Bab Satu -2

Summer Time

London, Inggris


Satu minggu kemudian


Jang Wooyoung membuka matanya yang terasa berat, lalu ia mengangkat tangan menutupi mata dan mengerang pelan. Sinar matahari yang menembus jendela kamar tidur menyilaukan matanya. Ia menguap lebar sambil merenggangkan lengan dan kaki dengan posisi yang masih terbaring di tempat tidur. Lalu ia memaksa diri berguling turun dari tempat tidur, berjalan dengan langkah diseret-seret
ke meja tulis di depan jendela untuk mematikan lampu meja yang masih menyala dan memandang ke luar jendela. Tidak biasanya langit kota London terlihat cerah. Sepertinya musim semi yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Wooyoung membuka jendela dan menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-paru dan seluruh tubuhnya yang masih lemas dengan semangat musim semi. Tetapi karena udara masih terasa dingin, Wooyoung cepat-cepat menutup jendela dan menggosok-gosok kedua tangannya. Tiba-tiba matanya terarah ke jam kecil di atas meja dan ia pun terkesiap. “Oh, dear,” erangnya. Ia berlari ke pintu kamar tidur dan membukanya dengan satu sentakan cepat, mengagetkan kedua teman satu flatnya yang sedang duduk mengobrol di dapur, tepat di luar kamar tidurnya. “Apa? Apa yang terjadi?” Gadis bertubuh jangkung, berkacamata, dan berambut merah panjang, yang sedang mengenggam cangkir kopi dengan kedua tangan, menatap Wooyoung dengan alis terangkat heran. Walaupun penampilannya pagi ini lebih mirip penghuni panti rehabilitasi— piama bergaris-garis, jubah kebesaran, rambut acak-acakan, dan wajah mengantuk— Minjun Humphye yang lebih tua daripada Wooyoung sebenarnya adalah putri seorang pengusaha kaya yang lebih memilih mengejar mimpinya menjadi aktris panggung daripada masuk universitas. Dan selama beberapa tahun ini ia
memang sering tampil di atas panggung pertunjukan di West End, meskipun hanya mendapat peran-peran kecil. “Aku terlambat...,” kata Wooyoung panik sambil berlari ke kamar mandi di samping dapur. “Aku punya jadwal syuting video musik hari ini dan aku terlambat.” Minjun mengibaskan sebelah tangannya dan berkata, “Kau terlalu berlebihan, Wooyoung. Kau tidak pernah terlambat. Paling-paling kau hanya terlambat bangun sepuluh menit. Dan aku tahu kau pulang ke rumah larut malam kemarin. Kau berhak bangun lebih siang.” Ia kembali menyesap kopinya dan mendesah muram. “Aku kasihan pada orang-orang seperti kita bertiga yang tetap harus bekerja di hari Sabtu yang indah ini.”Wooyoung menyerukan sesuatu yang tidak bisa dipahami dari kamar mandi karena ia sedang sibuk menggosok gigi. Hei, Sayang, kau mau wafel ala Chansung dengan selai apel buatan sendiri?” tanya
laki-laki bertubuh tinggi, ramping, dan berambut hitam yang duduk di hadapan Minjun. “Kau tahu benar selai apel buatanku bisa membuatmu merasa seperti melayang di angkasa.” Chansung Scott, yang aslinya berasal dari Edinburg, Skotlandia, berprofesi sebagai koki di salah satu restoran terkenal di Soho, walaupun ketika pertama kali bertemu dengannya, Wooyoung merasa Chansung lebih mirip preman karena tato naga dan ular yang ada di sepanjang lengan kanannya. Meskipun begitu Wooyoung harus
mengakui bahwa ia belum pernah bertemu preman yang memiliki mata seperti Chansung.  Mata biru yang benar-benar biru, mata yang bisa membuat wanita mana pun yang ditatapnya mendadak tidak bisa berpikir apa-apa. Tetapi sayangnya, Chansung tidak tertarik pada wanita. Wooyoung kembali menyerukan serentet kata-kata yang tidak jelas artinya. Chansung menoleh ke arah Minjun. “Apa katanya?” Minjun mengangkat bahu. “Mungkin dia tidak mau melayang di angkasa?” Tepat pada saat itu pintu kamar mandi terbuka dengan suara keras dan Wooyoung melesat kembali ke kamar tidurnya, disusul dengan suara pintu lemari dibuka dengan gaduh dan gantungan-gantungan baju berjatuhan ke lantai.
“Tolong jangan panik, Sayang,” seru Chansung tempat duduknya di dapur. “Kau bisa melukai dirimu sendiri di dalam sana kalau kau membabi-buta seperti itu.” Kemudian terdengar bunyi gedebuk keras, disusul suara Wooyoung yang berseru, “Aku tidak jatuh! Tenang. Aku tidak jatuh. Aku baik-baik saja.” Kedua temannya berpandangan dan mengangkat bahu. Beberapa menit kemudian Wooyoung muncul kembali dari balik pintu kamar tidurnya. Ia sudah berpakaian lengkap sampai ke sepatu bot dan topinya. “Ngomong-ngomong,” kata Minjun, “kau akan tampil di video musik siapa?” Wooyoung mengangkat bahu. “Penyanyi dari Korea. Aku tidak kenal,” katanya sambil mengibaskan tangan tidak peduli. “Yang membuatku tertarik adalah konsep video musiknya. Mereka membuatnya seperti film pendek.” Minjun menoleh menatap Wooyoung, mata hijaunya bersinar cerah. “Apakah ceritanya romantis?” tanyanya, lalu mendesah senang. “Aku suka cerita romantis.” Wooyoung mendesah tidak sabar. “Kurasa ceritanya tentang seorang pria yang diam-diam jatuh cinta pada seorang wanita. Selalu mengawasinya dari jauh. Diam-diam selalu membantu wanita itu tanpa pernah menunjukkan siapa dirinya. Kira-kira seperti itu,” sahutnya. “Hmm... Bukankah itu romantis sekali?” desah Minjun dan menatap Chansung. Yang ditatap mengangguk setuju.

“Kurasa agak menakutkan,” gerutu Wooyoung. “Coba pikir, diam-diam mengawasi si wanita dari jauh, diam-diam membantunya tanpa menunjukkan wajah. Memangnya itu tidak terdengar seperti orang sakit jiwa?” “Astaga,” gumam Chansung sambil menggeleng-geleng. “Kuharap sutradara video musik ini tidak menyesal sudah memilihmu. Seharusnya kau menjadi bintang film horor.” Wooyoung tersenyum dan mendorong bahu Chansung dengan main-main. “Baiklah, Teman-teman, aku pergi dulu.” “Kau yakin kau tidak mau makan sepotong wafel ala Chansung dengan selai apel ini?” tanya Chansung sambil menyodorkan piring penuh wafel. “Kau tahu sarapan adalah makanan paling penting dalam sehari. Kau sudah cukup kurus sekarang. Jangan sampai kau berubah menjadi tulang berjalan seperti orang yang duduk di depanku ini.”

“Ya Tuhan, lihat siapa yang bicara,” kata Minjun sambil memutar bola matanya.

“Koki paling kerempeng sedunia.” Chansung tersenyum lebar. “Tubuhku memang tidak bisa gemuk walaupun aku makan banyak. Sedangkan kalian berdua kurus kering karena tidak makan.” “Model memang seharusnya kurus,” gumam Wooyoung sambil merogoh-rogoh tasnya yang besar, memastikan semua barang pentingnya sudah ada di dalam. Dompet. Kunci. Ponsel. “Apa?” tanya Chansung, tidak mendengar apa yang digumamkan Wooyoung tadi. “Tidak apa-apa.” Wooyoung menatap temannya dan tersenyum lebar. Ia tidak mungkin mengulangi ucapannya. Ia tidak berani. Chansung pasti akan mulai menceramahinya dan ia tidak punya waktu mendengar omelan itu saat ini. “Aku ingin sekali mencoba wafelmu, tapi ini keadaan darurat,” kata Wooyoung cepat. “Aku benar-benar tidak sempat sarapan. Sekarang sudah jam...,” ia melirik jam tangannya dan terkesiap, “...oh, dear. Sepertinya aku harus berlari sepanjang jalan sampai ke stasiun. Dah, Teman-teman!” Tanpa menunggu balasan teman-temannya, Wooyoung berlari menuruni tangga dari flat mereka di lantai dua dan keluar ke jalan. Ia melirik jam tangannya sekali lagi. O-oh. Ya, ia sudah pasti harus berlari ke stasiun kereta. Ia tidak mungkin
sempat mendongak menatap langit biru dan menikmati udara musim semi. Semua itu harus menunggu.  Sudah hampir tiga tahun berlalu sejak ia pertama kali tiba di London dan sejak ia pindah ke sini ia sudah tinggal bersama Minjun dan Chansung di Hampstead yang terletak di pinggiran kota London. Flat yang ditempatinya bersama Minjun dan Chansung berada tepat di atas Robin‟s Nest, sebuah pub tradisional Irlandia yang sudah berdiri sejak zaman dulu. Walaupun kadang-kadang suara-suara dari pub bisa terdengar sampai ke kamar tidur kalau jendelanya dibuka, Wooyoung tidak keberatan. Berbeda dengan kebanyakan orang, ia tidak terlalu nyaman dengan suasana sepi. Flat yang mereka tempati tidak terlalu besar, namun cukup untuk mereka bertiga. Tempat itu memiliki tiga kamar tidur—satu kamar tidur utama yang berukuran lebih besar dan dua kamar tidur yang lebih kecil—satu kamar mandi, dapur sempit dengan jendela yang menghadap ke perkarangan samping gedung sebelah, dan ruang duduk kecil dengan jendela menghadap ke bagian depan gedung. Minjun menempati kamar tidur utama karena dialah yang pertama kali menempati flat ini sebelum ia mengajak Chansung berbagi flat dengannya. Lalu pada musim panas lebih dua tahun lalu Wooyoung ikut bergabung. Wooyoung tidak pernah suka tinggal sendiri. Sepanjang hidupnya ia tidak pernah sendiri. Saudara kembarnya, Junho, selalu ada bersamanya sampai ketika Wooyoung memutuskan untuk pindah dari Tokyo. Kadang-kadang ia mengkhawatirkan Junho karena saudara kembarnya itu juga tidak terbiasa sendirian. Tetapi mengingat mereka memiliki tetangga-tetangga yang sangat baik di Tokyo dan setelah membaca e-mail dari Junho yang melibatkan seorang tetangga baru di gedung apartemen mereka, Wooyoung merasa ia tidak perlu mengkhawatirkan Junho lagi. Empat puluh lima menit kemudian, Wooyoung sudah tiba di lokasi syuting untuk hari itu dan sudah duduk di dalam tenda sementara yang didirikan di salah satu sudut Hyde Park, salah satu taman paling terkenal di London, di dekat Serpentine Lake. Wooyoung memandang berkeliling dan merasa seolah-olah dalam semalam bagian kecil taman itu sudah diserbu oleh sekumpulan orang Korea. Di sekitarnya terlihat para staf produksi yang sibuk dengan tugas mereka masing-masing, berjalan cepat dari satu tempat ke tempat lain, mengangkut sesuatu, memasang sesuatu, dan saling berseru dalam bahasa asing yang sama sekali tidak bisa dipahami Wooyoung. Wooyoung juga baru menyadari bahwa selain Park Jin Young, alias si sutradara video musik, yang sudah pernah ditemuinya pada saat wawancara awal dan penata rias yang bertanggung jawab atas penampilan Wooyoung dari ujung kepala sampai ujung kaki, tidak ada staf produksi lain di sana yang bisa berbahasa Inggris. Tetapi pekerjaan Wooyoung sering menuntutnya bepergian ke luar negeri dan bekerja sama
dengan orang-orang asing yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih, jadi ia merasa ia bisa mengatasi sedikit hambatan komunikasi ini.

“Ini tehmu.” Wooyoung menoleh dan melihat penata riasnya—yang memperkenalkan diri sebagai Yoon—mengulurkan secangkir teh harum yang mengepul. Senyum Wooyoung mengembang. Saat itu ia baru teringat ia belum sarapan dan perutnya tiba-tiba berbunyi pelan. Ia menerima teh itu, menyesapnya, lalu mendesah senang ketika kehangatan teh itu menjalari tenggorokan, dada, dan tangannya. “Kau juga lapar?” tanya Yoon dengan bahasa Inggris yang masih dihiasi logat
Korea. “Mau makan ini?” Wooyoung menatap sekotak donat yang disodorkan ke depan wajahnya. Gemuruh di perutnya semakin keras. “Terima kasih banyak. Kau benar-benar penyelamatku,” katanya sambil mengambil sepotong donat berselimut cokelat. Seorang model memang seharusnya kurus, tetapi seorang model tidak seharusnya mati kelaparan.

Penata riasnya yang sangat ramah itu meletakkan kotak donat di meja di depan Wooyoung, membuat Wooyoung bertanya-tanya apakah ia boleh mengambil sepotong lagi kalau ternyata ia masih belum kenyang. “Ngomong-ngomong, kau sudah pernah bertemu dengan lawan mainmu divideo musik ini?”

tanya Yoon ketika ia mulai menggulung rambut Wooyoung dengan rol-rol besar.
Wooyoung mengalihkan pandangan dari kotak donat dan menatap wajah Yoon yang bulat di cermin. “Belum. Aku belum pernah bertemu dengannya. Aku bahkan belum tahu namanya,” sahutnya dan kembali menyesap tehnya yang enak sekali. Mata Yoon yang sipit langsung berbinar-binar. “Nichkhun,” katanya singkat. Ketika melihat Wooyoung yang menatapnya dengan pandangan bertanya, ia melanjutkan, “Lawan mainmu. Namanya Nichkhun. Tapi dia lebih dikenal dengan nama Nichkhun Buck Horvejkul.”Wooyoung berhenti mengunyah donatnya. Yoon memandang berkeliling. “Di mana dia ya? Tadi aku sempat bertemu dengannya.” Ia mendesah dan kebmali menggulung rambut Wooyoung. “Mungkin kau tidak tahu, tapi dia sangat terkenal di Korea. Sering membintangi iklan dan video musik.” Karena Wooyoung tidak berkata apa-apa, Yoon menambahkan, “Tidak perlu khawatir. Dia sangat baik. Oh, dan dia juga tampan. Benar-benar tampan. Kalau kau melihatnya nanti, aku yakin kau akan jatuh pingsan.” Wooyoung masih diam. Hanya menunduk menatap teh kental yang mengepul di dalam cangkir gelasnya. Mendadak saja kehangatan yang dirasakannya tadi menguap begitu saja.
Tiba-tiba Yoon menepuk-nepuk pundaknya. “Hei, lihat. Itu dia!” bisik Yoon dengan nada mendesak. Kepala Wooyoung berputar pelan dan matanya langsung menangkap sosok laki-laki berjaket abu-abu dan bertopi putih yang berdiri di luar tenda. Laki-laki itu melepaskan topi dan menyapa orang-orang yang mengelilinginya dengan senyum lebar, berjabat tangan dan membungkuk kepada beberapa orang.
“Ups! Hati-hati. Tehmu bisa tumpah.” Wooyoung mengerjap kaget dan menyadari bahwa cangkir kertas yang dipegangnya sudah hampir terlepas dari pegangan. “Oh, dear. Maaf,” gumamnya pelan.
“Nah, kubilang juga apa?” kata Yoon sambil menepuk pundak Wooyoung lagi dan tersenyum penuh kemenangan. “Kau memang terliaht hampir jatuh pingsan.” Wooyoung memalingkah wajah dan menatap cermin. Namun ia masih bisa melihat bayangan Nichkhun di sana. Tepat pada saat ia melihat Yoon berbalik dan mengangkat sebelah tangannya yang memegang sisir, lalu berseru, “Hei, Khun!” Wooyoung membeku. Oh, tidak... Nichkhun menoleh ke arah mereka. Ke arah Wooyoung. Sedetik mata mereka bertemu di cermin. Mata laki-laki itu seolah-olah menatap lurus ke mata Wooyoung. Hanya sedetik, sebelum Wooyoung buru-buru mengalihkan pandangan, menatap Yoon yang tersenyum lebar padanya di cermin. “Dia ke sini,” kata Yoon. “Akan kuperkenalkan kau padanya.” Wooyoung tidak bisa bernapas. Ia mencengkeram lengan kursinya erat-erat.

Ya Tuhan...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
WinkAngel
#1
Chapter 5: khuntoria again...>.<

tapi yakin endingnya bagus kok hehehe..

typo udh biasa thor, tenang aja..
update sooon,..di tunggu cool kissnya..
aldios_khunyoung
#2
Chapter 5: Jangan perduliin readers nun ayuk hiatus dan jadi reader baek baek kyak aku hahaha

Pasti vic ingin d gantikan ya ama woo ! Ayo nun cook kiss hahaha ampe tamat baru hiatus hahaha
jangwooyoung0730
#3
Chapter 5: uuuh, pendek banget deh ... :'( bgt bgt bgt ini mah. Vict pasti dijodohin sama khun, udah jelas itu. Kasian, junho nya pasti jarang kesebut disini. Hhehe.. Kpan lagi mau update authorssi?? Pasti lama deeh :(
jangwooyoung0730
#4
Chapter 5: uuuh, pendek banget deh ... :'( bgt bgt bgt ini mah. Vict pasti dijodohin sama khun, udah jelas itu. Kasian, junho nya pasti jarang kesebut disini. Hhehe.. Kpan lagi mau update authorssi?? Pasti lama deeh :(
utywoo #5
Chapter 5: Khun dan vict lg .-.
Ditunggu lanjutannya besok thor ;)
afiati #6
Chapter 5: pemdek tp ok lah...di tunggu update nya ya...
specialkhunyoung
#7
Chapter 5: Sumpeh,,, chap ini Pendek banget Author
Jangan2 Khun di jodohkan sama vict, omo..
Ditunggu chap selanjtnya Besok,,,
rikayoung
#8
Chapter 5: Hmmmm....jgn " khun tuh yg dijodohin aissshhh am 'dia'

Penasaran am woo
woorama
#9
Chapter 4: maaf saeng bru bsa koment skrang ehehehe kapan nihhh mau lanjut lgi???? jngn bneran ampe seabad lgi ye ><
jangwooyoung0730
#10
Chapter 4: ommooo authorssi, andai novel itu skrg ada d depanku akan aku baca ulang lgiiii, aku bnr2 lupa sama certa novel ituuuuu... Oooh sudh berthun2 skali aku baca nvel itu, makanya lupa :( oooh udongie, kau jangn tterlalu cpek, nanti kau sakit,aku yg stres. Ga usah peduliin yg namanya Buck itu ya, anggap aja dia ga ada udongie, :) aku kangen udongie, kangen bgt bgt bgt. Hehe, mash ada nama naomi nya authorssi, tp ga papa,selama aku ngerti typo ga terlalu berarti :)
cpt update authorssi :)