Suga's Day

Just One Day

      Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru gedung. Semua tamu undangan berdiri dan bertepuk tangan untuk menunjukkan bahwa mereka ikut bahagia dengan resminya kedua pasangan di depan mereka sebagai suami istri. Tepuk tangan semakin meriah setelah dibarengi dengan suara yang cukup melengking dari beberapa tamu undangan wanita saat pasangan yang ada di depan melakukan first kiss pertamanya setelah menjadi suami-istri.

       Suga tersenyum, menunjukkan perasaan senangnya saat ini. Melihat seorang teman menikah di depan matanya memberikan rasa senang tersendiri yang selalu berbeda setiap Suga merasakannya. Ini bukanlah pertama kalinya ia datang ke pernikahan temannya, namun kali ini, entah mengapa ada rasa yang belum pernah dirasakan olehnya. Perasaan senang bercampur...rasa yang lain.

       “Cukhahae,” Suga memeluk sekilas mempelai wanita yang ada di depannya. Ia lalu beralih ke mempelai pria dan melakukan hal yang sama. “Cukhahae, hyung.”

       “Gomawo, Yoongi. Kau adalah salah satu orang yang berjasa bagi perjalanan cinta kami.” Ujar mempelai pria. Pikiran Suga memutar kembali kejadian-kejadian pada saat ia masih berstatus siswa sekolah menengah dan membantu pasangan yang kini ada di depannya saat mereka masih menyimpan rasa untuk satu sama lain. Suga-lah salah satu orang yang membantu pasangan ini untuk dapat menjalin cinta sampai berakhir di pelaminan seperti saat ini.

      “Kami tunggu dirimu menyusul, Yoongi.” Ucap mempelai wanita yang langsung membuat Suga sedikit tersentak. Menyusul? Yang benar saja! Karirnya sebagai member boyband yang sedang naik down sekaligus sebagai songwriter membuatnya tak pernah memikirkan dunia ‘pernikahan’. “Mungkin kau bisa mencari calon pasanganmu di sini. Banyak temanku yang masih single yang kuundang kesini.”

     Suga tersenyum kecut dan berniat untuk segera pergi sebelum pembicaraan semakin jauh. Ia bukanlah tipe orang yang nyaman dengan topik pembicaraan yang menyangkut masalah yang sangat private, salah satunya adalah topik percintaan. Saat ia akan mengucapkan ucapan selamat sebelum meninggalkan kedua mempelai, mempelai pria memberikan pesan yang membuat pola berpikir Suga berubah 180 derajat.

     “Jangan terlalu fokus dengan karir. Kesuksesan bukanlah apa-apa jika kita tidak memiliki teman hidup untuk berbagi.”

~

       Air kran masih mengalir di kedua telapak tangan Suga yang putih pucat. Matanya terfokus pada tangannya tapi pikirannya tidak. Kata-kata dari mempelai pria tadi seakan terngiang-ngiang di telinganya.

Teman hidup untuk berbagi?

       Selama ini ia selalu menekankan prinsip bahwa kesuksesan adalah segalanya. Urusan lain pasti akan mengikuti jika kita sudah mencapai kesuksesan dalam hidup. Tentu saja, kesuksesan yang selama ini selalu menjadi target utamanya adalah kesuksesan materi. Bagaimana dengan kesuksesan dalam hal lain? Suga belum pernah sempat memikirkannya. Dan hari ini adalah kali pertamanya memikirkan hal lain selain mencapai kesuksesan materi. Teman hidup untuk berbagi.

       Suga keluar dari restroom pria setelah merasa kedua tangannya sudah cukup ‘bersih’. Ia sedang merapikan jas yang dikenakannya saat seseorang menabrak tubuhnya dari arah samping. Suga tersentak dan pada saat akan membentak orang yang telah menabraknya, ia menutup kembali mulutnya. Ia tidak mungkin membentak orang yang tadi menabraknya, karena orang itu adalah seorang wanita.

     “Jweisonghamnida, jeongmal jweisong—“ gadis itu membungkuk sekilas pada Suga sebelum menoleh ke arah tempat pesta pernikahannya diselenggarakan. Tanpa menunggu respon dari Suga, ia langsung berlari masuk ke restroomwanita dan terlihat sangat panik. Suga mengerutkan keningnya. Ada yang aneh dengan gadis itu.

