o2. my sweet delivery

my delivery boy

 

Café ini adalah satu-satunya café yang Changmin kunjungi sejak kepulangannya ke Seoul 3 bulan yang lalu. Kuliahnya di Amerika selesai sudah. Sekarang Changmin sudah bisa memimpin sementara perusahaan branch milik ayahnya, sebagai seorang young CEO.

Café “Clover” yang ada di tengah kota itu memang cukup ramai dikunjungi. Para yeoja datang karena menyukai berbagai pilihan dessert nya yang selalu berganti mengikuti hari. Para namja menyukai settingnya yang nyaman dan tidak terlalu girly. Alunan musik lembut membuat orang tua pun senang mengunjungi café dengan pemilik bernama Lee Jinki itu.

“Sore changmin-hyung! Ice Americano dan dua waffle dengan lemon cream?”

Jinki mengerem roller skates nya cepat saat Changmin sudah berdiri dihadapannya.

owner-nya sendiri yang melayani? Sudah kubilang tambah karyawanmu, Jinki-yah.”

Namja dengan tinggi tidak lebih dari pundaknya itu terkekeh kecil sembari mengantar Changmin ke kursi favoritnya, di dekat taman kecil di tengah café.

“dan sudah kujawab kalau aku tidak mau menambahnya, changmin-hyung. Minho, Jonghyun dan Taemin sudah cukup. Para pelanggan sudah mengenal mereka semua. Lagipula Kibum bisa dipakai kok kalau ramai sekali,” terang Jinki panjang.

“dan fakta kalian mengenal hampir seluruh pelanggan membuatku takjub,”

“terima kasih tuan CEO, atas pujiannya,” Snyum Jinki yang lebar menunjukkan rentetan giginya yang rata, “ Um, pesanan biasa?”

“Jinki-hyung! Kim ahjhussi mau latte buatanmu! Di meja 24!”

Kim Jonghyun, salah satu karyawan sekaligus teman baiknya meluncur dibelakang Jinki dengan skateboard-nya membawa sepiring sphagetti carbonara dan segelas strawberry milkshake.

“Roger that! Sampaikan tunggu sebentar!” Jinki membalas lambaian tangan Jonghyun cepat. “maaf hyung, kau pesan apa?” Tanya Jinki masih dengan senyum manisnya.

Ya. Shim Changmin, seorang CEO muda itu selalu mengunjungi café ‘clover’ hanya demi melihat lee Jinki. Namja manis bermata sipit penyuka warna kuning itu telah berhasil mencuri hati sang CEO. Sikap baiknya yang tidak membeda-bedakan, dan senyumnya yang terus menarik Changmin, dan sebagian besar pelanggan disini, untuk kembali mengunjungi café yang tidak terlalu besar ini. Memang food dan beverages di café itu sesuai seleranya, changmin mengakui chef di café Jinki hebat. Tapi kenyataan bahwa mereka berlima mengenal semua pelanggan dan mau melayani siapapun dengan ramah menjadi alasan kedua seorang Changmin untuk kembali.

Lee Jinki, namja 21 tahun memutuskan untuk memakai café peninggalan ayahnya, untuk dijadikan café-nya sendiri. Café dengan style-nya.

Homey, friendly, comfortable and sweet.

Hal itulah yang ditekankan Jinki pada keempat temannya, sehingga café-nya sekarang bisa seramai ini tiap kali buka. Café ini juga buka sesuai jadwal kuliah Jinki dan temannya, jadi bisa saja buka pagi, sore, atau bahkan malam hari. Kecuali akhir minggu yang biasanya selalu buka seharian. Pelanggannya juga selalu diberi tahu waktu buka untuk keesokan hari sesaat sebelum mereka diantar keluar pintu café. Benar-benar pelayanan yang menarik dan memuaskan.

“Ice Americano dan satu muffin vanilla,” jawab Changmin singkat.

Mendengar pesanan yang tidak biasa dari satu pelanggan setianya itu membuat Jinki menaikkan alis.

“muffin…?”

“ya. Muffin saja. Kenapa?” Tanya Changmin datar. Jinki menggeleng pelan.

“a-ah—aniyo. …Roger! Tunggu sebentar ya hyung,” Jinki menekan tombol ON di mic telinganya, “Kibum, satu muffin vanilla untuk changmin-hyung,”

‘oke!’

“baik changmin hyung, aku buatkan ice Americano nya, wait a sec!”

