A Reason why we divorced

That Women Loved

Dong Hae’s POV

 

Jang Mi Ri. Astaga. Aku benar-benar rindu padanya.

“Lee Dong Hae-ssi, untuk apa kau kesini?” tanya Mi Ri kepadaku.

Aku melihatnya dari kepala sampai kaki. Rambutnya yang coklat dan panjang itu sangat halus begitu kubelai, matanya yang bulat terlihat begitu indah seperti seorang malaikat, kulitnya yang putih pucat seperti putri salju, bibirnya yang merah muda yang ingin sekali kucium. Tubuhnya yang pernah sempat kumiliki dan bersatu denganku. Astaga, Lee Dong Hae. Kau benar-benar menggilainya.

“Aku… rindu padamu…” ujarku.

Mi Ri memandangku dengan pandangan kosong, aku melihat air matanya seperti ingin keluar. Tapi, ia memalingkan wajahnya ke arah lain. “Lalu?” tanyanya tajam.

“Bagaimana kabarmu, Mi Ri-ah? Apakah kau baik-baik saja? Apa kau makan dengan baik? Apa kau tidur cukup? Bagaimana kabar eommonim dan aboenim?” tanyaku kepadanya.

Sorot matanya menjadi tajam. “Aku baik-baik saja. Semua baik. Tapi jadi tidak baik setelah kau datang kemari.” ujar Mi Ri dengan ketus.

Aku hanya terdiam mendengar ucapannya. Apakah ia sudah tidak lagi mencintaiku, dan jadi membenciku? Rasa sakit di hatiku menjadi semakin nyata saat melihat Mi Ri menatapku seperti ia tidak ingin aku berlama-lama di hadapannya.

Mi Ri mengerutkan alisnya, “Apakah kau sudah selesai bicara? Kalau begitu pulanglah sekarang, ini sudah malam…” Mi Ri membalikkan badannya dan menuju pintu gerbang. Aku tidak ingin cepat berpisah dengannya sehingga aku langsung menariknya ke arahku dan memeluknya dari belakang. Aku merasakan tubuh Mi Ri yang tersentak kaget. Aku mengeratkan pelukanku di pundaknya. “Mi Ri-ah…” aku berbisik pelan di telinganya.

“Kenapa… kenapa aku tidak bisa melupakanmu…” ucapku pelan, “Kau tahu? Aku sudah lari ke wanita manapun, bermesraaan dengan mereka… tapi mereka tak bisa membuat cintaku hilang dari padamu…” suaraku terdengar begitu lirih. Mi Ri tidak bereaksi apa-apa, tapi kurasakan tubuhnya bergetar dan air matanya menetes di lenganku, ia menangis, tapi ia berusaha untuk menahannya agar aku tidak mendengarnya. Mi Ri… kalau ternyata kau seperti ini, bagaimana bisa aku berpisah darimu…

“Oh… ya?” ujarnya dengan suara parau. “Pasti… bisa, waktu bisa membuat hilang perlahan-lahan…”. Tidak… tidak mungkin… Cintaku begitu kuat padanya. Sekarang pun aku merasakan hatiku sakit sekali. Hatiku seolah memanggil terus namanya. Jang Mi Ri. Mi Ri-ah, kumohon kembalilah seperti dulu…

Gadis yang berada di pelukanku membalikkan tubuhnya dan menghadap kepadaku. “Kau kan seorang idol. Kau tidak mungkin bertemu denganku dan memikirkanku karena kau akan selalu sibuk dengan kegiatan performancemu, kau akan bertemu dengan selebriti wanita yang sangat cantik, dan dengan begitu…” nafasnya tercekat, “kau bisa mulai melupakanku…”.

“Mi Ri-ah…” ujarku lirih. Ia melepaskan tanganku yang menggenggam lengannya. “Sebaiknya kau pulang sekarang, sebelum eomma dan appa melihatmu, mereka bisa sedih…” tanpa basa-basi, ia langsung membalikkan badannya dan masuk ke dalam rumah. Aku hanya mematung melihat punggungnya yang berjalan menjauh dariku.

Mi Ri-ah, haruskah kau melakukan hal ini? Kau tidak terlihat baik-baik saja… Tubuhmu jadi lebih kurus, matanya menghitam seperti kurang tidur. Aku jadi ingin melindungimu. Aku jadi ingin merawatmu dan menjagamu kembali. Perasaan ini jadi membuatku sesak.

Setelah aku bercerai denganmu, dunia terasa runtuh begitu saja. Karierku yang selalu ku utamakan menjadi tidak berharga semenjak aku sadar bahwa kau lebih berharga. Karena kehilanganmu, pikiranku menjadi gila. Aku yang merasa kesal dengan keputusan ceraimu itu membuat diriku ingin membencimu. Aku datang ke club, dan mengencani dan bermesraan dengan gadis-gadis di sana. Mereka memang cantik-cantik, seperti layaknya seorang dewi, tapi hatiku tetap tidak bisa berbohong. Tidak bisa bilang kalau aku tidak mencintaimu. Aku ingin tahu tentangmu, ingin menemuimu dan kembali bersamamu.

Tapi, jika keberadaanku membuatmu menjadi lebih buruk lagi, mungkin sebaiknya aku tidak datang ke sini dan muncul di hadapanmu. Mungkin memang benar katanya. Aku harus melupakannya sehingga aku tidak berada di dekatnya. Demi kebahagianmu, aku akan mencobanya, Mi Ri-ah…

 

 

Mi Ri’s POV

Setelah aku masuk ke dalam rumah, aku berlari kecil masuk ke kamarku. Dan aku menutup pintu, dan menyandarkan tubuhku di pintu. Air mataku kembali pecah, kini tidak bisa kutahan lagi.

