My First Love Story

My First Love Story

Cast(s): Kim Kibum/ Key ‘SHINee’, Ahn Hyeyoung (you), Kevin Woo ‘Ukiss’, Nicole ‘Kara’

Cameo(s): Amber ‘f(x)’, Lina ‘CSJH’ (sonsaengnim), Mr. Kim (bapaknya Key ;)

 

.

.

.

Disclaimer : I don’t own any of this.

My First Love Story

by : parkchanni

.

.

 

Udara pagi menyambut hari baruku di Seoul. Kicau burung memenuhi telingaku saat kubuka jendela kamarku yang terletak di lantai dua apartemen. Masih dengan mata setengah terpejam, kusempatkan untuk melihat pemandangan di balkon kamarku yang berhadapan langsung dengan Sungai Hangang. Sekedar untuk melemaskan otot mataku. Kubasuh mukaku dan kuputuskan untuk mandi hari ini. Melihat cuaca yang begitu cerah di luar sana dengan matahari yang tersenyum indah di timur.

 

Aku Kim Kibum, tapi biasanya aku dipanggil Key oleh teman-temanku. Dari Daegu, kota tercintaku, aku kemari untuk melanjutkan sekolahku. Alasan aku pindah ke Seoul adalah karena aku ikut ayahku yang seorang pengusaha dan lebih banyak menghabiskan waktu berbisnisnya di Seoul. Sedangkan ibu dan nenekku tetap di Daegu. Dengan kata lain aku ke Seoul hanya untuk menemani ayahku. -.-”

Hari ini hari pertamaku masuk ke sekolah baruku. Setelah selesai mandi aku membuat sarapan untukku dan ayahku. Setelah semua siap, kubangunkan ayahku.

Tok tok tok! Kuketuk pintu kamar ayahku.

Abeoji, apa kau sudah bangun?” ucapku memastikan dia sudah bangun atau belum.

Ne, aku sudah bangun. Apa kau sudah memasak?” balas ayahku setengah berteriak dari balik pintu kayu di depanku.

Ne, semua sudah siap. Kapan appa keluar?” jawabku disertai tanya.

“Oh, chakaman (ed: tunggu). Kau sarapan saja dulu,” balas ayah, sepertinya dia masih sibuk di dalam.

“Oke. Ehm, aku berangkat dengan appa atau sendiri?”

Mianhae Kibum-ah. Kalau kau berangkat sendiri tidak apa-apa kan?”

Ne, gwenchana (ed: baiklah),” tutupku.

Aku kembali ke dapur dan menyantap sarapan yang kubuat. Sedikit kecewa kepada ayahku yang tak bisa mengantarku ke sekolah baruku. Padahal ini hari pertamaku sekolah di Seoul.

 

***

 

Setelah menghabiskan sarapanku, aku pamit pada ayah, dan bergegas berangkat. Kutapaki jalan yang sudah kulewati kemarin bersama ayah, menuju sekolah yang jaraknya sekitar 200 meter dari apartemenku. Meskipun aku anak seorang pengusaha, tapi aku lebih suka jalan kaki daripada diantar sopir. Hitung-hitung olahraga pagi…

Tibalah aku di depan bangunan dengan bertuliskan ‘Hangang Middle School’. Aku pun masuk dan segera menuju ke ruang guru. Dengan bekal denah yang dibuatkan ayah, kususuri setiap lorong di sekolah itu. Sampailah aku di depan pintu bertuliskan ‘ruang guru’. Kubuka pintu itu dan…

 “Oh~ …naega Kim Kibum anya? (ed: kamu Kim Kibum, kan?)” sambut bu guru dengan senyum, kemudian menghampiriku.

 “Ne, sonsaengnim,” jawabku dengan membungkuk 90 derajat.

 “Naneun Lina imnida (ed: nama saya Lina). Ayo kuantar ke kelasmu."

Aku dan Lina sonsaengnim pun beranjak dari ruang guru dan menuju ke kelas 1-2. Dari luar kelas aku bisa mendengar canda tawa siswa yang memekakkan telinga. Aku jadi sedikit ragu. Bagaimana aku bisa konsentrasi belajar dengan suasana seperti itu. Lina sonsaengnim menuntunku ke dalam. Semua siswa membisu seketika saat Lina sonsaengnim masuk ke kelas diikuti olehku.

Annyeong!” sapa Lina sonsaengnim sedikit berteriak. Kecewa mungkin melihat keadaan kelas dari luar.

“Pagi ini aku membawa siswa baru di kelas ini. Silakan, nak. Perkenalkan dirimu,” perintah sonsaengnim.

Ne. Annyeonghasseo. Joneun Kim Kibum imnida. (ed: halo, nama saya Kim Kibum) Kalian bisa memanggilku Key. Aku dari Daegu. Mohon bantuannya,” ucapku di hadapan teman-teman baruku.

“Duduklah di sana Kibum-ssi,” kata sonsaengnim, menunjuk ke salah satu bangku kosong.

 

Bangku kosong di baris ke-2 dari belakang, di sebelah seorang yeoja (ed: gadis) berkuncir kuda. Sepertinya aku mengenalnya. Wajahnya tak asing di mataku. Yeoja itu tersenyum padaku dan menyilahkan aku duduk. Kubalas senyumnya, kemudian kutaruh tasku dan duduk di kursi kayu coklat itu.

Annyeong!” sapaku ke yeoja kuncir kuda itu.

Annyeong! Naneun Ahn Hyeyoung imnida,” balasnya dengan senyum yang membuat matanya tenggelam ke dalam kelopak matanya yang tertutupi pipi bakpaonya.

“Mohon bantuannya ya,” ucapku, berharap sebuah pertemanan yang kondusif terjadi antara kami.

“Hhmmm,” angguknya. Yeoja ini lucu sekali.

Pipinya yang seperti adonan roti membuatku lapar. Setelah dilihat-lihat yeoja ini mirip dengan aktris Yoo Eun Hye, hanya saja pipinya yang kelewat tembem. Membuatku ingin melahapnya saja.

 

Pelajaran pun dimulai. Selama pelajaran aku dan Hyeyoung bebagi buku pelajaran yang belum aku punya. Aku mencatat apa saja yang dijelaskan sonsaengnim kemudian mencatat beberapa poin dari buku Hyeyoung. Kulihat berbagai coretan di sana-sini seperti catatan kecil di seluruh permukaan halaman buku Hyeyoung. Jujur saja aku tidak suka karena membuat halaman cepat lecek dan terlihat kotor. Jorok! pikirku. Namun aku tetap harus bersikap sopan. Biasanya aku akan langsung mengkritik pedas tanpa pandang bulu tapi dia sudah baik mau berbagi buku denganku.