Jinki menggerakkan roda di skates nya dengan cekatan menuju dapur. Terkadang Changmin takjub, bagaimana namja se-clumsy Jinki bisa bergerak dengan skates-nya selincah itu melewati barisan kursi dan orang-orang. Keinginannya untuk melayani pelanggannya dengan baik nampaknya mengalahkan clumsy-nya itu. Jinki memang bisa mengalahkan sebagian clumsy-nya di dalam café, namun tidak untuk di luar. Pernah sekali changmin kaget saat Jinki mengantarkan pesanannya dengan plester di dahi. Dan Jinki hanya tersenyum dan mengatakan kalau dia menabrak tiang listrik di halaman kampusnya.

“satu ice americano dan satu muffin, silahkan hyung~”

Suara Jinki membuyarkan lamunan changmin. Dilihatnya namja manis itu tengah meletakkan pesanannya di meja. Apa itu? Sepiring strawberry dengan saus cokelat?

haaah~” Jinki merebahkan badannya di sofa samping Changmin bersandar, “kadang aku merasakan lelah luar biasa,”

“hn…”

“tak apa kan hyung aku disini? Menemanimu?” tanyanya sembari menggigit satu strawberry.

“…tentu saja, ini tempat milikmu.”

Nampaknya jawaban barusan tidak membuat Jinki senang.

Namja tadi lantas mengerucutkan bibirnya. Changmin hyung yang Jinki tahu tidak biasanya diam seperti ini. Meski dia datang dengan lelah sekalipun, jawabannya tidak pernah sedatar ini.

“…kau ada masalah hyung?”

Changmin tercengang mendengar pertanyaaan singkat itu keluar dari bibir mungil Jinki. Yang bertanya sekarang menatapnya khawatir.

“darimana kau tahu…?”

Jinki memainkan jemarinya di bawah meja. Dia menghindari tatapan mata changmin.

“…um, biasanya, semakin sederhana pesananmu di sini, maka semakin rumit masalahmu. A-apa aku salah duga?”

Satu lagi hal yang membuat Changmin mengagumi Jinki. Dia benar-benar memperhatikannya. Bahkan dari hal sekecil ini—

“hyung akan memesan banyak variasi kalau hyung masih senang karena suatu hal, meski kau tak habiskan semua—“ lanjut Jinki, “dan saat biasa saja kau hanya akan memesan ice Americano dan waffle, karena kau memang sangat menyukainya… betul kan?”

Changmin bisa melihat wajah Jinki yang memerah dibawah tatapan tajamnya. Bagaimana mungkin changmin tidak jatuh hati kalau namja brunet ini sangat pengertian padanya. Tidak ada yang pernah mengetahui changmin sedetail ini, tidak ada. Bahkan tidak orang tuanya. Ataupun mantan yeojachingu nya dulu.

“a-a—anu,”

“aku akan dipindah kerjakan,”

“m-mwoh?”

Namja berambut hitam itu melanjutkan, “Appa membuka cabangnya lagi di Kanada. Dan beliau memintaku untuk memegang cabang disana, sekaligus untuk memperkenalkan pada costumer kami katanya,”

“hyung…”

Changmin mengacak rambutnya sendiri kesal.

“aku tak bisa menolak Jinki! Beliau benar-benar mengharapkan ini. Aku tahu kalau hanya ini yang bisa kulakukan untuk membalas semua kebaikannya selama ini, tapi ini benar-benar mendadak, aku—“

“…pergilah,”

“—apa?”

Pandangan Jinki dan Changmin bertemu. Changmin yang terbelalak tidak percaya dan Jinki yang menatapnya lembut.

“kenapa…?”

“…hyung menginginkan ini, aku tahu. Kau hanya bingung—“

“kau tak berharap aku bisa bertemu denganmu lagi, Jinki-yah?”

Tercekat.

Jinki tak bisa menjawab apa-apa.

Dia tak bisa menyanggah kalau kehadiran changmin di hari-harinya memberikan banyak arti.

Pertemuan pertamanya dengan Changmin adalah saat Jinki menabraknya seusai belanja di Mart. Tumpukan telur yang dibeli Jinki pecah dengan indahnya di sepatu Changmin yang tengah membeli kopi di depannya. Jinki hampir menangis saat Changmin hanya menatapnya dingin waktu dia meminta maaf, yang kemudian disambut tawa ringan changmin.

‘wajahku memang seperti ini, tenang saja,’

Sebagai permintaan maaf Jinki mengajak Changmin ke café kecilnya. Dan ketika tahu kalau changmin seorang CEO, Jinki benar-benar menangis didepannya, yang kontan membuat pada dongsaengnya yang tengah membersihkan café kaget.

