Bab Tiga

Summer Time

ini buat yang masih bingung certa disini tentang perempuan atau laki-laki..><"

Nichkhun   = Laki-laki

Taecyeon   = Laki-laki

Wooyoung = Wanita

Kim Minjun = Wanita

Chansung = Wanita

Junho = Wanita

 

Mian kalau banyak Typo n Happy Reading ^ v ^


HARI pertama syuting sangat melelahkan karena seharian itu Sutradara Park memutuskan untuk mengambil adegan di luar ruangan. Lokasi syuting hari itu berkisar di Hyde Park dan West End, terutama di Piccadilly Circus. Tentu saja syuting di tempat umum bukan hal yang gampang karena sisa-sisa musim dingin masih terasa dan banyak orang berlalu-lalang. Namun Sutradara Park adalah sutradara yang perfeksionis. Ia sangat memperhatikan gerak-gerik Wooyoung di depan kamera, dari ekspresi wajah, posisi tubuh, langkah kaki, gerakan tangan, bahkan sampai tatapan mata.

“Cut!” seru Sutradara Park untuk yang kesekian kalinya. Wooyoung menegakkan tubuh dan menoleh ke arah si sutradara. Langit sudah berubah gelap sejak berjam-jam yang lalu. Mereka pun sudah mengulangi adegan di depan toko barang antik bercat merah cerah ini sedikitnya enam kali dan tidak ada satu  adegan pun yang memuaskan bagi Sutradara Park.

“Kali ini coba kau menyeberang jalan dari sana ke sini,” kata Sutradara Park ketika ia sudah berada di samping Wooyoung, “lalu berhenti sebentar di depan toko ini, melongok ke dalam, seolah-olah kau ragu, lalu kau masuk. Oke? Kita coba yang ini.” Wooyoung tersenyum dan mengangguk walaupun rasa lelah mulai menjalari tulangnya dan tubuhnya menggigil. Ditambah lagi kakinya terasa sakit dalam sepatu bot yang kekecilan. Tentu saja ini bukan pertama kalinya ia merasakan semua itu. Sebagai model pekerjaannya sangat menuntut waktu dan tenaganya. Ia pernah pulang ke rumah pada pukul dua pagi setelah tampil di London Fashion Week sepanjang hari dan harus keluar lagi dari rumah pada pukul empat pagi untuk acara pemotretan di Cornwall. Jadi rasa lelah sama sekali tak asing baginya, malah kadang-kadang ia merasa ia membutuhkan perasaan lelah itu. Sutradara Park mengangguk. “Kita akan mulai lima menit lagi,” katanya, lalu berjalan ke salah seorang kamerawan di sana.

Yoon bergegas membawakan jaket untuk Wooyong. “Terima kasih,” gumam Wooyoung sambil mengenakan jaketnya dan menjejalkan tangan ke saku.

“Duduk di sini,” kata Yoon sambil mendorong Wooyoung ke salah satu bangku di dekat cahaya lampu dan mulai memperbaiki riasannya. Ketika Yoon pergi mengambil peralatannya yang lain, Wooyoung memejamkan mata sejenak. Waktu istirahat yang didapatkannya hanyalah sedikit waktu di sela-sela pekerjaan seperti ini. Naomi tidak tahu apakah ada orang yang pernah menghargai lima menit waktu luang seperti dirinya. Tiba-tiba ia mencium aroma yang enak. Matanya terbuka dan langsung dihadapkan pada secangkir teh yang mengepul.

“Capek?” Mendengar suara rendah dan asing itu, Wooyoung mengangkat wajah dan langsung bertatapan dengan mata gelap Nichkhun yang ramah. Sejak pertemuan pertama mereka pagi tadi, sepanjang hari itu mereka sama sekali belum sempat saling bicara. Mereka sama sekali belum melakukan adegan bersama dan adegan mereka masing-masing diambil secara terpisah. Dan setiap kali tidak berada di depan kamera, Nichkhun langsung kembali pada perannya sebagai asisten Sutradara Park, sibuk di belakang kamera. Wooyoung tahu dari Yoon bahwa tujuan utama Nichkhun datang ke London sebenarnya memang untuk bekerja dengan Park Jin Young dan laki-laki itu hanya setuju menjadi model di video musik ini tanpa dibayar adalah karena si penyanyi adalah teman baiknya.

