Jimin's Day

Just One Day

2015.03.04

~~~~~~~~~~~~~~~

Dasi, kemeja, jas...perfect.

                Jimin memastikan kembali apakah pakaian yang dikenakannya masih dalam keadaan layak untuk dilihat. Bukan sesuatu yang penting baginya apakah pakaiannya perfect atau tidak, tapi hal ini menjadi penting bagi orang tuanya. Jika bukan karena kedua orang tuanya, ia enggan untuk mengenakan pakaian seformal ini. Sangat teramat lebih baik jika ia bisa datang ke tempat ini dengan menggunakan polo shirt dengan jeans, atau mungkin menggunakan pakaian sehari-harinya, baju basket dengan short yang longgar. Andai saja kedua orangtuanya tidak akan mencoretnya dari daftar keluarga hanya karena pakaiannya yang tidak pas dengan acara formal ini, tentu Jimin lebih memilih pakaian sehari-harinya.

                Pintu ruang VIP restoran terbuka perlahan saat pelayan yang mengantar Jimin membukanya. Jimin menarik napas panjang sebelum melangkah masuk. Aroma makananlah yang pertama kali menyapa Jimin saat memasuki ruangan bernuansa coklat itu. Ruangan itu didesain mewah dengan interior yang bisa dipastikan bukan berasal dari Korea. Tidak heran ruangan ini dijadikan ruangan VIP karena sangat cocok untuk orang-orang golongan atas, termasuk keluarga Jimin.

                Jimin membungkuk saat semua mata yang ada di ruangan tersebut menatapnya. Di dalam ruangan tersebut ada dua pasang suami-istri, beberapa pelayan, dan seorang gadis yang sedang memandanginya dengan senyum simpul di bibirnya. Jimin membalas gadis itu dengan sekilas senyuman sebelum duduk tepat di hadapan gadis itu.

                Entah hanya perasaannya saja, atau memang gadis itu terlihat lebih cantik hari ini. Ia mengenakan blazer berwarna biru dongker yang dipadukan dengan dress berwarna pink pastel. Jimin tidak bisa memastikan apakah gadis itu memakai mini dress atau long dress, karena gadis itu sedang duduk dan Jimin tidak mungkin mengintip ke bawah meja hanya untuk memastikannya (?). Tapi seingatnya, gadis itu sama seperti dirinya—tidak suka berpakaian terlalu formal—sehingga ia menyimpulkan bahwa gadis itu memakai mini dress. Oh, No! Membayangkan gadis itu memakai mini dress, blazer, dan rambut yang diikat ke sebelah kanan membuat pikiran Jimin tidak fokus. Jimin harus mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum gadis itu tahu bahwa ia memperhatikannya. Berbulan-bulan semenjak schedule BTS semakin padat, ia tidak pernah bisa menyempatkan diri untuk menghadiri makan siang atau makan malam bersama keluarga gadis ini. Dan sekarang ia menyesali hal itu karena dengan lama tidak bertemu gadis ini, membuat gadis ini terlihat lebih cantik di matanya dan ia tidak mau hal ini mempengaruhi perasaannya terhadap gadis yang kini sedang balik menatapnya. Oh No!

                Suara batuk ayahnya menyadarkan Jimin dari pikirannya dan ketakutannya sendiri. Semuanya langsung menoleh kearah Mr. Park, ayah Jimin yang sepertinya akan mengatakan sesuatu sebelum makan bersama dimulai. Dimulai dengan mengucapkan terimakasih kepada keluarga Lee yang sudah memenuhi undangan makan bersama dari keluarga Jimin. Lalu dilanjutkan dengan ucapan terimakasih—lebih tepatnya sindiran—kepada Jimin yang akhirnya mau menyempatkan datang di sela-sela kesibukannya sebagai idol sekaligus mahasiswa (meskipun sebenarnya kuliah sama sekali tidak berpengaruh dalam penolakannya beberapa bulan ke belakang).

Jimin mencoba tersenyum saat ayahnya menatapnya saat mengucapkan kata-kata “terimakasihnya”. Ia sadar bahwa ayahnya melakukan ini hanya untuk menyindirnya—atau mungkin memperbaiki imagenya—di depan keluarga Lee. Ayahnya tidak pernah setuju dengan keputusannya untuk berkarir di dunia musik. Sebagai pewaris tunggal pemilik perusahaan elektronik terbesar ke-2 di Korea, tentu Mr. Park ingin anaknya fokus di bidang yang berhubungan dengan karirnya di masa depan, yaitu sebagai pemilik perusahaan turun-temurunnya itu. Tapi bukan “Jimin” namanya jika ia begitu saja melepas mimpinya untuk menjadi seorang Idol  hanya karena ditentang ayahnya. Ia berani mengambil resiko apapun setelah ia menentang keinginan orangtuanya, dan inilah salah satu resikonya.

“Tahun ini Rachel sudah lulus dari sekolahnya, jadi sekarang bisa kita diskusikan kapan tanggal pertunangannya. Bukan begitu, Mr. Park?” tanya Mr. Lee yang langsung disambut dengan suara tersedak dari Jimin dan gadis itu.

Rachel. Rachel Lee. Nama dari gadis yang kini sedang sama-sama tersedak dengan Jimin. Ugh, inilah salah satu alasan mengapa Jimin sering menolak ajakan makan bersama dari orangtuanya. Pembicaraan di tengah-tengah makan pasti akan mengarah kearah sana. Dari mulai menanyakan sudah sedekat apa mereka berdua, sesiap apakah mereka untuk menuju ke jenjang pernikahan, sampai-sampai pernah salah satu orangtua dari keduanya bertanya dimanakah mereka akan berbulan madu. Yuck! Memikirkan semua itu hanya membuat pikirannya menjadi tidak fokus dan selera makannya hilang begitu saja.

Ya, inilah salah satu resiko yang harus diambilnya karena sudah menentang keinginan ayahnya. Ayahnya diam-diam sudah menjodohkannya dengan anak salah satu partner bisnisnya, pemilik salah satu Hotel berbintang lima di Seoul. Jika ia bisa menolak atau memberontak, tentu ia bisa melakukannya dengan membawa gadis lain yang ia akui sebagai pacarnya atau mungkin membawa gadis asing yang harus berakting sebagi gadis yang sudah dihamilinya sehingga perjodohan bisa dibatalkan. Tapi ia tidak pernah bisa memikirkan bagaimana caranya memberontak dari masalah ini. Pikirannya terlalu terfokus untuk grupnya, sehingga yang bisa ia lakukan adalah menuruti “skenario” dari ayahnya selama janji suci di depan pendeta belum terucap.

~

Jimin melambaikan tangan kepada kedua orangtuanya yang sudah melesat pergi dengan mobil pribadinya, disusul dengan mobil orangtua Rachel yang juga pergi meninggalkan Restoran bergaya Eropa itu. Ia menghela napas panjang sebelum melonggarkan dasi yang sedari tadi serasa mencekiknya. Ia lalu membuka jasnya sebelum suara gadis di sampingnya menghentikannya.

“Jangan dibuka, kau terlihat baik dengan jas itu, Oppa.” Ujarnya dengan penekanan di kata Oppa. Cih, Jimin mengerlingkan matanya. Ia tahu bahwa gadis itu berbohong mengenai penampilannya ditambah dengan panggilan “Oppa” di akhir katanya. Gadis itu tidak pernah mau memanggilnya “Oppa”. Dimatanya, Jimin terlalu childish dan tidak pantas mendapatkan panggilan “Oppa” darinya.

Andai saja kau bukan perempuan, pasti sudah kuhabisi sejak dulu! Enak saja ia menganggap Jimin childish, meskipun ia akui bahwa dirinya belum pantas disebut dewasa, tapi setidaknya ia harus belajar bahwa harga diri merupakan hal sensitif laki-laki. Rachel sebaiknya tidak bermain-main dengan hal itu jika tidak ingin laki-laki menghajarnya atau mungkin melakukan hal lain yang lebih parah dari hal itu.

Jimin yang tidak menghiraukan komentar Rachel membuka jasnya. Ia mendengar suara dering ponsel yang lalu berhenti saat terdengar suara Rachel yang mengatakan “Halo” diikuti dengan suaranya yang berubah manja saat berbicara dengan orang di seberang sana. Jimin memposisikan diri untuk tidak peduli dengan pembicaraan Rachel dengan jagiya-nya di seberang sana, tapi rasa ingin tahunya lebih mendominasi. Ia lalu melirik sekilas kearah Rachel yang kini ekspresi wajahnya menandakan bahwa ia kecewa. Sepertinya kekasih Rachel membatalkan apa yang sudah Rachel rencanakan untuk mereka berdua. Jimin menahan diri untuk tidak tersenyum—tepatnya terkekeh karena ia sendiri tidak tahu mengapa ia ingin tertawa di tengah keadaan yang kini terjadi pada Rachel.

 Rachel menutup teleponnya lalu memajukan bibirnya. Jimin mengalihkan pandangannya kearah lain karena pikirannya yang mendadak tidak fokus karena Rachel yang menurutnya sedang melakukan aegyo. Untung saja ada taxi yang menghampiri mereka tepat saat Jimin mengalihkan pandangannya.