       Sembari merapikan jasnya yang sedikit kusut karena ‘tragedi tabrakan’ tadi, mata Suga menangkap sesuatu yang berkilau di dekat kakinya. Refleks ia membungkukkan badannya untuk mengambil benda itu. Sebuah kalung yang Suga yakin saat ia memasuki restroom kalung tersebut belum ada di sana. Pikirannya langsung meyakinkan ia bahwa kalung itu pasti milik gadis yang tadi menabraknya.

      Suga menunggu di depan restroom wanita, menunggu gadis tadi keluar. 3 menit...5 menit...10 menit... gadis itu belum keluar juga. Suara di perut Suga menyadarkannya bahwa saat ini perutnya sudah minta untuk diisi. Dengan niat akan mencari gadis itu setelah makan, Suga berjalan meninggalkan tempat itu dan memasukkan kalung yang ada di tangannya ke dalam saku jasnya.

       Mata Suga langsung menyapu seisi gedung begitu ia menghabiskan makanan yang sedang disantapnya. Ia merasa sangat bodoh karena tidak menunggu gadis yang tadi menabraknya keluar dari restroom, karena mencari orang di tengah-tengah banyaknya tamu undangan bukanlah hal yang mudah, dan ia bukanlah tipe orang yang menyukai kegiatan mencari seperti ini. Ditambah lagi ia tidak terlalu ingat bagaimana penampilan gadis yang tadi menabraknya. Ia hanya berbekal wajah gadis itu, wajah yang agak pucat dan terlihat panik...

     Seorang gadis yang terlihat gelisah menarik perhatian Suga. Gadis itu sedang membelakanginya, tapi dari gerak-geriknya Suga yakin kalau gadis itu sedang gelisah. Berbeda dengan tamu undangan lain yang terlihat berinteraksi satu sama lain, gadis itu terlihat sendirian di tengah-tengah keramaian tamu undangan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri dengan gerakan yang cepat, seperti sedang mencari sesuatu. Entah insting apa yang meyakinkannya, Suga menghampiri gadis itu.

       “Permisi, apa anda yang tadi—“

     Gadis itu tersentak saat mendengar suara Suga. Ia menoleh tanpa membalikkan badannya pada Suga sebelum berlari menjauhi Suga. Sesekali ia memperlambat langkahnya saat akan melewati kerumunan orang yang sedang bercakap-cakap, lalu kembali berlari setelah melewatinya.

      Suga masih berdiri di tempatnya dan matanya mengikuti setiap pergerakan gadis itu. Ia baru menyadari apa yang harusnya ia lakukan saat gadis itu menghilang dari pandangannya. Ia pun berjalan cepat mengikuti jalur yang tadi dilalui gadis itu karena jika ia berlari, ia akan menjadi pusat perhatian dan ia membenci hal itu untuk saat ini.

       Berkali-kali Suga nyaris bisa mendekati gadis itu tetapi ia selalu gagal. Gadis itu selalu bisa menghindarinya dan dengan cepat pergi menghilang dari pandangannya. Sampai akhirnya, kesabaran Suga sudah habis dan ia sedikit berlari untuk dapat menghentikan gadis itu. Tanpa disadarinya, kini mereka sudah berada di luar venue.

      “Hey!” panggil Suga agak keras sambil menyentuh pundak gadis itu. Dengan cepat tangan gadis itu menepis tangan Suga dan menendang kakinya.

      “AAAARGGHH!”

     Seakan tidak peduli dengan dampak dari tendangan yang ia berikan, gadis itu langsung membalikkan tubuhnya untuk segera berlari dari Suga. Langkahnya terhenti saat ia melihat sesuatu yang sedang Suga sodorkan padanya. Ia langsung meraba leher yang menjadi tempat ia mengalungkan kalungnya. Hilang.

       “Apa ini—ini milik-mu?” tanya Suga dengan napas terengah setelah menahan sakit dari tendangan gadis yang ada di depannya. Gadis itu memandang dirinya dan kalung yang ada di tangannya secara bergantian. Gadis itu pun mengambil kalung yang ada di tangan Suga dengan cepat lalu mengenakannya kembali ke tempat asal kalung itu.

        Suasana hening sesaat sebelum gadis itu menggumamkan satu kata yang terdengar sangat pelan.

        “Gomawo.”

       Suga melirikkan menoleh ke arah gadis itu yang sedari tadi terus menunduk. “Ah, itu bukan apa-apa. Tidak perlu berterimakasih.”

        “M-m.....maaf.”

     Suara gadis itu kembali terdengar dan masih sama pelannya dengan suara pertamanya. Itu merupakan suara terpelan yang pernah ia dengar dari lawan bicaranya sepanjang hidupnya sampai saat itu. Suara tersebut lebih terdengar seperti bisikan.