Karena Wooyoung tetap bergeming, Nichkhun meraih tangan Wooyoung, ingin membuatnya menerima cangkir kertas yang disodorkan. Tetapi Wooyoung langsung tersentak dan secepat kilat menarik kembali tangannya. Nichkhun mengerjap dan menatap Wooyoung dengan alis terangkat heran. Walaupun udara terasa dingin, Wooyoung merasa pipinya memanas. Selama beberapa detik tidak ada yang bergerak. Lalu Nichkhun menghela napas dan menempelkan cangkir kertas yang hangat itu ke tangan Wooyoung.
“Ini. Minumlah. Kau akan merasa lebih baik,” katanya ringan. Wooyoung menggenggam cangkir kertas yang disodorkan itu dengan kedua tangan. Ia mendesah pelan ketika merasakan kehangatan menjalari ujung jari dan tangannya. Sedikit ketegangan pun menguap dari pundaknya. “Sutradara Park memang agak keras, tapi dia selalu berhasil mendapat gambar yang bagus,” kata Nichkhun sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana. “Kau akan lihat nanti.” Wooyoung menatapnya sejenak, lalu mengangguk singkat. Tepat pada saat itu terdengar suara Sutradara Park yang menyatakan syuting akan dimulai lagi. Nichkhun menoleh ke arah si sutradara, lalu kembali menatap Wooyoung. “Bertahanlah sebentar lagi,” katanya sambil tersenyum menghibur sebelum berbalik dan meninggalkan Wooyoung.

Wooyoung menatap punggung Nichkhun yang menjauh sejenak, lalu menunduk menatap cangkir the yang masih penuh dan bergetar dalam genggamannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya, dan meletakkan cangkir itu ke tanah.

* * *

Akhirnya syuting hari itu selesai juga. Wooyoung mengusap-usap bagian belakang lehernya sambil mengumpulkan barang-barangnya. Ia menatap jam yang tertera di layar ponsel. Kalau ia bergegas, ia bisa naik kereta bawah tanah yang terakhir. Besok ia harus bangun pagi-pagi karena ia diminta tiba di lokasi syuting jam delapan pagi. Sekarang ini ia hanya ingin tidur.

“Wooyoung.” Wooyoung berbalik ketika mendengar Sutradara Park memanggilnya.

“Ya?”

“Kau akan pulang sendirian?” tanya Sutradara Park.

“Ya,” sahut Wooyoung dan tersenyum. “Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Aku masih sempat naik kereta terakhir.” Sutradara Park mengerutkan kening sejenak. “Sekarang sudah terlalu larut. Tidak baik membiarkan seorang gadis berjalan sendirian,” katanya. Kemudian ia memandang berkeliling, ke arah para staf produksi yang sedang sibuk mengumpulkan dan merapikan perlengkapan. Matanya berhenti pada Nichkhun yang sedang membantu mengangkat perlengkapan ke mobil van.

“Oi, Khun,” seru Sutradara Park. Nichkhun  menoleh. “Ya?” “Kau bisa mengantar Wooyoung pulang?” tanya Sutradara Park dalam bahasa Inggris kepada Nichkhun. “Aku tidak mau dia pulang sendirian malam-malam begini.” Mata Wooyoung melebar. “Tidak,” katanya cepat. Terlalu cepat dan terlalu keras sampai kedua pria itu menoleh memandangnya. Wooyoung menggoyang-goyangkan tangan dan tersenyum gugup. “Tidak perlu repot-repot,” katanya dengan suara yang diusahakan tidak terdengar panik. “Aku bisa sendiri. Sungguh.” Nichkhun berjalan menghampiri mereka. “Aku tidak keberatan,” katanya. “Lagipula, aku setuju dengan Hyung. Sekarang sudah malam dan sebaiknya ada yang mengantarmu pulang. Kau tinggal di mana?” Wooyoung menggoyangkan tangannya lagi. Kali ini lebih cepat. “Sungguh, aku tidak perlu diantar. Aku bisa pulang sendiri. Aku sudah terbiasa pulang sendiri,” katanya sambil meraih tas dan topinya. Ketika ia melihat Nichkhun membuka mulut seolah-olah ingin mengatakan sesuatu, Wooyoung cepat-cepat membungkuk. “Selamat malam,” katanya cepat, lalu berbalik tanpa menunggu jawaban dan berjalan pergi. Mengamati punggung Wooyoung yang menjauh, Park Jin Young bergumam, “Rasanya tidak benar membiarkannya pulang sendirian malam-malam begini.”