Benar, Mi Ri, tindakan tadi yang kau lakukan pada Lee Dong Hae itu tidak salah. Itu semua demi kebaikan bersama, kebaikanku dan kebaikannya.

Walaupun otak berbicara seperti itu, tapi mengapa hatiku berkata lain? Hatiku seperti meringis kesakitan, dan menuduhku terus karena aku telah membohongi perasaanku sendiri. Ya, aku tidak bilang kalau aku membencinya. Malah, setiap hari yang kurasakan adalah rasa rindu dan cinta yang dalam. Tapi, kalau aku mengikuti suara hatiku, nanti aku dengannya akan jatuh ke lubang yang sama. Menjauh, percekcokkan, kesedihan, bahkan kematian buah hati kami…

Aku merebahkan diriku di tempat tidur dan menutup mataku. Berharap semuanya kesedihan ini hilang dalam sekejap, dan memulai lagi aktivitas seperti biasa besok.

Aku hanya menatap kosong lurus ke depan. Semuanya putih. Tubuhku terbaring di rumah sakit. Pikiranku tidak ada apa-apa, hanya satu. Aku meraba perutku dan merasakan perutku mengecil. Hal ini membuat jantungku berhenti sekejap. Mana… anakku? Aku panik dan tidak bisa berpikir dengan jernih. Walaupun aku merasa tubuhku lemah, aku langsung terduduk dan ingin bangkit dari tempat tidur. Lalu, orang yang berada di sebelah ranjangku langsung tersentak kaget dan memegang lenganku.

“Ada apa, chagi?” tanya Dong Hae khawatir.

Aku menatap lirih Dong Hae, “Oppa… anakku mana… Kenapa perutku…” ujarku terbata-bata. Bibirku terasa kelu.

Sementara, Dong Hae hanya menatapku sedih dan menundukkan kepalanya. Aku melebarkan mataku. Tidak… tidak mungkin…

Aku memegang pundak Dong Hae lalu mengguncangkannya. “Oppa, cepat katakan! Anakku dimana?! Oppa!” kini aku sudah berteriak dan air mataku sudah tumpah. Aku menangis dengan kencang dan menepuk dadaku karena terasa sangat sesak. Sementara Dong Hae berdiri dan memelukku erat. Kurasakah ia menaruh dagunya di puncak kepalaku. Ia tidak berkata apa-apa. Ia mengelus punggungku berharap aku yang sedang histeris ini bisa tenang. Walaupun akhirnya aku tenang setelah 30 menit kemudian.

 

 

Besok paginya, di dalam rumah sakit. Aku hanya menatap kosong makanan di depanku. Aku tidak nafsu memakannya. Yang kupikirkan sekarang adalah janinku. Ia… sudah meninggal. Aku tidak percaya akan hal ini. Saat itu, saat aku berada di kamar tidur, perutku kesakitan sekali. Lalu darah lama-lama mengalir ke pahaku. Dan makin lama makin banyak. Kenapa? Kenapa ini harus terjadi?

Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya, dengan kacamata hitam dan baju mewahnya datang ke kamar rawatku. Dia adalah eomonim (ibunya Dong Hae). Ia menatapku tajam. Ini bukan pertama kali. Sejak awal, aku tahu eomonim tidak pernah menyukaiku. Dari caranya berbicara denganku, cara menatapku, dan memperlalukan, seolah menganggap bahwa aku ini bukan menantunya.

“Mengapa kau melihatku? Cepat makan. Semua biaya rumah sakit ini dibayar oleh Lee Dong Hae, jadi jangan sia-siakan uang anakku.” ujar eomonim sambil duduk di sofa.

Aku terpaksa memasukkan makanan ke dalam mulutku. Tapi, setelah makan 2-3 sendok, aku merasa mual dan memuntahkannya. Eomonim yang melihatku seperti itu langsung melotot dan berdiri. “Dasar kurang ajar, malah memuntahkan makanannya!” ujarnya dengan nada marah. Aku menepuk-nepuk dadaku dan menatap eomonim. “Maaf eomonim, aku tidak bermaksud…” tapi kata-kataku dipotong olehnya.

“Dasar wanita sial! Kenapa wanita sepertimu bisa menjadi istri Dong Hae?!” serunya.

Rasa sedihku menjadi menambah dan membuatku semakin tertekan. Aku menundukkan kepalaku.

“Eomonim… aku…” ujarku pelan.

“Tutup mulutmu. Kau sudah membunuh cucuku. Kau sudah menghancurkan harapan dan kebahagiaan keluarga kami.” Membunuh? Aku benar-benar merasa tersinggung dengan perkataannya. Rasanya air mata akan keluar.

“ Huh, seharusnya waktu itu, aku tidak menyetujui pernikahan kalian saat itu.Gara-gara kau, Dong Hae menjadi tidak taat kepadaku…” ujarnya dengan amarah. Aku yang daritadi menahan air mataku jadi menangis sesegukan.

“Maaf eomonim… aku tidak bermaksud…” ujarku yang berusaha menjelaskan, tapi kata-kataku langsung dipotong olehnya.

“Maaf?! Kau pikir dengan ucapan maafmu, kau bisa membuatnya kembali seperti semula?” seru eomonim dengan marah. Aku tidak berani menatap mukanya. Aku merasa sangat takut dan gemetar.

“Kau… setelah pulang dari rumah sakit, tanda tanganilah surat cerai jika kau merasa bahwa dirimu masih waras…, kalau tidak…” eomonim menatapku dengan tatapan menusuk, “aku akan membuat kau menjadi lebih merasa bersalah…” aku merasa jantungnya berhenti berdetak. Otakku tidak dapat berpikir jernih. Oppa… apa yang harus kulakukan…

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
petitebluehawk #1
Chapter 1: Wahh, so far so good. Hwaiting ya ;)