Chap V

Over The Rainbow

Malam menjadi begitu pekat. Beberapa orang yang sejak tadi terjaga sudah masuk ke dalam dunia mimpinya, membuat cerita tersendiri di dalam tidur mereka. Kadang mereka sering mendengar bahwa tidur adalah keadaan di antara dunia dan surga, kadang mereka bisa bertemu dengan orang yang mereka rindukan. Orang yang telah lama pergi dari hidup mereka. Orang yang mereka nantikan disaat mata terbuka, dan hal itulah yang diinginkan Jiae untuk saat ini.

 

Tubuhnya sejak tadi terlelap sejak Jongin mengangkatnya dari atas panggung itu. Membiarkan dirinya beristirahat setelah lelah menahan semua perasaan yang memuncak, hingga membuat tubuhnya ingin meledak.

 

Hayoung, Junhee, dan Luhan berada di sisi kasur Jiae. Berjaga-jaga jika gadis itu memerlukan sesuatu. Soojung meminta mereka untuk tetap menemani gadis itu, dan tidak membiarkan mereka keluar atau meninggalkan Jiae sendirian. Sedangkan Soojung pergi bersama Jongin mencari obat penurun panas untuk Jiae.

 

Luhan menatap wajah polos yang tersinari lampu temaram disamping mejanya. Wajahnya terlihat sangat damai dan kesepian dalam waktu yang bersamaan. Sejak awal Luhan tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi terhadap Jiae. Gadis itu terlihat begitu ceria, tanpa beban apapun dalam melangkah, dan tiba-tiba dalam sekejap mata semuanya berubah, gadis itu seakan ketakutan, seakan menolak sesuatu yang tidak ia inginkan. Tapi hingga saat ini Luhan tidak mengerti hal apa itu.

 

Pria itu menarik napasnya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi di hadapan ranjang Jiae. Mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan sempit berisi dua kasur tingkat di setiap sisinya. Dia melihat Hayoung dan Junhee sudah masuk kedalam dunia mimpinya beberapa menit yang lalu. Kedua gadis itu terlihat sangat mengkhawatirkan Jiae disaat gadis itu terjatuh di atas panggung tadi. Luhan menyunggingkan senyumanya. Pria itu berharap Jiae dapat terus di kelilingi oleh orang-orang yang mencintainya.

 

Suara angin berhembus, membuat ranting pohon yang berada di samping jendala kamar asrama bergemerisik menabrakkan tubuhnya ke kaca jendela. Jiae merasakan tubuhnya panas disaat bayangan itu hilang dalam kepalanya. Wanita cantik dengan senyuman dan cahaya putih disekitarnya tiba-tiba menghilang. Wanita yang selama ini ia rindukan.

 

Napasnya menderu, meneriakkan nama wanita itu. Peluh mengalir di sudut kepalanya dan matanya terbuka dengan sekejap.

 

Luhan menahan tubuh Jiae yang terus mengerang dan meneriakkan ibunya. Pria itu tahu bahwa Jiae hanya bermimpi. Dan seketika tubuh itu bangkit dengan sekali hentakan, membuat Luhan mencengkram kuat lengan Jiae dan menatap gadis yang sekarang terduduk lemas dengan napas terputus.

 

Ruangan itu penuh dengan helaan napas Jiae, semuanya hening. Luhan menatap gadis itu. Keringat terus mengalir di sudut pipinya hingga rambutnya basah wajahnya pucat dan lemah.

 

‘Kau tidak apa-apa? Tenang Jiae’Luhan melonggarkan cengkramannya terhadap Jiae dan mengusap lengan gadis itu memberikan ketenangan.

 

Jiae memutar matanya mengamati ruangan dimana dirinya berada saat ini. Ia mengerutkan keningnya dan menatap Luhan.

‘Dimana ibuku?’

Luhan menahan napasnya mendengar pertanyaan Jiae. Gadis itu kembali berbicara dengan wajah paniknya. Tatapannya seakan kosong. Seakan ia tidak mengenali siapa Luhan.

‘Dimana ibuku? Aku ingin bertemu dengannya’

Luhan mendorong tubuh Jiae untuk kembali beristirahat. Tapi gadis itu menolak dan menampik tangan Luhan.

‘Lepas! Ada apa dengan mu. Dimana ibuku?!!’

Luhan mengehmbuskan napasnya pelan dan menatap Jiae dalam. Gadis itu bergetar dan seakan ketakutan. Ia terus mengedarkan pendanganya ke sekeliling ruangan.

'Ibumu sudah tidak ada Jiae. Kau harus mengetahui hal itu. Kau harus menerima semuanya’

 

Mata Jiae merah dan membulat sempurna, bibirnya bergetar mendengar pernyataan yang keluar dari bibir Luhan.

‘Kau bohong!’Jiae bangkit dari ranjangnya dan berdiri di depan ranjang.