“Kau suka mencatat di buku paket, ya?” tanyaku lembut, berusaha untuk menyembunyikan rasa risihku—dan tentu saja untuk menjaga perasaannya.

“He’em… aku malas menulis di buku tulis. Tulisanku jelek,” akunya dengan anggukan disertai penyesalan.

Aigoo, dia menggemaskan sekali. Aku jadi tak kuasa mengkritiknya lebih jauh tapi bagaimana pun juga kebiasaan buruk harus dihilangkan, minimal dikurangilah. Apalagi pengakuannya menunjukkan keminderan pada dirinya; jujur aku tidak suka dengan orang yang kurang percaya diri. Aku harus membantunya meningkatkan kepercayaan dirinya. Sayang kan kalau yeoja selucu dia kurang percaya diri.

“Kau tidak kasihan pada bukumu? Lihat, halaman ini penuh dengan coretan, terlihat kotor tahu?” tegurku dengan nada sedikit menyindir. Aigoo, apa yang kukatakan? Hyeyoung-ah, aku tak bermaksud begitu. Aish, mengapa mulutku tidak bisa dijaga sih?? Jadi merasa bersalah. T.T

“Ooh~ kureyo? Memang terlihat kotor… eum… otthoke? Apa aku hapus saja catatannya?” tanyanya polos. Sepertinya dia tidak merasa tersinggung. Dikeluarkannya penghapus dari kotak pensil berbentuk mobil merah miliknya.

“Kau mau apa?” tanyaku.

“Menghapusnya. Kau bilang ini terlihat kotor,” jawabnya polos.

“Ah… hajima! Kau akan membuatnya tambah kotor!” cegahku sambil menarik buku itu menjauh dari tangannya.

Ya! Kau ini! Tadi kau bilang kotor. Aku mau bersihkan, kau malah melarangku. Kau maunya apa sih?” ucapnya bingung dengan kelakuanku.

Matanya menatapku ragu. Sesaat membuatku merasa bersalah. Apa aku terlalu kasar? Atau terlalu egois? Selama 30 detik  (ed: maklum anak kecil, otaknya masih lola) mata kami bertemu membuat jantungku mulai berdetak kencang.  Apa ini? Apa aku takut dia marah? Atau ada perasaan lain?

Mianhae (ed: maaf),” kataku singkat, memutuskan koneksi mata kami. Kukembalikan buku Hyeyoung. Hembusan sesal keluar dari bibirku. Suasana jadi tidak mendukung untuk konsentrasi belajar. Apa-apaan ini? Aku menghancurkan hari pertamaku di sekolah baruku. Otthoke (ed: bagaimana ya)?

Aigoo, na do mianhae. Maaf telah membuatmu tidak nyaman. Kalau kau mau, kau bisa duduk dengan Nicole yang tulisannya paling rapi di kelas daripada kau duduk denganku tapi kau merasa risih,” ucapnya sambil menunduk. Aku tak menyangka dia berkata seperti itu.

“Hyeyoung-ah, aku tak bermak—” sebelum aku menyelesaikan kalimatku, dia berdiri.

Sonsaengnim. Aku izin ke toilet,” pintanya pada sonsaengnim.

Lalu dia pun pergi meninggalkanku yang masih diselimuti rasa bersalah. Babo!! Tegurku pada diriku sendiri sambil memukul kepalaku.

 

Teeeengg! Teeeengg!

 

Istirahat pun tiba. Hyeyoung belum kembali dari toilet. Dia benar-benar marah sepertinya. Aku tidak bisa membiarkan ini. Aku tidak mau menyakiti teman pertamaku di hari pertamaku. Aku putuskan untuk menyusulnya. Belum saja keluar dari kelas, sebuah suara menegurku.

“Tenang saja. Dia bukan tipe orang yang gampang ngambek, kok,” kata seorang yeoja, Nicole, melihat air mukaku yang tegang.

“Bagaimana aku bisa tenang? Aku menyakiti teman pertamaku di hari pertamaku,” jawabku dengan penuh rasa bersalah.

“Menurutmu wajah Hyeyoung itu seperti orang yang mudah marah?” lanjut Nicole meyakinkanku.

“Aku mengenal Hyeyoung sebelum dia pindah kemari. Sudahlah, mungkin dia sedang di kantin,” tambahnya.

“Hyeyoung… siswa baru juga?” tanyaku. Entah mengapa, tiba-tiba aku tertarik dengan topik tentang Hyeyoung sekarang.

Ne, tiga bulan yang lalu dia pindah kemari. Dia dari Busan, aku juga dari Busan. Aku mengenalnya sejak TK,” jelas Nicole.

Sedikit hiburan dari Nicole, tapi tetap membuatku was-was. Aku kan baru mengenal Hyeyoung.

 

Dari pintu kelas, Hyeyoung masuk dengan membawa coklat di tangannya. Tampaknya dia baik-baik saja. Semoga yang dikatakan Nicole benar. Aku takut Hyeyoung marah padaku. Hyeyoung berjalan ke arahku—atau lebih tepatnya menghampiri Nicole yang ada di sampingku.

“Mau?” tawar Hyeyoung pada Nicole dengan senyum manis-melenyapkan-matanya-itu.

Nicole mengangguk dan menggigit ujung coklat yang menggiurkan itu. Kemudian Hyeyoung mengarahkan coklatnya padaku. Benar-benar yeoja polos. Apa dia sudah lupa kalau tadi dia marah padaku? Dengan mata berbinar Hyeyoung menungguku menggigit coklatnya, sedangkan aku masih tercengang karena merasa bersalah. Akhirnya kutundukkan kepalaku, menggigit coklat di tangan Hyeyoung. Klek. Bunyi batang coklat yang patah.

 “Gomawo (ed: terima kasih). Kau tidak marah?” tanyaku tidak jelas, masih mengunyah coklat.

Mwo? Marah? Kapan aku marah padamu?” ucapnya masih polos, terlihat lucu.

 “Sudah kubilang, kan,” seru Nicole sambil menepuk bahuku, kemudian duduk di bangkunya.

 “Tentang bukumu, kau tadi tiba-tiba berdiri dan pergi. Aku pikir kau marah padaku,” kataku ragu, takut dia marah.

 “Hahaha! Kau kira aku marah padamu? Tadi aku memang benar-benar mau ke toilet tahu! Mian (ed: maaf) aku sudah membuatmu salah paham,” tawanya sambil menepuk bahuku.

Fiuuuhhh. Syukurlah dia tidak marah.

“Kau pikir hanya karena kau mengejekku aku akan marah padamu?” tambahnya sambil menghabiskan gigitan terakhir coklatnya.

Mian. Aku tidak bermaksud mengejekmu kok.”

“Tenang saja, aku tahu maksudmu ‘kunci’!” balasnya dengan sedikit ekspresi mengejek. Membuatku tambah gemas saja dengan pipi rotinya.

“Kunci?” tanyaku

“Iya, kunci, namamu kan kunci. Kunci pintu, kunci gembok, kunci gerbang, kunci gudang, kunci brankas, kunciii… apa lagi ya?”

Ya! Kau ini! Kau mencari ribut denganku!?” sahutku, tak tahan namaku dibuat mainan.

“Oi! Siapa suruh namamu kunci? Weekk :P,” ejeknya sekali lagi.

Sepertinya dia ingin bercanda. Tapi aku tidak suka kalau dia mempermainkan namaku T.T …

“Kunci, kunci, kunci,” ucapnya sesekali sambil menjulurkan lidahnya.

Dia mengejekku habis-habisan. Kuputuskan untuk mengejarnya yang kini sudah berlari melihat air wajahku memerah.

“Hei! Jangan lari kau! Awas kau!” teriakku sambil berlari mengejarnya.

 

Hyeyoung berlari seperti anak kecil yang kabur sehabis mencuri mangga tetangga. Haa~ dapat dari mana dia kekuatan untuk membawa tubuhnya berlari? Pipinya saja tembem, apalagi tangan, badan, dan kakinya? Semakin membuatku gemas saja melihatnya memanggil namaku penuh ejek dengan tangan kanan membentuk belalai di hidungya. Huaaa… ingin kulahap dia…

Tak terasa sudah 5 menit aku dan Hyeyoung berkejar-kejaran seperti adegan Bollywood. Tenagaku hampir habis. Maklum, aku tadi hanya sarapan dua potong roti dengan selai keju dan aku lupa meminum susuku.

Aish… aku lelah. Kuhentikan kakiku di sebuah kursi panjang di pinggir lapangan sekolah. Kuusap keningku yang penuh peluh. Kuedarkan pandanganku ke sekitar. Tak ada tanda-tanda Hyeyoung sejauh aku melihat. Kemana yeoja itu? Secepat itukah dia lari? Tapi tadi aku melihatnya kelelahan juga. Mungkin dia bersembunyi! ^^

Aku mengibas-ngibaskan tanganku, sekedar mencari kesejukan. Haa~ padahal aku tadi mandi dan sudah segar. Sekarang berkeringat.

Tiba-tiba sesuatu yang dingin meyentuh pipiku. Kaleng minuman bertuliskan coffee milk menempel di pipiku. Dari balik kaleng, muncullah wajah Hyeyoung yang menggenggam kaleng yang sama di tangan yang lain. Mulutnya menempel pada sedotan di kaleng itu.

“Kau lelah?” ujarnya sambil melangkah dan duduk di sampingku. Kuambil kaleng yang diberikannya dan meneguknya sepuasku. Haa~ lega sekali.

“Tentu saja. Gomawo,” ucapku selesai menghabiskan coffee milk-ku.

“Hei! Itu tidak gratis, lho!” tambahnya.

Mwo? Maksudmu aku harus membayar minuman ini? Kau tidak bilang kalau ini tidak gratis,” balasku dengan nada kesal. Dia matre juga! ;d

“Bayarnya bukan dengan uang, lho!” ucapnya dengan pandangan lurus ke depan.

Dari samping bisa kulihat pipi adonannya yang menggiurkan. Aku tak tahan dengan pipi adonan itu  >.<

“Kau harus mengajariku matematika!” serunya dengan senyum lebar yang lagi-lagi melenyapkan bola matanya.

“Aku tak mau tahu, pokoknya kau harus mengajariku matematika!” rengeknya sambil menarik lenganku seperti anak kecil minta permen. Aigoo, kyeopta… (ed: duh, manisnya…) >.<

“Kau pikir sekaleng coffee milk cukup untuk membayar seorang guru?” kataku berpura-pura menolaknya.

“Oh, begitu ya? Jadi aku harus apa?” tanya Hyeyoung dengan mata polosnya.

“Bayar dengan dirimu,” kataku dengan mata menggoda.

“Mwo? Shiroyo (ed: nggak mau)!!” serunya sambil menyilangkan tangan di depan dadanya.

“Hahahahaaaa! Kau pikir aku akan melakukan apa?” tawaku lepas melihat tingkah lucu Hyeyoung yang membuatku tidak bisa menahan tawa.

 

“Kau tahu kan aku siswa baru?” aku mulai basa basi untuk mengatakan permintaanku. Hyeyoung hanya mengangguk mendengarku.

“Seharusnya aku berkeliling sekolah di hari pertamaku. Dan kau harus mau menemaniku berkeliling sekolah. Sebagai bayaran pertamaku sebelum mengajarimu matematika. Otte?” lanjutku memperjelas keinginanku.

“Fiu~hh… kupikir kau mau melakukan hal yang tidak-tidak padaku. Baiklah. Kajja (ed: ayo)!” ucap  Hyeyoung lega, kemudian menarikku berdiri dan menyeretku berkeliling sekolah.

Sepanjang menyusuri lorong-lorong sekolah, dia terus berceloteh sambil menunjuk ke objek yang akan dia jelaskan. Hyeyoung sudah seperti guide saja! Tunggu! Dia kan siswa baru juga? Di tengah lorong aku menarik tangannya, menghentikan ocehannya.

Wae (ed: kenapa)?” tanyanya sambil membulatkan matanya.

“Kau juga siswa baru, kan?” tanyaku dibalas anggukan Hyeyoung.

“Mengapa kau tahu sekolah ini begitu detil?” tanyaku lagi.

“Oh~ aku menghafalkan apa yang dikatakan Nicole dulu padaku. Lagipula tiga bulan waktu yang cukup untuk berkeliling sekolah dan menghafalkannya. Kajja!” jelasnya, kemudian menarik tanganku lagi, dan memulai wisata sekolahku lagi.

 

***

 

Sudah 2 bulan aku duduk bersama Hyeyoung. Semakin hari dia semakin menggemaskan. >.< Tapi entah mengapa hari ini tidak biasanya dia menyembunyikan kepalanya di antara kedua tangannya di atas meja. Apa dia kurang tidur? Atau ada sesuatu? Aku tidak bisa membiarkannya seperti ini.

