!”

“Aku memang tidak tahu. Yaa, mungkin aku akui kalau kau mencintaiku.” Jimin bangkit dan menatap datar pada Jiyeon. “Tapi aku tidak mengerti alasan sesungguhnya di balik ini semua. Aku tahu kalau kau melakukan ini karena sesuatu bukan? Apa itu? Ini bukan masalah kau ingin memilikiku ‘kan?”

“Kau sungguh tidak tahu apa-apa?”

Jimin menggeleng.

Jiyeon menghela nafasnya pelan. Mungkin ini memang saat yang terbaik mengungkapkan semuanya. Siapa tahu dengan demikian, Jimin akan menyetujui dan mengikuti semua rencananya. Ini juga demi kebaikan Jimin bukan?

“Aku melakukannya karena aku tahu bagaimana dirimu sebenarnya Jimin.” Jimin tersentak sejenak. Ia menatap ragu pada Jiyeon. “Aku tahu kalau kau itu gay!! Aku tahu siapa pasangan gay-mu!! Aku tahu berapa lama kalian berkencan!! Aku tahu semuanya. Aku melakukan ini karena aku ingin melindungimu dari keluargamu!!”

Jimin benar-benar terkejut dengan penuturan Jiyeon. Oh, ia sadar sekarang. Ia baru ingat jika Myungeun pernah mengatakan hal ini sebelumnya. Jadi, selama ini Jiyeon tahu kalau dirinya adalah gay. Ada rasa tak percaya dan takut. Tiba-tiba Jimin terpikirkan bayangan saat Jiyeon akan mengatakan pada orangtuanya. Tapi tunggu, kalau memang Jiyeon akan melakukan itu mana mungkin Jiyeon memintanya untuk menikah segera.

“Hahahaha..” Jimin tertawa aneh. Ia tak tahu harus menanggapi bagaimana. Ada senyum miring setengah ragu yang tampak di wajahnya. “Bagus kalau kau sudah tahu bagaimana sebenarnya aku. Apa kau tidak jijik dengan diriku?”

Oh kau ingin aku jijik Jimin?” Jiyeon ikut bangkit dan mendekat pada Jimin. “Itu sama saja kau berharap aku mengatakan ini pada orang tuamu. Begitu?”

“Kau--,”

“Kalau memang itu inginmu aku akan melakukannya.” Jiyeon menghembuskan nafasnya pasrah. “Aku tidak tahu kalau kau sebodoh itu Jimin. Kenapa kau buta dan bodoh sekali? Aku melakukan ini jelas-jelas untukmu.”

“Jangan berlagak sok pahlawan!! Aku tidak butuh bantuanmu Nona Kim.”

Jiyeon tertawa renyah. Ia setengah menyindir dengan tatapan tak suka pada Jimin. Baginya lelaki di depannya ini begitu bodoh. Oh, entah apa yang ada di pikiran Jiyeon, yang pasti ia merasa bahwa sebenarnya Jimin merasa khawatir. Mana mungkin ia bisa tenang ketika banyak yang tahu orientasi seksualnya? Sedikit saja Jiyeon mengatakan pada orangtua Jimin, tamatlah kisah lelaki itu.

Ah, kau menantangku Tuan Park? Mau kita buktikan mana yang akan menang dalam permainan ini?”

Jimin tertohok dengan  ucapan Jiyeon. Secara tidak langsung, gadis cantik itu mengancamnya dan membuatnya mati bertekuk lutut di bawahnya. Sebenarnya Jimin merasa kacau. Ia tak tahu harus bagaimana. Di lain sisi, ia tak mau berada di bawah kendali Jiyeon. Tapi di satu sisi, ia juga tak sudi menikah dengan Jiyeon.

“Kau berusaha mengancamku Kim Jiyeon?”

“Menurutmu?”

“Jangan pernah melakukan hal yang tidak-tidak Kim Jiyeon!! Aku tidak menyangka ternyata kau begitu terobsesi denganku sehingga ingin melakukan apapun untuk mendapatkanku.”