‘Kau bohong!! Dimana ibuku?!’ Jiae mendorong tubuh Luhan yang terus maju ke arahnya. Mecoba merengkuh gadis itu agar lebih tenang.

Jiae meraih gelas yang berada di atas nakas di sudut ruangan dan meleparkannya ke lantai. Tubuhnya memberontak dan terus meneriakkan ibunya. Gelas itu jatuh tidak jauh di dekat kakinya dan pecah seketika hingga menyebabkan kakinya terluka dan tergores oleh serpihan beling dari gelas tadi.

 

Luhan kembali maju dan merengkuh gadis yang terus meronta dan meneriakkan ibunya. Dorongan yang di berikan gadis itu datang bertubi-tubi menghantam tubuh luhan. Lengannya yang kecil terus memukul dada pria itu. Jiae menangis dan berteriak sebisanya. Jiae terus memukul tubuh Luhan.

 

Hayoung dan Junhee terbangun dengan suara gaduh yang tiba-tiba mengisi ruangan kamarnya. Mereka terkejut dengan keadaan Jiae. Gadis itu terlihat begitu menyedihkan. Tubuhnya terlihat begitu lemah dengan semua perlawanan yang di lakukannya kepada Luhan. Sedangkan pria itu terlihat begitu sulit menghentikan Jiae.

 

Luhan memutar kepalanya menatap Junhee dan Hayoung.

‘Kalian keluar. Aku yang akan mengurus ini’

Hayoung menelan ludahnya. Air matanya berada di sudut pipi mendengar rintihan Jiae tenggorokan gadis itu terasa sakit menahan tangisannya melihat keadaan Jiae saat ini. Hayoung mencengkram selimut yang menutupi kakinya.

 

Jiae terus berteriak dan memukul dada Luhan yang masih mencoba menghentikan gadis itu.

‘Keluar!’

Dan setelah kalimat terkahir yang keluar dari bibir Luhan kedua gadis itu loncat dari kasurnya dan berjalan kearah pintu.

 

Jiae merasakan tubuhnya sudah benar-benar basah saat ini. Air mata dan keringat semuanya menjadi satu. Tenaganya semakin terkuras. Dan tubuhnya terkulai lemas di dekapan Luhan.

'Eomma’ kalimat itu keluar dengan lemah dari bibir Jiae. Luhan membelai rambutnya pelan saat gadis itu kembali jatuh tidak sadarkan diri. Pria  kembali mengangkat tubuh Jiae ke atas kasur dan membaringkannya.

 

Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan Jiae saat ini. Begitu rindukah ia dengan ibunya? Apakah begitu menyakitkan disaat wanita itu pergi dari hidupnya? Luhan kembali mengingat ucapan yang pernah dia katakan kepada Jiae. Disaat dia bercerita bagaimana dia berharap tidak mempunyai orang tua. Kali ini Luhan mengerti hal itu. Kali ini Luhan merasakan bagaimana kehilangan sesuatu.

*

Soojung mengambil kapas yang sudah di olesi oleh obat antiseptik di atasnya dan mengusapkan pelahan ke atas kaki Jiae, mencoba membuat goresan-goresan pecahan kaca itu cepat mengering dan tertutup. Sedangkan Jiae, gadis itu sudah kembali tenang dan tenggelam dalam tidurnya. Berharap dapat bertemu dengan ibunya lagi walaupun hanya dalam mimpi.

 

Luhan masih berada di samping kasur itu, menemani Soojung dan Jiae sejak tadi. Memperhatikan gadis itu.

 

‘Gadis ini memiliki banyak goresan di hatinya’

Luhan mengalihkan pandangannya ke arah Soojung yang tiba-tiba bersuara. Pria itu membenarkan posisinya sambil tetap menatap gadis itu.

'Apa yang sebenarnya terjadi?’

Soojung menghela napasnya dan menatap Luhan sambil tersenyum kecut. Entah mengapa Pria itu tetap bingung dengan setiap ekspresi yang Soojung berikan dan Luhan tidak mengerti dengan hal itu.

 

'Aku tidak tahu’ gadis itu kembali dengan aktivitasnya mengobati kaki Jiae yang terluka.

 

'Over the rainbow’Soojung berbicara tanpa mengalihkan kepalanya. Luhan masih tidak mengerti apa yang akan gadis itu sampaikan.

 

‘Maksudmu?’

 

Soojung menutup matanya dan menarik napas dalam.

‘Lagu itu. Yang aku tahu lagu itu membawa sesuatu yang menyedihkan untuk Jiae’

 

Luhan mengerutkan keningnya. Tidak mengerti bagaimana satu lagu bisa membuat seorang gadis berteriak histeris dan ketakutan seperti ini. Tapi pria itu kembali ingat dengan kejadian disaat Jiae berlari keluar saat guru vokalnya Sunggyu memainkan lagu Over the rainbow. Dan kali ini hal itu kembali terulang. Tapi bagaimana bisa. Pertanyaan itu yang terus berputar di kepalanya.