“Masuk,” suruh Jimin pada Rachel setelah membukakan pintu passenger seat. Rachel menurut tapi ia menghentikan Jimin yang akan menutup kembali pintunya. “Kau tidak masuk?”

Jimin menggeleng, “Kau pulang saja. Aku sedang tidak mood untuk jalan-jalan.” Jawabnya yang kembali menutup pintu taxi. Rachel kembali menahannya. “Tapi tadi orangtua kita menyuruh kita untuk jalan-jalan bersama, kan? Nanti kalau kita ketahuan boh—“

“Aku yakin mereka tidak akan tahu. Selama ini kau kan yang selalu mengusulkan padaku untuk berbohong pada mereka, dan aku yakin kau sudah ahli dengan hal itu.” Potong Jimin. Kali ini ia tidak menutup pintunya. Entah apa yang membuatnya merasa penasaran dengan apa yang akan dilakukan Rachel selanjutnya. Timbul rasa bangga pada dirinya saat ia merasa Rachel ingin pergi bersamanya.

“Umm...tapi kali ini tidak ada salahnya kan kalau kita menurut? Lagipula tadi kau bilang jadwalmu sedang kosong.” Tawar Rachel. “Ayolah,” bujuk Rachel yang memposisikan duduknya untuk menghadap Jimin.

Wajah itu lagi. Jimin menutup mata sekejap sebelum masuk ke dalam taxi. Terkadang ia membenci gadis itu karena bisa dengan mudahnya mempengaruhi keputusannya. Ia juga membenci dirinya sendiri kenapa selalu luluh dengan perlakuan-perlakuan Rachel jika sedang membujuknya.

                “Kau tahu,” Rachel bersuara saat Jimin duduk di sebelahnya. Taxi mulai melaju setelah Rachel memberi tahu kemana tujuan mereka. Jimin tidak memperdulikan tempat apa yang dipilih Rachel untuk ‘jalan-jalan’ pertama mereka. “Aku tak menyangka kalau kau bisa begitu attractive.”

                “Hah?” Jimin mengerutkan keningnya.

                “Aku sempat menonton tv saat kau dan grupmu sedang berada di backstage...aku lupa nama acaranya,”

                “Kau mengenal wajahku di tv?” ledek Jimin dengan nada yang dibuat terkejut. Meskipun sebenarnya ia cukup kaget Rachel dapat mengenalnya saat ada di acara tv.

Rachel memutar bola matanya dan kembali menatap Jimin. “Kau begitu cerewet dan banyak tertawa. Sungguh mengejutkan.” Ucap Rachel dengan nada sinis. Jimin hanya terkekeh sekilas sebelum kembali memasang wajah flat­-nya. Rachel selalu bisa membuat mood-nya campur aduk hanya dalam waktu beberapa detik.

Jimin menutup matanya dan menyandarkan diri ke kursi taxi yang kali ini terasa menenangkan baginya. Ia yakin ketenangan ini akan cepat berakhir karena hari ini akan menjadi hari yang panjang baginya.

~

                “Kita kesini!?”

                Jimin nyaris memekik jika Rachel tidak cepat-cepat menutup mulut Jimin dengan tangannya. Rachel lalu memberikan kacamata hitam milik kakak laki-lakinya pada Jimin.

                “Kenapa harus kesini? Kenapa nggak ke—“ Jimin bingung apa yang harus dikatakannya dan ia memilih untuk mengusapkan tangan kanannya pada wajahnya, frustasi.

                “Salah sendiri kenapa sepanjang jalan tidur. Hahaha” Rachel tertawa puas. “Pakai kaca matanya,  karena kita akan berkeliling di sini dan aku tidak mau kalau sampe ada orang yang histeris melihat kita atau lebih parah lagi ada wartawan yang meliput kita.”

                Jimin menghela napas sebelum menuruti apa kata Rachel. Tempat mereka berdiri sekarang adalah sebuah Mall yang terletak di tengah kota Seoul. Tentu saja pengunjung Mall ini tergolong penuh. Meskipun Jimin merasa kalau BTS belum lama berkarir di industri K-Pop, tapi ia yakin bahwa beberapa pengunjung mall akan mengenalnya jika saja ia tidak menggunakan penyamaran. Untuk pertama kalinya ia bersyukur menggunakan pakaian formal, dengan begitu fans tidak akan cepat mengenalnya mengingat begitu jarangnya ia menggunakan pakaian formal.

