Chapter 2

Sweet Lies (Indonesian Translation)
Please Subscribe to read the full chapter

Kuhentakkan kakiku di sepanjang lorong, akhirnya kulihat seorang pria sedang menjaga kamar dibelakangnya. Pakaiannya yang kaku dan rambutnya yang ditata mengatakan bahwa aku menemukan ruangan yang kucari.

Awalnya dia tak menyadari keberadaanku, setidaknya hingga aku berdiri tepat dihadapannya, kulihat nomor kamarnya. 502. Aku mendongak untuk melihat pria tinggi ini. Apakah dia seorang pengawal?

“Apa pamanku ada di dalam sana?” tanyaku, tanpa mempedulikan tata krama. Aku sudah mengalami malam panjang melelahkan yang sepertinya hanya akan bertambah panjang. Namun pria itu tidak merespon. “Halo? Pamanku, Rin, apa ia ada di dalam?” kulambaikan tanganku di depan wajah datarnya. “Aku harus berbicara padanya.”

“Enyahlah, nak,” suara bassnya menggema di lorong yang sunyi.

Aku terkesiap dan melangkah mundur, mulutku menganga dihadapanya. Apa dia baru saja memanggilku bocah? Dia tak mungkin lima tahun lebih tua dariku.

“Dengar, malam ini sudah cukup melelahkan untukku. Aku tak punya waktu untuk berurusan dengan sikap tertutup dan tingkah congkakmu itu. Bibiku sedang berada di dalam rumah sakit karena reaksi alergi dan aku harus berbicara kepada pamanku karena dia sedang dalam kondisi kritis dan-“

Lelaki tinggi itu menatap mataku dengan tajam. “Aku bilang, enyahlah,” dia memberi penekanan pada perkataanya, hampir dengan geram. “Kau dapat bertemu dengan pamanmu saat ia sudah selesai dengan urusannya.”

Aku menaikkan alisku. “Apa?” aku menghembuskan napasku dan menggelengkan kepalaku, aku melupakan pertanyaanya. “Biarkan saja aku masuk.”

“Tak ada yang dapat menginterupsi pertemuan Bos.” Dia kemudian langsung kembali menatap tembok.

“Dengar,” aku berdiri menghalangi pandangannya, “aku tak peduli apa yang Bosmu ingingkan atau apa yang ia lakukan. Aku harus berbicara dengan pamanku. Aku kesal, aku khawatir, aku sedang dalam pengaruh wiski, dan Bosmu pasti dapat memahaminya.”

Akhirnya aku mendapatkan atensinya seakan aku baru muncul di sini, pria itu menatapku. Dia mengamatiku selama beberapa saat, dari kepala hingga ujung jari kaki, dengan cara yang sangat membuat tidak nyaman. Dia menghela napas, mengangkat pergelangan tangannya ke mulutnya, lalu berbicara melaluinya.

“Ada seorang gadis di luar sini yang memaksa untuk bertemu dengan pamannya.”

Dia mengangkat alisnya dengan menantang setelah dia selesai lalu terdengar suara berisik sebelum akhirnya pintu dibelakang si pengawal terbuka. Pria dengan pakaian kaku lainnya muncul, berdiri dengan pandangan bingung.

“Dia ingin masuk.” Jawabnya memecah keheningan, mengarahkan tangannya padaku.

Pengawal yang baru datang itu memutar bola matanya dan memberi isyarat padaku untuk masuk. Hampir saja aku menjulurkan lidahku pada pengawal yang tinggi.

“Aku hanya perlu mengatakan padanya bahwa bibiku sedang berada di rum-“

“Sorin!” jeritan penuh takut pamanku memotong perkataanku. Aku terkesiap dan berhenti seketika pada jalurku karena pemandangan di depanku.

Di sana, di antara sofa-sofa mewah dan minuman-minuman mahal, pamanku terikat ke sebuah kursi, dengan tali pada pergelangan tangan dan lututnya. Yang terikat begitu kencangnya sampai darah mengalir di sekitarnya, menodai talinya. Tak hanya itu namun ada lebih banyak darah lagi yang menetes dari luka tusuk pada kedua tangannya, paku logam juga mencuat keluar dari dagingnya.

Aku merasa perutku teraduk-aduk dan mual. Pamanku menatapku, ketakutan. Aku hampir berpikir dia takut padaku sampai aku menyadari keberadaan lelaki lain di dalam ruangan, khususnya satu yang berdiri di depan pamanku dengan palu penuh darah di tangannya.

Dia berputar di tumitnya dengan malas, mengayunkan palunya, dan menatap pria yang membawaku masuk. Wajahnya yang tak asing menghantamku dengan rasa takut. Dia pria kalung Bunda Maria yang tadi dan matanya hanya dipenuhi kebencian.

