-Rain-

Description

|| Author : Lovein || Rating : General || Length : Vignette || Genre  : Romance || Main Cast : Bang Yongguk ||

 

Foreword

Aku duduk termenung di dekat jendela, hari ini hujan turun begitu deras. Aroma espresso lembut bergelayut di indera penciumanku ketika aku masuk ke kedai kopi langgananku. Perlahan aku meletakkan satu mawar biru di tepi jendela, dan meletakkan yang lainnya di atas meja, aku membuka jendela itu perlahan. Setitik demi setitik cipratan air masuk, membuat kusen kayu jendela itu basah. Air hujan itu menyapu kelopak mawar biruku. Basah.

Angin menerpaku kemudian, menggelitik bagian belakang leherku pelan. Lembab. Kemudian aku mengeluarkan album kenangan yang bersampul usang, kulihat satu persatu foto di dalam album itu. Album itu menampung masa lalu yang isi otakku sendiri tak mampu menyimpannya.

Seorang pelayan menemuiku, ketika alunan lembut lagu The Beatles diputar, pelayan berkemeja putih polos dengan celemek hitam itu menanyakan pesananku. Espresso. Seperti biasanya. Atau apasaja, asal tidaklah manis.

Aku benci rasa manis, aku bahkan lupa akan rasa manis. Kenangan-kenangan pahit yang menenggelamkan rasa manis itu sendiri. Tiba-tiba aku mulai bertarung dengan kenangan-kenangan itu lagi, dengan rasa sepi yang menggelayuti hatiku. Aku menggelengkan kepala itu beberapakali. Seakan menghalau kenangan-kenangan itu masuk kembali ke dalam ingatanku.

Pelayan itu pergi setelah ia mencatat pesananku, alunan musik lembut sekarang beralun. Menggema memenuhi ruangan, menyerbu selaput gendang telingaku, menggetarkannya lalu menyusuri dalamnya. Aku termenung. Gemercik hujan di luar sana belum mereda.

“Apa kau bawa payung?”

 

Aku menghela napas berat, sel kelabuku tak bisa berhenti membuka masa lalu, setelah ia berhasil membobol pagar dan menyusup ke dalam. Kenyataan yang terlalu pahit untuk didekap. Aku masih mengunci diriku dalam kenangan-kenangan itu. Seakan waktu, tak dapat menyelesaikan semuanya. Seakan waktu bahkan tak mempengaruhiku setelahnya.

“Waktu berhenti. Mereka berhenti. Tak ada kata besok setelah kau pergi, semua hari yang berlalu terasa seperti kemarin saat kau tak di sampingku,” ujarku sambil memandangi buket mawar biru yang tergeletak di meja.

Aku jatuh cinta padamu di hari dimana hujan turun, sekarang kau tersisa seperti fagmen yang melekat. Tuhan, tolong aku. Hentikan hujan ini sebentar saja, agar aku bisa melupakannya.

Aku masih mengingat dengan jelas aroma tanah saat aku pertama kali bertemu denganmu, di bawah cahaya matahari yang redup ditutupi awan gelap yang tebal, sepatu Loafers cokelatmu yang basah saat diterpa guyuran air hujan, payung merah besarmu, surai-surai gelapmu yang sedikit basah terkena percikkan air hujan, aroma tubuhmu yang seperti Citrus dan manik mata kokoamu yang menarik perhatianku seketika, menarik separuh hatiku untuk mendekat padamu. 

Aku masih ingat. Seakan aku menelusurinya kembali, mengobrak-abrik lembaran lama yang ingin aku buang di palung hatiku.

Pesananku datang, espresso pekat.

Aku menyesapinya perlahan. Rasa pahit menjalari lidahku, menghantarkan aku akan dirimu yang berdiri di ambang pintu sebelum kau meninggalkan semuanya. Namun aku menyadari sesuatu sekarang, yaitu tak ada yang perlu ku lakukan. Tak ada yang bisa ku lakukan. Semuanya bahkan telah berlalu, tak ada alasan menyesali semuanya. Semuanya sudah terlalu jauh. Terlalu terlambat.

Aku beranjak, kendati hujan di luar semakin deras.

“Apa kau bawa payung?”

 

Aku melangkah keluar kedai sembari menggenggam buket mawar biruku. Menyusuri jalanan familier yang sering kulewati dulu. Namun aku kosong. Jalanan ini masih sama, namun hatiku sudah terlalu kosong untuk menikmati hiruk pikuknya.

Air huyan menerpa semuanya, bunga-bunga dan pohon yang layu di dalam hatiku, kenangan yang terkubur terlalu dalam, sehingga aku tidak bisa membawa mereka keluar.

Aku berjalan menyusuri jalanan ini bersamaan dengan aku menyusuri kenanganku, memanggil kenangan-kenangan lama itu untuk keluar. Karena aku terlalu sesak untuk memendamnya terlalu lama. Aku ingin berhenti. Berhenti bergulat dengan semua kesedihan dalam palung hatiku yang kosong.

Bajuku benar-benar basah sekarang. Tapi aku tak bisa berhenti.

“Apa kau bawa payung?” 

 

Aku berlari, seakan kenangan itu mengejarku.

“Apa kau bawa payung? Aku rasa payung ini cukup untuk kita berdua,”

 

Aku berhenti, mematung di bawahnya. Aku mencoba untuk menghela napas, Mengatur napasku yang menggebu-gebu. Bergerumul dengan uraian gas karbondioksida itu.  Aku melihatnya sekarang. Di bawah sana, sda sembilan untai mawar biru. Sembilan mawar biruku, sejak sembilan hari lalu.

Bukankah itu cantik? Melihatnya berbaring di bawah sana?

Melihatnya tidur dengan cantik di tempat itu?

 

Dan aku akan memendamnya kembali, memendamnya dengan diam. Kenangan pahit yang tak bisa ku hela, aku hanya membiarkan waktu mengalir, seperti air. Dan aku akan membuat bendungan kecil dalam ingatanku yang bernama memori.

 “Apakah kau membawa payung? Aku rasa payung ini cukup untuk kita berdua,”

“Baiklah, aku rasa kita bisa berjalan berdampingan,”

 

Aku meletakkan mawar biruku yang kesepuluh.**

-END-

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet