Chapter 3

It Started With A Dare
Please Subscribe to read the full chapter

Sarra sedang berjalan di pusat perbelanjaan Seoul. Tangan kanan gadis itu menenteng goodie bag berisi beberapa buah novel tebal yang baru saja dibelinya. Sarra berencana untuk membeli ice cream di sebuah ice cream parlour tidak jauh dari toko buku tempatnya membeli novel. Baru beberapa langkah berjalan tiba-tiba ada seseorang yang menabraknya, membuat goodie bag yang di bawanya jatuh. Untunglah novel-novelnya tidak berserakan sehingga dia tidak perlu bersusah payah memunguti novel nya satu persatu.

Sarra baru saja bangkit ketika matanya menangkap sosok seorang yang berdiri tidak jauh di harapannya. Dia mengenali sosok itu tentu saja. Bagaimana mungkin dia bisa lupa pada orang yang membuatnya mau tidak mau memberikan ciuman pertamanya? Mata mereka bertemu, membuat Sarra mematung di tempatnya berdiri. Dia sendiri tidak tahu kenapa Kai membuatnya merasa seperti ini. Lelaki itu tampan, sangat kalau boleh ditambahkan. Tapi bukan itu yang membuat Sarra tidak bisa berkutik saat berhadapan dengan Kai. Sarra merasa ada sesuatu dalam diri Kai yang membuatnya tertarik pada lelaki itu. Seolah ada magnet dalam diri Kai yang membuat Sarra mau tidak mau harus mendekat padanya.

Tiba-tiba terdengar alunan musik dengan beat yang cukup cepat, menyadarkan Sarra dari apapun yang baru saja dipikirkannya. Gadis itu baru akan mencari sumber suara ketika dilihatnya Kai menari mengikuti setiap irama musik yang menggema. Gerakan tubuh Kai yang luwes membuat Sarra terpesona, meskipun gadis itu enggan mengakuinya. Bagaimana mungkin sosok seorang Kai yang dijuluki The Cold Prince bisa bergerak seluwes itu? Sarra sendiri tidak mengerti. Yang dia tahu adalah bahwa gerakkan Kai terlihat indah dan ekspresi wajanya menunjukkan kalau dia bahagia.

Tiba-tiba seorang demi seorang mulai ikut bergerak seirama dengan gerakan Kai. Mereka adalah kelima anggota EXO lainnya dan satu orang lelaki yang tidak Sarra kenali. Jika diperhatikan, lelaki itu sedikit mirip Kai. Bedanya, kulit lelaki itu putih susu sedangkan kulit Kai lebih gelap. Namun dilihat dari gerakannya yang lincah, Sarra tahu dia juga hebat dalam menari.

Tepuk tangan meriah menggantikan suara alunan musik yang kini sudah berhenti. Sarra terkejut ketika menyadari bahwa di sekelilingnya sudah banyak orang berkumpul mengelilingi beberapa lelaki yang baru saja melakukan flash mob. Sepertinya dia terlalu fokus pada setiap gerakan ketujuh lelaki di hadapannya sampai tidak menyadari kehadiran orang lain di sekitarnya.

Tiba-tiba terdengar suara peluit tidak jauh dari mereka berdiri. Sarra melihat ada beberapa orang berseragam keamanan yang beralari ke arah mereka. Ketujuh lelaki yang tadi melakukan flash mob segera melarikan diri agar tidak tertangkap. Sarra terlalu sibuk memperhatikan kejadian itu sampai dia tidak menyadari kalau Kai berlari ke arahnya. Dia baru sadar apa yang terjadi saat Kai menarik satu tangannya yang bebas dan menyeretnya berlari menjauh dari tempat itu.

.

.

“Kai...hosh hosh... Kai... hosh...stop please!” dengan nafas yang terengah-engah Sarra memohon pada Kai untuk berhenti berlari.

