Part 01

Best Mistake

Part 01

.

“Kau datang lagi?”

Pertanyaan itu tak lekas dijawab. Sang lawan masih menggerakkan tangannya yang cekatan pada sayuran di atas meja. Seperti pagi-pagi sebelumnya, ia melakukan hal yang sama; memasak sarapan bagi sosok yang bertanya.

Lelaki muda dengan surai cokelat terang itu mendekat padanya. Duduk nyaman pada kursi di hadapannya. Tangannya mengambil satu tomat lalu memasukkan ke dalam mulut.

“Kenapa kau suka sekali datang kemari?” Tanyanya lagi setelah tak mendapatkan jawaban atas soal yang sebelumnya.

Pada akhirnya gadis itu menyerah. Meski ia masih fokus pada gerakannya, ia berusaha menjawab pertanyaan itu.

“Tidak tahu.”

Singkat.

Ia mendesah, sedikit kesal dan terganggu. Lelaki itu bangkit dari duduknya meninggalkan gadis itu. Baginya ini sudah melelahkan untuk menghadapinya. Sejak kabar yang diterima dari sang eomma membuat gadis ini begitu semangat datang ke tempatnya. Entah karena apa lelaki itu tak mengerti. Yang ia tahu hanya gadis itu senang membuat berbagai macam makanan dari bahan yang ia bawa.

“Sebentar lagi makanan selesai. Kembalilah kesini.” Ucapan datar itu mengiringi tangannya yang aktif mengaduk sup di panci.

Ini bukan kali pertama diabaikan seperti ini oleh lelaki itu. Bukan hal aneh dan menyakitkan. Bagi sang gadis, hal itu adalah wajar. Mengingat kedatangannya kemari juga bukan sesuatu yang diinginkan olehnya. Namun, apa salah jika niat baik ini ia lakukan? Ia hanya ingin memendekkan jarak dan kecanggungan. Agar saling mengenal satu sama lain.

Sekitar sepuluh menit berselang, lelaki itu masih belum kembali. Padahal ia telah selesai menata makanan yang siap untuk dinikmati. Sedikit menghela nafas, ia bangkit dari duduknya berniat untuk memanggil lelaki itu. Kasihan kan kalau ia harus berangkat kuliah tanpa sarapan dulu? Apalagi ia tinggal sendirian di Kota Seoul.

“Jimin-ah!! Ayo kita makan.” Seru sang gadis begitu ia sampai di depan kamar.

Kamar tempat Jimin –lelaki itu- berada ditutup dan ia tak memiliki wewenang untuk membukanya. Sehingga dengan teriakan, ia berharap Jimin segera keluar.

Duduk anteng di balik meja makan dan tangan memasukkan nasi ke dalam mangkuk. Selalu seperti itu yang ia lihat setiap pagi. Jimin mendekat dengan helaan nafas panjang putus asa. Tubuhnya dipaksa duduk di depan gadis itu dan menatapnya dengan pandangan jengah.

“Hentikan ini semua Jiyeon-sshi!! Jangan bersikap sok baik dan sok peduli!!”

Yang memiliki nama Jiyeon menghentikan laju sendoknya. Sorot mata indah itu mengalih pada Jimin dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Apa salah?” Tanyanya datar.

Jimin tersenyum sinis. “Tidak ada gunanya kau bersikap demikian. Mau bagaimanapun aku tidak akan menyetujuinya.” Meski ia sedikit kesal dan muak dengan sikap yang diberikan Jiyeon, Jimin tetap menghargai kerja Jiyeon dengan mengambil mangkuk berisi nasi itu. Sayangkan kalau tidak dimakan?

Yah, kalau memang itu maumu aku bisa apa? Tapi bagaimana jika aku tetap menyetujuinya?”

“Atau jangan-jangan kau mulai menyukaiku?”