 

‘Tapi jika kau mengerti arti dari lagunya. Hal itu menjadi sangat indah. Kebahagaiaan yang terdapat diatas pelangi’

Soojung tersenyum tipis. Seakan dia mengerti benar makna dari lagu itu.

 

Luhan mengalihkan pandangannya, menatap jam yang terus berdetak mengisi ruangan kecil itu. Hampir tengah malam dan dirinya tidak merasakan kantuk sama sekali. Dirinya masih sibuk menemani Jiae dan memperhatikan Soojung merawat gadis itu.

 

‘Sesuatu yang indah tapi dapat menyedihkan sekaligus. Bukankah itu menyeramkan?’

Luhan menelan ludahnya menatap wajah Soojung yang menyeringai. Gadis itu selalu terlihat menyeramkan disaat seperti ini. Disaat seakan dia bisa melihat segalanya. Tapi Luhan tahu bahwa Soojung adalah gadis yang baik.

 

Pria itu tiba-tiba berkutat dengan kalimat yang dilontarkan oleh Soojung. Lagu itu adalah lagu yang indah dan mempunyai makna yang dalam. Lalu bagaimana bisa hal itu menyebabkan seorang gadis seakan trauma dengan lantunan nadanya?

Luhan terlihat tidak akan pernah selesai dengan pertanyaan yang berada di kepalanya.

 

*

 

Pagi datang seperti biasanya. Dipenuhi suara burung yang terbang ke langit selatan. Awan pucat yang terlambat tenggelam, anak-anak yang berjalan berjajar menuju sekolah.

Jiae membuka matanya. Tubuhnya terasa begitu ringan dan lega. Entah apa yang terjadi dengan dirinya tadi malam. Tapi dia merasa bahwa sebagian bebannya seakan terangkat begitu saja dengan sendirinya. Gadis itu bangkit dan menyingkap selimut yang membungkus tubuhnya. Dan tatapan Jiae tertuju dengan kakinya yang terbalut perban. Jiae melipat kakinya dan melihat dengan lebih jelas. Ia lalu kembali mengingat potongan-potongan kejadian yang terjadi tadi malam. Gadis itu menahan napasnya terkejut.

Luhan..

Jiae menutup mulut menahan keterkejutannya. Pria itu adalah orang yang berada di sampignya, orang yang mendekapnya disaat dia meronta. Jiae tidak dapat melupakan hal itu.

 

*

Chanyeol menggoyang-goyangkan kaki yang sedang terbalut perban saat ini. Hal ini adalah bagian paling menggelikan di dalam hidupnya. Ia harus menyadari, menjadi seorang idola seperti saat ini sama seperti masuk ke dunia yang penuh dengan kebohongan dan lubang hitam yang harus ditutupi oleh sesuatu yang kasat mata.

 

Perusahaan memintanya berpura-pura mengalami cedera untuk menjadi alasan mengapa dirinya tidak dapat hadir di dalam showcase grupnya tadi malam. Menurut managernya itu adalah hal paling masuk akal yang dapat mereka lakukan.

 

Jadi dari pagi hingga saat ini kaki pria itu terasa kaku. Bahkan dia harus menggunakan kruk disaat kedua kakinya baik-baik saja dan bisa berjalan normal. Perusahaannya juga memintanya untuk berjalan-jalan di sekitar gedung dengan keadaannya saat ini untuk meyakinkan para pencari berita tentang kondisinya. Agar mereka bisa mengambil foto Chanyeol disaat pria itu menggunakan alat bantu untuk berjalan.

 

Chanyeol menarik ujung bibirnya saat melihat berita yang terpampang di jejaring sosial dari handphonenya. Semuanya terlihat menggelikan. Berjuta-juta orang mendoakan dirinya untuk cepat sembuh, menangis, bahkan dirinya menjadi topik pencarian teratas untuk saat ini akibat cedera palsunya. Beberapa penggemar wanita terlihat begitu histeris dengan berita tentang dirinya. 'Bodoh' Chanyeol mengumpat pelan terhadap semua orang yang tertipu oleh permainan media yang perusahaannya lakukan.

 

Dan di sela-sela aktivitasnya pria itu kembali teringat dengan Junhee, wajah gadis itu kini dengan mudah kembali masuk ke dalam setiap pikirannya. Pria itu merasakan bahwa dia merindukan Junhee begitu besar, banyak hal yang ingin pria itu ceritakan kepada gadisnya. Hanya saja bertemu dengan keadaan seperti ini. Disaat dirinya tidak bisa sebebas dulu lagi, disaat semuanya terasa kaku. Bahkan sekedar untuk mengucapkan salam. Chanyeol tidak mengerti apa yang harus dia lakukan.