Nichkhun menoleh. “Tapi dia sendiri tidak mau ditemani,” balasnya. Lalu ia mengangkat bahu. “Hyung tidak perlu cemas. Tidak akan terjadi apa-apa.” Park Jin Young mendecakkan lidah dengan pelan. “Tapi tetap saja...,” gumamnya enggan. Ia menghela napas dan berbalik. “Ya sudahlah. Ayo, Nichkhun. Kita bereskan tempat ini dan pulang.” “Ya. Tentu saja,” gumam Nichkhun. Namun ia tidak beranjak dari tempatnya berdiri sampai sosok Wooyoung menghilang di belokan di seberang jalan sepi itu.

* * *

Sementara itu Wooyoung meragukan keputusannya sendiri. Jalanan sudah sepi. Stasiun kereta bawah tanah juga tiba-tiba terlihat remang-remang dan menakutkan. Hanya ada segelintir orang yang berdiri menunggu kereta. Wooyoung tidak suka tempat sepi. Kepanikan mulai meresapi otaknya dan membuat tubuhnya menggigil. Apakah tadi sebaiknya ia menerima tawaran Nichkhun untuk mengantarnya pulang? Tapi ditemani laki-laki yang baru ditemuinya hari ini juga sama sekali bukan pilihan yang pantas dipertimbangkan. Sepanjang perjalanan pulang Wooyoung menyibukkan pikirannya dengan mengingat jadwal kerjanya selama sebulan ke depan, berusaha mengabaikan keadaan kereta yang hampir kosong dan dua pria berpenampilan kusam yang berdiri di dekat pintu sambil mengobrol dan menenggak bir. Ketika ia akhirnya tiba di Hampstead, Wooyoung baru bernapas sedikit lebih lega. Hanya sedikit. Karena sekarang ia harus berjalan kaki ke flatnya. Memang tidak jauh dari stasiun, tapi ia tetap merasa paranoid kalau harus berjalan sendirian malam-malam. Sambil terus menyibukkan pikirannya sehingga tidak berpikiran macam-macam, Wooyoung berjalan cepat menyusuri jalan dari bebatuan yang mengarah ke flatnya. Ia baru bisa benar-benar bernapas lega ketika sudah mendekati gedung flat. Robin‟s Nest di lantai satu gedung itu masih buka dan masih ramai. Cahaya lampu yang terang, suara orang tertawa, bercakap-cakap dan bunyi denting gelas membuat Wooyoung merasa santai. Baru saja ia merasa lega, tiba-tiba bunyi keras di belakangnya membuatnya terperanjat, disusul disusul suara yang mengumpat. Wooyoung terkesiap, berputar cepat, dan membelalak.

“Oh, sialan,” gerutu sesosok bayangan gelap di bawah salah satu pohon yang berjejer di tepi jalan. Bayangan itu sepertinya sedang membungkuk dan mengangkat sesuatu dari tanah. Wooyoung seakan terpaku di tempat. Tidak bisa bergerak, tidak bisa bersuara, tidak bisa bernapas. Dengan mata terbelalak ia menatap bayangan itu membetulkan letak... tong sampah?

“Jangan panik. Ini aku. Aku menabrak tong sampah. Tapi tidak perlu khawatir. Tong sampahnya baik-baik saja.” Wooyoung mengerjap mengenali suara itu sementara bayangan gelap tadi melangkah ke bawah sinar lampu jalan sambil mengangkat kedua tangan. Mata Wooyoung melebar setelah wajah laki-laki itu terlihat jelas.

“Kau...?” Nichkhun  menurunkan tangan dan tersenyum lebar.