        “Maaf untuk ap—“
        “Untuk itu, yang...tadi.” jawab gadis itu cepat. Kini gadis itu mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah Suga.

        Detik itulah Suga baru menyadari wajah dari gadis yang kini ada di depannya. Wajahnya yang pucat dengan make-up tipis sama sekali tidak menutupi aura lelah yang terpancar dari matanya. Lingkaran hitam di sekitar matanya yang berbentuk seperti almond semakin menegaskan kelelahan dari gadis ini.

        Butuh beberapa detik bagi Suga sebelum ia mencerna apa yang dikatakan gadis yang ada di hadapannya. “Oh, itu. Hahaha,” Suga tertawa garing sebelum meneruskan, “tapi ngomong-ngomong, mengapa kau tadi menendang—ku?”

      Gadis itu kembali menunduk dan Suga meringis dalam hati. Sebersit penyesalan muncul dalam hatinya karena sudah membuat gadis itu menunduk padahal ia belum benar-benar mengamati dengan jelas wajah gadis itu.

         “Itu...aku kira kau orang jah—hat.” Jawab gadis itu pelan.

       “Hmm,” Suga tidak tahu apakah ia harus tersinggung atau justru tertawa mendengar jawaban dari gadis itu. Ia sadar, ia hanya orang asing yang tiba-tiba datang pada gadis itu. Tapi dari caranya menegur gadis itu saat mereka masih di dalam venue, ia rasa tidak ada yang salah dan caranya menegur masih dalam batas wajar. Tapi mengapa gadis ini langsung menyangka bahwa Suga adalah ‘orang jahat’?

         “Maaf sudah membuatmu mengejarku sampai kesini.” Ujar gadis itu lagi yang kini mengangkat wajahnya untuk menatap Suga. Kini Suga benar-benar dapat melihat wajah gadis itu. Butuh waktu yang lama bagi Suga sebelum mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Ia tidak ingin kata-kata darinya membuat gadis itu kembali tertunduk. Ada sesuatu yang tersembunyi dari gadis itu dan itu membuat Suga penasaran. Suga yakin ia dapat mengetahui hal yang tersembunyi itu dari wajah gadis yang kini masih menatapnya.

        “Oh, tidak—tidak apa-apa.” Balas Suga sembari tersenyum dengan gum smile-nya. Gadis itu membalas senyuman Suga dengan memperlihatkan gigi-giginya yang kecil. Suga menahan kata hatinya yang terus berteriak bahwa gadis yang ada di depannya sangat menggemaskan.

        “Apa kau mau ke dalam lagi?” tanya Suga. Gadis itu mengarahkan pandangannya ke arah pintu masuk venue, lalu menggeleng.

       “Sepertinya aku harus segera pergi dari sini.” Jawab gadis itu dan sepertinya sudah menyiapkan kakinya untuk segera melangkah dari tempatnya berdiri sekarang.

         “O-ohh baiklah,” Suga membungkukkan badannya sekilas. “Senang bertemu denganmu.”

         Gadis itu membalas dengan membungkukkan badannya. “Senang bertemu denganmu jug—“

       Kata-kata gadis itu terhenti saat matanya yang tadinya tertuju pada wajah Suga, kini seperti melihat sesuatu di belakang Suga. Tanpa menyelesaikan kata-katanya, gadis itu melesat pergi dari hadapan Suga. Ia tidak memperdulikan mini dress yang sedang dikenakannya dan terus berlari dengan kencang.

        Suga bermaksud untuk menghentikan gadis itu tapi ia kembali mengurungkan niatnya. Ia sadar diri bahwa ia bukan siapa-siapa dan ia tidak memiliki hak untuk bertanya kemana gadis itu akan pergi dan mengapa gadis itu terlihat sangat terburu-buru.

       Beberapa detik setelah gadis itu berlari meninggalkannya, dua orang laki-laki bertubuh kekar muncul dari belakang Suga dan berlari mengikuti gadis itu. Suga mengerutkan keningnya, mencoba menebak apa yang sedang terjadi. Saat dua orang itu benar-benar mengikuti arah gadis itu berlari, ia baru sadar situasi apa yang sedang terjadi saat itu.