Kai melirik Sarra yang terlihat kelelahan lalu matanya memandang lurus ke belakang, mencari tahu apakah petugas keamanan itu masih mengejar mereka atau tidak. Ketika dia yakin kalau mereka aman, dia memelankan larinya sampai akhirnya mereka berhenti.

“Kau ini payah. Larimu pelan sekali. Kita hampir saja tertangkap tadi.” Kata Kai. Nafas Kai juga tidak teratur, namun tidak separah Sarra.

“Aku kan.. hosh.. bukan ...hosh... atlet lari. Lagipula ...hosh... siapa yang memintamu ...hosh... menarikku lari?” tanya Sarra sebal.

Kai hanya bisa diam mendengar pertanyaan Sarra. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia harus membawa gadis itu lari. Toh gadis dihadapannya bukan temannya yang ikut melakukan flash mob jadi gadis itu tidak mungkin di tangkap petugas keamanan. Dia meraih tangan gadis itu dan menariknya berlari bersamanya hanya karena reflek. Dia bahkan tidak berpikir terlebih dahulu. Dia hanya ingin membawa Sarra pergi dari tempat itu. Dia hanya bisa menghela nafas lelah dan berbalik.

“Eodigayo?” tanya Sarra. Tangan mungil gadis itu menahan lengan Kai.

“Membeli minum.” Jawab Kai singkat. Lelaki itu melepaskan tangan Sarra dari lengannya lalu berjalan menuju supermarket yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Sarra mengekor di belakangnya.

Kai meraih botol minuman isotonik kesukaannya dan akan membayarnya ke kasir ketika di menyadari Sarra masih mengikutinya. “Kenapa mengikutiku?” tanya Kai.

“Aku tidak tahu kita ada dimana dan bagaimana cara agar aku bisa pulang.” Jawab Sarra jujur. Pipi gadis itu mereona karena malu. Memang mereka saat ini ada di sebuah supermarket di distrik yang Sarra tidak tahu karena tadi Kai mengajaknya berlari menyusuri gang yang berkelok-kelok.

“Kau bisa bertanya pada orang di luar sana. Kau kan punya mulut.” Jawab Kai datar.

“Masalahnya bukan itu.” Kata Sarra.

“Lalu?” Kai bertanya tidak sabar.

“Aku takut pada beberapa lelaki berbadan besar dan bertato itu. Bagaimana kalau sampai mereka...”

Sarra tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Kai memotongnya. “Kau terlalu paranoid.” Kata Kai singkat. Setelah itu dia pergi ke kasir untuk membayar minumannya.

“Aku bukannya paranoid, aku hanya berjaga-jaga.” Kata Sarra lagi, masih mengikuti kemana Kai melangkah. Sebelum sampai di kasir, gadis itu sempat meraih sekotak kecil susu cokelat favoritnya dan menaruhnya di samping botol isotonik milik Kai. Ketika pelayan kasir bertanya apakah akan disatukan pembayarannya, Sarra mengiyakan. Kai meliriknya tajam yang dibalas Sarra dengan cengirannya. Entah kenapa Sarra merasa nyaman berada di dekat Kai hingga membuatnya sedikit keluar dari zona amannya. Gadis itu merasa dia sudah mengenal Kai lama hingga dia berani melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukannya jika bersama dengan lelaki lain.

Kai melemparkan susu kotak itu kepada Sarra sebelum keluar dari supermarket. Sarra meminum susu cokelatnya sebelum mengikuti Kai. Gadis itu terlalu asik dengan minumannya sampai dia tidak menyadari kalau jarak antara dirinya dan Kai semakin lebar. Ketika minumannya habis, dia baru sadar kalau dia kehilangan Kai. Bagaimana dia bisa pulang sekarang, dia sendiri juga tidak tahu.