“Hyeyoung-ah, gwenchana?” tanyaku membelai rambut kecokelatannya. Akhirnya kepalanya keluar dari tangannya. Matanya mengerjap dan ia mulai menggeliat sedikit.

Aniyo, gwenchana. Hoaaammm…,” jawabnya kemudian menguap. Aku sedikit cemas. Tidak biasanya dia seperti ini.

“Kunci, sonsaengnim kemarin menelponku. Dia bilang aku dipilih mewakili sekolah untuk lomba biologi. Padahal aku tidak terlalu pintar dalam pelajaran itu,” keluhnya  setengah cemberut.

“Bagus, kan? Itu berarti sekolah percaya padamu bahwa kau bisa,” hiburku.

Kureyo (ed: begitu ya)… Oh iya, sonsaengnim menanyakan nomor handphone-mu. Tapi aku kan tidak punya. Jadi dia titip pesan, kau juga diikutkan lomba matematika. Chukae,” tuturnya masih dengan berat hati menerima tugas dari sekolah itu. Kubelai lembut rambut cokelatnya, sekedar untuk menunjukkan simpatiku dan memberinya dukungan.

Tiba-tiba dari belakang sebuah tangan menyentuh pundak Hyeyoung. Hyeyoung bangun dari lamunannya dan terkejut mengetahui siapa yang menyentuhnya.

“Kevin-ssi!” serunya kaget. Aku sedikit bingung dengan perubahan ekspresi Hyeyoung. Tadi dia cemberut tapi tiba-tiba berubah seperti biasa.

“Mohon kerja samanya, ya,” ucap Kevin, salah satu teman sekelas kami.

“Oh. Kerja sama untuk apa?” tanya Hyeyoung penuh semangat.

“Kau dipilih untuk mewakili lomba biologi, kan?” lanjut Kevin disambut anggukan Hyeyoung. Senyum masih menghiasi wajah Kevin.

“Lomba itu berkelompok. Sonsaengnim juga memintaku untuk berpartisipasi dalam lomba itu,” ungkap Kevin yang membuat mata Hyeyoung bersinar.

Ada apa dengannya? Mengapa begitu senang? Apa Hyeyoung menyukai Kevin? Mengapa dadaku terasa panas melihat Hyeyoung tersenyum lebar di depan Kevin?

“Jadi, Kevin-ssi juga ikut? Aku berkelompok dengan Kevin-ssi?” tanya Hyeyoung membara, kemudian bersikap sedikit malu-malu di depan Kevin. Ini membuat dadaku makin panas.

Ne, jadi aku mohon kerja samanya,” jawab Kevin menepuk pundak Hyeyoung. Kemudian pergi meninggalkan kelas. Hyeyoung tak berhenti menatap kepergian Kevin hingga punggungnya tak terlihat lagi.

 

***

 

Pulang sekolah, Hyeyoung mengajakku ke taman kecil di sekitar Sungai Hangang. Dia membelikanku es krim strawberry. Aku bingung, tumben sekali dia seperti ini.

“Ada apa sebenarnya?” tanyaku memulai pembicaraan.

“Kibum-ssi, kau temanku, kan?” cetus Hyeyoung.

Aku terkejut dia memanggilku dengan nama asliku. Biasanya dia memanggilku ‘kunci’. Kubalas pertanyaannya dengan sekali anggukan.

“Aku ingin bercerita. Tentang perasaanku.”

DEG!

kata-kata Hyeyoung membuat jantungku mulai berdegup.

 

 

“Aku menyukai seseorang,” lanjutnya. Jantungku terpompa lebih kencang lagi mendengar ucapannya. Aku penasaran siapa yang disukainya.

Nugunde (ed: siapa)?” tanyaku berusaha menutupi degupan jantungku.

“Kevin Woo,” jawabnya singkat sambil tersipu malu.

Aku tercengang mendengarnya. Seperti ada sebuah petir di langit cerah menyambarku. Apa ini? Mengapa dadaku terasa sesak mendengar Hyeyoung menyukai  Kevin?

“Aku senang sekali begitu tahu aku akan berkelompok dengannya untuk lomba nanti. Aku akan melakukan yang terbaik! Dan itu sebabnya aku mengajakmu ke sini dan menraktirmu. Aku ingin merayakan keberuntunganku bersamamu,” ungkap Hyeyoung.

Jadi, dia mengajakku ke sini untuk merayakan keberuntungannya tentang Kevin yang berkelompok dengannya. Mengapa tak mengajak Kevin saja? Dan mengapa aku justru tidak rela rasanya? Haish, seharusnya aku senang Hyeyoung mendapatkan semangat untuk lombanya nanti. Aku hanya terpaku mendengar pengakuan Hyeyoung. Sampai di rumah pun aku langsung membuang tubuhku ke kasur. Merenungi kata-kata Hyeyoung. Merasa tidak rela Hyeyoung menyukai Kevin. Ada apa denganku?

 

***

 

Sudah seminggu sejak pengakuan Hyeyoung yang membuat dadaku sesak. Dan selama seminggu pula, aku jadi jarang bertemu dengannya karena dia meninggalkan kelas untuk berlatih soal-soal biologi bersama Kevin. Aku juga meninggalkan kelas untuk berlatih soal-soal matematika, hanya saja ruangan kami terpisah, namun aku tetap tidak bisa konsentrasi berlatih. Masih terngiang pengakuan Hyeyoung. Argh… membuatku frustasi saja. Kuacak-acak rambutku, berusaha melupakan bayangan Hyeyoung dari kepalaku.

“Kau sakit?” tanya Amber, partner lombaku dari kelas akselerasi.

Aniyo. Gwenchana,” jawabku menyembunyikan kegalauanku.

Wae? Kau memikirkan Hyeyoung?” tanya Amber tenang, tetap fokus pada kertas soal di tangannya.

“Dari mana kau tahu aku memikirkan Hyeyoung?” tanyaku bingung. Apa dia bisa membaca pikiran orang?

“Kau tidak tahu, ya? Kau dan Hyeyoung itu terkenal sekali. Karena kalian selalu berkejar-kejaran keliling sekolah. Seperti tikus dan kucing,” ungkap Amber yang masih fokus pada pekerjaannya. Aku hanya bisa terbelalak mendengarnya. Seperti itukah aku dan Hyeyoung?

“Kau menyukai Hyeyoung, ya?” tanya Amber yang tentu saja membuatku semakin terbelalak. Aku? Suka? Hyeyoung?

“Atau kau bahkan jatuh cinta kepadanya,” tambah Amber memalingkan wajahnya ke arahku, menatapku lekat dengan tanda tanya besar di kepalanya.