Jiyeon kembali mengarahkan atensinya pada apa yang ia kerjakan; mengaduk nasi dengan sup yang banyak. Ia sedikit tak berselera menjawab pertanyaan Jimin.

“Kau berangkat kuliah dengan siapa?” Alih-alih menjawab tanya dari Jimin, Jiyeon justru melempar tanya guna mengalihkan topik pembicaraan.

“Dasar!!” Jimin menyendokkan nasi berserta sup itu pada mulutnya. “Yoongi hyung! Aku akan berangkat dengan Yoongi hyung. Jangan berharap aku akan mengajakmu berangkat bersama.”

“Hati-hati nanti saat berangkat.” Tukas Jiyeon sebelum memasukkan nasi berikutnya. Setelah ia menelannya, Jiyeon meneguk air minum miliknya lalu bangkit. Ia tersenyum kepada Jimin seraya mengambil tas jinjing di sebelahnya. “Biarkan saja seperti ini kalau kau mau pergi. Nanti siang aku akan merapikannya.”

Jimin tak acuh, iris kelamnya masih memaku makanan di depan dan terus menikmatinya seolah tak ada siapapun disana. Rasa kesal itu sudah menumpuk sejak beberapa hari yang lalu. Siapa yang akan suka jika hidupmu tiba-tiba dirusuh oleh orang lain yang bahkan ia sendiri tak mengenalnya? Jimin pun demikian, ia tak menyukai Jiyeon meski segala macam bentuk perhatian, kebaikan bahkan senyum diberikan kepadanya. Karena sekali lagi Jimin hanya menganggap Jiyeon sebagai pengganggu.

Ini terjadi sejak dua minggu yang lalu. Sejak kabar perjodohan mereka terdengar telinga.

.

.

.

.

.

Rutinitas yang sama setiap harinya. Setelah Jiyeon menyibukkan diri di apartemen Jimin, ia akan berangkat ke kampus untuk menunaikan tugasnya. Masih tingkat tiga. Masih ada satu tahun setengah lagi untuk menyelesaikannya. Jiyeon termasuk mahasiswa yang rajin. Nyaris sama sekali ia tak pernah membolos untuk alasan apapun yang tak berdasar.

Jiyeon melangkahkan kakinya menuju ruang kelas. Hari ini, jam sepuluh adalah mata kuliah ekonomi pembangunan. Sebagai mahasiswa ekonomi, mata kuliah itu seharusnya menjadi mata kuliah favorit. Namun Jiyeon tidak, bukan karena materinya namun karena dosen yang mengajar kurang begitu fasih memberikan penjelasan kepada mahasiswa.

Wahh, wajahmu menggelikan!!”

Seseorang menyapa Jiyeon dengan tatapan kasihan. Ia membuang pandangan dari bukunya demi memperhatikan Jiyeon yang baru saja duduk di sebelahnya.

Jiyeon hanya menggangguk kecil dan mulai merogoh isi tas; mengambil buku juga bolpoin.

“Melayani Jimin lagi? Ck, sekarang kau benar-benar ibu rumah tangga Jiyeon.”

“Terima kasih pujiannya. Syukurlah kalau aku sudah pantas jadi ibu rumah tangga.” Balasnya dengan senyum manis mengembang. Bahkan mata kecil itu melengkung dalam.

Nayeon –teman Jiyeon- mendesah lemah. Entah mengapa melihat Jiyeon sejak dua minggu yang lalu ada yang berbeda. Jiyeon sedikit –atau mungkin banyak- berubah. Berangkat ke kampus dengan wajah yang sedikit kusam. Bahkan terkadang Jiyeon sempat datang dengan make up yang tipis sekali dan nyaris hilang saat ia harus melakukan kegiatannya sebelum berangkat ke kampus.

“Kau benar-benar yakin ingin menerima perjodohan itu?”

“Ya, kenapa tidak?”