“Pendapat yang lucu Tuan Park. Tapi memang, aku memang mencintaimu dan terobsesi denganmu. Apa kau pernah mendengar prinsipku jika aku menginginkan sesuatu maka aku harus mendapatkannya?”

“Dan kau menerapkan itu padaku?” Jimin menggeleng tak percaya. “Dasar wanita gila!!”

Setelah itu Jimin memutuskan untuk pergi. Berada di tempat itu hanya akan membuatnya tambah emosi. Ia tak pernah tahu jika Jiyeon akan seperti ini. Entah karena saat itu Jimin masih belum bisa berpikir jernih atau bagaimana. Padahal jika dicermati, Jiyeon bertindak demikian juga demi dirinya.

Kehadiran Jimin tak lagi ditangkap oleh indera penglihat Jiyeon. Gadis itu terisak kecil dengan tangan saling bertautan. Memang, ia bisa mengatakan hal kasar seperti itu. Tapi dalam lubuk hati, Jiyeon merasa tersakiti dengan keadaan ini. Tak tahu mengapa rasa cintanya malah membuatnya menjadi demikian. Jiyeon menangis. Merasakan perlakuan dari Jimin meremukkan hatinya.

Namun tekad tetap tekad. Sampai kapanpun ia akan membuat Jimin jatuh ke dalam pelukannya.

.

.

.

Hyung ini menurutmu bagaimana?”

Jimin menunjukkan hasil aransemen musik yang ia buat dengan aplikasi di tabletnya. Ia membawa tabletnya mendekat pada Yoongi.

“Bagus tidak?” Tak mendapatkan respon dari Yoongi, Jimin lantas mendekat padanya. Ia sedikit heran dengan dir Yoongi saat ini. Sejak pulang dari kampus tadi, ia lebih suka diam dan memperhatikan smartphone-nya. Mungkin sesekali ia akan melihat ke arah Jimin, tapi itu tak sebanyak biasanya.

Jimin menyodorkan tabletnya ke depan Yoongi dan memaksa lelaki yang lebih tua menoleh padanya.

Tatapan Yoongi membuat Jimin menghela nafasnya pelan.

“Ada apa denganmu hyung? Apa yang sedang kau pikirkan?”

Lelaki di hadapan Jimin itu membuang pandangan. Ia menyamankan duduknya dan meletakkan ponsel di atas meja. Sehelai nafas berhembus pelan. Ia menggeleng kemudian.

“Katakan hyung!! Ada apa?”

“Masalah hubungan kita.” Sepenggal kalimat itu terdengar menyedihkan.

Sontak kedua alis Jimin menaut jadi satu.

“Ada apa? Ada apa dengan hubungan kita?” Tanya Jimin seraya mengusap pipi Yoongi.

Yoongi menepis tangan Jimin lalu beranjak dari duduknya. Sikapnya ini sungguh memberikan tanda tanya besar di benak Jimin.

“Apa kau pikir hubungan kita akan baik-baik saja ke depannya?”

“Apa yang kau katakan hyung? Jelas, hubungan kita akan baik-baik saja.”

“Kau tidak khawatir sesuatu?”

Kening Jimin mengerut semakin jelas dengan alis yang masih menaut dalam. Kenapa Yoongi mengungkit masalah ini? Ada apa?

“Khawatir apa?” Jimin meletakkan tabletnya dan menghampiri Yoongi yang berdiri di dekat jendela. “Yaa, terkadang aku khawatir. Tapi aku yakin kita bisa melewati segala masalah yang datang. Ada apa sayang? Kenapa tiba-tiba kau seperti ini?”