~

        Suga sedang terengah-engah di salah satu jalan kecil yang terletak beberapa puluh meter dari venue tempat pesta pernikahan temannya digelar. Ia tidak perduli lagi dengan pesta pernikahan itu. Pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang harus ia lontarkan kepada gadis yang meninggalkannya secara tiba-tiba setelah ia mengembalikan kalungnya. Kini ia sedang kebingungan karena kehilangan jejak dari gadis itu dan dua orang lelaki yang mengejarnya. Ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi firasatnya menyatakan bahwa ada yang tidak beres, melihat dari reaksi gadis itu saat melihat sesuatu di belakang Suga—Suga yakin itu adalah dua orang lelaki kekar yang kini mengejar gadis itu—yang langsung berlari dengan cepatnya.

         Menyerah untuk mencari tahu kemana gadis itu pergi, Suga pun membalikkan badannya untuk kembali ke venue. Langkahnya terhenti saat mendengar suara pekikan dari jarak beberapa meter di belakangnya. Ia pun menoleh dan mendapati seorang gadis yang kini sedang digandeng oleh dua lelaki di kanan dan kirinya. Gadis tadi.

       Mata Suga dan mata gadis itu bertemu. Dengan matanya, gadis itu mencoba mengatakan sesuatu pada Suga. Suga sedikit tersentak saat ia tahu apa yang dimaksud gadis itu.

Tolong aku!

         Suga mencoba berpikir cepat. Beberapa meter darinya ada mobil Alphard hitam yang sepertinya akan dituju oleh dua orang yang menggaet—lebih tepatnya menyeret—gadis itu. Jika ia terlambat, gadis itu bisa dibawa oleh dua orang menyeramkan yang kini sedang menatapnya. Tapi jika ia langsung bertindak dengan bermain kasar, ia yakin sebelum ia bisa menghabisi salah satu diantara dua orang itu, ia sudah dihabisi duluan. Ia tidak meragukan kemampuannya dalam bela diri, tapi melihat tubuh kekar dua orang itu, ditambah dengan beberapa orang yang dengan tubuh yang serupa di dalam mobil Alphard itu, Suga yakin bahwa kekerasan bukanlah cara untuk menyelamatkan gadis itu—jika ia ingin dirinya selamat juga.

      “Permisi,” Suga setengah berteriak saat berlari mendekati tiga orang itu. Ia membungkukkan badan sekilas sebelum, “kau lupa memberikan aku nomor telfonmu, Nona.”

         Gadis itu mengerutkan keningnya, diikuti dengan lelaki bertubuh kekar di sebelah kanan gadis itu yang menyuruh Suga untuk pergi. “Kami sedang terburu-buru, minggir dari tempatmu berdiri sebelum kami singkirkan secara paksa.”

        “Omo, kasar sekali,” ujar Suga dengan suara kaget dan lagak layaknya seorang ajumma, lalu menepuk pundak lelaki yang baru saja berbicara itu. “Nona ini memesan pelayanan spa dari tempatku untuk ke rumahnya, tapi aku lupa memberikan nomor telfonku dan ia juga tidak memberikan telfonnya.”

       Suga mengeluarkan ponselnya dan menyuruh gadis di depannya untuk melakukan hal yang sama. Gadis itu mengangkat bahunya singkat, memberi kode pada Suga bahwa kedua tangannya terkunci oleh tangan dua orang yang ada di sebelahnya. “Aigoo, Ajussi-ajussi ini mengapa masih menggandeng nona ini? Kalian bodyguard-nya, kan? Mengapa possessive sekali! Aigoo jinjja!”

       Suga memukul kedua pria kekar di depannya dengan manja. “Kalian sedang buru-buru kan? Ayo lepaskan tangannya jika ingin aku segera pergi! Atau kalian ingin berlama-lama denganku?” tanya Suga dengan aegyo-nya. Kedua pria kekar itu terlihat merinding dan segera melepaskan gadis itu. Gadis itu mengeluarkan ponselnya, masih dengan wajah yang terlihat heran dengan tingkah laku Suga.

            “Ayo sebutkan berapa nomormu?” tanya Suga.

          “Mengapa kalian tidak menukar ponsel kalian lalu mengetik nomor masing-masing, sih? Kan bisa lebih cepat!” ucap salah satu dari dua orang kekar.

           “Ajussi, ponselku ini rusak dan layarnya sulit untuk ditekan. Aku tidak mau membiarkan calon pelangganku emosi hanya karena ponselku yang menyebalkan ini!”

                Salah satu dari orang kekar itu mengerlingkan matanya. Suga menyentuh pipi orang itu sekilas dengan manja sebelum menyuruh gadis itu menyebutkan nomornya.