Sarra menolehkan kepalanya kesana-kemari, berusaha mencari seseorang berpenampilan tidak menyeramkan yang bisa di tanyai. Namun sepertinya tidak ada seorangpun yang berpenampilan biasa saja karena kebanyakan orang disana bertato. Sarra menggigit bibirnya keras. Jantungnya mulai berdebar tidak karuan karena takut.  Dalam hati dia mengutuk Kai karena meninggalkannya sendiri di tempat yang tidak dia kenali.

Salah seorang pria bertato itu mendekati Sarra. Gadis itu ingin berlari, tapi kakinya lemas tidak bertenaga. “Sepertinya kau tersesat, nona.” Kata pria itu.

Sarra berpikir untuk mengatakan tidak tetapi pada akhirnya dia mengangguk. Mungkin orang-orang ini tidak berniat jahat padanya. Mungkin benar kata Kai kalau dia hanya paranoid saja. “Bisakah anda memberitahuku arah mana yang harus ku ambil untuk bisa sampai ke jalan utama?” Sarra bertanya sesopan mungkin, namun nada suaranya sedikit bergetar.

“Kenapa ingin ke jalan utama? Lebih baik kau temani kami saja.” Kata pria itu lagi. Tangan kanannya meraih beberapa helai rambut Sara dan mengelusnya pelan di sela-sela jari manis dan jari tengahnya. Seringaian pria dihadapannya membuat Sarra merinding. Lihat kan, ketakutannya beralasan.

“Berhenti menggodanya Jung Tak. Apa kau tidak lihat kalau tadi dia datang bersama Kai?” salah seorang teman pria di hadapan Sarra mengingatkan.

“Kai? Maksudmu Kai pewaris tunggal Kim Industries? Kai yang kemarin membuat Dongho masuk rumah sakit?” tanya pria itu pada temannya.

“Ya, Kai yang itu.” Teman pria itu mengiyakan.

Pria di hadapan Sarra terlihat berpikir sebentar sebelum seringaiannya kembali menghiasi wajahnya yang menyeramkan. “Tapi kini dia sudah tidak bersama Kai lagi.” Pria itu maju selangkah demi selangkah mendekati Sarra, membuat gadis itu secara reflek mundur menjauhinya.

“Memangnya kenapa kalau dia sudah tidak bersama Kai?” tanya Kai. Sarra yang melihat Kai sudah berdiri di belakang pria di hadapannya menghela nafas lega. Sepertinya hari ini dewi keberuntungan masih ada di pihaknya.

“Itu artinya aku bebas melakukan apa saja pada gadis ini tanpa harus berurusan dengan si bodoh Kai.” Ujar pria yang bernama Jung Tak itu, masih tidak sadar kalau Kai sudah berdiri di belakangnya.

“Coba saja kalau kau berani. Kau sentuh dia dan kau tidak akan pernah melihat hari esok lagi.” Kata Kai dengan nada mengancam. Perkataan Kai sontak membuat Jung Tak menoleh ke sumber suara dan betapa terkejutnya dia ketika melihat Kai sudah berdiri di belakangnya dengan pandangan mata membunuh.

“K-kk-kai...” Jung Tak menyebut nama Kai dengan terbata. Badan Jung Tak mungkin jauh lebih besar dari badan Kai, namun kemampuan Kai dalam berkelahi itu sudah tidak diragukan lagi. Dongho yang lebih hebat darinya saja bisa dikalahkan oleh Kai, bagaimana dengannya? Dia mundur beberapa langkah, menjauh dari Kai dan gadis di hadapannya. Bagaimanapun juga dia masih sayang pada nyawanya. Dia tidak sebodoh itu mau melawan Kai tanpa persiapan.

Kai mengulurkan satu tangannya untuk meraih tangan Sarra yang bebas. Lelaki itu kemudian menyeret Sarra pergi dari tempat itu. Di sepanjang perjalanan menuju jalan utama, Kai sempat berhenti beberapa kali untuk menceramahi Sarra. Sarra hanya diam, dia tidak tahu apa yang harus di katakannya. Sejujurnya dia tahu, dia hanya tidak bisa mengatakannya. Lidahnya kelu. Dia tidak bisa membayangkan kalau Kai sampai terlambat datang atau tidak datang, bagaimana nasibnya?