“Kau tidak tahu siapa Jimin.” Nayeon mulai sedikit terpancing untuk tak membiarkan Jiyeon menikah dengan Jimin. Bukan karena Nayeon menyukai Jimin, bukan. Tapi ada hal lain yang sempat mengganggu pendengarannya. Walaupun sebenarnya Nayeon sendiri tak yakin apakah itu benar atau tidak.

Jiyeon membuka bukunya asal. “Memang, tapi aku percaya dengan pilihan orangtuaku. Dia anak sahabat eomma. Jadi aku percaya dia anak yang baik.” Sahut Jiyeon tenang.

“Tapi menurut rumor Jimin itu--”

“Jangan percaya rumor!! Itu tidak baik untuk pendengaranmu!!”

“Jiyeon-ah!!”

Um?”

Gadis dengan wajah bak malaikat itu menoleh pada Nayeon dengan pandangan berisikan tanya.

“Tidak.” Hanya jawaban ragu dengan senyum terulas. Sebenarnya Nayeon ingin mengatakannya tapi ada rasa ragu yang menyelimuti. Takut-takut kalau rumor itu tak benar.

Tak ada lagi percakapan. Jiyeon larut dengan bukunya. Sementara Nayeon hanya menatap Jiyeon yang lagi-lagi membangkitkan rasa ingin melindungi Jiyeon. Kemungkinan besar, Nayeon tak ingin melihat sahabat baiknya itu kecewa. Tapi melihat bagaimana keukeuh-nya Jiyeon dengan perjodohan ini membuatnya mundur perlahan. Nayeon hanya akan diam sampai kebenaran rumor itu terungkap.

.

Sementara di sisi kampus yang lain, Jimin tampak menikmati makan paginya dengan orang lain. Hell, bukankah ia sudah makan? Tapi bagi Jimin tak masalah menambah sedikit kalori pagi ini hanya demi menemani orang yang tengah menyantap makanannya sekarang. Kan kasihan kalau ia harus makan sendiri. Dan Jimin tak punya cukup hati untuk melihat itu.

Dengan makan sedikit terburu, Jimin mengunyah cepat toast miliknya. Ia juga meneguk cepat susu di sebelahnya. Mengingat sang lawan nyaris menghabiskan sarapan paginya yaitu sepiring omelet dan toast seperti milik Jimin.

“Kau sibuk akhir minggu ini?”

Jimin mengusap bibirnya dengan tisu sebelum menjawab tanya itu.

“Tidak, aku kosong hyung. Kenapa?”

Ada ulasan senyum yang muncul dari bibirnya. “Temani hyung beli sepatu yuk.”

“Dengan senang hati!! Kebetulan sepatuku juga sudah mulai rusak. Sekalian nanti aku juga membelinya.”

“Baiklah, cepat habiskan makanmu. Kau ada kelas bukan pagi ini?”

Jimin mengangguk kecil lalu kembali memakan sisa sarapannya. Park Jimin atau orang mengenal baik dengan panggilan Jimin adalah mahasiswa tingkat tiga jurusan seni musik. Sama satu universitas dengan Jiyeon namun gedung perkuliahannya cukup jauh. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa mereka tidak saling mengenal dengan baik. Katakan saja mereka memang berasal dari orangtua yang saling bersahabat. Namun nyatanya itu tak menjamin kedekatan mereka.

Sedangkan sosok lain yang sedang bersama Jimin adalah Min Yoongi. Salah satu sosok yang kelewat disayangi oleh Jimin. Kemanapun Jimin akan merasa nyaman jika itu bersama Yoongi. Selain mereka hanya berbeda satu tingkat, Yoongi merupakan hyung yang pengertian. Kebersamaan mereka semakin mengerat semenjak Yoongi tahu bahwa Jimin berada di departemen dan universitas yang sama. Seolah hal ini adalah sebuah takdir.

Selesai dengan kegiatan mereka, Jimin dan Yoongi berjalan menuju fakultas mereka. Kebetulan keduanya berada di gedung yang sama; Jimin di A.2.3 sedang Yoongi di A.2.5. Sehingga mereka bisa sampai tempat tujuan dengan suasana  yang lebih enak dibandingkan jalan sendiri-sendiri tanpa teman.

.

.

.

.

.

Langit telah berubah warna. Mungkin sejak dua jam yang lalu dan Jiyeon tak menyadarinya. Jika sudah pulang ke rumah, ia akan lupa waktu. Dirinya akan larut dalam tumpukan buku di perpustakan mini milik keluarga. Setiap saat ia kesana namun buku-buku yang ada seolah tak habis terbaca.

Merasa hari mulai gelap, Jiyeon menutup bukunya; buku tentang cara membaca watak seseorang. Ia bangkit dari kursi goyang lalu beranjak keluar ruang itu. Ini waktunya untuk membantu sang eomma menyiapkan makan malam. Mengingat jarum pendek sudah mendekati angka delapan. Sebentar lagi oppa dan appa-nya akan pulang dari bekerja.

Mata cantik Jiyeon menangkap seseorang yang baru saja masuk dapur. Nyonya Kim, berjalan menuju lemari es dan mengambil beberapa bahan makanan yang sedikit membeku. Sementara Jiyeon mendekat ke tempat Nyonya Kim dan berdiri di sampingnya.

“Malam ini menunya apa?”

Nyonya Kim menoleh ke sumber suara, lalu tersenyum hangat. “Appa-mu berpesan untuk membuatkan kimchi jjigae dan pancake kimchi.” Jawabnya.

Ah, appa ingin makanan pedas. Sini, biar Jiyeon yang buatkan pancake kimchi.” Jiyeon mengambil alih telur dan kimchi dari tangan sang eomma.

Di saat Nyonya Kim mulai membuat kimchi jjigae, Jiyeon turut membuat pancake kimchi. Sedikit ada keheningan di antara keduanya. Mungkin karena terlalu fokus pada masakan masing-masing.

“Bagaimana dengan Jimin?”

Merasa kurang nyaman dengan keheningan, Nyonya Kim menyingkapnya dengan sebuah pertanyaan tentang Jimin.

“Biasa. Masih sama. Bahkan semakin jengah.” Balas Jiyeon dengan tangan membalikan pancake di atas teflon.

“Lebih telaten saja menghadapinya. Nanti lama-lama luluh juga.”

Yah, semoga. Semoga tidak bertambah jengah.”

“Tapi kau serius kan menyetujui perjodohan ini?”

Jiyeon yang telah selesai dengan pancake-nya lekas mematikan api kompor. Ia menoleh pada sang eomma. “Kapan Jiyeon pernah main-main eomma?” Senyum cantik melengkung dari bibir tipisnya. “Jiyeon serius. Jiyeon akan menikah dengan Jimin.”

“Kau memang anak eomma yang paling cantik.”

“Jelas eomma akan mengatakan itu. Anak eomma kan hanya aku dan Myungsoo oppa.”

Dan sahutan dari Jiyeon dibalas dengan tawa kecil dari Nyonya Kim. Suasana mulai lebih nyaman dirasa. Perbincangan tentang kehidupan sehari-hari mewarnai kegiatan keduanya menata makan malam. Mulai dari kegiatan di kampus, di rumah apapun itu asal bisa di dibahas. Sesekali Jiyeon juga menyelipkan kisah tentang Jimin di antara perbincangan mereka. Bisa dibilang Jiyeon memang sedikit ada rasa tertarik dengan Jimin. Tapi gadis cantik itu tidak mau mengakuinya.

Sekitar sepuluh menit setelah semuanya selesai, pintu rumah terdengar dibuka. Baik Jiyeon maupun Nyonya Kim tahu pasti itu Tuan Kim dan Myungsoo. Ternyata benar, itu mereka. Tuan Kim dan Myungsoo segera mengganti pakaian untuk bisa menyusul dengan Nyonya Kim dan Jiyeon di ruang makan.