 

Chanyeol bangkit dari duduknya, tentu saja dengan kruk yang masih terkait mantap di sela-sela lengannya. Ia mencoba berjalan untuk membuang semua pikiran-pikiran penyesalan itu. Mencoba menenangkan pikirannya dengan udara luar. Tapi bagaimanapun otak seseorang terkadang tidak mengenal kata 'Tidak'. Disaat kita berusaha untuk tidak mengingat seseorang dan menanamkannya di pikiran kita. Yang terjadi adalah hal sebaliknya. Kita akan mengingat hal itu. Dan tidak akan pernah berhenti.

*

Bel penanda itu berbunyi, membuat para siswa menghela lega dan berlomba-lomba berhamburan keluar kelas. Perut mereka yang kosong akan segera terisi. Atau beberapa kelompok wanita akan memulai perbincangannya bersama di ujung sekolah. Membicarakan tentang hal-hal menarik yang terjadi akhir-akhir ini.

 

Tapi untuk Hayoung gadis itu bergegas menuju kantin dimana dia bisa menemukan malaikat penyelamatnya tadi malam. Baekhyun.

 

Gadis itu mendongakkan kepala dan mengedarkan pandangannya ke sekililing kantin. Dirinya sendirian saat ini, dan ia merasa sedikit aneh berada di tengah-tengah orang banyak disaat dirinya tidak menemukan sosok yang ia cari.

 

Tatapan matanya terhenti diasaat ia berhasil menangkap pria dengan senyumannya berbincang di ujung koridor kantin bersama gadis lain. Hayoung melesatkan kakinya ke arah Baekhyun.

 

‘Baekhyun-ah!’

Kaki kecil Hayoung berlari cepat untuk mencapai tempat Baekhyun. Pria itu menoleh dan mengerutkan keningnya.

Hayoung mengatur napasnya yang berlomba saat gadis itu tepat berada di hadapan Baekhyun. Ia menggerakkan kedua tangannya untuk menangkap oksigen lebih banyak untuk dirinya.

'Ini’ Hayoung membetulkan suaranya dan menyerahkan bekal makanan berwarna biru ke arah Baekhyun sambil tersenyum. Napas gadis itu masih tersengal-sengal hingga bahunya bergerak naik-turun.

Baekhyun tersenyum tipis dan memberi tahu gadis yang berada di sampingnya untuk pergi terlebih dahulu.

'Ini apa?’

Hayoung memamerkan deretannya yang putih dan tersenyum senang.

‘Terimakasih untuk kemarin. Hari ini makan sianglah bersamaku’

Baekhyun menahan napasnya mendengar permintaan Hayoung. Gadis itu masih menyipitkan matanya, tersenyum menunggu persetujuan Baekhyun.

Baekhyun menarik napasnya dan menatap Hayoung. Pria itu memajukan langkahnya sedikit lebih dekat dengan gadis di hadapannya hingga membuat Hayoung memundurkan langkah dengan kikuk.

‘Dengar. Bukankah tadi malam sudah cukup untukmu? Tidak membiarkanmu bernyanyi sendiri di atas panggung dan mendapatkan nilai yang memuaskan bukankah sudah cukup?’

 

Hayoung membulatkan matanya mendengar pernyataan Baekhyun. Gadis itu menatap wajah pria di hadapannya dan mengangguk pelan.

‘Kalau begitu semuanya baik-baik saja. Jangan mengikutiku sepanjang hari. Ara?’

 

Baekhyun memutar langkahnya dan berjalan meninggalkan Hayoung yang masih mematung di tempatnya.

‘Tapi aku menyukaimu!’ Baekhyun menahan langkahnya mendengar ucapan itu.

‘Kau tahu hal itu. Aku menyukaimu Byun Baekhyun’ dan keadaan menjadi hening seketika. Hayoung seakan tidak mendengar suara apapun di sekitarnya. Hanya untuk menunggu jawaban Baekhyun. Pria itu tersenyum kecut sebelum memutar tubuhnya dan menatap Hayoung. Gadis itu terlihat tidak yakin dengan ucapannya tadi. Bukan tidak yakin dengan perasaannya. Hanya saja ia tidak tahu apakah Baekhyun akan menyukai seorang wanita yang mengutarakan perasaannya terlebih dahulu?. Tapi bagaimanapun Hayoung sebetulnya tidak peduli dengan hal itu.

 

Baekhyun melangkahkan kakinya kembali ke arah Hayoung sambil tersenyum. Dan menatap gadis itu sesaat sebelum ia berbicara.

 

‘Kau cantik.’Hayoung menahan rona wajahnya yang memanas saat kalimat itu keluar dari mulut Baekhyun.