Ketika akhirnya mereka sampai di jalan utama, Sarra berhenti melangkah. Hal itu mau tidak mau membuat Kai berhenti berjalan. Lelaki itu meoleh dan terkejut ketika mendapati gadis di belakangnya bercucuran air mata.

“Yaah, kenapa menangis?” tanya Kai. Lelaki itu menolehkan kepalanya kesana-kemari untuk mencari tahu apakah ada orang yang memperhatikannya. Dan benar saja, beberapa orang yang sedang lewat memperhatikan mereka, bahkan ada yang menunjuk-nujuk mereka. Sesekali Kai mendengar dirinya disalahkan seolah dia yang membuat gadis dihadapannya itu menangis.

“Yaah uljima. Kalau kau menangis seperti ini, mereka akan mengira kalau aku yang membuatmu menangis.” Ujar Kai lagi. lelaki itu masih memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di sekitar mereka.

“Buseoweo...” Sarra berkata lirih namun Kai sempat mendengarnya. Lelaki itu menghela nafas lelah sebelum menarik Sarra ke dalam pelukannya.

“Arraseo. Naega jalmothaesseo. Mianhae.” Kata Kai. Tangan kanannya mengelus-elus punggung gadis di pelukannya, berharap hal itu bisa membuat Sarra sedikit tenang.

.

.

“Kai, aku mau itu.” Kata Sarra sambil menarik Kai menuju sebuah warung tenda pinggir jalan.

“Kau masih mau makan lagi?” Kai bertanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya tidak percaya.

Tadi sebagai ganti meninggalkan Sarra, Kai berjanji untuk mentraktirnya makan jajanan yang belum pernah Sarra makan. Dan lelaki itu menyesal melakukannya. Pasalnya Sarra terus-menerus menunjuk berbagai jajanan pinggir jalan dari mulai tteokbokki, odeng, hot bar, hot dog, corn dog, twigim, bungeoppang, hingga delimanjoo. Itu semua dihabiskannya tanpa sisa. Kai bahkan tidak mecicipi sedikitpun jajanan itu-bukan berarti dia ingin memakannya, dia hanya terkejut gadis mungil itu bisa makan sebanyak itu. Gadis itu kini sudah menarik Kai ke kios penjual hotteok. Kai memperhatikan Sarra yang dengan gembira memandangi penjual hotteok memasakkan pesanannya. Kai hanya bisa berdecak kagum ketika akhirnya Sarra menyantap pesanannya. Kemana larinya lemak-lemak dari makanan itu? Bagaimana mungkin gadis itu bisa makan begitu banyaknya sementara badannya tetap tidak mengembang?

Merasa diperhatikan, Sarra menoleh. “Kenapa melihatku seperti itu? Kau mau?” tanya Sarra sambil menyodorkan hotteok di tangannya pada Kai.

“Ani.” Kata Kai singkat. Setelah itu Kai segera membayar pesanan Sarra dan mengikuti Sarra yang sudah berjalan meninggalkannya.

Ketika Kai berhasil menyamai langkah Sarra, titik-titik air hujan mulai mengguyur kepala mereka. Kai dengan sigap menarik Sarra berlari menuju halte bis terdekat sehingga mereka bisa berteduh. Namun sebelum mereka sampai di halte bus, hujan sudah semakin deras membuat mereka mau tidak mau hampir basah kuyup.

“Oh my god novel ku...” Sarra merenungi novelnya yang juga mandi air hujan malam itu.