Satu keluarga lengkap memutar di meja makan. Seperti hari-hari biasa, mereka selalu bersyukur bisa menikmati makan malam bersama. Karena hal itu adalah sesuatu yang sulit mengingat betapa sibuknya Tuan Kim dan Myungsoo.

“Bagaimana dengan hari kalian hari ini?” Seperti malam-malam sebelumnya, Tuan Kim akan menanyakan hal yang sama.

Myungsoo menyesap minumnya kilat. “Baik. Aku bisa mengendalikan satu klien yang sepertinya cukup menyukai pemberontakkan. Tapi aku sedikit bertengkar dengan Soojung.”

Yang menjadi titik utama kebahagiaan di keluarga ini adalah adanya keterbukaan di antara mereka. Tak ada kecanggungan untuk mengungkapkan masalah masing-masing dan tak ada kebosanan untuk mendengar masalah masing-masing.

Tuan Kim tersenyum. “Hal lumrah untuk sepasang kekasih. Kalau kau Jiyeon?” Kali ini pandangan mengarah pada Jiyeon.

“Sama seperti biasa appa. Datang ke rumah Jimin, kuliah, kembali ke rumah Jimin lalu pulang.” Sahutnya tenang dilengkapi senyuman.

“Hubunganmu dengan Jimin, semakin dekat?”

“Tidak appa, bahkan Jimin bertambah jengah.”

“Kalau begitu kau harus bertindak lebih untuk memenangkan hati Jimin.” Myungsoo ikut menimpali. Kakak kandung Jiyeon itu berujar serius. “Ajaklah Jimin jalan-jalan!! Laki-laki paling suka diajak jalan-jalan dan menikmati dunia luar daripada terus-terusan pendekatan di dalam rumah. Siapa tahu dengan begitu Jimin bisa lebih tertarik denganmu.”

“Begitukah?”

“Ya, coba saja. Akhir minggu ini.”

Jiyeon menimang. Saran dari kakak laki-lakinya bukan hal yang salah.

“Aku akan mengajaknya.”

Nah, semoga kalian bisa lebih dekat yaa. Tidak usah terburu-buru, toh pernikahan kalian juga akan dilaksanakan setelah kalian lulus. Tunggu Myungsoo oppa menikah dulu baru kalian.” Tukas Tuan Kim disertai gelak yang mengundang lainnya untuk ikut tertawa.

Pada akhirnya makan malam mereka ditutup dengan wejangan dari Tuan Kim seperti biasa. Setelah itu mereka masing-masing kembali ke dalam kamar untuk melakukan kegiatan lainnya.

.

.

.

.

Pagi datang seperti biasa. Ya, seperti biasa Jiyeon telah menyambangi salah satu apartemen yang berada di kompleks dekat dengan tempatnya kuliah. Apartemen nomor 2105 dari tiga puluh lantai yang tinggi menjulang. Jangan ditanya bagaimana bisa Jiyeon seenaknya masuk ke apartemen itu tanpa pengusiran dari Jimin. Tidak, gadis itu tahu password apartemen Jimin dan pemiliknya malas mengganti. Lagipula mau di usir seperti apapun, kuasa sang eomma akan mengalahkannya. Bisa dibilang Jiyeon ngadu kepada eomma Jimin.

 Saat ini Jiyeon sudah sibuk dengan peralatan memasaknya di dapur. Sedikit tak memperdulikan suara bising yang ditimbulkan oleh Jimin, seakan ia tengah tuli saat itu juga. Sebilah ruang lain di apartemen Jimin terisi oleh alunan musik underground yang sulit diterima telinga Jiyeon. Jiyeon mengerti, lelaki itu sengaja untuk membuat Jiyeon tidak betah tinggal lama-lama. Siapa coba yang akan betah di tempat dengan suara seperti itu? Apalagi suara itu sama sekali tak disukai?