                Rachel menuntun Jimin memasuki mall. Sebagai seorang gadis pecinta shopping, ia terlihat sudah benar-benar hapal mengai setiap sudut isi mall ini. Jimin yang baru beberapa kali memasuki mall ini hanya bisa menuruti arah kaki Rachel melangkah. Sebersit pertanyaan tiba-tiba muncul di kepala Jimin.

                “Kenapa kita kesini, sih? Bukannya kau biasa ke mall yang—“ Jimin mencoba mengingat nama mall yang biasa Rachel kunjungi. Mall yang lebih private dan hanya orang-orang tertentu saja yang berkunjung kesana karena toko-tokonya merupakan toko-toko kelas atas.

                “Ada sesuatu yang mau aku cari tahu disini.” Jawab Rachel cepat. Jimin menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya ia masih ingin bertanya. Ia mengurungkan niatnya untuk bertanya karena tidak mau terkesan “ingin tahu”.

                Mereka akhirnya sampai di satu toko yang menjual peralatan olahraga. Jimin bisa menyimpulkan bahwa Rachel sudah sering berkunjung ke toko ini. Semua pegawai yang melihat Rachel masuk langsung menyapanya dan berbanding terbalik saat pegawai-pegawai itu melirik Jimin.

                “Itu siapa, chel?” tanya salah satu pegawai yang berambut gondrong sembari melirik kearah Jimin. Pegawai itu bermaksud untuk berbisik kepada Rachel tapi gagal karena Jimin dapat mendengar suaranya dengan cukup jelas.

                Jimin sedikit membungkuk kearah pegawai itu. “Saya Jim—“

                “Temen.” Jawab Rachel cepat. “Apa dia tadi kesini?” tanya Rachel to the point. Jimin menambahkan kesimpulannya tadi bahwa Rachel sering ke toko ini bersama dengan orang yang sama, karena saat Rachel menyebutkan kata “dia”, semua pegawai langsung mengerti siapa yang dimaksud Rachel.

                “Iya. Tadi dia kesini buat ngambil sepatu pesenannya.” Jawab salah satu pegawai yang terlihat lebih tua dari yang lainnya. Rachel sempat terdengar mengumpat sebelum mengucapkan terimakasih kepada pegawai disana dan meninggalkan toko itu.

                “Tadi dia bilang nggak jadi kesini karena ada tugas kuliah, ugh.” Gumam Rachel dengan wajah yang terlihat sangat kesal. Jimin bingung apa yang harus dilakukannya karena ia masih belum yakin apakah Rachel mengajaknya bicara atau sedang berbicara dengan dirinya sendiri.

                Tepat saat Jimin akan merespon apa yang dikatakan Rachel—karena Rachel terus bergumam dan sepertinya ia harus meresponnya sebelum orang-orang menyangka Rachel gila—seseorang dari belakang mereka memanggil nama Rachel. Mereka pun menoleh ke sumber suara secara bersamaan.

                “Sebenernya aku tidak tahu harus memberi tahu ini atau tidak, tapi sepertinya kau perlu tahu Chel,” pegawai berambut gondrong dari toko olahraga tadi membuat wajah Rachel terlihat penasaran. “Aku sempat aneh, biasanya dia ngambil pesanan bersamamu. Tapi tadi...dia...”

                “Dia apa?” tanya Rachel yang sepertinya sudah tidak sabar dengan apa yang akan dikatakan pegawai itu.

                “Dia dateng sama orang lain, Chel.”

                Wajah Rachel yang putih pucat langsung memerah saat mendengar jawaban dari pegawai itu. Tanpa mengucapkan apapun Rachel langsung berlari pergi meninggalkan Jimin dan pegawai itu berdua. Merasa kurang sopan jika langsung pergi, Jimin membungkukan badannya pada pegawai itu sebelum pergi mengejar Rachel yang sudah jauh meninggalkannya.

                Jimin sebenarnya mengerti kearah mana keadaan yang sedang menimpa Rachel. Sejak pertama kali dikenalkan oleh kedua orang tuanya dan diberitahu bahwa mereka akan dijodohkan, Rachel langsung memberitahunya bahwa ia sudah memiliki kekasih. Ia meyakinkan pada Jimin bahwa Jimin tidak perlu khawatir jika tidak mau dengan perjodohan ini karena ia juga tidak mau menikah dengan Jimin, ia ingin menikah dengan kekasihnya yang sampai sekarang Jimin tidak tahu bagaimana wujud kekasih yang sering dibanggakan Rachel itu. Kini, sepertinya sedang terjadi sesuatu yang sedang menggoyahkan hubungan Rachel dengan kekasihnya sehingga kekasihnya berani membohonginya.