Aku bingung. Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Mendengar pertanyaan dan pernyataan Amber membuat jantungku mulai berdebar. Apa benar aku menyukai Hyeyoung? Kuatur nafasku, sekedar menenangkan hatiku. Amber tersenyum kecil melihat keteganganku.

“Kau menyukai Hyeyoung, tapi Hyeyoung lebih tertarik pada Kevin. Itu yang kau pikirkan, kan?” cetus Amber membuatku tambah tegang. Mengapa dia bisa tahu semua yang ada di pikiranku? Apa dia paranormal?

“Sebaiknya kau ungkapkan perasaanmu padanya. Aku tak mau punya partner yang tidak bisa berlatih karena pikirannya kemana-mana. Padahal lomba tinggal beberapa bulan lagi,” lanjut Amber menatapku tajam. Bagaimana bisa orang bermata sayu sepertinya menatapku dengan tatapan tajam? Seram sekali jadinya.

 

Tapi yang dikatakan Amber benar juga. Aku menyukai Hyeyoung. Aku tidak bisa konsentrasi berlatih karena memikirkan Hyeyoung. Tapi apa harus aku mengungkapkan perasaanku padanya? Bagaimana caranya?

“Aku pulang dulu, percuma berlatih di sini. Toh, partner-ku sama sekali tidak fokus. Kalau kau sudah mengungkapkan perasaanmu pada Hyeyoung, baru kita berlatih lagi,” ucap Amber tegas.

Amber pun mengemasi barang-barangnya dan pergi meninggalkanku. Aku tercengang. Masih bergelut dengan pikiranku sendiri. Haruskah aku menyatakannya? Tapi bagaimana? Lagipula Hyeyoung kan menyukai Kevin. Kalau aku menyatakan cinta padanya mungkin akan tambah membebaninya.

Aku putuskan untuk pulang. Kupikirkan di rumah saja. Kukemasi barang-barangku dan bergegas keluar dari ruang latihan. Di lorong sekolah kulihat Kevin seperti menunggu seseorang. Wajahnya berpaling padaku dan kemudian ia menghampiriku. Ada apa dengannya?

“Ada apa?” tanyaku.

“Key-ssi. Aku ingin bicara,” ucapnya.

Dia mengajakku duduk di bangku panjang di tepi lapangan. Tempat aku dan Hyeyoung melepas lelah setiap kali habis berkejar-kejaran. Aku rindu tempat ini. Rasanya sudah lama aku tidak duduk di sini bersama Hyeyoung.

“Key-ssi, aku ingin minta bantuanmu,” ucapnya memulai pembicaraan. Kepalanya tertunduk, kelihatannya sedikit bingung mau memulai dari mana.

“Apa?” tanyaku singkat. Tumben sekali dia meminta bantuanku, apalagi dengan wajah bingung seperti itu.

“Key-ssi, kau mengenal Hyeyoung dengan baik, kan?” tanya Kevin yang membuatku terkejut. Mengapa dia bertanya seperti itu? Ada apa sebenarnya?

“Key-ssi. Aku menyukai Hyeyoung. Kau pasti bingung mengapa aku tiba-tiba mengaku padamu?” lanjutnya membuatku membulatkan mataku. Kevin menyukai Hyeyoung? Dan Hyeyoung menyukai Kevin. Apa Hyeyoung tahu soal ini? Aku hanya mengangguk membalas perkataan Kevin. Aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana, yang pasti aku shock sekarang.

“Aku tahu kau pasti sangat mengenal Hyeyoung. Aku lihat kalian dekat sekali. Jujur saja aku cemburu, aku ingin kita bertukar tempat duduk. Kumohon, aku ingin mengenal Hyeyoung lebih jauh,” urainya.

Apa? Bertukar tempat duduk? Sekarang saja aku merasa kesepian dengan adanya jadwal latihan lomba yang mengurangi waktu bertemuku dengan Hyeyoung. Enak saja, memangnya yang menyukai Hyeyoung cuma kau!! ;P

 

“Ehm, aku pikirkan dulu. Eumm… aku rundingkan dulu dengan Hyeyoung,” jawabku sedikit ragu, kemudian aku meninggalkan Kevin yang menatapku penuh harap.

Lagi-lagi aku mengalami dilema, benar-benar membuatku frustasi. Otthoke? Kalau aku tidak menuruti kemauan Kevin, kasihan Hyeyoung. Dia kan menyukai Kevin juga. Tapi kalau aku menuruti Kevin, bagaimana denganku? Argh… baru saja aku memikirkan Hyeyoung yang menyukai Kevin. Sekarang aku disibukkan dengan pikiran bahwa kedua orang itu saling menyukai. Aku harus bagaimana? Apa tidak ada kesempatan untukku bersama Hyeyoung?

 

***

 

Malam yang dingin membuatku semakin frustasi. Aigoo, sudah stress, ditambah lagi kedinginan! Sendirian di rumah membuat seluruh ruangan hanya terisi udara dingin yang membuat kulitku semakin mengkerut. Ayah masih sibuk bekerja dan katanya, ayah akan lembur malam ini.

Kuputuskan mencari sesuatu yang hangat di toko sekitar apartemen. Aku membeli ramen dan secangkir kopi hangat, lalu menikmatinya di tepi Sungai Hangang. Ternyata udara dingin tak begitu terasa di sini. Melihat kelap-kelip lampu kota yang tertata rapi membuat perasaanku menghangat, kucoba menjernihkan pikiranku.

Tiba-tiba seseorang menepukku dari belakang, kemudian duduk disampingku. Aku terkejut melihat siapa orang itu. Yeoja yang kusuka, Hyeyoung. Rasanya sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Aku rindu padanya. Hyeyoungie bogoshiposeo.

“Honjasseo?” tanya Hyeyoung sambil menatap lurus ke Sungai Hangang. Aku hanya mengangguk dan menatap Hyeyoung penuh rindu. Ingin sekali aku memeluknya. Tapi perkataan Kevin melintas di kepalaku. Merusak perasaan hangatku di sisi Hyeyoung.

“Hyeyoung-ah, apa kau benar-benar menyukai Kevin?” tanyaku yang kini tertunduk menyesali kata yang keluar dari bibirku.

Eum… Wae yo? Kau tidak percaya padaku?” tanyanya dengan mata polos.

Aniyo. Aku percaya padamu,” jawabku singkat. Benar-benar menyesal menanyakan hal itu. Membuat dadaku semakin sesak.

“Hei! Kunci! Ada apa? Kau tampak murung,” tanya Hyeyoung yang menyadari kelakuanku yang tidak biasa. Sulit rasanya mulut ini mengatakan apa yang ada di hatiku. Galau. Tak tahu harus bagaimana.