Jiyeon hanya membiarkan helaan nafasnya lolos. Sepiring nasi goreng kimchi sudah siap disantap. Sengaja ia hanya membuat sepiring karena ia lebih dulu sarapan di rumah.

Dengan piring di tangan, Jiyeon berinisiatif mengantarkan ke dalam kamar lalu pulang. Sempat sebelumnya Jiyeon berpikir untuk memberikan jarak dan hanya beberapa menit bertemu dengan Jimin. Supaya lelaki itu tidak semakin bosan memandang wajahnya.

“Jimin-ah!! Aku bawakan sarapan untukmu.” Tangan kanan Jiyeon mengetuk berulang lembaran tipis kayu bertandakan ‘Chim’ yang menggantung. “Keluarlah sebentar!! Ambil makananmu ini lalu kunci kembali pintunya. Aku akan pulang kok setelah kau mengambil nasi goreng ini.” Pekik Jiyeon sedikit hilang kesabaran menghadapi Jimin.

Ceklek..

Tak perlu pekikan kedua pintu itu terbuka dan Jiyeon tersenyum seraya menyodorkan sepiring nasi goreng ke hadapannya. Ada kerutan tipis di dahi Jimin, lelaki itu merasa sedikit bingung. Tidak biasa..

“Makanlah, aku akan pulang setelah ini. Tenang, peralatan dapurmu sudah aku bersihkan.” Jiyeon menarik tangan kanan Jimin dan memindahkan piring dari tangannya ke tangan Jimin.

Jimin hanya diam setelah satu anggukan diberikan.

Oh ya, akhir minggu ini jalan-jalan yuk. Aku ingin pergi ke taman safari.” Tukas Jiyeon sebelum ia benar-benar pergi.

Jimin menggeleng. “Tidak bisa. Aku ada janji. Lagian, aku juga tidak bersedia pergi denganmu.” Jawabnya datar.

“Sekali saja.” Pancaran penuh harap muncul dari mata bening Jiyeon.

Jimin hanya tersenyum sinis. “Tidak.” Dan setelah kata itu Jimin menutup pintunya keras.

Jiyeon menghembuskan nafasnya kasar lalu berbalik untuk pergi dari tempat ini. Jika saja bukan karena perjodohan ini, Jiyeon tak akan repot-repot mengganggu Jimin. Dan entah mengapa Jiyeon tidak bisa menolak perjodohan ini. Semakin hari, rasa penolakan itu berkurang dan menipis.

Meski nyatanya sikap Jimin semakin hari semakin menjadi.

.

.

.

.

 

“Kau getol sekali, tidak mau menyerah. Padahal Jimin benar-benar menghempasmu.”

Jiyeon hanya tertawa. Ia tahu cara bercanda dari sahabatnya itu. “Kapan kau pernah melihat aku menyerah? Aku bukan tipikal orang yang mudah menyerah.” Balasnya lalu bersandar pada kepala ranjangnya.

Dari seberang terdengar tawa pelan. “Ya, kau memang tidak pernah menyerah. Apapun itu harus ada digenggaman. Tapi untuk kasus ini rasanya aku cukup geli melihatmu begitu.”

“Apa yang membuatmu geli?”

“Padahal kalian hanya dijodohkan. Bukan permintaanmu sendiri. Terus kau juga tidak mengenal baik siapa Jimin. Tapi kau berlagak seperti telah kenal lama dan-, eh.. Tunggu!! Atau jangan-jangan—”

“Apa?”

“Kau mulai menyukainya? Iya kan? Tidak mungkin kalau kau tidak ada rasa dengannya terus kau seperti ini.”

Menyukainya?

Oh, telinga Jiyeon tidak asing dengan kata-kata ini. Sebentar terdiam, Jiyeon berpikir. Ah, tempo hari Jimin juga mengungkit kata ‘menyukai’ juga. Lalu apa mungkin?

“Tidak.”

Jawaban Jiyeon membuat Nayeon memekik. Rasanya itu sebuah sanggahan yang memiliki kejanggalan tersendiri. Nayeon berseru heboh setelahnya.

“Tidak mungkin, tidak mungkin!! Pasti kau mulai menyukainya. Mana mungkin kau tidak memiliki ketertarikan padanya akan bertingkah demikian jauhnya. Kalau aku sih pasti akan menolak perjodohan ini. Apalagi melihat sikap Jimin kepadamu sedikit membuatku muak. Yah, jujur aku juga muak dengan sikapmu yang seperti itu.”

 Dan Jiyeon kembali dihampiri keterdiaman. Bibirnya terkatup sempurna seiring otaknya yang tengah memroses kata demi kata milik Nayeon. Apa mungkin jika dirinya memang menyukai Jimin. Bila ditilik lebih detail, memang sepertinya Jiyeon sudah..

Tidak-tidak-tidak, Jiyeon tidak menyukai Jimin.

Tapi..

Sok tahu sekali kau Nona Im.” Tolaknya tak terima. “Aku tidak menyukainya. Aku begini karena aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku. Kau tahu kan kalau aku anak yang baik?”

Sekali lagi Nayeon tertawa. Penuturan Jiyeon terlalu berat didengar.

“Ya, ya, ya, terserah kau saja. Tapi Jiyeon, apa kau masih tidak tahu rumor tentang Jimin?”

“Sudah ku bilang, jangan percaya rumor Nayeon.” Jiyeon menghela nafas mendengar Nayeon kembali mengusik rumor tentang Jimin yang ia sendiri tak tahu apa maksudnya.

Nayeon ikut mendesah. “Tapi ini serius. Bahkan aku mendengar dari temannya sendiri.” Masih tak ingin kalah, nada suara Nayeon terdengar menuntut Jiyeon agar mendengarnya.

“Kau berlebihan deh Nayeon. Lebih baik sekarang kau tidur eum, sudah malam. Jangan beralasan besok weekend kau bisa begadang. Aku tutup teleponnya yaa. Selamat malam Im Nayeon.”

Nayeon menggumam kecil. “Eum, selamat malam juga Kim Jiyeon. Aku berharap kau memikirkannya. Bye-bye.”

Setelah itu sambungan telepon terputus. Jiyeon menatap dalam telepon genggamnya. Apa yang ingin dikatakan Nayeon tentang Jimin padanya? Jiyeon merasa sedikit ada yang aneh. Tapi..

Tidak, keputusannya sudah bulat bukan untuk tetap menjalani perjodohan ini? Toh masih banyak waktu untuk bisa membuat Jimin jatuh cinta padanya. Ya, masih banyak waktu untuk bisa membuat Jimin jatuh cinta padanya.

.

.

.

.

Jimin benar-benar mengutuk kehadiran Kim Jiyeon. Ia tak habis pikir bagaimana bisa menyangkut pautkan sang eomma pada masalah itu. Hanya karena ia menolak ajakannya jalan-jalan ke taman safari kuasa sang eomma berbicara. Jimin tak tahu mengapa gadis itu seakan tak ingin berhenti mengganggu kehidupannya.

Tak memperdulikan apakah gadis itu akan datang atau tidak, Jimin sudah siap sejak beberapa saat yang lalu. Jangan dikira ia siap karena Jiyeon. Hell, Jimin akan muak jika ada yang mengatakan hal itu. Melainkan ia tengah menunggu Yoongi datang menjemput. Supaya ia bisa langsung keluar. Seperti apa yang diharapkan, Yoongi datang sepuluh menit kemudian.

“Kau sudah siap yaa?” Yoongi tersenyum begitu melihat Jimin membuka pintu dengan senyum mengembang.

Jimin memiringkan tubuhnya untuk memberikan kesempatan Yoongi masuk. Bukannya Jimin tadi ingin langsung keluar? Kenapa malah mempersilahkan masuk?