                “Sekarang kita kemana?” tanya Jimin yang masih mengatur napas setelah mengejar Rachel. Ia cukup kagum dengan kecepatan berjalan Rachel yang seharusnya terhalangi dengan tingginya high heels yang dikenakan Rachel.

                Tidak ada jawaban dari Rachel. Matanya lurus ke depan dan kecepatan langkahnya tidak berkurang meskipun di sampingnya Jimin sudah mengeluh dan memintanya mengurangi kecepatan berjalannya. Pikirannya terlalu fokus untuk mencari dimana keberadaan laki-laki yang sudah berani membohonginya itu.

                Langkah Rachel terhenti tepat di depan coffee & doughnut shop. Kaca jendela toko yang berwarna bening mengizinkan pengunjung lain untuk dapat melihat ke dalam isi toko. Jimin yang heran dengan langkah Rachel yang tiba-tiba terhenti langsung mengikuti arah mata Rachel.

                Seorang laki-laki berambut gelap sedang duduk di salah satu meja dengan sofa sebagai tempat duduk. Di sampingnya seorang gadis sedang menyandarkan kepalanya ke bahu laki-laki itu dan menikmati rambutnya yang tengah dibelai oleh laki-laki yang menjadi sandarannya.

                Jimin melirik kearah Rachel yang kini wajahnya semakin memerah. Genangan air mulai terlihat di matanya. Jimin kembali melirik kearah laki-laki itu. Ia nyaris tidak percaya bahwa itu adalah kekasih Rachel. Koreksi, kekasih yang dibangga-banggakan Rachel. Ia memang tidak merasa dirinya merupakan lelaki yang sangat tampan dan serba sempurna, tapi ia yakin kalau dari segi manapun lebih baik dirinya daripada lelaki itu. Tampangnya yang pas-pasan dan style-nya yang “so’ badboy” membuat Jimin bertanya-tanya bagaimana ia bisa mengambil hati seorang Rachel. Rachel yang—harus diakui—berparas cantik, smart, berasal dari golongan atas dan merasa Jimin kurang pantas untuk menikahinya seharusnya bisa memiliki kekasih lebih dari laki-laki yang kini sedang dilihatnya. Apalagi melihat kelakuannya yang kini sungguh tidak laki-laki, cheating.

                “Kita putus.”

                Suara Rachel menyadarkan Jimin dari pertanyaan-pertanyaan dan keheranan yang sedang menguasai pikirannya. Ia mendapati Rachel yang sedang menempelkan ponsel di telinganya dan langsung kembali menyimpan ponselnya setelah mengatakan dua kata itu. Jimin melirik kearah laki-laki yang tadi sedang asik membelai gadis di sebelahnya, kini sedang melihat layar ponselnya dengan wajah penuh keheranan. Ia lalu menempelkan ponsel ke telinganya, bersamaan dengan ponsel Rachel yang berdering. Dengan cepat Rachel mematikan ponselnya sebelum memasukkannya ke dalam tas.

                Jimin mengikuti Rachel yang kini berjalan menuju lift dengan penuh kebingungan. Ia memang tidak asing untuk hang out dengan teman perempuannya ataupun nge-date dengan kekasihnya yang dulu-dulu, tapi ia tidak pernah berada dalam posisi seperti sekarang. Gadis yang kini diikutinya sedang memiliki emosi yang tidak tertebak. Salah perlakuan dari Jimin dapat menyebabkan sesuatu yang fatal dan Jimin yakin itu bukan hal yang dapat diatasinya.

                Jimin tidak berani untuk bertanya kearah mana Rachel akan membawanya. Tanpa disadarinya mereka sudah sampai di basement mall yang terlihat cukup sepi dari pengunjung. Hanya ada beberapa pegawai parkir yang lalu lalang disana dan selebihnya hanya kendaraan-kendaraan yang diparkir disana. Rachel terus berjalan dan berhenti di salah satu pojok basement. Tiba-tiba ia berjongkok dan suara isak tangis yang sampai ke telinga Jimin membuat Jimin panik.

