-Wait There-

Please Subscribe to read further chapters

Description

|| Author : Lovein || Genre : Romance || Rating : General || 

 

@LoveLoveinn

©Lovein

Foreword

Kau sudah ada di sana...

Akan melekat bersama...

Hati kosong ku sudah tidak akan bisa melepaskanmu.

Tak akan ku bukakan sedikitpun,

Bahkan jika aku tak dapat menggapaimu.

Wanita itu terengah-engah. Ia berlarian menyusuri bibir pantai dengan tergesa-gesa. Matanya berbinar-binar, seolah menggambarkan kebahagiaan yang luar biasa. Angin musim panas bersemilir, menerpa kulit pucatnya. Memasuki setiap lubang porinya dan membuat cairan asin itu terus menerus keluar untuk meredam panas.

Song Dani, ia masih menggunakan seragamnya dengan lengkap. Dani menyusuri pinggiran pantai dengan semangat penuh. Tak ia hiraukan panas yang semakin menyengat kulit.

Angin musim panas berhembus riang, dua gulungan biru menyatu, bertabrakan dengan gumul-gumul putih bak untaian kapas nan lembut.

Pelipis gadis itu meracu, bulir demi bulir mengalir mencoba menghalau panas. Kendati demikian, hal itu tidak mematahkan semangatnya untuk segera menapaki menara mercusuar yang sudah menunggunya di depan sana sedari tadi.

Ia kemudian menapaki anak tangganya dengan hati-hati, setelah mencapai puncaknya ia termenung sesaat. Mengatur napasnya yang menggebu-gebu. Seditik kemudian ia merogoh saku almamater, dan mengeluarkan selembar kertas. Di angkatnya tinggi-tinggi kertas itu. Kedua sudut bibirnya terangkat, sebuah senyum terlukis di sana. Sebuah surat keterangan lulus.

Angin musim panas bersemilir. Terasa hangat menyambar setiap inci indera peraba Dani. Gemuruh ombak pun beradu. Suasana yang amat ia suka.

“Aku berhasil,” gumam Dani.

“Apa kau akan datang?” ia berhenti sejenak. Kepalanya menunduk kebawah, sesekali gadis itu mengambil napas panjang kemudian mengurainya. “— apa kau akan memenuhi janjimu?” ia meneruskan.

Kenangan itu memenuhi setiap bagian sel kelabunya seketika. Kenangan-kenangan yang menoreh pengharapan serta rasa sakit yang mendalam itu, bagai tumpahan minyak yang siap disulut api. Dani merasakan nyeri di dadanya. Rasa sesak. Dan bosan.

“Min Dani!”

Dani melongok ke bawah. Kim Himchan. Lelaki itu sudah mematung di bawah menara. Kemeja biru tipis yang ia kenakan terlihat sedikit basah—udara musim panas memang bukan sahabat yang baik.

Aku segera menuruni anak tangga, perlahan seulas senyum terlukis di wajah Himchan yang dipenuhi keringat.

“Kau sudah lama di sini?” aku membuka pertanyaan.

Himchan hanya mengangguk, aku tahu dia pasti sangat lelah setelah perjalannya dari Seoul.

“Kau belum pulang?” tanyanya.

 “ Aku belum pulang ke rumah. Yah kau tahu, aku langsung mampir ke sini. Ada kabar?” tanyaku pada Himchan.

“Kau mau jalan-jalan? Sayang sekali aku jauh-jauh mampir ke pantai seindah ini, jika akhirnya aku cuma harus memberitahumu sebuah berita, lalu pulang,” jawabnya.

Aku terkikik, sahabatku yang satu ini memang sedikit nyentrik dan kekanak-kanakan. Aku mengiyakannya. Dan kami pergi untuk berkeliling sebentar. Sebentar—sebelum aku mendengar berita darinya.

“Kau akan meneruskan kuliah dimana Dani?” ia berkata, membuka pembicaraan, ketika kami sedang mencoba mendaki pulau karang besar di sebela menara.

Aku tak bergeming, alih-alih menjawab aku lebih suka melempar pertanyaan itu balik kepadanya.

“Kau sendiri dimana?”

Ia tak menjawab pula, hanya ada deburan ombak yang menghempas batuan yang kami pijaki.

“Aku, aku mungkin ke Jepang,” akhirnya dia membuka mulut.

Kami mencapai puncak batuan itu, aku duduk di sampingnya dan mencoba menikmati desiran angin yang hangat. Himchan menggeser duduknya sedikit ke kanan, mencoba lebih dekat denganku. Ketika manik mata kami bersirobok ia mengulangi pertanyaannya.

“Sedangkan kau? Akan terus di sini?”

Untuk kedua kalinya aku tak bergeming, aku menekuk kedua lututku dan mendekapnya.

“Haruskah aku pergi?” aku bertanya.

“Ya, jika kau memang harus melakukannya,” Himchan menjawab pertanyaanku. Dan itu cukup menoreh hatiku.

