Tiga hari. 

Sudah tiga hari Nayeon menghindari Jeongyeon secara sengaja setelah menerima pesan terakhirnya malam itu.

Setelah terusir dari kelasnya sendiri, Nayeon memutuskan menunggu Sana di kafetaria kampus. Hanya ditemani segelas jus alpukat dan pikiran semrawut selama lebih empat puluh menit sampai Sana bergabung di sana.

Selama itu, pikirannya tak henti-hentinya memikirkan spekulasi-spekulasi abstrak yang bisa otaknya munculkan mengenai si balok kayu. Juga tindakan berikutnya yang harus ia lakukan untuk menghadapi gadis itu kalau-kalau mereka akhirnya bertemu nanti. Ya, Nayeon memang berhasil menghindarinya selama tiga hari ini, tetapi tak menjamin ia bisa menghindarinya selamanya. Terlebih mereka sekampus. Dan kemungkinan Jeongyeon tak menyadari jika ia menghindarinya tiga hari ini rasanya amat kecil. Mungkin Jeongyeon memang serupa balok kayu, tapi bukan berarti ia makhluk super insensitif pada perubahan sikap orang disekitarnya, kan? Iya,'kan?

Lalu satu pertanyaan mendadak muncul di benaknya: mengapa ia menghindari Jeongyeon memangnya?

Tentu karena marah.

Tetapi karena apa?

Itu—yang masih belum bisa Nayeon putuskan.

Lalu lagi, mengapa ia harus peduli tentang Jeongyeon yang menyadari telah ia hindari. Seharusnya bagus, kan? Dia jadi tidak akan dikirimi foto-foto kucing jeleknya lagi. Dan mereka juga bukan teman baik.

Masalah selesai.

Benarkah?

Monolog Nayeon terus berlanjut hingga tak menyadari kedatangan Sana yang sudah duduk manis di sampingnya membawa segelas jus semangkanya.

Baru sadar ketika si Jepang satu mulai tertawa.

"Diam, Sana." Peringatnya.

Sana menyeruput jus semangkanya masih setengah tertawa. Nayeon diam-diam mendoakan gadis itu tersedak seperti kemarin lusa.

Dan doanya terkabul. Hanya kali ini mereka tidak butuh bantuan Momo untuk melakukan manuver Heimlich lagi.

Setelah batuk-batuk Sana mereda, ia mulai membahas