                “Chel—“ Dengan mulut setengah menganga, Jimin membungkukkan badannya perlahan, bermaksud untuk menepuk pundak Rachel. Ia tersentak saat isak tangis Rachel semakin menjadi. Oh mengapa hari ini terasa lebih buruk dari bayangannya! Selama perjalanan menuju mall, yang terpikirkan olehnya hanya bagaimana cara mengontrol diri untuk tidak terlalu sering melirik kearah Rachel. Ia tidak ingin Rachel menghantui mimpinya malam ini hanya karena seharian bersamanya. Dan hal yang kini berada di depannya sama sekali tidak pernah terpikirkan olehnya. Rachel menangis di hari pertama mereka ‘jalan bareng’. Beberapa pegawai parkir mulai melihat kearahnya dengan tatapan tak simpatik. Oh great, sekarang mereka menyangka bahwa ialah yang membuat Rachel menangis sampai sebegini parahnya.

                “Chel,” panggil Jimin pelan setelah isak tangis Rachel mulai berkurang. Napas Rachel yang mulai teratur sedikit menenangkan otot-otot Jimin yang daritadi menegang karena panik. Rachel mendongak kearah Jimin dan Jimin sebisa mungkin menahan diri untuk tidak terkesiap. Beberapa menit yang lalu ia masih melihat Rachel yang cantik dengan make-up natural –nya dan sekarang... jika ia jahil pasti ia sudah memotret muka Rachel sekarang untuk ditunjukkan pada Rachel saat ia sudah normal. Oke, itu keterlaluan. Wajah Rachel dengan eyeliner yang berantakan dan air mata yang membasahi hampir seluruh wajahnya ditambah dengan kulit wajahnya yang memerah bukanlah hal yang patut untuk dijadikan lelucon.

                Rachel yang selama ini Jimin kenal sebagai gadis arogan, keras kepala, dan selalu bisa membuat mood-nya campur aduk, kini sedang menatapnya dengan mata bergenang air mata dan tubuh yang lemas. Bukan hanya itu, Rachel terlihat sangat rapuh di hadannya. Instingnya mengantarkan tubuhnya untuk membungkuk mendekati tubuh Rachel. Dalam sekejap tubuh mungil Rachel kini sudah berada dalam dekapannya.

                Isak tangis Rachel kembali terdengar namun sedikit lebih tenang dibandingkan dengan saat ia mulai menangis. Tangan Jimin memegang kepala Rachel dan tangannya yang lain menepuk-nepuk pundak Rachel. Gumaman Rachel yang berisi umpatan tidak dihiraukan Jimin. Ia tidak perduli dengan beberapa pegawai parkir yang sedari tadi melihat dirinya dan Rachel seperti menonton drama.

                “Why he did this to me?” tanya Rachel di sela isak tangisnya.

                “Sssttt...” Jimin mengeratkan pelukannya. “Apa salah aku ke dia? Apa!?”

                “Sssttt... kau tidak salah. Dia yang salah,” Jimin menarik napas panjang sebelum melanjutkan dengan suara pelan, “Dia yang salah karena sudah menyia-nyiakanmu.”

~

                Rachel keluar dari restroom dengan wajah yang lebih fresh. Wajahnya dibiarkan tanpa make-up setelah tadi ia “merusak” make-upnya sendiri. Ia membuka blazer yang dikenakannya dan memberikannya pada Jimin.

                “Bisa tolong bawakan ini? Tas-ku tidak cukup untuk memuatnya.” Pinta Rachel. Jimin mengambil blazer Rachel dan membawanya bersama dengan jasnya. Jimin harus menahan diri untuk tidak memandang wajah Rachel terlalu lama. Ia harus mengakui bahwa make up yang dibubuhkan di wajah Rachel sama sekali bukan kunci utama kecantikan Rachel. Tanpa make up­ pun, Rachel sudah mampu membuat jantung Jimin berdetak lebih cepat. Oh damn.

                “Sekarang kita kemana?” tanya Jimin. Rachel terlihat berpikir sejenak sebelum mengangkat bahunya. “Entahlah. Otakku tidak bisa memikirkan tempat apapun. Tapi yang jelas aku belum mau pulang.”

                Jimin mengangguk, setuju dengan keputusan Rachel untuk tidak langsung pulang. Rachel menambahkan, “Tapi aku tidak mau berlama-lama disini. Aura mall ini sudah terlalu buruk untukku.”

                Jimin tertawa dan diikuti oleh Rachel. Jimin pun menarik Rachel untuk keluar dari mall itu dan menghentikan taxi pertama yang lewat ke depan mereka. Taxi yang mereka tumpangi mulai melaju setelah Jimin memberitahu kemana tujuan mereka.

                Langit Seoul yang mulai gelap menyadarkan Jimin bahwa sudah hampir setengah hari ia bersama dengan gadis itu. Ia baru sadar bahwa hari ini tidak seburuk yang ada di pikirannya. Waktu tidak berjalan lebih lama saat Jimin bersama gadis yang sedang duduk di sebelahnya. Sebaliknya, waktu terasa berlalu begitu cepat dan Jimin ingin memperlambatnya jika ia bisa.