“Sedang apa kau di sini?” tanya Wooyoung heran bercampur curiga. Ia memandang berkeliling, lalu kembali menatap Nichkhun. Matanya disipitkan. “Kau mengikutiku?” Nichkhun tidak langsung menjawab. Ia terlihat sedang memikirkan sesuatu. Lalu ia berkata dengan nada merenung, “Kau tahu, ini pertama kalinya kau mengucapkan lebih dari dua kata padaku. Dan aku baru tahu kau punya logat London yang jelas. Sebenarnya sudah berapa lama kau tinggal di sini?” Wooyoung terdiam sejenak dan tetap menatap laki-laki di hadapannya. Lalu, tanpa menjawab pertanyaan Nichkhun, ia bertanya sekali lagi, “Sedang apa kau di sini?” Nichkhun menjejalkan kedua tangan ke saku jaket abu-abunya dan mengangkat bahu. “Karena kau tidak mau diantar pulang, aku memutuskan untuk mengikutimu.” Kening Wooyoung berkerut tidak mengerti. “Kenapa?” “Hanya untuk memastikan kau baik-baik saja. Memastikan kau tiba di rumah dengan selamat,” sahut Nichkhun ringan. “Hyung—maksudku sutradara kita itu—takut sesuatu terjadi padamu.” Wooyoung mengerjap bingung. “Oh.” “Jadi,” kata Nichkhun sambil mendongak memandang gedung di depannya, “kau tinggal di sini?” Wooyoung menoleh, mengikuti arah pandang Nichkhun, lalu kembali menatap laki-laki itu. “Ya.” Mendengar nada suara Wooyoung, mata Nichkhun beralih kembali kepada Wooyoung dan ia tertawa pendek. “Tidak perlu curiga begitu. Aku tidak minta diajak masuk,” katanya. Ia menatap Wooyoung dari kepala sampai ke kaki, lalu kembali ke wajahnya dan berkata, “Lagi pula kau bukan tipeku.” Wooyoung mengerjap kaget, membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya berkutat mencari balasan yang cocok, tetapi tidak ada satu pun yang terpikirkan olehnya. Otaknya mendadak kosong. Ia hanya bisa menatap laki-laki yang tersenyum lebar itu dengan sebal. “Baiklah. Karena kau sudah sampai di rumah dengan selamat, aku pergi dulu,” kata Nichkhun sambil mengangkat sebelah tangan. “Sampai jumpa besok.” Ketika laki-laki itu berbalik dan mulai melangkah pergi, Wooyoung baru berhasil memikirkan selusin cara membalas kata-kata Nichkhun tadi. Tapi tentu saja sudah terlambat. Dengan jengkel Wooyoung membalikkan tubuh sambil menggali tasnya, mencari kunci pintu tangga depan.

“Siapa laki-laki itu?” Jantung Wooyoung hampir jatuh ke tanah ketika Minjun tiba-tiba sudah ada tepat di depan wajahnya. “Ya Tuhan, Minjun!” Wooyoung menempelkan tangan ke dada. “Sedang apa kau di sini?”
Minjun memberi isyarat dengan ibu jarinya ke arah Robin‟s Nest yang ramai. “Aku sedang bersama teman-temanku,” katanya. “Kebetulan aku melihatmu dengan laki-laki itu. Siapa dia?” “Rekan kerja,” sahut Wooyoung, masih merasa sebal pada diri sendiri karena membiarkan dirinya terlihat seperti orang bodoh di depan Nichkhun. Alis Minjun terangkat. “Dan dia mengantarmu pulang? Wooyoung, aku tidak pernah meliahtmu diantar pulang oleh laki-laki.” “Tidak, dia tidak mengantarku,” sela Wooyoung cepat, “dia mengikutiku.” Kali ini alis Minjun berkerut. “Dia mengikutimu sampai ke sini? Untuk apa?” Wooyoung tidak langsung menjawab. Ia menoleh ke belakang. Nichkhun sudah tidak terlihat. Ia menggeleng dan mendesah. “Entahlah. Aku lelah sekali dan aku mau tidur,” katanya sambil mengeluarkan kunci dari tas dan berjalan melewati Minjun. “Sana, kembalilah kepada teman-temanmu.”
“Oh ya, Wooyoung,” panggil Minjun. “Victoria menelepon mencarimu berkali-kali hari ini. Katanya ponselmu tidak bisa dihubungi.” Wooyoung baru teringat ia mematikan ponselnya selama proses syuting agar tidak mengganggu. Ia mendesah berat. “Victoria. Oh, dear, aku hampir lupa. Aku berjanji akan menyerahkan artikelnya besok.” Ia mengembuskan napas panjang. Bahunya melesak. “Kurasa aku harus membatalkan rencanaku untuk tidur.” Selain bekerja sebagai model, Wooyoung juga bekerja sebagai editor freelance di salah satu majalah fashion populer di Inggris. Ia sangat suka dan tahu banyak soal dunia fashion, jadi ketika Victoria Song, mantan teman seprofesi dan putri pemilik majalah itu, meminta bantuannya menulis artikel fashion untuk majalahnya, Wooyoung I dengan senang hati menerima pekerjaan itu. Namun sekarang ia mulai mempertanyakan keputusannya sendiri untuk membantu Victoris karena sepertinya ia sekarang hanya bukan hanya bertugas menulis artikel fashion, tetapi juga sering diminta mengerjakan tugas yang seharusnya dikerjakan Victoria sendiri sebagai editorin- chief karena temannya itu bukan tipe orang yang bisa mengambil keputusan sendiri. Minjun menatapnya dengan tatapan prihatin. “Kurasa sudah waktunya kau memilih salah satu, Wooyoung. Model atau editor majalah. Kau tidak bisa melakukan dua-duanya dengan jadwalnya yang sekarang. Memangnya kau tidak capek?” Wooyoung memutar kunci dan membuka pintu, lalu ia berbalik menatap temannya