Aniyo. Obseo,” balasku dengan senyum sedikit terpaksa.

Kucubit pipi Hyeyoung, sekedar menyembunyikan rasa galauku. Dan mulailah kami berkejar-kejaran. Aku benar-benar rindu suasana seperti ini, membuat perasaanku semakin hangat dengan senyuman Hyeyoung.

 

***

 

Aku sudah memikirkan permintaan Kevin. Akhirnya, kuputuskan untuk menurutinya. Tentu saja bukan karena Kevin, tapi untuk kebahagiaan Hyeyoung. Aku ingin dia bahagia dengan orang yang disukainya. Berat rasanya meninggalkan bangku yang sudah kutempati bersama Hyeyoung tapi kulakukan ini untuk Hyeyoung. Asal Hyeyoung bahagia, aku pun bahagia.

Karena aku dan Kevin bertukar tempat duduk, jadi aku duduk bersama Nicole di bangku belakang dekat dengan jendela. Bangku di seberang adalah bangkuku dengan Hyeyoung. Aku bisa melihatnya dengan jelas dari sini. Mereka, Kevin dan Hyeyoung, tertawa lepas. Dadaku sesak. Hyeyoung-ah, kau tampak lucu dengan senyummu. Sayang, senyum itu bukan untukku. Lesu aku melihat pemandangan di depanku. Rasanya hidupku hambar.

“Kau tidak senang duduk denganku?” ujar Nicole membuyarkan lamunanku. Mungkin dia melihat wajahku yang ditekuk. Wah, jadi merasa tidak enak. Aku baru saja duduk bersamanya tapi kesan pertama dariku rasanya kurang enak. Mianhae Nicole. Kalau saja kau tahu aku berat meninggalkan bangkuku.

“Ah, aniyo. Aku hanya tidak enak badan,” kilahku. Kalau aku bilang yang sesungguhnya, takut membuatnya tersinggung.

“Kau menyukai Hyeyoung?” tambahnya dengan pertanyaan yang sedang tidak ingin kudengar. Aku hanya diam tak menghiraukan pertanyaan Nicole. Bukannya aku benci mengakui bahwa aku menyukai Hyeyoung tapi mengakui dan merasakan perasaan itu membuat hatiku semakin berat. Lebih-lebih setelah kusadari bahwa Hyeyoung tak mungkin menjadi milikku. Frustasi. Membuat kepalaku penuh dengan Hyeyoung.

Kualihkan pandanganku ke jendela di sampingku, mencari pemandangan lain yang mungkin dapat menghiburku. Nicole menyerah menerima respon diam dariku. Sekali lagi mianhae, Nicole. Aku sedang bad mood.

Di luar jendela, kulihat seorang yeoja dan namja (ed: anak laki-laki) sedang asyik berduaan. Si namja membelai rambut si yeoja dengan lembut. Sedangkan si yeoja tersipu malu dengan rona merah di pipinya. Apa-apaan ini?? ;d  Bukannya menemukan sesuatu yang bisa mencerahkan hatiku yang mendung, malah menambah petir di hatiku. Kupalingkan wajahku dari jendela, menatap papan putih yang berhiaskan tinta hitam hasil karya sonsaengnim. Kucatat dengan malas tulisan-tulisan di papan itu seperti orang yang kehilangan makna hidup. Kugoreskan pensilku di buku pelajaran seperti membuat catatan kaki atau sejenisnya.

“Sejak kapan kau mencoret-coret buku pelajaranmu?” tanya Nicole, merasa aneh dengan apa yang kulakukan.

Aigoo, aku mencoret buku pelajaranku?” keluhku, kesal melihat hasil coretanku di samping huruf ketikan komputer di buku pelajaranku. Apa ini? Mengapa aku semakin seperti orang bodoh?

“Sekarang aku yakin kalau kau menyukai Hyeyoung. Buktinya kau sampai tertular kebiasaannya dan aku yakin di otakmu hanya ada Hyeyoung. Iya, kan?” kata Nicole dengan kesungguhan di matanya. Memang benar yang dikatakannya. Di kepalaku sekarang hanya ada Hyeyoung dan sekali lagi aku menatap ke bangku Hyeyoung dia masih tersenyum menanggapi celotehan Kevin. Kutundukkan kepalaku. Aku benar-benar tidak bisa merelakan Hyeyoung.

 

***

 

Sudah beberapa minggu sejak kepindahanku dari bangkuku bersama Hyeyoung dan selama itu pula aku menjadi orang linglung. Tidak mendengarkan guru, tidak mencatat penjelasan guru, dan sudah pasti tidak datang latihan untuk lomba. Berminggu-minggu kulalui dengan tidak semangat. Tersenyum hambar membalas sapaan teman-teman, termenung saat istirahat, tidak menghiraukan Nicole yang berulang kali menegurku.

Aku merasa menjadi orang yang tak berguna. Apa ini yang namanya cinta? Apa cinta begitu menyakitkan? Tapi mengapa aku selalu bisa menyembunyikan perasaanku di depan Hyeyoung? Mengapa hanya di depan Hyeyoung aku bisa tertawa lepas. Argh… aku tidak bisa seperti ini. Aku tidak bisa mengorbankan sekolahku hanya untuk cinta. Aku harus bangkit! Bukankah dulu aku berpikir jika Hyeyoung bahagia aku juga akan bahagia? Ya, cinta tak harus memiliki. Itu yang kutanamkan baik-baik di benakku.

Perlahan tapi pasti aku mulai menerima kekalahan hatiku. Biarlah perasaan ini hanya menjadi CDH (Cinta Dalam Hati); menjadi kenangan yang mungkin menyakitkan  tapi juga membahagiakan.

 

 

Hari ini kuawali dengan tersenyum lebar. Kutaruh tasku di bangku dan duduk dengan rapi. Tentu saja dengan senyuman.

Annyeong!” sapaku dengan senyum lebar pada Nicole yang baru datang. Nicole mengerutkan dahinya. Mungkin dia bingung dengan sikap ku yang tiba-tiba berubah. Aku jadi merasa tidak enak. Selama ini aku membuatnya khawatir dan gelisah. Siapa yang tidak gelisah melihat teman sebangkumu seperti mayat hidup?

Wae yo? Ada apa dengan wajahmu? Kau habis beli senyum dimana?” tanya Nicole sedikit menyindirku. Tak apalah, aku tahu maksudnya.

“Aku habis beli senyum obralan di toko dekat rumahku,” jawabku menanggapinya dengan sedikit candaan garing.