Aku menghembuskan napas berat, lalu menatap biji kokoanya untuk yang kedua kalinya.

“Sayang aku tak bisa, aku terikat janji.”

“Jangan bicara yang tidak-tidak. Itu cuma janji anak-anak!”

Terlihat nada kemarahan di kata-kata Himchan—dan juga kecewa. Aku tak tahu harus berkata apa, aku hanya belum bisa memahami diriku sendiri—aku rasa.

“Tapi aku menganggapnya penting Him, dan sakral,” aku berkata kemudian.

“Bahkan dia seperti tidak menepati janjinya, kau akan terlukan lebih dalam Song,” jawaban Himchan menguak luka lamaku, sekarang tumpahan minyak itu benar-benar sudah terbakar. Aku menyelami lagi kenangan-kenangan di masa laluku. Dan sebuah Janji. Janji seorang Yoo Young Jae.

Aku tak tahu bagaimana harus menimpali perkataan Himchan. Aku marah memang. Aku tak senang jika Himchan berkata seperti itu pada Young Jae, tapi akupun tak bisa menyangkalnya. Perkataan Himchan benar adanya. Dan aku benci itu. Benci jika aku menjadi seorang yang tidak realistis.

 

 

****

 

“Aku akan kembali Song, aku janji. Aku akan kembali untukmu,” anak lelaki itu menatap wajah gadis di depannya.

“Kau benar-benar akan kembali? Kau pasti bohong,” gadis yang lebih muda itu menimpali perkataan lelaki yang menjadi kakak kelasnya.

Angin musim gugur menerpa rambut gadis kecil itu, pita biru di rambutnya seakan hendak roboh ketika surai-surai hitam itu terkena angin.

Lelaki itu maju beberapa langkah dan sedikit menunduk, menatap tepat di manik mata sang gadis.

“Aku akan kembali Song, pegang janjiku! Kau bahkan akan segera melihatku dari sana,” lelaki itu menunjuk menara mercusuar yang ada di belakangnya.

“Aku akan menjaga hatiku Dani, aku ada di sini,” ia menunjuk dada gadis kecilnya.

“Dan kau akan berada di sini,” ia menunjuk dadanya sendiri.

“Aku akan kembali dan kita akan bahagia selamanya, tunggulah aku.”

Gadis kecil itu berhamburan memeluk si lelaki. Mereka tersenyum bersama kemudian. Dan hari itu adalah hari dalam sejarah hidup si gadis. Hari dimana ia memegang sebuah janji. Dan hari dimana ia harus menunggu.

 

****

 

Mataku terasa panas, ketika aku menyentuh kembali memori lama yang seakan tetap hidup di benakku. Ketika kristal bening itu hendak jatuh Himchan menepuk bahuku.

“Kau mengingatnya kembali? Sudahlah Song, jangan terus-terusan bersedih. Aku kesini untuk melihatmu tersenyum kan? Kenapa kau menyuguhi aku dengan sebuah tangisan? Sebelum air mata itu benar-benar jatuh, ayo kita turun aku ingin melihat Sunset,” ujarnya, sambil bersiap menuruni karang.

Ketika aku sudah benar-benar berpijak di tanah. Matahari juga sudah mulai di tarik ke arah barat. Kemudian semburat ke-emasan yang di pantulkan bola besar itu mulai kentara. Himchan menatap aku. Kemudian ia menggeser sedikit tubuhnya untuk mendekatiku. Manik kokoanya terlihat lebih bersinar ketika cahaya ke-emasan memasuki ruangannya. Dengan tiba-tiba ia menggenggam tanganku. Terasa hangat dan begitu lembut.

“Aku harus mengatakannya Song,” ia berkata.

“Apa?”

Himchan menarik napas dalam-dalam, sejurus kemudian ia mengurai gas karbondioksida itu perlahan.

“Aku mencintaimu Song,” ia berhenti sebentar, “—jauh sebelum Youngjae menyukaimu. Tapi aku yakin kau tak begitu,” sambungnya.

Kepalanya menunduk kebawah, keringat dingin terasa di telapak tanganku. Kata-kata Himchan barusan bagaikan angin ribut yang mengaduk-aduk setiap tatanan hatiku. Sahabat yang selama ini aku percaya, bahkan mendengar semua keluh kesahku tentang Youngjae. Tiba-tiba ia menyatakn cintanya. Aku merasa menjadi wanita yang jahat sekarang. Bahkan aku tidak pernah menyadari itu sebelumnya. Aku memang jahat.

“Ma—maaf Himchan tapi—“

“Aku tahu. Tak bisakah kau membuka hatimu padaku Song? Sedikit saja,” ia menyela kalimatku.

“Dan juga Youngjae, dia tak akan pernah kembali.”