Bibir Yoongi menjadi korbannya, ia tak lekas menjawab malah menggigit bibir bawahnya. Pikirannya berkecamuk tentang hubungan mereka nantinya. Awalnya Yoongi tak terlalu memikirkan hal ini karena ia anggap hubungan mereka akan baik-baik saja, apalagi saat tidak banyak orang yang tahu. Namun setelah banyak orang yang mengetahui hubungan mereka dan banyak selentingan yang tak mengenakan untuk didengar, Yoongi jadi ragu untuk meneruskannya.

“Banyak orang yang sudah tahu hubungan kita.”

Yoongi memaku pandangan pada lantai. Ya, memang banyak orang yang tahu hubungan mereka. Dan Yoongi teringat berbagai macam ucapan-ucapan mereka terutama Kim Jiyeon; calon istri Jimin.

“Ya, aku tahu banyak yang mengetahui hubungan kita. Lalu kenapa? Apa hyung takut mereka akan mengucilkan kita?” Jimin menatap intens pada Yoongi.

Anggukan kecil diberikan sebagai jawaban dari pertanyaan Jimin. Meski sebenarnya alasan yang membuat ia seperti ini bukan hal itu. Melainkan karena Jiyeon. Ia kepikiran dengan kata-kata ancaman dari Jiyeon.

Apakah memang Jimin akan tidak bahagia jika dengannya nanti?

Alih-alih ikut sedih, Jimin malah mengulas senyum menenangkan. Kali ini saatnya ia yang memberikan semangat pada Yoongi mengingat sejak pertama kali mereka memutuskan menjalin hubungan, Yoongi lah yang sering memberikan kekuatan untuknya.

“Jangan khawatir!! Bukankah teman-temanku banyak yang mengetahuinya dan mereka tidak merasa terganggu? Asal kita tidak mengumbar kemesraan di depan umum, aku pikir akan baik-baik saja.”

Yoongi mengulum bibirnya ragu. Ia sedikit membenarkan kata-kata Jimin. Tapi lagi-lagi kalimat Jiyeon mengaung di kepalanya. Bagaimana jika Jiyeon membuka suara kepada orangtua Jimin? Bukankah hidup Jimin akan hancur? Yoongi tidak mau itu terjadi.

Ah, hyung!!” Jimin menyentak pundak Yoongi. “Bagaimana kalau kita tinggal di Amerika? Ku rasa hidup disana tidak akan menyulitkan kita.”

Wajah Yoongi berubah serius. Sungguh, apa yang diucapkan Jimin bukan hal main-main atau bahan candaan.

“Tidak bisa.”

“Kenapa?”

“Bagaimana dengan kuliahku dan kuliahmu? Aku juga tidak bisa meninggalkan kesempatan yang ada disini Jimin.”

“Kau bisa melanjutkan kuliahmu sampai lulus dulu. Setelah itu kita berangkat ke Amerika. Bukankah hyung juga bisa berkomunikasi lewat e-mail untuk masalah itu.”

Jimin menggeleng. Memang hidup di Amerika akan memberikan banyak keleluasaan dalam hubungan mereka. Tapi tetap saja, itu bukan pilihan baik. Kesannya mereka menghindar dari suatu masalah dan enggan untuk menghadapinya.

Bilapun mereka tetap disini, kenyataan akan menyakiti hati mereka.

“Itu tidak semudah yang kau katakan Jimin.”

Jimin tersenyum. Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Yoongi. “Aku tahu. Baiklah, kita pikirkan ini baik-baik hyung. Kita diskusikan lalu kita putuskan bersama.”

Dan Yoongi hanya mengangguk. Ia masih abu-abu jika harus dipaksa berpikir.

.

.

.

Mungkin ini sudah hari kesekian Jiyeon baru menjejakkan kembali kakinya di tempat ini. Setelah masalah yang tak kunjung terutari beberapa hari yang lalu mendera, Jiyeon tak bisa masuk ke tempat ini. Namun berkat pertemuan keluarga yang digelar kemarin hari, Jiyeon bisa lagi berada di ruangan ini.

Seperti sebelumnya, memasak untuk Jimin. Apalagi?