“Baguslah, kau sudah pulih. Oh iya, sebenarnya aku tak mau mengatakan ini. Tapi kupikir kau juga harus tahu.” Seutas senyuman syukur terlukis di wajah Nicole.

“Ada berita apa?” tanyaku penasaran.

“Hyeyoung dan Kevin sudah jadian. Mian, mungkin berita ini sedikit mengganggu. Sebenarnya mereka sudah jadian dua minggu yang lalu. Tapi aku tidak sanggup mengatakannya padamu. Saat itu kau benar-benar menutup semua panca indramu,” jelas Nicole.

Hatiku mulai bergejolak. Seperti itukah aku beberapa minggu ini? Sampai-sampai aku tak tahu kabar Hyeyoung dan Kevin. Atau bahkan tak tahu kabar siapa pun.

Kalau dipikir benar juga. Selama beberapa minggu ini aku sama sekali tidak memikirkan apa-apa. Mungkin pikiran tentang Hyeyoung terlalu memenuhi kepalaku sampai-sampai aku tak bisa memikirkan apa-apa. Dan selama beberapa minggu itu pula aku tidak bertegur sapa dengan Hyeyoung. Entah, mungkin kita memang tidak bertemu atau aku yang menghindar dari Hyeyoung. Mendengar kabar itu mengguncangkan hati ini. Aku hanya bisa menata kembali remukan-remukan hatiku yang kemarin berserakan. Sulit menerimanya, tapi harus menerimanya. Aku baik-baik saja. Itu yang kuucapkan pada diriku sendiri. Aku sudah memutuskan pilihanku.

Setelah beberapa saat mencerna berita dari Nicole dan bermain dengan pikiranku, akhirnya aku bicara. Menanggapi berita gembira—sekaligus buruk— itu.

Kureyo. Semoga dia bahagia.”

Hanya itu yang bisa kuucapkan. Meski mengucapkannya disertai senyuman, tapi hatiku sama sekali tidak tersenyum. Nicole menepuk pundakku, sekedar menghiburku. Dia tersenyum dan aku pun membalas senyumnya hingga senyumku memudar setelah melihat pintu kelas.

Di pintu kelas kulihat Hyeyoung masuk sambil menggenggam erat tasnya. Bibirnya cemberut seperti bebek.  Hatiku bergemuruh. Ada apa dengannya? Aku menunduk saat mata kami bertemu. Tapi sepertinya Hyeyoung menyadari sikapku. Hyeyoung menghampiriku dengan wajah cemas melihat perubahan wajahku. Dan aku tidak bisa melihatnya seperti itu.

“Kunci-ah. Deo gwenchana?” tanyanya menatapku khawatir. Apa dia selama beberapa minggu ini juga mengkhawatirkanku?  Aku tak menjawabnya. Hanya duduk terdiam dan tertunduk.

“Kunci-ah. Akhir-akhir ini kau selalu menghindariku. Wae? Kau membenciku?” tanyanya dengan nada penyesalan. Apa aku seperti itu? Menghindari Hyeyoung? Aigoo, orang seperti apa aku ini?

Aniyo. Tidak mungkin aku membencimu,” balasku. Akhirnya aku berbicara padanya. Setelah sekian lama aku mendiamkannya.

 

Hyeyoung mengajakku ke bangku panjang di tepi lapangan. Dia terlihat sangat menyesal melihat keadaanku yang amat murung. Sesekali Hyeyoung menghela nafas, mungkin dia ingin mengatakan sesuatu dan bingung bagaimana memulainya.

Mianhaeyo, Kibum-ssi. Aku merasa seperti teman yang buruk,” ucapnya memecah sunyi di antara kami. Kutatap matanya yang mulai berkaca-kaca. Mata yang penuh penyesalan. Apa dia benar-benar menyesal melihat keadaanku? Apa dia sudah mengetahui perasaanku?

“Selama ini aku terlalu sibuk berlatih, menghabiskan waktuku bersama Kevin, dan selama itu pula aku memikirkanmu. Tidak sebangku denganmu membuatku semakin memikirkanmu, apalagi akhir-akhir ini kau terlihat lesu. Aku meminta Kevin untuk bertukar bangku kembali denganmu, tapi Kevin malah marah,” ungkapnya panjang lebar. Hatiku mulai menemukan sedikit pencerahan setelah mendengan tutur katanya yang menandakan dia peduli denganku. Senang rasanya.

“Tentu saja dia marah. Dia kan pacarmu. Mana ada seorang namja yang rela yeoja-nya memikirkan namja lain,” tanggapku. Sudah tak asing rasanya melihat sikap polos Hyeyoung.

“Itulah masalahnya. Kata orang, jika kau jatuh cinta pada seseorang, itu akan membuatmu berdebar. Aku mengaku menyukai Kevin tapi aku sama sekali tidak merasa berdebar saat di dekatnya atau jauh darinya. Aku merasa Kevin seperti teman. Begitu pula dengan Kevin. Dia memilih putus, dan aku setuju,” jelas Hyeyoung.

 Wajahnya menampakkan kelegaan seperti habis membuang semua beban berat di kepalanya. Mendengar itu, aku seperti menemukan oasis di gurun pasir. Mungkin masih ada kesempatan. Sekarang awan hitam di hatiku perlahan menghilang.

Na do mianhae. Sepertinya aku menghindarimu akhir-akhir ini,” tuturku menyesali sikapku.

“Bukan sepertinya lagi. Kau memang benar-benar menghindari ku. Dasar KUNCI!!!” protesnya.

Hyeyoung memukul lenganku, melampiaskan kekesalannya—mungkin selama ini dia kesal dengan sikapku. Aigoo, sekarang dia terlihat lucu. Aku jadi tambah menyesali kejadian akhir-akhir ini. Dan juga menyesal tidak menyatakan perasaanku lebih dulu sebelum Kevin.

 

***

 

Akhirnya keadaan menjadi normal kembali. Aku duduk di bangkuku lagi bersama Hyeyoung. Langit cerah telah menghiasi hatiku, aku pun mulai bersemangat lagi menyambut hari.

Minggu ini adalah minggu terakhir pelatihan untuk lomba. Aku datang menemui Amber yang sudah siap dengan kertas-kertas soal. Untuk pertama kalinya aku fokus berlatih. Aku harus berjuang.

Hari lomba pun tiba. Aku dan Amber, begitu pula Kevin dan Hyeyoung, dan peserta-peserta lain dari sekolah kami sudah siap berlomba untuk mengharumkan nama sekolah kami. Lomba berjalan dengan lancar. Aku dan Amber beruntung tidak menemui kesulitan dalam mengerjakan soal lomba.