~

                “Waaaaw!” Rachel berteriak saat angin malam menerpa wajahnya. Ini adalah kali pertama baginya mengunjungi tempat ini. Jimin tersenyum, akhirnya rencana untuk membuat gadis yang ada di depannya tersenyum berhasil.

                Setelah keluar dari mall tempat Rachel melihat kelaknatan mantan kekasihnya, Jimin membawa Rachel ke tempatnya melepaskan stress selama ia menjadi trainee, di atap gedung yang terletak beberapa meter dari gedung BigHit Entertainment.

                “Bisakah aku berteriak disini?” tanya Rachel dengan polosnya. Jimin sempat mengerjap beberapa kali, heran dengan pertanyaan Rachel, sebelum akhirnya mengangguk. “Kau bisa teriak sekeras yang kau mau.”

                “Apa tidak akan ada yang tahu? Atau mungkin bagian keamanan gedung ini akan—“

                Jimin menggeleng cepat. “Kau hanya perlu teriak seakan-akan hanya kau yang ada di dunia ini dan kau bukan siapa-siapa. Tidak akan ada yang menghentikanmu melakukannya karena tidak ada siapapun yang akan mendengarnya.”

                “Lepaskan semua yang mengganggu kepalamu,” Jimin memposisikan diri di belakang Rachel dan memegang pundaknya. “dan beteriak sekeras semua masalah yang mengganggu hidupmu.”

                Rachel menarik napas panjang sebelum, “AAAAAAAAA!”

                Jimin tersenyum puas setelah teriakan pertama Rachel. Wajah Rachel yang daritadi sendu, kini dihiasi seulas senyuman yang membuat Jimin merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

                Rachel terus berteriak yang berisi umpatan-umpatan untuk mantan kekasihnya. Ia terlalu bersemangat melepaskan stress-nya sampai ia lupa bahwa tubuh mungilnya hanya tertutup mini dress tanpa lengan. Angin malam yang menerpanya mulai memberikan efek dingin pada tubuhnya. Baru saja ia akan meminta kembali blazernya dari Jimin, sesuatu yang lebih besar dari blazernya tiba-tiba menggantung di bahunya. Rachel menoleh dan mendapati Jimin yang sedang tersenyum menatapnya.

                “Blazermu terlalu kecil,” jelas Jimin. “Kau tunggu disini, aku akan kebawah mencari sesuatu yang bisa dimakan. Apa kau lapar?”

                Rachel baru sadar kalau perutnya mulai terasa perih. Tadi siang perutnya tidak mendapat makanan yang cukup banyak dan kini hari sudah malam. Rachel mengangguk sebelum Jimin melesat pergi dari hadapannya.

                Jimin datang dengan tangan yang membawa dua kantung. Satu kantung berisi dua cup coklat panas dan yang lainnya berisi dua cup ramyun instan. Ia pun memberi arahan pada Rachel untuk duduk di satu-satunya bangku yang ada di sana. Keduanya langsung sibuk dengan makanan masing-masing, meskipun beberapa pertanyaan berkelebat di kepala Jimin. Pertanyaan-pertanyaan itu tak lain menyangkut kejadian tadi siang, yang tiba-tiba kembali diputar dalam pikirannya.

                “Dia adik kelasku,”

                Suara Rachel menghentikan Jimin yang sedang meminum kuah ramyun-nya. “Aku sudah banyak mendengar gossip mengenai mereka berdua, tapi aku tak perduli.”

                Jimin masih diam, menunggu Rachel melanjutkan ceritanya. “Aku terlalu percaya dan yakin bahwa ia tidak mungkin berpaling dariku. Babo.”

                “Heyyyy,” Jimin menghentikan Rachel sebelum ia kembali menyalahkan dirinya sendiri. “berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”

                Rachel tertawa garing. “Aku malu.”

                “Malu?”

                “Ya. Aku malu karena selama ini selalu membanggakannya di depanmu. Seakan-akan dia adalah kekasih paling sempurna. Dan sekarang kau melihat sendiri betapa sempurnanya dia.” Jawab Rachel dengan tawa yang terdengar miris. Matanya memandang langit dengan tatapan kosong. Ia terlalu fokus dengan pikirannya sendiri sehingga tidak sadar jika laki-laki di sebelahnya kini sedang memandanginya penuh arti.