Selagi Jiyeon menyiapkan sarapan untuk Jimin, pemuda itu masih tak menampakkan batang hidungnya. Ia bahkan mungkin belum mengetahui jika ada Jiyeon disana. Jiyeon tak begitu peduli. Yang penting ia ingin membuat keadaan menjadi lebih baik lagi.

Entah memang akan berakhir demikian atau tidak.

“Kau memang gadis yang keras kepala.”

“Kau sudah bangun?”

Jimin berdecak tak senang. Ia menumpu tangannya di atas meja dengan pandangan mengarah pada Jiyeon.

“Berhentilah bersikap seperti ini, Jiyeon!! Toh aku akan tetap mengikuti kemauanku.”

Gadis itu menghentikan laju tangannya dan membalas pandangan Jimin.

“Ku mohon Jimin!!”

“Tidak usah memohon seperti itu.” Jimin mengambil alih pisau di tangan Jiyeon. “Itu tidak akan berguna untukku.”

Melihat senyum sinis dari wajah Jimin membuat batin Jiyeon meradang seketika. Ia semakin hari semakin melemah, namun tekatnya untuk membuat Jimin jatuh cinta padanya masih kuat ada. Lalu harus bagaimana Jiyeon? Apakah ia menyerah saja?

Tidak..

Itu tidak akan pernah terjadi.

“Lalu apa yang harus aku lakukan untuk bisa membuatmu setuju Park Jimin?” Tanya Jiyeon dengan suara pelan namun penuh keyakinan.

Alih-alih menjawab, lelaki muda itu tertawa remeh. Ia menancapkan pisau digenggaman pada meja kayu itu.

“Kau tidak akan bisa mendapatkanku Kim Jiyeon.” Lantas ia duduk di sebelah Jiyeon. “Aku akan meninggalkanmu, kau tahu?”

“Maksudmu?”

“Berada disini tidak akan membuatku bahagia.” Kening Jiyeon tampak berlipat tipis semenjak ia mendengar jawaban Jimin. “Aku memutuskan untuk meninggalkan Korea.”

Tenggorokan Jiyeon kering seketika. Apa yang dikatakan oleh Jimin? Meninggalkan Korea? Kemana ia akan pergi.

“Meninggalkan Korea untuk menetap di Amerika Serikat bersama dengan Yoongi hyung.”

Deg~

Dada Jiyeon bergemuruh. Rasanya bagaikan pisau yang digenggam oleh Jimin menusuk dan merobek hatinya. Sakit sekali. Begitu dalamkan rasa cinta Jimin untuk Yoongi sehingga mereka berniat tinggal bersama di Amerika?

“Kau serius?” Suara Jiyeon melirih ragu.

Jimin tersenyum dengan anggukan penuh kemenangan.

“Ya, sangat serius.”

Setelahnya Jiyeon hanya bisa bungkam. Kebiasaan dirinya yang suka membalikkan kata nyatanya tak lagi ada. Sedikit demi sedikit keberanian itu luntur dan Jiyeon tak tahu kenapa.

Sebisa mungkin Jiyeon mengumpulkan kembali rasa yang pernah tumbuh liar di dirinya. Sikap egois dan penuh percaya diri.

“Kau--,”

“Tidak perlu aku jelaskan bukan Kim Jiyeon? Kau hanya perlu menerima dan berhenti bersikap seperti ini.” Jimin bangkit dari duduknya dengan tatapan masih mengarah pada Jiyeon. “Aku berterima kasih untuk semuanya. Tapi maaf, aku tidak bisa membalas sesuai keinginanmu.”

Jiyeon mengepalkan tangannya. Ingin sekali ia meninju wajah Jimin dan mengatakan hal yang menumpuk di dalam hati. Namun ia tak bisa. Yang ia lakukan hanya membiarkan Jimin pergi dan mungkin benar-benar meninggalkannya.

Apa saatnya ia menyerah?

.

.

.

.

TBC


mind to review? ^^,

thanks
 

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????