                “umm...01—“

               “Aigoo, ponselku seperti ini lagi! Tunggu sebentar ya, biasanya ini hanya terjadi beberapa menit!” potong Suga yang langsung memberikan senyuman pada dua orang kekar yang kini sedang menatapnya dengan kesal. Sangat kesal.

          “Ngomong-ngomong, Nona tinggal dimana?” tanya Suga. Gadis itu baru saja akan menjawab sebelum Suga memotongnya. “Apakah di daerah sini? Gangnam?”

              “Bukan. Rumahku di daerah—“

         “OMO!!” jerit Suga tiba-tiba. “Apakah itu Jun Ji Hyun!?” serunya sembari menunjuk ke belakang gadis itu. Semuanya langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Suga, termasuk dua lelaki kekar itu. Tidak sampai satu detik, Suga meraih tangan gadis itu dan membawanya berlari. Tanpa menoleh ke belakang pun, ia tahu bahwa dua lelaki kekar itu langsung mengejarnya begitu ia membawa lari gadis ini.

             Suga terus berlari dan sebisa mungkin menghindari jalan raya karena mobil Alphard hitam yang tadi dilihatnya, kini sedang mengejarnya juga. Ia tidak merasa asing dengan daerah ini karena semasa trainee ia sering bermain ke salah satu jalan yang mendunia setelah dijadikan lagu oleh PSY itu. Dalam hati ia terus berharap bahwa di jalan ia bisa menemukan teman-temannya. Teman-teman yang pernah menjadi saksi hidupnya sebelum memutuskan untuk menjadi idol.

         Kali ini sepertinya keberuntungan sedang berpihak pada Suga. Beberapa meter di depannya ia bisa melihat segerombolan anak muda yang sedang berdiri berjajar untuk menghalangi jalan. Suga pun mempercepat larinya karena orang-orang yang mengejar gadis yang kini sedang bersamanya sudah semakin dekat.

             “Mereka siapa!?!” tanya gadis itu. Dari nada suaranya Suga bisa tahu bahwa gadis itu panik.

          Suga berhenti berlari yang diikuti dengan gadis itu saat tepat berada di depan gerombolan anak muda yang beberapa diantaranya membawa sepotong kayu yang cukup tebal. Gadis di belakang Suga merinding dan langsung memegang pundak Suga erat-erat.

         “Terimakasih sudah datang. Aku harap kalian merindukan yang seperti ini.” Ujar Suga sekilas sebelum gerombolan itu memberi celah bagi Suga dan gadis itu untuk lewat. Suga dan gadis itu langsung berlari saat mendengar suara adu mulut antara gerombolan anak muda itu dengan beberapa orang yang mengejarnya. Saat melaksanakan skenario dadakannya tadi, Suga langsung menghubungi salah seorang temannya sampai ia menyebutkan kata ‘Gangnam’. Ia bersyukur bahwa temannya mengerti kode yang ia berikan sehingga orang-orang yang mengejar gadis itu tidak perlu diurusnya.

            Napas terengah dan kaki yang pegal membuat Suga dan gadis yang dibawanya berhenti tepat saat menemukan jalan raya. Beruntung, sebuah taksi tak berpenumpang melaju kearah mereka dan Suga refleks melambaikan tangannya untuk menghentikan taksi tersebut. Ia menyuruh gadis itu masuk ke dalam taksi sebelum ia melakukan hal yang sama. Suga refleks menyebutkan sebuah alamat yang saat itu terlintas di pikirannya pada sopir taksi tersebut. Ia yakin, membiarkan gadis itu pulang ke rumahnya bukanlah hal yang tepat di saat seperti ini.

            Taksi terdengar hening selama di perjalanan. Tidak ada satupun yang memulai untuk bicara. Satu-satunya hal selain keramaian jalan raya dan suara mesin mobil taksi yang bisa terdengar adalah detak jantung mereka yang cukup keras. Keduanya lelah. Lelah setelah berlari cukup jauh dengan kecepatan tinggi, ditambah dengan kecemasan dan ketakutan jikalau tadi sampai tertangkap oleh orang-orang berbadan kekar itu.

            Taksi pun sampai tepat di depan sebuah gedung apartemen mewah di daerah sekitar Sungai Han. Suga baru saja akan turun dari taksi saat matanya menangkap gadis di sebelahnya sedang terlelap dengan pulas. Gadis itu terlihat sangat lelah dari ekspresi wajahnya saat ini. Suga menarik napas panjang, memutar otak untuk mencari cara membawa gadis ini turun dari taksi tanpa harus membangunkannya dari tidur lelapnya.

            Suga membuka pintu di sebelah gadis itu duduk dan menggeserkan kaki gadis itu ke luar taksi. Terdengar suara-suara tak karuan dari mulut gadis itu saat Suga memposisikan tubuh gadis itu ke punggunggnya. Gadis itu menggeliat pelan lalu mengalungkan tangannya ke leher Suga. Suga sempat terkejut dengan gerakan dari “alam bawah sadar” gadis itu sebelum menggendong gadis itu masuk ke dalam lift. Ia akhirnya dapat membaringkan tubuh gadis itu setelah diberi bantuan oleh beberapa office boy yang ada di sana.

               Suara-suara menggeliat terdengar saat Suga sedang membuka jasnya. Ia langsung menoleh ke sumber suara dan mendapati gadis itu sedikit demi sedikit mulai tersadar dari tidurnya. Gadis itu langsung beranjak dari tempat berbaringnya begitu menyadari bahwa ia sedang berada di tempat yang tidak dikenalnya.

           “Di—dimana ini!?” gadis itu terlihat panik. Kepanikannya menghilang saat matanya menangkap sosok Suga yang muncul dari balik pintu. Ia baru ingat apa yang terjadi sebelum ia sampai di tempat ini.

            “Tenang, kau aman disini.”

           Gadis itu pun keluar dari kamarnya untuk mengikuti Suga. Ia sempat tersentak saat bertemu dengan sesosok lelaki dengan tubuh yang hampir sama dengan orang-orang yang tadi mengejarnya.

         “Tenang saja, ia salah satu bodyguard pribadi milik temanku.” Ujar Suga tiba-tiba, seakan mengerti apa yang sedang ada di dalam pikiran gadis itu. Gadis itu baru sadar bahwa sedari tadi Suga sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.

                “She’s in dang—no, we’re in danger, bro.”

                “...”

                “Iya, sekarang kita sudah berada di apartemenmu.”

                “...”

                “Okay. Thanks, Jim.”

                Suga pun menutup ponselnya setelah selesai berbicara dengan pemilik apartemen mewah itu, Jimin. Ia pun menyuruh gadis itu duduk di sofa, di sampingnya.

                “Ini apartemen milik temanku. Tadi aku sudah berbicara dengan temanku, dan ia bilang kau bisa tinggal disini untuk —“

                “Oh, tidak. Tidak perlu.” Potong gadis itu dengan cepat. “Kebetulan aku akan—“

                “Kau tidak bisa pulang ke rumahmu sekarang! Orang-orang tadi pasti akan—“

                “Tidak,” gadis itu tersenyum sekilas.  “Aku tidak akan pulang ke rumah.”

                Suga diam saat mendengar jawaban gadis itu. Gadis itu pun melanjutkan, “aku akan ke Canada malam ini.”

                “Can—canada?”

                Gadis itu mengangguk. Bermacam pertanyaan mulai muncul dan mengganggu pikiran Suga. Terbesit satu pertanyaan yang menurutnya paling logis untuk ditanyakan saat ini.

                “Lalu...mengapa kau tidak pergi sejak tadi? Atau sejak kemarin?”

                Gadis itu tertawa sekilas sebelum menjawab, “pasangan yang tadi menikah, salah satunya adalah anak dari sahabat Ayahku. Sebelum ayahku meninggal, aku selalu diberi pesan oleh Ayah agar dapat menjaga hubungan baik dengan semua sahabat-sahabat Ayah. Ayah mengatakan bahwa tanpa sahabat Ayah, bisnis Ayah tidak akan sesukses sekarang.”

                Suga mengeluarkan “O” dari mulutnya. Ia lalu melanjutkan pertanyaannya, “apa ayahmu tahu kalau kau dikejar seperti tadi?”

                Gadis itu kembali tersenyum, tetapi dengan senyuman yang berbeda. “Ia pasti tahu karena ia akan selalu mengawasiku dari atas sana.”

                Suga terdiam. Pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi mengganggu pikirannya tiba-tiba lenyap begitu saja.

Gadis itu pun melanjutkan, “kedua orangtuaku sudah pergi ke atas sana. Mereka menjadi korban kecelakaan lalu lintas. Seseorang telah merusak mobil keluarga yang sedang orangtuaku tumpangi sehingga rem-nya blong dan mobil tiba-tiba meledak di tengah perjalanan.”

