3rd

Prejudice

Seoul, South Korea.

Suasana rumah Justin Jeon diselimuti duka. Beberapa kerabat Justin dan Park Minyoung berdatangan menunjukkan belasungkawa. Masing-masing dari mereka memberi salam pada Justin sambil terus memberinya kalimat-kalimat penguat.

Seorang perempuan datang menghampiri Justin.

"Sungguh takdir memang tidak bisa kita tebak, ya. Baru saja kemarin anda mengantar kekasih anda, hari ini dia sudah tidak ada. Aku turut berduka, sangat."

Justin hanya tersenyum pahit.

"Iya, terimakasih banyak, Bu Guru Kim. Tapi sungguh dia itu bukan kekasih saya."

"Sudahlah, di saat seperti ini kau tidak perlu menutup-nutupi lagi. Lebih baik sekarang kita berdoa saja untuk Nyonya Park, supaya dia bisa beristirahat dengan tenang."

Justin hanya tersenyum sambil mengangguk. Memang sudah karakter Guru Kim Jisoo itu banyak bicara, jadi ia bisa memakluminya.

Kematian Park Minyoung memang kemarin, tapi pemakamannya baru dilangsungkan hari ini karena menunggu kedatangan Rose. Bicara soal Rose, sampai detik ini ia belum juga datang. Justin mulai tidak sabra. Ia pun menghampiri James yang terlihat sedang mengobrol dengan beberapa kerabat.

"Hyung, dia masih dimana? Bukankah seharusnya dia sudah ada di sini? Ini sudah hampir siang!" Tanya Justin sambil terus melihat sekeliling, barangkali ia tiba-tiba melihat kedatangan Rose, walau ia sendiri belum pernah melihat Rose secara langsung.

"Tunggu saja, dia pasti datang. Lagipula, walaupun Bibi Minyoung dulu meninggalkannya, aku yakin Rose bukanlah gadis yang jahat yang sampai tidak mau datang ke pemakaman ibunya."

Justin menghela napas gelisah. James yang melihatnya hanya bisa menenangka lelaki itu sambil menepuk bahunya.

"Tenanglah, dia pasti datang."

"Kalau dia sudah datang, kabari aku, ya," ujar Justin.

Ia baru saja akan pergi ketika James tiba-tiba menahan lengannya.

"Dia datang," ujar James dengan tatapan yang lurus mengarah pada seseorang.

"Huh?" Justin yang masih kebingungan mulai mencari arah tatapan James.

Bingo. Ia melihat gadis berambut coklat panjang, bertubuh tinggi dengan balutan dress hitam selutut. Persis seperti yang ia lihat di foto, tidak, bahkan lebih cantik dari fotonya. Dia Rose. Justin melihatnya secara langsung hari ini, untuk pertama kalinya.

"Rose?"

"Wah, Justin, kau bisa mengenalinya? Biar kupanggilkan dia, ya?"

Justin hanya diam tanpa membalas perkataan James. Rose sangat mirip dengan ibunya, karena itulah ia dengan mudah bisa mengenalinya.

"Rose! Over here!" seru James sambil melambaikan tangannya ke arah Rose. Gadis itu ternyata datang bersama sahabatnya, Jennie.

Dari kejauhan, Rose dan Jennie dapat mendengar panggilan James dan akhirnya tatapan mereka bertemu. Gadis itu pun segera menghampiri sepupunya diikuti oleh Jennie. Tetapi wajah Rose tidak tampak senang bertemu dengan James.

"Kau berhutang banyak cerita padaku, Park Jimin!" ucap Rose sambil menatap James dengan intens.

"Jimin?" Justin bingung mendengar panggilan yang disebutkan Rose. Sementara Jennie hanya tersenyum mendengar Rose memanggil James dengan panggilan Jimin.

"Oh, itu nama koreaku Justin, kau baru tahu, ya? Haha, aku memang tidak pernah membeberkannya karena namaku pasaran," jelas James.

Rose melirik ke arah lelaki yang dipanggil Justin oleh James. Tapi, ia tidak terlalu penasaran tentangnya dan kembali menatap James.

"Cerita apa, Rose? Aku tidak mengerti apa maksudmu," James mengelak diiringi tertawa hambar. Tetapi itu tidak mempan bagi Rose.

"Sejak kapan kau tahu keberadaan ibuku? Kenapa kau tidak pernah cerita padaku, huh? Apa ibuku yang melarang? Aku ini anaknya! Aku berhak tahu, James!"