“Apa yang kukatakan tentang mengganggu pertemuanku?” tanyanya mengancam.

Si pengawal mendorongku ke depan, mengakibatkanku terjatuh dengan keras pada lututku. “Kata Chanyeol perempuan ini memaksa bertemu pamannya,” ucapnya, terdengar bosan. Kemudian bergabung dengan pengawal lainnya di samping jendela dengan tinggi yang hampir dari lantai sampai ke atap. Siapa orang-orang ini? Mengapa mereka hanya berdiri sementara pamanku sedang disiksa?

“Sorin, kau harus pergi!” jerit pamanku, yang kemudian diikuti dengan erangan kesakitan.

Pria itu memelintir salah satu kuku pada tangan kiri paman Rin. “Diam,” bentaknya, dicopotnya kuku tersebut dan dilemparnya ke samping. Yang kemudian bergulir ke bawah kursi dengan bunyi yang keras. Dia menoleh padaku. “Jadi kau keponakannya Rin?” dia berjalan ke arahku, dengan palu yang masih tergenggam di tangannya yang berlumuran darah. Aku memundurkan tubuhku sampai akhirnya aku hanya diam berdiri. Seharusnya aku mendengarkan pengawal di luar tadi dan pergi saja. Entah apa yang sedang terjadi di sini sekarang, tentunya merupakan hal yang kucoba kuhindari selama bertahun-tahun. “Tunggu. Apa ini gadis yang Jongdae sarankan untuk pekerjaan pelayan beberapa bulan yang lalu?” tentunya ia mengenaliku, terbukti dengan seringaian sombong pada wajahnya.

Pamanku tak menjawabnya. Aku mencoba untuk memberinya pandangan takut dan penuh tanya namun dia terlalu kesakitan, dengan keringat bercucuran ke matanya yang mengaburkan pandangannya, untuk menyadarinya. “Dia hanya seorang anak kecil, Sehun,. Biarkan dia pergi,” mohonnya. “Dia takkan mengatakan apa yang telah dilihatnya. Kau marah padaku, jangan kau lampiaskan padanya.”

“Paman Rin-” aku mencoba untuk bertanya apa yang sedang terjadi namun pria itu, Sehun, berbicara tentangku seakan aku tak bisa mendengarnya.

“Dengar, aku akan melakukannya,” dia mendecakkan lidahnya seakan sedang mempertimbangkan pilihan, “namun dia sudah diberi tahu untuk tidak menggangguku meetingku yang sangat penting tapi dia tetap melakukannya. Aku tak suka saat orang mencampuri urusanku. Tapi hei!” dia mengangkat kedua tangannya dan melirik kami berdua, hampir tersenyum. “Sekarang aku melihat kau punya kelemahan yang entah bagaimana kulewatkan. Bagaimana dengan itu, Rin? Aku tahu tentang istrimu, transplantasi ginjalmu dua tahun yang lalu, gigi palsumu, dan lainnya. Jadi katakan padakku, bagaimana kau dapat menyembunyikannya dengan sangat baik?” guraunya mengejek, Sehun mengayunkan palunya.

“Biarkan ia pergi,” tuntutnya melalui gigi yang bergemertak. Aku berdiri mematung di tempatku, ragu apa aku seharusnya pergi atau mencoba membantu pamanku. Aku takut bila tak ada satupun dari kami yang dapat tertolong.

Sehun mengecapkan bibirnya. “Kemari, sayang.” Dia menjulurkan tangannya kepadaku, mengisyaratkan padaku untuk maju dengan dua jari. Aku mengambil satu langkah kebelakang.

“Pergi, Sorin!” kata pamanku cepat-cepat. Sebelum aku dapat melakukan apapun, Sehun telah mengambil dua langkah panjang dan menarik lengan atasku.

“Dia takkan dapat pergi terlalu jauh bahkan jika dia cukup bodoh untuk mencobanya, jadi mari kita hentikan saja.” Sehun menarikku mendekat, satu tangan terangkat ke atas untuk menangkup daguku, cincin yang dia pakai terasa dingin pada kulitku yang berkeringat. “Sebenarnya aku tak mau mengancam keluarga. Istrimu adalah orang yang bodoh dan aku ragu bila kau bahkan benar-benar merindukkannya dan semua orang sudah meninggal jadi aku akan langsung ke kekerasannya saja untuk mendapat apa yang kumau tapi kelihatannya-“ dia mengusap pipiku dengan pandangan mencela, “aku punya mainan baru untuk dimainkan. Jadi, apa katamu, Rin? Apa kau pikir kau dapat menemukan dua juta yang hilang secara misterius itu?”

Pama

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ssadssad #1
♥♥♥♥♥