~

                Taxi yang membawa Jimin dan Rachel berhenti tepat di depan rumah Rachel. Jimin keluar untuk membukakan pintu Rachel, tapi Rachel menahannya. Jimin membiarkan punggungnya kembali bersandar pada kursi taxi dan menatap Rachel penuh tanya.

                “Terimakasih untuk hari ini,” ucap Rachel dengan senyuman paling tulus yang pernah ia berikan pada Jimin. “aku tidak tahu apa yang akan terjadi hari ini jika kau tidak bersamaku.”

                Jimin menggeleng. “Kau tidak usah berterimakasih. Itu kan hanya—“

                Kata-kata Jimin terhenti saat telunjuk Rachel mendarat di bibirnya. “tidak ada ‘hanya’ untuk semua yang sudah kau lakukan hari ini. Aku harap aku dapat menghabiskan waktu bersamamu lagi, seperti tadi. Tapi aku tahu itu sulit karena jadwalmu—“

                Jimin langsung teringat sesuatu yang akan ia berikan pada Rachel. Ia langsung mengeluarkan dompetnya dan memberikan selembaran kertas pada Rachel.

                “Apa ini?”

                “Tiket konser perdana grupku. Kau tidak usah takut berdesak-desakan dengan penonton lainnya, karena itu VIP.”

                Rachel memandang kertas yang ada di tangannya dengan wajah kaget sekaligus kagum. Laki-laki yang ada di hadapannya ternyata sudah memiliki karir yang cukup sukses di industri hiburan tanpa ia sadari sebelumnya.

                “Aku harap kau mau datang.” Ujar Jimin pelan. Untuk pertama kalinya, ia meminta sesuatu dari Rachel.

                Rachel tersenyum sebelum menganggukkan kepala dengan antusias. “With my pleasure.” Ia pun membuka pintu taxinya, tapi tiba-tiba ia membalikkan kembali tubuhnya kearah Jimin.

                Sesuatu yang lembut dan terjadi begitu cepat mendarat di pipi Jimin. Sebelum Jimin menyadari apa yang terjadi, Rachel sudah keluar dari taxi dan melambaikan tangan padanya.

                “Good Night, Jim.”

                Perlu beberapa detik sebelum Jimin membalas ucapan Rachel. “Go-good night, Chel.”

                Jimin memegang pipi tempat Rachel mengecupnya dengan hati-hati. Ia tersenyum penuh arti sembari melihat kearah jalan raya yang sudah mulai sepi. Hari ini ternyata lebih indah dari yang pernah ia bayangkan.—

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
dilxmyg
#1
Actually, bts always give us an inspiration to make a story :v
jadi, ini songfic yaa??
keyhobbs
#2
Chapter 6: yah...kok udah epilogue aja?padahal aku masih nunggu2 buat chap nya jin,jhope sama jungkook:( tapi gak apa-apa lah ya...mungkin d lain waktu author bisa nambahin chapternya d sni..hihi #ngarep well,sejauh ini good job for you authornim, ^^ semoga tetap semangat bwt nulis fanfic yg lainnya hehe... Oh iya, d chap ini kasihan ya si taehyung, mungkin dia satu2nya yg menangis d sini, nora jahat sih ninggalin taehyung:( sini taehyung biar sama aku aja hihi..
keyhobbs
#3
Chapter 5: whahaha kasian si rapmon, baru mau mulai lg eh..si dianya udah d ambil orang :D eh aku jahat bnget ya malah ngetawain dia hihi, sini rapmon sama aku aja, nice one authornim! D tunggu chap selanjutnya...
keyhobbs
#4
Chapter 4: haduh....V yang sabar ya :( semoga Nora cepet sembuh and bisa nntn konsernya V :)
keyhobbs
#5
Chapter 3: akhem suga ada-ada aja yah.. Oh ya penasaran sama yeoja itu,klo gk salah d sini gk d sebutin namanya yah?
keyhobbs
#6
Chapter 2: wah wah wah itu cowoknya rachel minta d gampar tuh!-_- oh ya,nama rachel itu ngingetin aku sama the heirs deh hehe...^^ d tunggu update nya ya authornim,fighting!
ChoSaku_ #7
Chapter 2: Aduh laknat/? Wks update ya authorrrr~ hwaitinggg! (Asalnya pas chapter satu aku udah mau komen,eh internet nya mati :"3/?)
keyhobbs
#8
Chapter 1: wah....namjoon oppa gak punya rencana apa-apa? Main sama aku aja yuk!^^
hyenatuan #9
Chapter 1: Baru nemu nih, bagus awalnya! Lanjutin yaa.. sebenernya nungguin seokjin sih hehe :)