‘Jangan buang waktumu untuk seseorang yang sudah lama pergi dari kenanganmu. Aku. Byun Baekhyun. Bukan pria sebelas tahun yang lalu. Bukan pria yang akan menolong seorang gadis dengan bonekanya lagi. Masih banyak yang  bisa kau lakukan Hayoung’

 

Gadis itu merasakan bahwa air mulai menggenang di pelupuk matanya. Kalimat itu seakan membuat semua yang berada di hidup Hayoung menjadi sia-sia. Masuk kedalam sekolah ini. Mengikuti apapun yang pria itu lakukan. Semuanya seakan runtuh begitu saja.

Dan tepat saat butiran air matanya meluncur, Baekhyun pergi meninggalkannya. Membuat Hayoung menatap punggungnya yang menjauh. Hal yang begitu menyakitkan baginya.

Dirinya masih sibuk berputar dalam poros kenangan sebelas tahun yang lalu. Masih melihat Baekhyun sebagai malaikat penyelamatnya. Sedangkan pria itu sudah lama pergi dengan dunianya sendiri. Membuat Hayoung merasa bahwa sekitarnya semakin mengecil dan menjepitnya di tengah-tengah. Menyesakkan.

 

Dirinya kembali berpikir dengan semua ini, walalupun pikirannya berkali-kali ingin menyerah dengan keadaan. Perasaannya mengatakan bahwa Baekhyun tetap menjadi prianya, tetap menjadi malaikat yang datang tepat pada waktunya disaat gadis itu membutuhkan pertolongan. Hayoung hanya takut dengan semua penolakan Baekhyun. Ia hanya takut bahwa ternyata hatinya tidak sekuat itu. Ia takut menyerah. Tapi dirinya kembali mengingat semua hal yang membuatnya melangkah sejauh ini. Dan dia tidak akan menyerah.

*

‘Kau yakin?’Hyunseung menyipitkan matanya menatap Dongwoo. Pria di hadapannya mengangguk mantap sambil meneguk susu pisang langsung dari botolnya. Pria itu begitu yakin seakan rencananya tadi adalah hal yang begitu benar.

 

‘Percaya padaku. Menari adalah segalanya untuk pria itu’

Hyunseung menanggukkan kepala sambil mengedarkan pemadangannya ke sekeliling kampus. Dan seketika pandangannya tertuju dengan sosok pria berkulit tanning berjalan kearahnya.

 

'Ini akan menyenangkan’ Hyunseung menyenggol lengan Dongwoo pelan sambil meneguk air mineral dari gelas kertas di hadapannya..

 

Sosok itu semakin dekat hingga ia berhenti di hadapan meja.

'Ada apa?’Jongin mengentikan langkahnya. Dirinya masih terpaku tanpa merubah posisinya untuk duduk dan berbincang dengan leluasa.

 

Hyunseung membenarkan suaranya dan menatap Jongin dengan senyumannya yang menyeringai.

 

‘Aku memafkaan perlakuanmu kemarin Jongin. Kita teman bukan?’

Hyunseung bangkit dari tempat duduknya dan memutar langkahnya berada di belakang Jongin. Pria itu menautkan lengannya di bahu Jongin sambil terus tersenyum.

'Aku disini hanya ingin memberi tahumu. Aku peduli denganmu’

Jongin menampik tangan Hyunseung yang berada di bahunya dan menatap pria itu tajam. Hyunseung terkejut dengan perlakuan Jongin, tapi pria itu segera menutup ekspresinya dan kembali ke dalam perbincangannya tadi.

‘Dengar. Aku hanya memberitahumu, kau tidak pantas dengan gadis murahan itu. Kita tim tari yang hebat dan akan segera melakukan debut. Bukankah itu hanya membuang waktu latihanmu?’

Hyunseung menatap Jongin dalam. Lelah dengan semua percakapan awalan yang tidak berguna.

Jongin mengerutkan jidatnya. Ia mengerti bahwa pria itu masih tidak menerima kejadian beberapa hari yang lalu. Disaat dirinya mempermalukan Hyunseung di hadapan teman-temannya. Tapi bagaimanapun pria itu memang pantas mendapatkannya.

 

‘Kau mengerti siapa maksudku. Soojung. Gadis itu tidak akan jauh berbeda dengan ibunya’

 

Jongin mengeratkan cengkramannya. Kali ini ia ingin menghantam pria itu dengan tangannya sendiri. Hyunseung memang temannya dalam kelas tari, tapi ucapannya tidak menunjukkan bahwa dia adalah laki-laki.

Jongin menarik napasnya dalam mengendalikan emosinya. Ia tidak boleh terbawa kedalam keadaan yang diciptakan oleh Hyunseung.

 

'Itu bukan urusanmu’ Jongin memutar langkahnya dan meninggalkan pria itu.

‘Tapi itu urusanku!’ langkah Jongin terhenti mendengar ucapan Hyunseung.

'Aku meminta mu kesini hanya untuk memberi tahumu sesuatu. Jika kau masih ingin berada di grup tari ini kau harus berhenti membuang waktumu untuk wanita murahan seperti itu’

Kali ini Jongin merasa bahwa dia tidak dapat menahan emosinya. Tapi ia berkali-kali memohon kepada Tuhan untuk dapat memberikannya kesabaran yang lebih kali ini.

‘Bagaimana? Aku tahu kau penari yang hebat Jongin’

Jongin menarik napas dan menghembuskannya perlahan lalu menatap Hyunseung sambil tersenyum.

‘Kau bisa pergi dengan grup tari mu yang lain. Aku bisa melakukannya sendiri’

Hyunseung terkejut dengan jawaban yang pria itu berikan. Semua perkiraannya kepada Jongin meleset begitu saja. Kali ini dirinya seakan menjadi seorang pecundang yang gagal dalam melayangkan ancaman. Hyungseung merasa bahwa ia telah di permalukan berkali-kali oleh Jongin dan hal itu membuatnya kesal.

Jongin kembali beranjak dari tempatnya.

‘Kau pecundang Jongin!’

Jongin kembali berhenti untuk kesekian kalinya dan mengutuk dirinya sendiri yang tidak dapat menahan emosi. Dia begitu mudah terpancing dengan semua ucapan Hyunseung terhadap dirinya. Dia merasa bahwa dirinya siap melompat dan menerkam Hyunseung saat ini Juga.

 

Pria itu memutar tubuhnya dan berjalan ke arah Hyunsung sambil menyeringai. Hyunseung memundurkan langakahnya secara tidak sadar. Takut temannya akan menyerang dirinya. Dia tahu benar bagaimana sikap Jongin jika pria itu marah.

Jongin kini berada tepat di hadapannya dan tersenyum.

‘Habiskan makan siangmu dengan baik agar kau bisa tumbuh dewasa dengan cepat’ Jongin menepuk bahu Hyunseung pelan dan berjalan keluar kantin dengan menahan tawa melihat ekspresi pria itu.

 

Entah apa yang akan terjadi selanjutnya denga grup tarinya. Jongin tidak lagi peduli. Ia tidak ingin berada dalam kelompok tari seperti itu. Lagipula ia yakin dirinya bisa melakukan semuanya sendiri.

*

Hujan kembali mengguyur kota Seoul. Sebelum salju turun hujan sering muncul dan membuat kota itu basah selama beberapa waktu. Dan setelah hujan reda kita bisa menghirup udara lembab dengan bau tanah yang khas disini.

 

Luhan memutuskan untuk menghabiskan harinya di atap sekolah. Menikmati pemandangan yang terbentang di hadapannya. Dulu dia tidak pernah mengerti mengapa orang suka menjadikan tempat ini sebagai tempat untuk berdiam diri. Menurutnya orang itu hanya ingin dianggap keren setelah meniru adegan-adegan dalam drama di televisi.

 

Tapi saat ini Luhan benar-benar mengerti mengapa. Terkepung di antara ratusan orang dengan ucapan yang berbeda-beda seakan membuat dirinya merasa kecil, tidak bisa melakukan apa-apa dan tebebani. Luhan merasa bahwa dirinya membutuhkan waktu untuk sendiri. Tanpa ekspresi dan tidak melakukan apa-apa.

 

Luhan terkejut dengan langkah berat yang semakin mendekat kearahnya. Dan disaat ia memutar kepalanya pria itu semakin terkejut melihat sosok yang datang.

 

'Jiae?' Luhan membulatkan matanya. Sedangkan gadis itu tersenyum tipis sambil menggenggam kedua tangannya gugup.

 

Jiae berjalan mendekat dan duduk di samping Luhan. Dia tidak tahu bagaimana memulai percakapan ini. Dirinya merasa kikuk disaat hanya berdua dengan Pria itu.

 

Luhan menelan ludahnya. Mencoba tenang dan tetap terlihat baik-baik saja disaat gadis itu berada di sampingnya. Pria itu mengedarkan pandangannya ke atas langit dan tersenyum.

 

'Lihat' ia mengangkat tangannya dan mengarahkannya ke atas. Menuju lengkungan berwarna-warni yang indah. Sempurna dan begitu nyata.

 

Jiae tersenyum. Tapi seketika Luhan menyadari sesuatu. Ia menurunkan tangannya dan menatap Jiae.

 

'Apa?' Gadis itu menatapnya bingung.

 

Luhan membetulkan suaranya dan menggeleng.

'Dengar. Aku minta maaf dengan kejadian di ruang kelas itu' pria itu kembali mengangkat pandangannya dan menatap langit.

Jiae masih terdiam.

'Kau tahu. Jika aku terlahir kembali, aku tetap ingin menjadi anak dari ibu ku. Ibu ku saat ini. Aku hanya menyesali sikapnya. Aku ingin sosok wanita itu secara sempurna. Tapi di kehidupan selanjutnya. Aku berharap wanita itu bisa memperlakukanku lebih baik.'