James kebingungan. Ia tidak bisa menceritakan semuanya pada Rose. Bibi Minyoung melarangnya. Ia pun melirik ke arah Justin.

"Rose, kau tanyakan saja semua pada Justin. Ayo Jennie, kita ke tempat lain!"

James langsung pergi sambil menarik tangan Jennie setelah mengatakan itu. Justin yang mendengarnya hanya kebingungan. James sepertinya sengaja melemparkannya pada Justin dan meninggalkannya berdua dengan Rose. Ia jadi bingung harus berkata apa pada Rose.

"So?" Rose terlihat tidak sabar karena Justin tidak kunjung menjawab pertanyaannya.

"Em, jadi, aku Justin Jeon."

Justin mengulurkan tangannya ke arah Rose. Uluran tangannya tidak langsung disambut oleh Rose.

"Kau siapa?" Tanya Rose.

"Aku? Barusan, kan aku memperkenalkan diri, namaku Justin Jeon."

"Bukan begitu, maksudku kau siapa, kenapa aku harus menanyakan soal ibuku padamu? Memang kau tahu apa?"

Justin bingung harus menjawab apa.

"Jadi, begini. Sebut saja, aku ini kerabat ibumu, begitu."

"Ya, aku tahu semua yang datang hari ini adalah kerabat ibuku, tapi–"

"Tunggu dulu. Sebentar. Bukankah kau ke sini untuk melihat ibumu untuk terakhir kalinya? Simpan dulu semua pertanyaanmu, dan ikuti aku."

Justin segera berjalan memasuki rumahnya, menuju tempat peti dan foto Park Minyoung disimpan. Rose pun mengikutinya dari belakang. Begitu sampai, Rose hanya diam. Ia menatap lekat-lekat foto ibunya. Tidak ada perubahan yang kentara pada wajahnya, terlihat awet muda.

"Ini ibuku?"

"Iya benar."

Rose maju beberapa langkah untuk melihat foto ibunya lebih dekat. Selama dua belas tahun ia tidak melihat ibunya, dan baru kali inilah dia dapat melihat wajahnya, walau hanya melalui sebuah foto yang tertata di atas peti ibunya.

"Ibumu dinyatakan meninggal kemarin siang, tapi kami tidak bisa menguburkannya langsung karena kau tidak ada, seharusnya kau datang lebih cepat."

Rose melirik Justin. Lelaki itu masih belum menjawab pertanyaan Rose mengenai apa hubungannya dengan ibu Rose.

"Kapan foto ini diambil?" Tanya Rose.

"Sebulan yang lalu."

"Kau bercanda? Tapi dia terlihat muda."

"Ya, aku yang memotretnya. Ibumu memang orang yang sangat cantik, kecantikan wajah dan hatinya memang tidak pernah luntur."

Mendengar perkataan Justin, Rose tertawa meremehkan. "Kecantikan hati? Tahu apa kau?"

Justin mengerutkan dahi mendengar pertanyaan Rose.

"Ibumu memang orang yang cantik, Rose."

"Tunggu dulu, siapa kau berani memanggil namaku? Aku bahkan belum memperkenalkan diriku secara resmi," ucap Rose yang tidak suka Justin memanggil namanya.

"Baiklah, kuulangi perkenalanku. Namaku Justin Jeon, namamu?"

"Bukankah kau sudah tahu?"

"Lalu kenapa aku tidak boleh memanggil namamu?"

"Aku hanya tidak suka, orang asing memanggil namaku tanpa embel-embel nona atau margaku atau sapaan formal lainnya, hanya Rose."

Justin menghela napas mendengar Rose yang menganggapnya orang asing. Ia meninggalkan Rose lalu berjalan menuju kamarnya, ia mengambil dua buah amplop yang masing-masing berisikan surat. Surat yang ditulis sebelum Park Minyoung meninggal. Diserahkannya salah satu amplop itu pada Rose.

"Apa ini?"

"Untukmu, bacalah."

Rose melihat ada dua amplop yang dipegang Justin, tapi ia hanya menyerahnya satu pada Rose.

"Yang satu ini untukku," ujar Justin, menjawab tatapan Rose yang penuh tanya.

Ia pun hanya menggangguk lalu membuka amplop merah muda yang ditujukan untuknya. Merah muda adalah warna kesukaannya.