Bagai ada seribu petir menyambar hatiku kala itu. Kalimat Himchan barusan benar-benar menyulut emosiku. Aku tidak tahu lagi harus berkata apa. Mungkinkah aku sudah terlalu membuatnya kecewa sehingga dia menjadi sebegitu benci terhadap Youngjae? Tapi dia tak harus berkata seperti itu di hadapanku.

“Pegang perkataanku Song, walau kau menunggu seorang Yoo Youngjae hingga sepuluh tahun kedepan dia tak akan pernah kembali. Kau harus menjalani kehidupanmu Song. Masa depanmu cerah, masa depanmu benar-benar harus kau gapai. Kau tidak bisa hidup terus-terusan seperti ini. Ikutlah denganku ke Jepang Song. Dan lanjutkan studymu disana,” ujarnya sambil mempererat genggaman tangannya padaku.

Aku tak bisa menjawab, hanya deburan ombak yang kian beradu. Langit sore sudah benar-benar tenggelam beberapa menit lagi, aku tak tahu harus berbuat apa. Janjiku pada Youngjae, aku tak bisa melepasnya begitu saja.

 

“Aku akan kembali Song, aku janji. Aku akan kembali untukmu,”

 

Kata-kata itu kembali memenuhi setiap sel otakku, aku sudah berjanji. Aku akan menepatinya. Aku percaya pada Yoo Youngjae, entah berapa lama lagi bahkan jika memang ia tak kembali.

“Maafkan aku Himchan,” ujarku sembari melepas genggaman tangannya.

“Aku tidak bisa, aku tak tahu entah berapa lama lagi aku harus menunggu. Tapi, aku percaya padanya. Bahkan jika dia tak kembali sekalipun, akan ku anggap itu adalah tahap penantianku. Kau bisa mendapatkan yang lebih baik. Jauh yang lebih baik. Aku akan terus di sini, entah berapa lama lagi.”

Himchan terdiam. Aku membalikan badan, dan memulai untuk menjauh.

“Aku akan terus di sini Him, jika kau butuh aku sebagai seorang sahabat, aku masih tetap di sini,” ucapku sebelum benar-benar pergi. Ada senyum tipis di wajah Himchan. Walau aku tahu mungkin hatinya sedang teriris. Aku membalas senyumnya.

****

Ketika wanita itu sudah menjauh, mata lelaki itu terasa begitu panas, bulir bening di pelupuk matanya sudah hendak jatuh. Kendati demikian, ia mencoba menahannya. Lelaki itu mengangkat kepalanya, sembari mencoba menahan isakkannya.

“Maafkan aku Song, ini bukan kenyataan yang sebenarnya,” batinnya.

Kemudian ia merogoh saku celana hitam miliknya, lalu mengeluarkan sobekan kertas kumal yang ia pungut beberapa minggu lalu.

“Maafkan aku Song, aku hanya tak bisa mengutarakan kebenarannya. Aku tak ingin membuatmu bertambah menderita. Kau akan baik-baik saja, jika kau tak mengetahui kebenarannya,” batin Himchan.

Ia memandang kertas itu sekali lagi, meresapi setiap kata di dalamnya. Kemudian membuangnya ke dalam deburan ombak yang beradu. Terbesit senyuman Dani di benaknya sebelum dia benar-benar membuangnya. Himchan tersenyum. Kemudia benar-benar membuang kertas itu.

“Kau pasti akan bahagia Song, suatu hari nanti.”

 

Daily Telegraph.

Sebuah kapal tenggelam di lautan bebas Britania Raya kemarin malam. Tidak ada penumpang selamat termasuk seluruh staff. Kapal di identifikasikan berasal dari Republik Korea dan membawa seratus siswa, yang akan melanjutkan study di Inggris. Seluruhnya ada seratus tigapuluh lima korban. Pemerintah akan menindak lanjuti kejadian dan sudah melakukan evakuasi di daerah kejadian. Ada lima korban yang tidak di ketemukan. Salah satunya ketua dari SMA Byeonggun-Yoo Youngjae.

 

****

 

“Aku akan kembali Song, pegang janjiku! Kau bahkan akan segera melihatku dari sana.”

“Aku tidak akan membuka hatiku, jika kau memang tak kembali, aku akan bahagia dengan semua ingatan ku. Aku akan menunggumu di sini, hingga aku benar-benar menyerah. Aku tak akan bisa melepasmu dengan hati kosongku ini. Hanya kau yang bisa mengisinya. Bahkan jika aku harus menghabiskan seluruh waktuku.”

“Aku akan kembali dan kita akan bahagia selamanya, tunggulah aku.”

 

 

-FIN-

Comments

You must be logged in to comment
MilkytaLee #1
wah sad romance ya...
bagus kok pengolahan kalimatnya ...kena bgt di hati. diksinya sudah bagus sekali!! hebat :) cm ya itu perhatikan kata2 rancu ya...
aku jg masih banyak belajar sih soal kalimat rancu, diksi, eyd dan sebagainya...
jd cm bisa komentar segini aja~ !! semangat !! ^^ nulis terus ya ^^