Kai memperhatikan Sarra yang basah sebelum mengorek tasnya dan meraih kemejanya lalu memberikannya pada Sarra. Gadis itu hanya memandang Kai bertanya. “Pakai ini biar kau tidak kedinginan.” Kata Kai. Setelah itu Kai berjalan menuju peta jalur bus untuk mengetahui bus mana yang harus mereka naiki untuk pulang ke rumah Sarra. Mata Sarra bergantian menatap Kai dan baju ditangannya sebelum seulas senyum akhirnya muncul di bibir pucatnya. Mungkin hari ini adalah hari yang buruk bagi novelnya, tapi setidaknya bagi Sarra hari ini adalah hari dimana hubungannya dan Kai dimulai dari awal tanpa embel-embel hal memalukan yang pernah terjadi diantara mereka.

.

.

“Terima kasih sudah mengantarku.” Kata Sarra ketika mereka sudah berada di depan rumah gadis itu.

“Hmm.” Kai hanya menggumam mengiyakan sebelum kemudian berkata lagi, “Masuklah.”

“Kau pulang dulu saja, aku akan menunggu sampai kau menghilang di telan tikungan.” Kata Sarra.

“Tidak. Aku akan menunggu kau masuk baru aku pulang.” Kata Kai. Ketika lelaki itu melihat Sarra membuka mulutnya, dia memotong “This is not open for discussion.” Kata Kai tegas.

Sarra hanya bisa mengerucutkan bibirnya sebal. Namun akhirnya gadis itu menurut. Dia berbalik dan mulai berjalan beberapa langkah sebelum kemudian berbalik kembali menghadap Kai dan bertanya, “Bagaimana dengan ini?” tanya Sarra sambil menunjuk kemeja kotak-kotak milik Kai yang sedari tadi dia kenakan.

“Keep that. Lagipula bajuku sudah kering.” Kata Kai ringan.

Sarra mengangguk-angguk mengerti. Gadis itu kemudian tersenyum dan berkata, “Hati-hati di jalan.”

Setelah memastikan Sarra kembali ke rumahnya dengan aman, lelaki itu segera berbalik dan pergi. Dia ingat dia masih punya janji nongkrong dengan teman-teman flash mob nya tadi siang. Ah, tapi mungkin mereka sudah pulang. Siapa yang mau menunggunya berjam-jam tanpa kabar. Akhirnya dia memutuskan untuk pulang ke apartemennya.

.

.

Jangan dekati Kai kami!!

Sebuah kertas kecil dengan tulisan berwarna merah itu jatuh dari loker baru milik Sarra. Gadis itu menghela nafas lelah. Ini masih terlalu pagi untuk hal-hal seperti itu. Belum lagi kepalanya yang sudah cukup pusing sejak bangun tidur pagi ini membuatnya malas meladeni hal-hal tidak penting seperti ini. Jadi yang dia lakukan hanya meremas kertas kecil itu dan membuangnya ke tempat sampah sebelum berlalu ke kelasnya.

Mata pelajaran pada jam pertama adalah fisika, mata pelajaran yang paling Sarra benci. Dia bisa menangani pelajaran yang membutuhkan kemampuan berhitung yang lain seperti kimia dan matematika tapi tidak dengan fisika. Dia tidak tahu kenapa si ‘fisika’ ini begitu membencinya sampai-sampai selama 3 tahun si Junior High School dia tidak pernah bisa lulus ujian fisika tanpa mengulang. Bahkan dengan keadaan normal saja dia tidak sanggup menyelesaikan soal fisika, apalagi dengan keadaannya saat ini. Bukannya sembuh, sakit kepalanya semakin menjadi. Yang dia inginkan saat ini hanya menggulung tubuhnya di bawah selimutnya yang hangat, bukannya malah menghadapi rumus-rumus fisika yang semakin memusingkan kepala ini.

“Kau tidak apa-apa? Wajahmu benar-benar pucat.” Ahreum berbisik pada Sarra, takut-takut Mrs. Gil mendengarnya. Mihyun dan Inhwa ikut menoleh mendengar pertanyaan Ahreum. Sarra hanya mengangguk sebagai balasan.

“Kau yakin?” tanya Mihyun memastikan, masih sambil berbisik.

“Hmm” Sarra menggumam.