               “Awalnya aku tidak mau berburuk sangka dan menganggap kejadian tersebut sebagai ketidaksengajaan, tetapi kejadian-kejadian mengerikan mulai menimpaku saat kepemilikan perusahaan milik Ayah jatuh ke tanganku. Teror-teror kecil selalu menghiasi hari-hariku, termasuk kejadian seperti tadi,” gadis itu menatap Suga sembari tertawa hambar. “Aku mengalaminya hampir setiap hari.”

                 “Setiap hari!? Lalu bagaimana caramu bisa lolos?”

             “Keberuntungan.” Jawab gadis itu santai. “Selama ini aku selalu mendapat jalan keluar tepat saat mereka mengejarku. Namun hari ini sepertinya keberuntungan nyaris sedang tidak berpihak kepadaku.”

            “Mereka adalah orang-orang suruhan dari beberapa orang di keluarga besarku. Banyak sekali yang ingin merebut perusahaan milik Ayah, tetapi surat wasiat resmi dari Ayah telah menyatakan bahwa perusahaan dibawah kekuasaanku. Tanpa sepengetahuanku, Ayah telah berjaga-jaga membuat surat pemberian kekuasaan kepada anak tunggalnya sejak jauh-jauh dari.”

               “Apapun yang akan dilakukan terhadap perusahaan itu harus melalui izinku terlebih dahulu, sehingga anggota keluargaku yang lain tidak bisa melakukan apapun selain mengancamku untuk menandatangani surat pemberian kuasa atau surat-surat lainnya. Umurku yang menurut mereka masih sangat muda, semakin membuat keluargaku tidak suka karena harus berada di bawah kepemimpinan ‘anak kecil’.”

                Amarah mulai menyesakkan dada Suga saat mendengar cerita dari gadis itu. Harta. Semua hanya karena harta. Manusia mau melakukan apapun untuk mendapatkan harta. Serakah. Benar-benar serakah.

               “Jadi, kapan kau akan ke pergi ke Canada?” tanya Suga yang sebisa mungkin mengontrol suaranya agar tidak terdengar sedang marah.

Gadis itu melihat jam tangannya. “2 jam lagi. Sepertinya aku akan pergi sekarang.”

                 “Oke, biarkan aku mengantarmu.”

~

                Perjalanan dari Apartemen Jimin ke bandara memakan waktu cukup lama. Waktu terasa semakin lama saat keduanya sama-sama diam selama berada di dalam mobil Jimin. Hal tersebut mendorong jiwa Suga untuk memulai sebuah pembicaraan meskipun terdengar agak konyol.

                “Ngomong-ngomong,” Suga mulai bersuara. Gadis itu menoleh kearah Suga. “Apa kau tidak mengenal siapa aku?”

                Gadis itu mengerutkan keningnya, lalu menggeleng pelan. “Benarkah!?” tanya Suga lagi. Gadis itu mengangguk dengan pasti.

                “Baiklah.” Ujar Suga akhirnya dengan pasrah.

                Gadis itu pun kembali memalingkan wajahnya kearah jendela. Pemandangan jalanan lebih menarik baginya daripada harus memikirkan siapa Suga. “Jika kau idol atau seorang aktor, jangan tanya aku. Aku bukan tipe orang yang sering menonton tv.”

                Suga membelalakkan matanya. Ia lalu tersadar bahwa gadis tersebut memang sudah pasti tidak akan mengenalnya. Mengurus perusahaan dengan berbagai teror berbahaya yang selalu mengintainya tentu saja membuat gadis itu tidak akan memiliki waktu untuk sekedar menonton tv dan menghapalkan nama dan wajah orang-orang yang ada di tv.

~

                Mobil Jimin pun sampai di bandara Incheon. Tidak perlu waktu lama untuk mengurus administrasi keberangkatan gadis itu ke Canada karena gadis itu sudah mempersiapkan semuanya. Kini sudah waktunya gadis itu masuk meninggalkan Suga karena pesawat 10 menit lagi akan lepas landas.

                “Kalau boleh tahu, kau akan melakukan apa di Canada?” tanya Suga tiba-tiba saat gadis itu menghampirinya sebelum masuk.

                “Aku akan menemui saudara kepercayaanku di sana. Ia merupakan seorang ahli hukum. Aku ingin belajar banyak kepadanya sehingga aku bisa mengantisipasi hal-hal mengerikan yang bisa saja terjadi di waktu mendatang.” Jawab Gadis itu tenang.