 

Jiae menatap wajah Luhan. Ia tidak mengerti bahwa pria itu mempunyai perasaan sedalam itu terhadap ibunya. Sama seperti dirinya. Ia tidak tahu bahwa Luhan sebetulnya tidak membenci ibunya sendiri. Pria itu hanya ingin diperlakukan sepantasnya oleh orangtuanya.

 

Jiae menghela napasnya dan menunduk.

 

'Aku seharunya juga meminta maaf dan berterimakasih untukmu' Luhan mengalihkan pandangannya menatap Jiae. Menanti apa yang ingin gadis itu katakan selanjutnya.

 

'Aku tidak mengerti. Aku merindukannya. Disetiap aku mendengar lagu itu wajahnya kembali muncul dalam ingatanku. Senyumannya, suaranya, mata, hidung. Semuanya' Jiae menghentikan kalimatnya. Suaranya terdengar bergetar. Dan dia tidak ingin Luhan melihat air mata yang menggenang di sudut matanya.

Jiae menarik napasnya dalam dan menghembuskannya perlahan, mencoba membuang semua perasaan yang berkumpul di hatinya.

 

Semuanya terasa sendu saat ini. Angin yang berhembus membuat perasaan itu kian memuncak.

 

'Bukankah hal itu indah?'

Luhan kembali mengangkat tangannya dan menunjuk pelangi di hadapan mereka. Jiae mengikuti arah tangan Luhan dan tersenyum tipis.

 

Di dalam hatinya ia tentu tahu pelangi merupakan hal paling indah yang pernah ia ketahui. Warna yang sempurna. Tanpa cela hadir disaat hujan reda. Semua tidak dapat tergantikan.

 

'Bagaimana jika kau berpikir bahwa disaat pelangi datang itu menandakan ibumu tersenyum kepadamu'

 

Jiae menatap Luhan yang sekarang sedang tersenyum sambil menatap langit. Pria itu juga merindukan ibunya. Ia merindukan sosok ibu yang perhatian dan sayang kepadanya. Sama seperti dirinya.

 

Disaat wanita itu pergi meninggalkan dirinya. Jiae tahu ibunya mencintainya dengan sepenuh hati. Tidak seperti Luhan. Pria itu tidak pernah mengetahui apakah ibunya mencintai dirinya atau tidak. Jiae terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Jiae selalu merasa bahwa dirinya lah yang berada di bawah. Dan saat ini dia menyadarinya. Bahwa keadaan bisa menjadi lebih baik disaat kita bisa melihat segalanya lebih jelas dan dekat. Dari sisi manapun.

 

Luhan masih bisa menghibur dirinya disaat ini dan dia berterimakasih untuk hal itu.

 

Jiae mengangguk dan tersenyum ke arah Luhan. Hatinya merasa begitu tenang saat ini.

'Baiklah. Mulai sekarang aku akan terus menantikan datangnya pelangi' Jiae menarik bibirnya membentuk lemgkungan yang indah. Dan Luhan menyukai hal itu. Membuat jantungnya bekerja lebih cepat saat raut muka itu hadir di wajah Jiae.

 

dan perbincangan mereka terus berlanjut di saksikan oleh lengkungan indah di hadapan mereka. Mengeluarkan perasaan masing-masing.

 

*

Malam sudah datang. Dan hal itu tidak menjadi penutup hari bagi para murid pelatihan di perusahaan ini. Setelah selesai sekolah mereka akan melakukan latihan rutin di asrama.

 

Ruangan menjadi begitu penuh dengan suara bass yang menggema. Membuat dada seseorang ikut berdebar mengkuti iramanya. Beberapa orang lainnya terlihat masuk ke dalam tempo sambil terus menggerakkan langkahnya lincah. Peluh yang membasahi tubuh mereka membuat keadaan semakin bersemangat.

 

Tapi Junhee merasakan bahwa tubuhnya begitu berat saat ini. Keringat dingin mengalir di sekujur tubuhnya. Entah apa yang terjadi dengan dirinya. Di saat cuaca begitu dingin, dan dirinya tidak dapat tidur dengan baik beberapa hari ini ditambah lagi ia harus memaksakan dirinya mengikuti kelas tari untuk mendapatkan nilai. Tubuhnya benar-benar tidak baik saat ini.

 

Junhee meletakkan punggung tangannya ke atas keningnya dan menghela napasnya pelan.

'Ada apa? Kau sakit?’ Naeun, seorang gadis pelatihan  menghampirinya dan melihat keadaan Junhee saat ini.

Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum.

'Aku hanya perlu ke toilet’ Junhee melangkahkan kakinya gontai dan terus berjalan walaupun kepalanya terasa begitu berat. Tubuhnya seakan melayang.

 

Chanyeol menatap gadis yang sedang berjalan gontai di lorong. Pria itu menyunggingkan senyumannya. Bagaimana mungkin disaat ia begitu merindukan sosok itu. Dan tiba-tiba gadis itu hadir dihadapannya.