“Kalau kau perlu ke ruang kesehatan katakan saja, nanti biar aku temani.” Kali ini Inhwa yang menawarkan bantuannya.

“Bilang saja kau malas belajar.” Ujar Ahreum sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan dan menoyor kepala Inhwa pelan. Inhwa hanya mengerucutkan bibirnya pada Ahreum sebelum menatap Sarra sambil memamerkan cengirannya.

“Thanks for your offer. But I think I’m fine. Dan akan lebih baik kalau kita memperhatikan penjelasan Mrs. Gil sebelum spidol di tangan beliau mendarat di kepala salah satu dari kita.” Kata Sarra sambil memamerkan senyum lemahnya. Ketiga temannya sontak mengalihkan perhatiannya kepada Mrs. Gil yang masih sibuk menuliskan rumus-rumus fisika di papan tulis.

.

.

Bel istirahat berbunyi. Sarra menghela nafas lega. Dia ingin segera ke ruang kesehatan karena kepalanya semakin pening. Tadinya dia ingin izin pulang saja, tapi dia ingat kalau di rumah juga tidak ada orang. Ayahnya tentu saja sedang bekerja dan dia sungkan menelepon beliau hanya untuk menjemputnya. Sedangkan ibunya sedang bertemu sahabat yang sekaligus menjabat sebagai editornya untuk membicarakan novel terbarunya dan kemungkinan besar baru sore hari beliau pulang. Jadi pulang ke rumah pun percuma saja karena tidak akan ada yang bisa menemaninya di rumah.

Sarra sudah setengah jalan menuruni tangga untuk menuju ruang kesehatan ketika sebuah tangan menariknya, membuatnya berbalik menghadap si empunya tangan. Dengan pandangan mata yang sedikit buram, gadis itu mencoba memperhatikan siapa pemilik tangan yang menghentikan langkahnya.

“Kau gadis nakal, jangan berani-berani dekati Kai kami.” Ujar gadis di hadapannya. Sarra mengerjapkan matanya beberapa kali.

“Kau jangan sok cantik. Kau itu tidak cocok untuk Kai.” Kata gadis yang kedua. Sarra menoleh untuk menemukan sumber suara namun kepalanya semakin berat. Entah kenapa tiga gadis yang berdiri di hadapannya kini menjadi enam. Apa mereka kembar? Sarra juga tidak tahu.

“Maaf tapi aku tidak pernah merasa bersikap sok cantik di hadapan Kai. Aku bersikap biasa saja di depan Kai. Bagian mana dari sikapku yang menurut kalian sok cantik?” Sarra sebenarnya tidak ingin meladeni gadis-gadis ini tapi dia kesal juga kalau mereka mengira Sarra bersikap sok cantik.

“Kau lupa kau pernah mencium Kai waktu itu? Kau pikir kau siapa berani-beraninya melakukan hal itu?” tanya gadis ketiga.

Kepala Sarra semakin pening. Pandangan matanya semakin buram dan tenaganya sudah lemah sekali. Gadis itu rasanya sudah hampir tidak bisa lagi menyangga tubuhnya. “Mianeundae, bisakah kita bicarakan hal ini lain waktu? Aku sedang sedikit buru-buru.” Kata Sarra. Sarra sudah akan meneruskan langkahnya ketika tangan gadis tadi kembali menahannya.

“Yaah, mau kemana kau? Kami belum selesai bicara.” Kata gadis pertama.

 “Yaah, apa yang kalian lakukan pada Sarra?” sebuah suara familiar menghentikan kegiatan kedua gadis yang tadi sempat mengeroyok Sarra. Mata Sarra memperhatikan Inhwa yang baru datang dan sedikit bingung karena ia melihat ada tiga Inhwa. Sara mengerjapkan matanya beberapa kali tapi masih tetap ada tiga Inhwa.

“Gwaenchanna?” tanya Inhwa pada Sarra.

“Hmm. Gwaenchanna.” Jawab Sarra pada Inhwa yang di tengah.