                Suasana kembali hening. Keduanya sama-sama tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Suga menundukkan kepalanya, tidak tahu apa yang harus dilakukan olehnya. Melambaikan tangan? Ia akan terkesan menyuruh gadis itu untuk segera pergi dari hadapannya. Memeluknya? Gadis itu pasti akan langsung menamparnya jika melakukan itu. Diam seperti ini? Ugh. Ia tidak tahan jika harus seperti ini tanpa melakukan apapun sebelum kepergian gadis itu.

                Tiba-tiba saja kehangatan menyelimuti tubuh Suga. Gadis itu memeluk Suga dengan erat untuk waktu yang cukup lama. Samar-samar terdengar bisikan di telinga kanan Suga,

Terimakasih. Aku berhutang banyak padamu. Aku berjanji jika suatu saat aku bertemu denganmu lagi, aku tidak akan lagi merepotkanmu.”

                Gadis itu pun melepaskan pelukannya sebelum Suga tersadar dari kekagetannya. Kakinya mulai melangkah menjauhi Suga sebelum akhirnya meninggalkan Suga yang masih berdiri di tempatnya.

                Tepat saat gadis itu mengantri untuk segera masuk, Suga menyentuh pundaknya. Gadis itu menoleh dan mendapati selembar kertas yang disodorkan kearahnya.

                “Apa ini?”

          “Ambil saja.” Ujar Suga. Gadis itu pun mengambil kertas itu dari tangan Suga. Tiket konser BTS yang seharusnya ia berikan kepada temannya yang menikah hari ini.

        “Kutunggu kedatanganmu.” Pinta Suga sembari tersenyum. Gadis itu membalas senyuman Suga dan detak jantung Suga kembali berdetak cepat. Bahkan detakannya lebih cepat dari tadi siang. Detak jantungnya yang cepat mengantarkan sosok gadis itu yang mulai menghilang di balik kerumunan orang-orang yang lalu-lalang di bandara. Hari ini membuatnya sadar bahwa ia tak perlu banyak waktu untuk dapat memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi orang lain. – 

 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Note:

Thank you for keep reading this series ^^ I'm finally back from long hiatus kkk sebenernya dari zaman BTS promo 'Just One Day', udah pengen bikin series ini. Dan sampe sekarang, BTS udah kelar promo 'DOPE', ini series masih belum beres juga =')) well, please forgive this lazy author *bow* u_u

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
dilxmyg
#1
Actually, bts always give us an inspiration to make a story :v
jadi, ini songfic yaa??
keyhobbs
#2
Chapter 6: yah...kok udah epilogue aja?padahal aku masih nunggu2 buat chap nya jin,jhope sama jungkook:( tapi gak apa-apa lah ya...mungkin d lain waktu author bisa nambahin chapternya d sni..hihi #ngarep well,sejauh ini good job for you authornim, ^^ semoga tetap semangat bwt nulis fanfic yg lainnya hehe... Oh iya, d chap ini kasihan ya si taehyung, mungkin dia satu2nya yg menangis d sini, nora jahat sih ninggalin taehyung:( sini taehyung biar sama aku aja hihi..
keyhobbs
#3
Chapter 5: whahaha kasian si rapmon, baru mau mulai lg eh..si dianya udah d ambil orang :D eh aku jahat bnget ya malah ngetawain dia hihi, sini rapmon sama aku aja, nice one authornim! D tunggu chap selanjutnya...
keyhobbs
#4
Chapter 4: haduh....V yang sabar ya :( semoga Nora cepet sembuh and bisa nntn konsernya V :)
keyhobbs
#5
Chapter 3: akhem suga ada-ada aja yah.. Oh ya penasaran sama yeoja itu,klo gk salah d sini gk d sebutin namanya yah?
keyhobbs
#6
Chapter 2: wah wah wah itu cowoknya rachel minta d gampar tuh!-_- oh ya,nama rachel itu ngingetin aku sama the heirs deh hehe...^^ d tunggu update nya ya authornim,fighting!
ChoSaku_ #7
Chapter 2: Aduh laknat/? Wks update ya authorrrr~ hwaitinggg! (Asalnya pas chapter satu aku udah mau komen,eh internet nya mati :"3/?)
keyhobbs
#8
Chapter 1: wah....namjoon oppa gak punya rencana apa-apa? Main sama aku aja yuk!^^
hyenatuan #9
Chapter 1: Baru nemu nih, bagus awalnya! Lanjutin yaa.. sebenernya nungguin seokjin sih hehe :)