"Untuk Rose. Kalau kau membaca surat ini, mungkin ibu sudah tidak ada. Rose, maafkan ibumu ini yang tidak bisa menjagamu. Ibu belum bisa menceritakan alasan kepergian ibu, maaf. Tapi mungkin Justin bisa menceritakannya padamu. Maaf karena tidak bisa menjadi ibu yang baik. Maafkan ibu Rose. Kau berhak membenci ibu sesukamu karena memang ibu yang salah. Tetapi ibu selalu menyayangimu, ibu selalu memperhatikanmu. Ibu sudah dengar mengenai kematian ayah, beberapa tahun yang lalu. Kau tahu? Rasa bersalah ibu semakin besar mendengar hal itu. putri kecil ibu ditinggal seorang diri tanpa ayah dan ibu. Maafkan ibu, Rose. Karena sekarang ibu tahu kau tidak punya siapa-siapa lagi, tinggalah bersama Justin ya, dia keluargamu juga sekarang, ibu ingin kalian tinggal bersama bila ibu sudah tiada. Anggaplah ini sebagai balasan ibu karena sudah meninggalkanmu, Justin akan menjagamu untuk kedepannya karena kau sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kau bisa mulai berkenalan dengannya, dialah orang yang selalu menyayangi ibu selama di sini. Ibu selalu berdoa supaya hidupmu penuh dengan kebahagiaan Rose. Berbahagialah dan maafkan ibumu ini. Salam hangat, Park Minyoung, yang selalu mencintai Roseanne Park."

Perasaan Rose campur aduk, antara sedih, marah dan kecewa. Kalau ibunya memang menyayanginya, kenapa ia meninggalkan Rose?

Ditambah lagi, Justin Jeon, siapa lelaki ini? Ada hubungan apa dengan ibuku?

"Apa kau masih tidak akan menjawab pertanyaanku?"

Justin mengalihkan pandangannya ke arah lain.

"Pak Guru Jeon!" Kim Jisoo memanggil Justin seraya menghampiri lelaki itu.

"Maaf aku mengganggu pembicaraan kalian, Pak Guru Jeon, aku harus segera pulang karena ada urusan mendadak. Maaf aku tidak bisa lama-lama."

"Tidak apa-apa Bu Guru Kim. Terimakasih sudah datang."

"Iya, tidak masalah. Setelah ini, kau harus bisa move on, ya, jangan terus berlarut dalam kesedihan."

Justin mengheka napas kesekian kalinya karena Kim Jisoo terus mengira Park Minyoung adalah kekasihnya.

"Bukan begitu."

"Sudah, ya. Aku duluan ya."

Kim Jisoo menghilang dari pandangan Justin. Kini Rose sedang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Kau suka ibuku?"

"Huh? Aku suka Minyoung noona, tapi bukan suka seperti yang kau bayangkan, kami–"

"Noona? Kau memanggil ibuku dengan sebutan noona? Wah, jadi ibuku baru saja memperkenalkanku pada kekasihnya melalui surat tadi?"

Lagi-lagi Justin hanya bisa menghela napas.

"Baiklah, anggap saja aku ini kekasih ibumu, puas?"

Rose terkejut sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

"Jadi ibuku menyuruhku untuk tinggal dengan kekasihnya?"

"Kurasa kebih baik kita menuruti permintaan Minyoung noona. Bukankah kau sendiri juga akan segera memulai perkuliahan? Lebih baik kau tinggal denganku di sini daripada menyewa tempat, bukan?"

Rose lagi-lagi terkejut.

"Wow, Tuan Jeon. Kau bahkan sudah tahu aku akan kuliah di sini? Bagaimana bisa?"

"Bukankah ibumu bilang di surat bahwa aku ini keluargamu?"

Rose menggeleng-gelengkan kepalanya. Tidak percaya. Lelaki asing yang baru ia temui hari ini mengklain diri sebagai keluarganya, tanpa ia tahu hubungan apa sebenarnya yang terjalin antara lelaki itu dan ibunya. Ia juga bahkan terlihat akrab dengan James, sepupu Rose. Dan lagi, ibu meminta Rose untuk tinggal dengannya? Permintaan gila apa ini?

"Selesai pemakaman nanti, kau boleh mulai membawa barang-barangmu ke sini."

Rose tidak mendengarkan perkataan Justin, ia justru memikirkan hal lain yang menjadi pertanyaannya.

"Tuan Jeon."

"Ya?"

"Berapa usiamu?"

"Aku? 24."

"Oh, ! Kau benar-benar kekasih ibuku?"

-

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Darborjes #1
Chapter 3: Next please!!!
Hyuuzu_avery
#2
Chapter 3: Lanjut dongg.. Heheeehe ^^ Fighting!!
Tungtarara #3
Chapter 2: Woow..nemu fanfic rosekook yg berbahasa Indonesia..senangnyaaa. author semangat!