2nd

Prejudice

Seoul, South Korea.

"Iya, maaf saya akan agak telat ya. Kerjakan saja dulu tugas yang sudah saya kirimkan tadi, ya."

"Iya, iya."

"Pelajari dulu saja."

"Kutitipkan padamu ya, simpan saja hasilnya untuk dipelajari."

"Iya, tidak usah dikumpulkan."

"Iya."

Lelaki bersetelan kemeja putih dan celana hitam itu menutup teleponnya lalu mempercepat laju mobilnya melintasi jalanan padat Seoul pagi hari itu. Setelah melewati jalan raya, ia membelokkan mobilnya memasuki gerbang sekolah menengah atas. Satpam terlihat menyapanya dan ia membalasnya dengan senyuman hangat.

Begitu selesai memarkirkan mobilnya, ia segera berlari memasuki gedung sekolah itu.

"Pak Guru Jeon, tidak biasanya anda datang terlambat."

Salah seorang guru perempuan menyapanya sesampainya ia di ruang guru.

"Iya, tadi aku membantu Minyoung noona dulu untuk memilih baju dan bersiap-siap ke pameran, hari ini dia akan memamerkan lukisannya," jawab lelaki bermarga Jeon itu.

"Oh, kekasihmu yang pelukis itu? Wah, sayang sekali kalau pamerannya hari ini, aku tidak akan bisa datang."

"Dia bukan kekasihku, kok."

"Ah, kau tidak perlu malu-malu begitu, Pak Guru Jeon. Zaman sekarang ini, usia bukanlah batasan untuk menjalin hubungan asmara."

"Benar bukan, Bu."

"Tidak usah pura-pura."

Pak Guru Jeon itu menghela napas dan hanya tersenyum lalu segera bergegas ke ruang kelas karena ia sudah terlambat untuk mengajar.

"Selamat pagi, semuanya."

Begitu ia masuk, suasana kelas yang tadinya ramai menjadi hening. Semua siswa memperhatikannya dengan seksama, terutama siswa perempuan. Salah seorang murid yang merupakan ketua kelas pun bersiap mengomando teman-temannya untuk memberi salam lalu dibalas oleh Pak guru Jeon.

"Bagaimana, tugasnya masih dikerjakan? Kalau belum selesai, tugasnya disimpan dulu dan kita mulai pelajaran untuk hari ini, ya."

Seorang siswi tiba-tiba mengacungkan tangannya. "Bapak darimana? Kenapa telat datang? Waktu untuk melihat wajah Bapak kan jadi berkurang," ujarnya kecewa diiringi teman-temannya yang juga berbicara hampir hal yang sama secara bersamaan.

Pak Guru Jeon itu hanya tersenyum lalu menggelengkan kepalanya. Sudah bukan hal yang aneh bila para siswi di kelasnya banyak yang menyukai wajah tampannya itu. ditambah lagi usianya yang masih muda.

"Baiklah, maafkan saya ya, kalau begitu kita mulai sekarang."

Baru saja tangannya hendak menulis di papan tulis, ponselnya berdering.

"Maaf ya anak-anak, sebentar. Halo?" jawabnya.

"Halo? Apa ini dengan Tuan Justin Jeon?"

"Iya, benar. Apa apa, ya?"

"Mohon maaf, kami dari rumah sakit ***, anda mengenal Nyonya Park Minyoung, kan? Sekarang dia sedang di rumah sakit karena kecelakaan. Sebaiknya anda segera kesini."

"Apa?"

Jantung Justin berdegup sangat kencang. Keringat dingin mulai melapisi pelipisnya. Ia mulai gelisah. Park Minyoung. Kecelakaan.

"Minyoung noona, tidak, tidak boleh."

Justin segera berlari keluar ruangan kelas tanpa berkata apa-apa pada siswa-siswanya yang kebingungan melihatnya.

Ia segera mengendarai mobilnya dengen kecepatan tinggi menuju rumah sakit begitu mendengar Park Minyoung mengalami kecelakaan. Akhirnya Justin pun tiba di rumah sakit. Setelah bertanya pada resepsionis, ia segera berlari menuju ruangan ICU.

Seorang dokter akhirnya keluar dan Justin segera menghampirinya.