 

Ia mempercepat langkahnya dengan kaki terbalut perban dan kembali berjalan seperti orang cidera setelah sampai di dekat Junhee.

 

'Hei!'

 

Gadis itu memutar kepalanya dan menatap Chanyeol. Junhee mengerutkan keningnya. Bingung dengan keadaan pria di hadapannya. Chanyeol berjalan menggunakan kruk dan kakinya terbalut perban.

 

'Ada apa dengan dirimu'

 

Chanyeol menyunggingkan senyumannya.

'Seperti biasa. Hal ini sering terjadi di saat kau melakukan usaha yang besar untuk penampilanmu'

 

Junhee mendesis dalam hati mendengar ucapan Chanyeol. Tapi bagaimanapun dirinya merasa begitu bahagia disaat pria itu hadir dihadapannya.

 

'Tapi kau bahkan tidak menari dengan benar' Chanyeol hampir tersedak mendengar ucapan Junhee. Gadis itu seakan ingin mempermalukannya.

 

Chanyeol membetulkan suara dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Mencoba menghindari tatapan gadis itu.

 

'Penampilanmu juga biasa saja'

Junhee mengangkat bibirnya mendengar ucapan Chanyeol. Apa maksudnya. Apakah pria itu menyaksikan penampilannya?

 

'Kau datang?' Junhee mengangkat ekspresinya. Terdapat kilatan di ujung mata gadis itu. Chanyeol bisa datang menyaksikan penampilannya adalah suatu hal yang menyenangkan.

 

Chanyeol merasa bahwa ia ingin membuang bibir penuhnya saat ini juga. Berbicara semaunya tanpa tahu akibat. Bagaimana jika gadis itu tahu bahwa dirinya datang dan melihat penampilannya. Bagi Chanyeol Junhee tidak boleh mengetahui hal itu.

 

Chanyeol kembali membetulkan suaranya.

 

'Bagaimana mungkin. Kau tidak lihat kakiku? Aku hanya menyangka. Kau pasti hanya menampilkan penampilan seperti itu' Chanyeol tertawa kecil. Ia tidak tahu bagaimana menghilangkan rasa gugup dalam dirinya.

 

Junhee berdecak. Ia tahu pria di hadapannya bukan lagi pria satu tahun yang lalu. Sosok itu sudah lama menghilang sejak Chanyeol meninggalkannya bersama janji yang tidak pernah ia tepati.

 

'Seharusnya aku tahu kau tidak akan datang' Junhee memutar tubuhnya dan kembali berjalan meninggalkan Chanyeol. Gadis itu tidak menyangka bahwa ia melupakan panas tubuhnya saat ini. Perbincangannya dengan Chanyeol membuat energinya naik turun. Dan Junhee merasakan bahwa pandangannya semakin gelap dan buram, langkahnya semakin tidak terliha,. Tubuhnya limbung. Dan semuanya tiba-tiba menjadi hitam.

 

Chanyeol mengutuk dirinya untuk mengatakan hal seperti itu. Dia tidak bisa menjaga sikapnya di hadapan Junhee. Semuanya menjadi aneh saat ini. Perbincangan yang mereka lakukan dapat menciptakan kesalah pahaman dengan mudah. Semua kalimat yang Chanyeol katakan sebetulnya hanya untuk mencairkan suasana. Tapi hal yang sebaliknya terjadi. Dan gadis itu pergi akibat ucapannya.

 

Chanyeol menatap tubuh Junhee yang menjauh hingga akhirnya ia menyadari bahwa gadis itu tidak baik-baik saja. Junhee tiba-tiba terjatuh dan tergeletak tidak sadarkan diri tidak jauh dihadapannya.

 

'Ya. Choi Junhee!' Chanyeol berjalan mendekat hingga ia melupakan kakinya.

 

'Junhee.!' beberapa gadis terlihat berlari dan menghampiri tubuh itu.

 

'Bagaimana ini. Sunbae?! Chanyeol Sunbae. Bagaimana?' Seorang gadis terlihat begitu khawatir dengan keadaan Junhee sama dengan dirinya.

 

Dan tanpa memikirkan apapun. Saat ini Chanyeol sudah berlari ke arah ruangan kesehatan dengan Junhee berada di punggungnya. Ia berlari tanpa menggunakan kruk dan kaki yang di perban. Ia melupakan sandiwaranya tentang kakinya yang cidera. Melupakan bagaimana orang akan melihat dirinya berlari dengan kaki seperti itu. Ia tidak peduli dengan hal itu lagi. Ia begitu khawatir dengan keadaan Junhee saat ini.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
shafaanis #1
keren. ini sangat keren.
aku akan dukung lo...

fighting!!!
amusuk
#2
menarik, saya lagi craving baca friendship sekarang ^^
semangat!