Rupanya sorot teduh dari lelaki porselen itu memaksa Jimin menurut. Mungkin ingin duduk sejenak dan itu tidak salah kan?

“Kita akan jalan-jalan hari ini.” Yoongi membuka percakapan setelah beberapa menit hening.

Jimin mengangguk. “Jalan-jalan kemana hyung?” Tanyanya antusias.

Ah, aku ingin ke Amusement Park. Bagaimana?”

“Boleh, setelah itu kita beli sepatu ke Dongdaenmun?”

“Ya bis--,”

Klik-klik..

Suara pintu terbuka menghentikan ucapan Yoongi. Mereka sama-sama memalingkan wajah demi melihat siapa yang datang. Wajah Jimin memanas menahan amarah dengan rahang tegas mengeras. Ia ingin sekali menyeret sosok yang baru datang itu dan mengumpat padanya. Bagaimana bisa dia...

Ah, Jimin menghembuskan nafasnya kasar yang hampir melupakan kuasa sang eomma.

“Jimin-ah, kita jadi jalan?” Tanpa berdosa dan tanpa merasa bersalah, pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir berlapis tint tipis itu.

Jimin menoleh cepat ke arah Yoongi yang menatapnya dengan pandangan bermandikan pertanyaan lalu beralih pada sosok itu.

“Ku bilang kita tidak akan pergi. Aku sudah ada janji dengan Yoongi hyung! Kenapa kau tetap kemari?”

Jiyeon melirik sejenak pada sosok yang bersama Jimin lalu mengulas sebuah senyum.

A-ah, ku pikir Park Ahjumma sudah mengatakannya padamu. Baiklah kalau begitu, aku pulang saja. Lain kali bisa?”

Jimin benar-benar ingin menyekap bibir Jiyeon agar tak banyak bicara. Apakah gadis itu tidak mengerti juga jika dirinya sungguh membenci dan bosan kepadanya?

“Tidak ada lain kali. Cepat pergilah!!”

Tanpa disuruh dua kali, Jiyeon memutar tubuhnya. Belum sempat ia menggerakkan kaki, ia kembali menoleh pada Jimin dan Yoongi.

“Selamat bersenang-senang!! Semoga weekend-mu menyenangkan.” Barisan kata penuh harapan itu berhiaskan senyum yang terulas. Setelahnya Jiyeon mulai berjalan menjauh dari mereka dan menghilang dari pandangan.

Jimin mengacak surainya kesal dengan segala macam umpatan mengalir lancar dari bibirnya. Ia bahkan merutuk sikap sang eomma yang terlalu berlebihan membiarkan Jiyeon merusak segala macam isi hidupnya.

“Jimin!!”

Jimin tersentak mendengar panggilan dari Yoongi.

“Bisa jelaskan siapa dia?”

.

.

.

.

.

TBC

Bagaimana? Silahkan dicomment .. ^^,

.

.

Deer Luvian

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
derpblue
#1
Chapter 3: uwaaa, makin serius aja masalahnya :") semoga mz jim sama mba kei bisa melaluonya, yah, wkwkwk. can't wair for next update!
fridashaf #2
Chapter 3: Aku suka sama ff ini!! Cerita nya gak pasaran/? Selalu nebak kei nya ini bakal pasrah sama perjodohannya tapi malah minta percepat pernikahan._. Susah d tebak lah pokoknya! Lanjutkan thor xD
derpblue
#3
Chapter 2: ugh, such an interesting story <3 saya sudah baca dari chapter satu dan suka banget sama ficnya--plotnya juga unik dan nggak begitu pasaran, menurutku. ditambah lagi saya suka sama gaya penulisan kamu x)
tetep semangat yak xD ditunggu chapter selanjutnya, ppyong!
mechyni #4
Chapter 1: Jangan2 rumor yg dimaksud itu jimin suka yoongi????