‘Se-sepatumu pasti mahal, hiks. Be-berapa ratus ribu won y-yang harus ku-kuganti?’

Changmin melongo mendengarnya.

‘b-bagaimana ini kibummie… hiks. A-aku harus ba-bayar kalian dengan apa bulan ini?’ isaknya dalam pelukan chef satu-satunya di café itu.

Melihat Jinki yang sangat takut tidak bisa memberi gaji pada dongsaengnya membuat changmin iba. Tapi hei, Changmin memang tidak pernah berniat untuk minta ganti rugi.

Akhirnya changmin hanya meminta ice Americano buatan Jinki, yang ternyata enak (diluar dugaan), gratis selama 10 hari. Dan tentu saja hal itu disanggupi Jinki.

Setelah kejadian itu changmin selalu menyempatkan diri untuk berkunjung, sepadat apapun jadwalnya di kantor.

Nampaknya changmin merasa nyaman.

Changmin yang pertama kali datang dengan membawa bunga mawar, yang katanya adalah tanda terima kasih atas kopi gratisnya selama ini, tentu membuat Jinki berdebar tak menentu.

Ukuran matanya yang mismatch saat tertawa, raut wajah seriusnya saat mengerjakan data di laptop, pilihan musik yang sama, bahkan ekspresi changmin yang tenang saat dia tertidur kecapekan.

Jinki suka semuanya.

Namun dia juga tidak mau berharap lebih. Siapa yang mau dengannya, yang bahkan belum selesai kuliah? Tentu bukan changmin, pikir Jinki. Jinki dan Changmin berada di derajat yang berbeda. Seorang CEO muda sukses dan seorang pemilik café kecil? Tidak mungkin.

“… aku berangkat ke kanada besok, Jinki-yah,”

Giliran Jinki yang kaget sekarang.

“kalau ini yang kau mau…” Changmin lantas membereskan barang bawaannya, dan berdiri setelah meninggalkan beberapa dollar di meja, “…selamat tinggal Jinki,”

Dan changmin tidak pernah datang lagi ke café Jinki.

 

---

 

Ding dong.

Changmin berhenti mengetik. Matanya mengarah ke arah pintu masuk, lalu ke jam dinding.

7.12 pm.

‘Tamu?’

Tidak biasanya changmin menerima tamu pada jam istirahat seperti ini. Belum lagi changmin ingat betul, dia tak memiliki banyak teman baik yang bahkan mau bertamu meski sudah 2 tahun tinggal di kanada.

Ya.

2 tahun sudah changmin meninggalkan korea.

Meninggalkan Jinki.

Changmin masih suka dengan namja brunet itu. Changmin bahkan sangat rindu pada senyum manisnya. Rindu pada suaranya. Rindu pada candanya.

Rindu pada seorang Lee Jinki.

CEO itu bertekad jika pulang nanti, tempat yang pertama kali akan didatangi adalah café ‘clover’. Dia akan meminta maaf pada Lee Jinki. Maaf karena sudah membuatnya beraut sedih saat Changmin meninggalkannya begitu saja.

Ding dong.

“sebentar,”

Changmin menggeser kursinya menjauhi meja. Dengan langkah lebar changmin menuju ke pintu masuk.

Klek.

Dan tamu yang berdiri didepannya berhasil membuat Changmin mematung.

“changmin-hyung,”

Suara ini.

“Ji-Jinki?”

Namja di depannya itu tersenyum lembut. Rambutnya sekarang berwarna coklat muda dengan potongan pendek dan sedikit bergelombang. Kulitnya masih seputih dulu. Bibir mungilnya merah karena dingin. Dan apa itu yang dibawanya?

“ba-bagaimana bisa?” changmin terbata.

“special delivery hyung. Dua ice Americano dan 4 waffle lemon cream spesial dari café clover,”

“Jinki, bagaimana—"

Omongan changmin terputus saat Jinki memeluknya erat. Barang bawaannya di taruh begitu saja di lantai dekat pintu.

“hyung, hyung, hyung, changmin hyung…”

Hanya kata itu yang keluar dari mulut Jinki. Changmin membalas pelukannya sama erat. Dirasakannya tubuh kecil Jinki menggigil pelan. Jinki menangis.

Changmin bisa merasakan air mata yang meresap di sweater biru yang dikenakannya.