“Jangan  khawatir. Aku bisa mengatasinya,” katanya sambil tersenyum. Ia tidak pernah memberitahu siapa-siapa, tetapi kesibukan adalah perlindungannya. Kesibukan bisa mengalihkan perhatiannya. Kesibukan bisa membuatnya tidak memikirkan hal-hal yang tidak ingin dipikirkannya. Misalnya hal-hal yang berhubungan dengan Nichkhun Buck Horvejkul...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
WinkAngel
#1
Chapter 5: khuntoria again...>.<

tapi yakin endingnya bagus kok hehehe..

typo udh biasa thor, tenang aja..
update sooon,..di tunggu cool kissnya..
aldios_khunyoung
#2
Chapter 5: Jangan perduliin readers nun ayuk hiatus dan jadi reader baek baek kyak aku hahaha

Pasti vic ingin d gantikan ya ama woo ! Ayo nun cook kiss hahaha ampe tamat baru hiatus hahaha
jangwooyoung0730
#3
Chapter 5: uuuh, pendek banget deh ... :'( bgt bgt bgt ini mah. Vict pasti dijodohin sama khun, udah jelas itu. Kasian, junho nya pasti jarang kesebut disini. Hhehe.. Kpan lagi mau update authorssi?? Pasti lama deeh :(
jangwooyoung0730
#4
Chapter 5: uuuh, pendek banget deh ... :'( bgt bgt bgt ini mah. Vict pasti dijodohin sama khun, udah jelas itu. Kasian, junho nya pasti jarang kesebut disini. Hhehe.. Kpan lagi mau update authorssi?? Pasti lama deeh :(
utywoo #5
Chapter 5: Khun dan vict lg .-.
Ditunggu lanjutannya besok thor ;)
afiati #6
Chapter 5: pemdek tp ok lah...di tunggu update nya ya...
specialkhunyoung
#7
Chapter 5: Sumpeh,,, chap ini Pendek banget Author
Jangan2 Khun di jodohkan sama vict, omo..
Ditunggu chap selanjtnya Besok,,,
rikayoung
#8
Chapter 5: Hmmmm....jgn " khun tuh yg dijodohin aissshhh am 'dia'

Penasaran am woo
woorama
#9
Chapter 4: maaf saeng bru bsa koment skrang ehehehe kapan nihhh mau lanjut lgi???? jngn bneran ampe seabad lgi ye ><
jangwooyoung0730
#10
Chapter 4: ommooo authorssi, andai novel itu skrg ada d depanku akan aku baca ulang lgiiii, aku bnr2 lupa sama certa novel ituuuuu... Oooh sudh berthun2 skali aku baca nvel itu, makanya lupa :( oooh udongie, kau jangn tterlalu cpek, nanti kau sakit,aku yg stres. Ga usah peduliin yg namanya Buck itu ya, anggap aja dia ga ada udongie, :) aku kangen udongie, kangen bgt bgt bgt. Hehe, mash ada nama naomi nya authorssi, tp ga papa,selama aku ngerti typo ga terlalu berarti :)
cpt update authorssi :)