“Hey, aku disini. Kau melihat kemana?” tanya Inhwa.

Wrong one, pikir Sarra. Sarra berusaha mencari Inhwa melalui sumber suara ketika sebuah telapak tangan menyentuh keningnya.

“OMG, kau panas sekali.” Kali ini suara Ahreum. Dia menoleh dan mendapati tiga Ahreum.

Telapak tangan Ahreum di kening Sarra tergantikan oleh telapak tangan seseorang yang ternyata adalah Mihyun. Dan di mata Sarra, Mihyun juga ada tiga. Apa yang sebenarnya terjadi?

“Kau benar. Dia demam. Sebaiknya kita segera membawanya ke ruang kesehatan.” Ujar Mihyun pada Ahreum. Mereka bertiga sudah akan menemani Sarra ke ruang kesehatan ketika ketiga gadis yang tadi membully Sarra menghalangi mereka.

“Yahh, kita belum selesai bicara!” ujar salah seorang dari ketiga gadis itu sambil berusaha menarik lengan Sarra.

“Apa yang kau lakukan? Dia sedang sakit!” bentak Inhwa sambil berusaha membalas perbuatan ketiga gadis tadi. Tidak lama setelah itu Ahreum dan Mihyun ikut membantu Inhwa. Mereka saling dorong dan berebut siapa yang benar. Sampai kemudian lawan Ahreum mendorongnya cukup keras hingga menyenggol Sarra yang ada di ambang anak tangga dan gadis itu kehilangan keseimbangannya.

Suara jeritan panik Ahreum memanggil namanya terdengar begitu jelas di telinganya. Sarra seperti mendengar Mihyun yang menyuruhnya menggapai pegangan tangga namun dia tidak bisa meraihnya karena tenaganya yang lemah. Sarra sudah menanti rasa sakit yang akan dirasakannya nanti saat tubuhnya sudah sampai di lantai ketika sepasang lengan kekar menangkapnya dan membawanya kedalam dekapan hangat yang begitu familiar. Matanya menangkap ekspresi wajah Kai yang memancarkan kekhawatiran sebelum segala sesuatunya berubah menjadi gelap.

“Aku tidak tahu apa yang terjadi..” Kai memulai, wajahnya menatap keenam gadis yang tadi sempat berkelahi dengan datar, “tapi aku harap ini terakhir kalinya ada orang yang berusaha menyakiti Sarra.” Kai berkata tenang namun nadanya berbahaya. Ketiga gadis yang sempat membully Sarra hanya mengkeret takut. Setelah itu Kai dengan sigap menggendong Sarra ala bridal style dan membawanya ke ruang kesehatan.

“Apa yang terjadi?” tanya Baekhyun yang juga ikut menyaksikan kejadian barusan. Selain Baekhyun, ada juga anggota EXO lainnya.

Inhwa menceritakan kejadian sebenarnya dari awal hingga pada saat Ahreum tidak sengaja menyenggol Sarra dan membuat Sarra terjatuh. Semua anggota EXO hanya menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Ahreum sendiri sudah hampir menangis karena takut Sarra terluka. Mihyun hanya bisa mengusap-usap punggung Ahreum sayang.

“Hey, don’t cry. Aku yakin Sarra tidak terlu

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
kunikuma #1
Chapter 6: Awesome
Ohhuse #2
Chapter 1: Keren ff nya. Apalagi main castnya kai. Aku selalu dapet feel kalo yg main ini orang. Fighting ya..
Hyostyle #3
Chapter 5: salam kenal eon ^^ aku pendatang baru di web ini, dan bru beberapa hr bca ff disini aku lngsung kepicut(?) ff ini.. aku suka ff ny eon ~~
Putripranata #4
Chapter 4: Really like this story, agak mainstream sih, tapi authornya bisa buat kesan tersendiri sama ceritanya! Fighting! Lanjut terus ya,, aku bakalan rajin baca