“hiks, c-changmin-hyung pabo, hiks, pa-pabo. P-pergi begitu saja tanpa mendengarkan jawabanku, hiks,”

“Jinki…”

“k-kau tahu aku harus menabung berapa banyak…? K-kau tahu seberapa susah aku me-meminta a-alamatmu pada Tuan Shim?”

Nafas changmin tercekat. Bagaimana bisa dia tidak tambah jatuh hati pada namja yang ada di pelukannya itu.

Manis.

Namja yang bersandar di dadanya itu begitu manis.

“j-jauh sekali sih,” Jinki mengendurkan pelukannya, menatap changmin dengan wajah sebal dan merah serta basah oleh air mata, “kesini itu m-mahal, tahu kau h-hyung?”

Changmin tidak tahan melihatnya.

Diraihnya dagu Jinki, dan changmin mendekatkan wajahnya kepada Jinki. Wajah Jinki diusapnya lembut. CEO tadi mencium dahi Jinki, hidung Jinki, mata Jinki, dan mengecup bibirnya sekali.

“maaf ya aku menghabiskan tabunganmu,”

Jinki menggeleng cepat.

“t-tak apa. T-tapi delivery-nya m-mahal. K-kau membuatku menunggu. D-dua tahun! Tanpa kabar!” namja manis itu manyun dengan wajah merah.

“jadi berapa yang harus ku bayar, Tuan Lee?” Tanya changmin dengan pandangan dan senyum yang lembut. Tangan besarnya masih melingkar dipinggang Jinki, mengunci namja kecil itu di posisinya.

Jinki tersenyum lebar mendengar pertanyaan changmin.

“um, a-aku mau kau jadi milikku, Tuan Shim, d-dan! Antarkan aku pulang ke korea! A-aku tidak tahan dengan tempat ini! Semuanya serba bahasa inggris—“

oke oke Tuan Lee. Aku mau menjadi milikmu asal kau juga mau menjadi milikku. Sekarang, kau masuk dulu saja, ganti bajumu dengan baju tebal di kamarku sana. Aku juga sudah rindu pada kopi buatanmu,”

Jinki melingkarkan tangannya di leher changmin, menarik namja tinggi itu ke arahnya.

“g-gendong aku. Aku capek,”

Changmin tertawa mendengarnya.

“Anything you wish, my lovely delivery boy,”

AN: Another fluff huhuhu. kapan aku belajarnya kalo gini hahahahaha

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
damned
#1
Chapter 6: changnew iseng banget dah ngerjain si jinki kayak gitu hahaha tapi duh ini adhadhskadh adorable bangeeet ;u; more more more~ ;3
vieroeclipse #2
Chapter 6: Aaaarrgghhh!! aku telat komen! u.u
mian kak. baru sempat komen sekarang.
ah, chapter ini maniiiisss bangeeettt!! Jadi kangen sama fluff changnew! huhuhuuu.... TT #CipokChangNew

Pengen apdet IWBTBWY tapi lappyku lagi under construction kak. Harddiskku rusak #sigh
Ayo apdet lagi kaaaakkk!! 30000000000 words sekali apdet~ :P #plaakss
jinkiesa #3
Chapter 6: aq suka aq sukaaa...bagus bagus....
aduuuh jd diabetes.....
damned
#4
Chapter 5: *jedotin kepala di kasur* i....love angst so very very much desu. aduh ga kuat, pengen guling guling saking senengnya ini angst dan bagus dan bikin air mata ngalir dengan indah nya. rasanya pengen bikin kelanjutan ini chapter asjdhaksjdhjaksd AHH WHY SO PRECIOUS BANGET SIH JINKIIII T^T
keziayansen #5
Chapter 5: TERHARUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUUU BANGEEEEEEEEEEEEEEEEEEEET TT^TT *CAPSLOCK JEBOL DAH"
DEMI NEPTUNUS, CERITA KE LIMA BIKIN AIR MATA NGALIR CETAR MEMBAHANA, huaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa...............
Thanks for the story ^^
sayangdubu
#6
Chapter 5: Entah karena sudah tengah malam atau apa
baca ni chapter bikin hati sakit, sesak
air mata ngalir..
(T. .T)
vieroeclipse #7
Chapter 5: GASHFDKSFDKSGDFKSGFKGSADKFGKSA
ASTAGAHHH. TERHARUUUU SO CUTTTEEEEEEE!!!
SERING2 AJA KAK MELLOW BEGINIIIII!!! ;AAAAA; #PLAAAAKSSSS