"Kami sudah menghentikan pendarahannya yang sangat hebat, tetapi kami tidak yakin kapan ia bisa bangun."

"Maksud anda? Ada kemungkinan dia tidak akan bangun?"

"Maafkan kami, kita hanya bisa menunggu untuk saat ini."

Justin menghela napas. Ia engacak-acak rambutnya. Ia takut terjadi hal yang berbahaya pada Park Minyoung. Pikirannya mulai membayangkan hal yang tidak-tidak. Ia berjalan mondar-mandir di koridor rumah sakit sambil terus memanjatkan doa. Ia bingung apa yang bisa ia perbuat di saat seperti ini selain berdoa.

Saat sedang khyusuk berdoa, tiba-tiba Justin teringat seseorang. Ia langsung mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi orang tersebut.

"Halo?"

"James hyung!"

"Huh? Justin? Jungkook? Ini kau? Kapan kau mengganti nomormu? Kemarin nomormu masih sama."

"Itu tidak penting! Sekarang cepat ke rumah sakit ***! Minyoung noona sedang kritis karena kecelakaan!"

"Apa? Kau serius?"

Justin menghela napas. "Aku sangat serius, cepat kesini!"

"Ok, ok. Aku ke sana sekarang."

Justin menunggu menit-demi menit kedatangan James dengan hati yang gelisah.

"Hey, Justin!"

Panggilan James membuat Justin menghela napas lega. Akhirnya ada juga yang bisa menemaninya sekarang.

"Hyung!"

Jungkook berlari memeluk James sebentar.

"Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Bibi Minyoung bisa kecelakaan? Dia tidak berangkat bersamamu ke pameran?"

Justin menggeleng. "Aku menyesal tidak mengantarnya." Tiba-tiba mata Justin mulai berlinang air mata. "Bagaimana bila terjadi hal buruk pada Minyoung noona? Aku tidak akan memaafkan diriku sendiri!"

James mencoba menenangkan Justin sambil mengelus-elus punggungnya.

"Dokter! Denyut nadi pasien tiba-tiba berhenti! Dokter!"

Terlihat dokter yang tadi baru saja keluar ruang ICU kembali masuk bersama beberapa perawat. Justin dan James yang mendengar perkataan perawat tersebut sama-sama terkejut.

"Tidak! Minyoung noona!"

Benar saja. Tak sampai lima menit, dokter sudah kembali keluar dan mengabarkan kematian Park Minyoung.

"Tidak! Ini tidak mungkin! Tidaaak!"

Justin berteriak lalu menangis. James yang melihatnya juga ikut berlinang air mata sambil masih mengelus punggung Justin. Keduanya pun dipersilakan untuk melihat jasad Park Minyoung untuk terakhir kalinya. Mereka pun berlarut dalam kesedihan sambil berusaha menerima kenyatan pahit tersebut.

"Justin, sudahlah. Ikhlaskan saja."

James mengeluarkan ponselnya lalu melakukan panggilan internasional.

"Ayah, aku mau mengabarkan berita duka, tolong sampaikan juga pada Rose," ujar James pada ayahnya yang berada di Selandia Baru.

James menghela napas sejenak dan membalas tatapan Justin yang sedari tadi melihatnya.

"Bibi Minyoung baru saja meninggal. Tolong kabarkan segera pada Rose, ya, ayah."

-

Auckland, New Zealand.

Rose tersedak saat menegak jus lemon miliknya. Pria di hadapannya, paman dari ayahnya ini baru saja memberi kabar yang tak terduga setelah mengajaknya bertemu di café dekat rumahnya.

"Paman tidak berbohong, kan?"

"Mana mungkin aku berbohong padamu. James baru saja mengabariku tadi."

"James Park? Bagaimana dia bisa tahu keberadaan ibu?"

"Iya, sepupumu. Sekarang itu tidak penting, lebih baik kau segera ke sana."

Rose termenung. Ia sangat terkejut. Ibu yang sudah dua belas tahun tidak ia temui, baru saja meninggal. Meninggal. Bukan sekedar pergi meninggalkannya ke Negara yang lain, tapi pergi meninggalkannya di dunia ini. Ia bingung. Ia kaget, sedih, tapi tidak bisa menangis. Rose memang tidak banyak mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Mungkin, karena itulah dia tidak bisa menangis.

Ditambah lagi, James, sepupunya selama ini mengetahui keberadaan ibunya, dan dia tidak memberi tahu Rose sama sekali.

"Aku tahu kau membencinya, tapi setidaknya kunjungilah pemakamannya. Anggap saja sebagai bentuk bakti terhadap orang tua. Walau bagaimanapun dia tetap ibumu."

Ucapan pamannya itu membuat Rose berpikir. Apa ia akan ke sana atau tidak.

"Kau adalah anak Minyoung satu-satunya, mungkin lebih baik bila kau menghadiri pemakamannya. Kalau kau ke Seoul sekarang, mungkin kau baru bisa sampai sekitar jam sembilan malam. Tapi lebih cepat lebih baik, Rose. Karena pemakamannya pasti dilakukan hari ini."

"Apa paman juga sudah tahu sejak lama dimana keberadaan ibu?"

Paman Rose hanya bisa menundukkan kepala sambil mengangguk.

"Jadi kalian bersekongkol untuk tidak memberitahuku, ya? Apa ibu yang menyuruh kalian?"

"Maafkan kami, Rose. Kami melakukannya karena alasan tertentu. Mungkin kau bisa menanyakan pada James sesampainya di sana."

Rose hanya terdiam.

"Rose?"

"Paman, biar kupikirkan dulu, ya."

Rose beranjak dari tempat duduknya lalu pergi duluan meninggalkan pamannya. Langkah Rose pelan. Setiap langkahnya diiringi dengan pikirannya yang terus membuatnya bingung. Bingung apakah harus mengunjungi ibunya apa tidak. Tapi, ada sedikit perasaan bersalah di benaknya bila ia tidak datang ke pemakaman ibunya. Ibunya memang tidak pernah menemuinya, tapi Rose merasa tidak ada salahnya ia menghadiri pemakaman ibunya, toh ia juga akan berangkat ke Seoul karena ia sudah mengurus beasiswanya.

Ia pun mengeluarkan ponselnya untuk menelepon sahabatnya lagi.

"Iya, Rose?"

"Jen, sepertinya harapanmu akan terkabul. Aku akan sampai di Seoul malam ini."

"Benarkah? Kenapa tiba-tiba?"

"Ibuku baru saja meninggal, aku akan menjadi anak yang sangat jahat bila tidak datang ke sana, kan?"

"Astaga, aku turut berduka atas kematian ibumu, ya."

"Thanks, tapi aku tidak tahu apa aku sendiri juga berduka."

"Tsk, Rose. Jangan bicara begitu. Baiklah, aku akan menjemputmu kalau begitu, ya. Kabari aku saja bila sudah sampai di bandara Incheon."

"Aku akan memesan tiket dulu. Jangan menungguku, bila aku sampai larut malam, kau tidur saja duluan."

"It's okayaku sudah terbiasa begadang. Tenang saja."

"Terserah kau saja, tapi aku tidak mau merepotkanmu."

"Ya ampun, Rose, santai saja. Okay then, safe flight ya!"

"Iyaa."

-

Seoul, South Korea.

"Justin, sepertinya Rose akan datang. Apa kita akan tetap memakamkannya hari ini? Tapi sepertinya dia baru akan sampai nanti malam," ujar James.

Justin terlihat berpikir sejenak. "Mungkin lebih baik kita menunggu Rose, walau bagaimanapun dia kan anak Mminyoung noona," ujar Justin yang akhirnya lebih memilih menunggu Rose datang.

"Bicara mengenai Rose, aku sudah lama tidak menemuinya. Aku bertemu dengannya lima tahun yang lalu saat lulus sma. Dia sesusia dengamu, Justin."

"Oh, ya? Em, hyung, aku boleh minta tolong padamu?"

"Apa?"

"Saat Rose datang nanti, tolong rahasiakan hubunganku dengan Minyoung noona, kumohon."

-

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Darborjes #1
Chapter 3: Next please!!!
Hyuuzu_avery
#2
Chapter 3: Lanjut dongg.. Heheeehe ^^ Fighting!!
Tungtarara #3
Chapter 2: Woow..nemu fanfic rosekook yg berbahasa Indonesia..senangnyaaa. author semangat!