 

 

Saatnya pengumuman tiba, aku sedikit tegang. Bagaimana dengan hasil lombanya? Di sudut sana kulihat Hyeyoung menggigit jarinya. Wajahnya memerah, cemas menunggu pengumuman.

Aku dan Amber berhasil menduduki juara pertama di bidang matematika, sedangkan Kevin dan Hyeyoung menempati juara kedua di bidang biologi. Sedikit gurat kekecewaan tampak di wajah Hyeyoung dan Kevin, namun mereka masih bersyukur bisa berada di peringkat dua.

Malamnya, kami mengadakan pesta perayaan dengan mengadakan piknik di tepi Sungai Hangang. Aku, Hyeyoung, Kevin, Amber dan Lina sonsaengnim, serta teman-teman sekelas duduk berjejer menghadap Sungai Hangang.

Kata sonsaengnim ini sudah menjadi tradisi, merayakan keberuntungan sekolah di Sungai Hangang. Sebagai rasa syukur atas keberuntungan yang diberikan. Kata sonsaengnim semua warga Hangang Middle School harus menyatu dengan Sungai Hangang sebagai wujud kebanggaan Hangang yang menjadi nama sekolah kami.

Sudah jam 9 malam. Lina sonsaengnim pun menutup acara piknik kecil kami. Teman-teman yang lain membubarkan diri menuju rumah masing-masing. Kini hanya tertinggal aku dan Hyeyoung yang masih kagum melihat panorama indah di depan mata kami. Kebetulan apartemenku dekat dari sini, sedangkan rumah Hyeyoung ternyata juga dekat dari sungai Hangang ini, jadi kami tidak khawatir pulang malam.

Haengbokhae anya (ed: apakah kamu bahagia)?” ucapku memecah sayup-sayup malam yang menemani kami.

“Hmmm… haengbokhaeyo (ed: iya, aku bahagia). Meski aku hanya juara dua,” balas Hyeyoung sambil melebarkan senyum di bibirnya. Hatiku damai memandang senyum itu. Apakah ini saatnya aku menyatakan perasaanku? Haa~h otthoke? Kurasa pipiku mulai memerah. Untung saja cahaya lampu di sungai tidak terlalu terang.

“Key-ssi. Aku baru menyadari sesuatu.”

“Apa?”

“Selama ini aku selalu mengkhawatirkanmu. Entah mengapa, yang pasti kalau kau jauh dariku, aku selalu mencemaskanmu. Apalagi saat kau menghindariku. Aku merasa kesepian,” Hyeyoung mengaku. Aku senang mendengarnya.

Na do. Aku juga memikirkanmu saat itu. Kau tahu, entah mengapa, hatiku sesak saat mendengar bahwa kau menyukai Kevin, hatiku hancur saat kau tertawa lepas di samping Kevin, dan jujur saja aku selalu berdebar saat berada di dekatmu dan saat memikirkanmu. Menurutmu apa yang membuatku begini?” uraiku panjang menyatakan segala isi hatiku. Deg-degan pastinya saat mengatakannya tapi aku tak bisa menyimpannya terus sampai membusuk, kan?

Kureyo. Sepertinya kau jatuh cinta padaku. Ya, kan?” tanyanya polos. Mengapa dia bisa sepolos ini?               

“Lalu bagaimana denganmu?” tanyaku penasaran dengan perasaannya terhadapku.

“Aku juga merasakan hal yang sama. Lalu, apa itu berarti kita bisa menjadi sepasang kekasih?” tanya Hyeyoung sedikit antusias.

“Menurutmu apa kita akan bertahan dengan status yang seperti itu?” tanyaku. Aku sedikit ragu untuk menjadikan hubungan kami ke status sepasang kekasih.

“Benar juga. Aku jadi sedikit trauma akan hubungan yang seperti itu. Aku takut malah akan mengurangi perasaanku padamu,” tanggapnya. Sepertinya dia berpikiran sama denganku.

“Bagaimana kalau kita bersahabat saja? Hubungan persahabatan atau pertemanan kan tidak pernah berakhir?” tawarku memberikan sedikit argumen.

Ne. Lebih baik seperti itu daripada kalau kita menjadi sepasang kekasih dan di saat tertentu mungkin menemukan hal yang tidak cocok lalu putus, ujung-ujungnya jadi teman juga, kan?” timpal Hyeyoung menyetujui argumenku.

“Oke. Kalau begitu mulai sekarang kita menjadi teman selamanya. Meskipun suatu saat kita terpisah, aku janji aku tidak akan melupakanmu,” seruku sambil melingkarkan kelingkingku di kelingking Hyeyoung.

“Ehm,” Hyeyoung mengangguk.

“Aku juga tidak akan pernah melupakanmu,” tambahnya.

Kelingking kami saling bertautan mengikat janji.

Sejak saat itu kami menjadi semakin dekat. Semua teman-teman mengira kami sudah jadian. Tapi setiap kali kami ditanya soal pacaran, kami selalu mengelak. Kami kan memang tidak berpacaran. Meskipun sudah menyatakan perasaan satu sama lain.

 

***

 

Waktu pun terus berjalan. Tak terasa kami lulus dari sekolah. Aku melanjutkan sekolahku di Amerika sedangkan Hyeyoung memilih melanjutkan ke London, jadi otomatis aku berpisah dengan Hyeyoung.

Kami terpisahkan oleh jarak yang begitu jauh. Meski berat menjalani hari tanpa Hyeyoung, aku terus maju menyongsong masa depanku. Sesekali terlintas di benakku rasa penyesalan tidak menjadikanya kekasihku tapi kenangan yang pernah kami lalui bersama-sama membuat status kekasih bagiku tidak terlalu penting. Yang terpenting adalah perasaan kami yang sempat menyatu dan kenangan-kenangan yang kami lalui, menjadi sebuah film yang terekam di otakku dan bisa membuatku tersenyum setiap mengingatnya.

Merasakan betapa beruntungnya aku memiliki cerita cinta pertama yang begitu indah, meski berakhir dengan perpisahan. Nama Ahn Hyeyoung serta wajahnya, yang terpatri di sudut hatiku dengan predikat ‘cinta pertama’, tak akan tergantikan. Meski kita tak pernah bersatu dalam ikatan atau status kekasih tapi menurutku cinta tak harus memiliki.

 

~End~

 

story by : [email protected]

last edited by : amusuk

 

a/n : Terimakasih udah mau baca ff-ku.

NB: buat yang tau cerita yang sesungguhnya, mohon KUNCI mulut ya.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet