Chapter 5 : Face The Reality

Be My Queen

Dan Pelatnas benar-benar tidak ada kata dan kesempatan untuk berleha-leha.

Setelah di hari pertama awal minggu lalu semua pelatih langsung menginstruksikan pemain untuk segera berlatih, hari ini semua pemain menjalani semua porsi latihan penuh. 25 lapangan yang tersedia tidak satu pun terlihat sepi. Semuanya terpakai untuk latihan, baik latihan fisik, drilling teknik, hingga permainan melawan rekan satu tim.

Hal itu terjadi karena pengumuman yang disampaikan oleh Coach Ha. Selaku pelatih kepala ia baru saja mengumumkan rangkaian turnamen yang akan diikuti oleh seluruh pemain dan turnamen-turnamen mana saja yang ia targetkan untuk memperoleh banyak juara. Tentu saja ia menargetkan banyak mendapat juara di turnamen-turnamen penting seperti Kejuaraan Dunia (World Badminton Championship), Sudirman Cup dan kejuaran di level Superseries dan Superseries Premiere seperti Superseries Finals, All England dan Indonesia Open. Namun ia juga mengharapkan di turnamen-turnamen lain, yang bukan menjadi target utama para pemain tetap dapat memberikan hasil yang terbaik.

Malaysia Master adalah turnamen terdekat di kalender BWF yang direncanakan akan diikuti oleh pemain utama Pelatnas. Sementara untuk pemain pratama akan dipersiapkan untuk mengikuti Iran International Challenge. Melihat waktu turnamen yang sudah dekat, pelatih dari semua sektor langsung memberikan porsi latihan penuh kepada semua anak asuhnya.

Tidak terkecuali Nichkhun. Meskipun ia adalah anggota baru tim tunggal putra, namun tidak berarti ia mendapat jatah latihan yang lebih sedikit dibanding rekan-rekannya yang lain. Bahkan rumor menyebutkan bahwa Nichkhun dihadirkan untuk mengisi slot tunggal putra utama yang telah ditinggalkan Son Wan Ho pensiun. Sehingga jika saat ini kau melihat apa yang terjadi di lapangan, kau akan menemukan Coach Park, pelatih yang menangani sektor tunggal putra tengah mendrilling Nichkhun. Drilling sendiri adalah latihan yang dinilai cukup efektif untuk menguji atau membentuk pukulan dan gerakan kaki.

Coach Park membuat Nichkhun pontang-panting meladeni umpan bola yang dilepasnya. Umpan bola itu dilepas bukan tanpa tujuan, melainkan untuk menguji sekaligus mematangka berbagai teknik permainan Nichkhun. Mulai dari teknik menerima dan mengembalikan serve, netting, backhand, forehand, overhead, hingga smash. Beragam pola pukulan pun dilontarkan Coach Park, dari pukulan bertempo lambat, sedang, hingga cepat. Sehingga tak sampai 15 menit latihan itu berlangsung puluhan shuttlekock sudah tergeletak di area lapangan Coach Park hasil dari pengembalian yang dilakukan Nichkhun.

Peluh mulai bercucuran, napas mulai memburu ditunjukkan dengan gerakan dada yang naik turun dengan cepat, tak ketinggalan jersey yang dikenakan juga sudah benar-benar basah akibat keringat. Coah Park benar-benar tidak kenal ampun mendrilling Nichkhun. Sudah hampir dua jam Nichkun harus meladeni drilling Coach Park tersebut. Bahkan ketika pemain lain sudah mulai diinstruksikan untuk bermain melawan satu sama lain, ia masih harus berhadapan dengan pelatih 54 tahun itu. Tampaknya ini akan menjadi salah satu penilaian Coach Park tentang sejauh mana kemampuan Nichkhun dan di bagian mana ia harus meningkatkan kemampuan Nichkhun yang dirasanya masih lemah. Urusan dia akan dikirimkan ke turnamen level mana? Tidak pernah ada yang tahu. Karena Coach Park adalah salah satu tipe pelatih yang penuh kejutan. Jangankan untuk Nichkhun yang anak baru, anak didiknya yang lama saja tidak pernah tahu dirinya akan dikirim ke turnamen mana.

"Cukup Khun. Kau boleh istirahat," instruksi Coach Park

Dengan langkah gontai, Nichkhun berjalan ke sisi lapangan. Air minum yang ia siapkan langsung tandas dalam sekejap. Jerseynya yang basah langsung ia lepaskan. Dan saking lelahnya, ia tidak duduk di kursi kayu yang tersedia di sisi lapangan tapi duduk menyelonjor lantai saja.

Saat Nichkhun tengah menurunkan tensi lelahnya dengan memperhatikan beberapa pemain yang masih seru bermain di lapangan, ia merasakan bahunya ditepuk oleh seseorang. Refleks Nichkhun pun menoleh dan menemukan seorang laki-laki berwajah oval berdiri di sebelahnya. Matanya yang sipit menatap Nichkhun dengan intens.

"Selamat bergabung di Pelatnas dan tim tunggal putra," laki-laki itu mengulurkan tangannya di depan muka Nichkhun yang bengong. "Maaf tidak sempat menyapamu awal minggu lalu," lanjut laki-laki itu dengan tangan yang masih terulur di depan muka Nichkhun.

"Ah..." Nichkhun bangkit dari duduknya kemudian meraih uluran tangan dari pemain yang ia tahu bernama Jae itu diringi dengan senyuman ramahnya. Namun entah apa yang justru terjadi, laki-laki bernama Jae itu justru membalas senyum ramah Nichkhun dengan, sinis?

Nichkhun hendak melepaskan jabatan tangan mereka namun Jae justru menggenggamnya dengan erat seraya berkata, "Mari bersaing dengan baik dan sportif."

Setelah itu Jae melepaskan jabatan tangannya seraya meninggalkan Nichkhun yang tidak sepenuhnya memahami apa yang baru saja ia alami.

Satu hal yang Nichkhun tahu dan yakini, laki-laki yang baru saja menyapanya itu adalah Park Jae Hyung. Tunggal putra potensial Pelatnas yang diproyeksikan akan menggantikan meneruskan kegemilangan prestasi Son Wan Ho yang telah pensiun.

Seingat Nichkhun, dirinya sudah beberapa kali bertanding melawan Jae, panggilan akrab Park Jae Hyung. Yang paling anyar adalah pertemuan mereka di final Kejuaran Nasional akhir tahun lalu. Namun selama beberapa kali Nichkhun dan Jae bertemu di pertandingan, nyatanya mereka belum pernah sekali pun berbicara atau berbincang secara langsung satu sama lain.

 

**** 

 

Malam harinya di sebuah kamar asrama perempuan, Sung Ji Hyun tengah berguling gelisah di atas tempat tidurnya. Padahal jika dilihat dari jarum jam dinding yang menggantung di atas pintu kamar, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Namun matanya belum sama sekali bisa ia pejamkan. Segala cara sudah ia lakukan. Berguling ke kanan, ke kiri, telentang, hingga berguling lagi namun tetap saja matanya tidak mau berkompromi. Badannya yang lelah bahkan tidak mampu membuatnya segera terpejam. Nampaknya ada sesuatu yang tengah dipikirkan perempuan itu.

"Eon, kau tidak bisa tidur eoh?" sebuah suara serak mengagetkannya. Disusul sebuah kepala menyembul dalam posisi terbalik dari atas tempat tidurnya. Ekspresi yang terpancar di wajah itu adalah mengantuk, prihatin, namun juga penasaran.

Ranjang yang mereka tempati itu memang ranjang dua tingkat. Satu orang berada di bagian bawah, sedangkan satunya di bagian atas. Maka jika ada salah satunya bergerak-gerak, maka yang lainnya akan bisa merasakan gerakan yang ditimbulkan.

"Mianhae membuatmu terbangun, Ga Eun-ah," jawab Ji Hyun lirih memandang wajah yang menatapnya dengan posisi terbalik itu.

Ia kemudian merasakan tempat tidurnya bergerak. Tidak lama, teman sekamarnya itu sudah turun dari tempat tidurnya dan mendesak dirinya untuk memberikan ruang di tempat tidurnya. Selanjutnya ia merasakan sebuah tangan memeluk tubuhnya.

"Eon, gwenchana?"

Ga Eun, meskipun usianya terpaut hampir tujuh tahun lebih muda dibandingkan Ji Hyun tapi Ji Hyun merasa sangat nyaman berteman dan bersahabat dengan atlet yang notabenenya adalah juniornya itu. Dia bisa menumpahkan segala emosi, perasaan, dan permasalahan yang tengah melandanya pada gadis yang baru berusia 19 tahun itu. Usia Ga Eun boleh muda, tapi ketenangan dan kebijaksanaannya dalam menghadapi suatu masalah jauh melebihi usianya. Namun di sisi lain, sifat polos dan juga lucunya membuat Ji Hyun yang merupakan tipe agak serius itu bisa sedikit melepaskan keseriusannya.

"Aku tidak apa-apa Ga Eun-ah," Ji Hyun menepuk-nepuk punggung tangan Ga Eun yang melingkar di perutnya. "Kau tidur saja, besok kau harus drilling dengan Coach Jung kan?"

Ga Eun mengeratkan pelukannya mengirimkan sinyal bahwa ia merasakan bahwa Ji Hyun berbohong padanya.

"Ga Eun-ah..."

"Hmm..."

"Apa yang akan kau lakukan jika kau bertemu dengan orang yang sangat kau benci....?"

"Tapi sekaligus juga kucintai?" Ga Eun memotong tapi juga sekaligus melanjutkan lanjutan kondisi yang sudah dipastikan tidak akan diucapkan Ji Hyun.

Ji Hyun menjauhkan kepalanya dan melihat wajah Ga Eun dengan penasaran. Bagaimana dia bisa berkata sesuatu yang benar padahal seingat Ji Hyun dia tidak pernah membicarakan topik ini dengan Ga Eun sebelumnya.

Ga Eun bangkit dari posisi tidurnya kemudian duduk bersila dengan memeluk bantal yang tadi ditidurinya, memandangi perempuan yang sudah ia anggap sebagai kakak itu dengan seksama. Diperhatikan dengan sebegitunya membuat Ji Hyun tidak nyaman. Ia kemudian bangkit dan ikut duduk bersama Ga Eun.

"Eonni mungkin bisa berbohong dan menutupi semuanya dariku," Ga Eun meraih tangan Ji Hyun, menggenggamnya dengan erat. "Tapi eonni tidak bisa berbohong dengan hati dan perasaan eonni sendiri."

Ji Hyun menundukkan kepalanya dalam-dalam. Ga Eun benar. Dia bisa saja berbohong dan menutupi semua permasalahannya pada orang lain, namun ia tidak bisa berbohong pada dirinya sendiri. Dan segala permasalahan ini bisa jadi akan mempengaruhi permainannya jika ia tidak segera menyelesaikannya.

"Lalu aku harus bagaimana Ga Eun-ah?" suara Ji Hyun terdengar seperti frustasi. "Di satu sisi aku sangat merindukan sekaligus berharap aku dan dia bisa bersama-sama. Namun ketika ia sudah disini, di dekatku, dan kemungkinan akan bisa terus bersamaku, aku justru membenci keberadaannya..."

Ga Eun menggenggam tangan Ji Hyun semakin erat. Dia yang baru 19 tahun, hanya punya pengalaman jatuh sekali. Itu pun hanya cinta monyet yang tidak akan pernah tersampaikan. Setelah itu, dia memilih untuk tidak berurusan dengan asmara dan ingin fokus untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang atlet bulu tangkis.

"Aku pernah mendengar perkataan dari seseorang, bahwa jika kita memiliki apapun entah itu masalah, ketakutan atau hal lain, kita seharusnya tidak sembunyi. Melainkan menghadapinya. Tentang bagaimana kita akan menghadapinya, setiap orang pasti memiliki caranya masing-masing. Meskipun kondisi yang dihadapi sama persis."

Ji Hyun mengernyit mencoba meresapi setiap kata yang diucapkan oleh Ga Eun.

"Apa eonni masih ingat ketika aku meminta saran eonni sehari sebelum aku bertanding melawan pemain Jepang, Aya Ohori?" Ji Hyun mengangguk. "Eonni hanya berkata padaku untuk bermain saja seperti pola bermainku yang biasanya. Jangan meniru pola bermain eonni atau pemain lain." Ji Hyun lagi-lagi mengangguk. "Meski pada akhirnya aku kalah, tapi aku puas. Karena aku tahu dimana letak kekurangan pada pola permainanku."

Ji Hyun akhirnya tersadar, bahwa ia seharusnya tidak perlu ambil pusing dengan semua apa yang ia alami dan jalani saat ini. Ia hanya perlu untuk menghadapinya tanpa perlu banyak berpikir.

"Sekeras apapun eonni menghindar, Khun oppa akan tetap eonni temui setiap hari. Bahkan ketika eonni harus pergi bertanding, Khun oppa juga akan pergi ke turnamen yang sama. Karena eonni dan dia berada dalam level yang sama."

Mata Ji Hyun membulat ketika mendengar Ga Eun menyebut 'Khun oppa'. Apakah itu berarti Ga Eun mengetahui secara pasti siapa orang yang membuatnya galau malam ini?

"Ga Eun-ah...."

"Beberapa hari yang lalu aku bertemu Nichkhun oppa. Dia banyak menanyakan tentangmu. Dan ketika eonni tidak sengaja bertabrakan dengan Nichkhun oppa, aku melihat semuanya. Dan dari situ aku mulai berasumsi bahwa pernah terjadi sesuatu antara eonni dan Nichkhun oppa."

Penjelasan panjang dari Ga Eun itu benar-benar membuat Ji Hyun terperangah. Anak itu benar-benar pengobservasi situasi terbaik. Bahkan ketika dia hanya melihat dari beberapa kejadian dan belum mendapat konfirmasi kebenaran dari subjek yang bersangkutan.

"Semuanya terserah eonni saja," Ga Eun menepuk pundak Ji Hyun. Kemudian ia beranjak dari atas tempat tidur Ji Hyun, naik ke tempat tidurnya sendiri dan mengucapkan selamat malam dan selamat tidur pada Ji Hyun yang masih terperangah dengan semua perkataan yang disampaikan Ga Eun.

 

**** 

 

Hari Rabu adalah hari kunjungan media. Semua media baik cetak, elektronik, hingga online diberikan izin masuk Pelatnas untuk meliput suasana latihan dan persiapan atlet-atlet yang akan dikirim bertanding ke sebuah turnamen. Biasanya visitasi media akan ramai diikuti berbagai media di awal dan akhir tahun serta menjelang turnamen besar seperti All England, Indonesia Open, Sudirman Cup, atau Superseries Final. Dan berhubung saat ini masih dalam suasana awal tahun, maka tak perlu heran jika ruang tunggu Pelatnas dipadati reporter dan sisi-sisi lapangan tempat pemain berlatih banyak fotografer tengah memotret.

Nichkhun yang tengah bermain santai dengan pemain pratama menangkap kehadiran seseorang yang sangat dikenalnya. Dengan masih terus meladeni permainan dari lawan, Nichkhun mencuri-curi pandang pada orang yang tengah asik memotret itu.

"Aku tahu kau memperhatikanku daritadi, hyung. Jadi berhentilah bermain sok keren dan sok cool seperti itu," protes orang yang diperhatikan oleh Nichkhun tersebut. Ia sudah berdiri di sisi lapangan tempat Nichkhun bermain.

"Chan..." sapa Nichkhun melambaikan raket yang ia pakai kemudian berjalan menghampirinya.

"Aku mengira tadi aku salah melihat orang,"

Mata Chansung membola mendengar ucapan Nichkun. Namun ia dengan patuh mengekori ke arah Nichkhun berjalan. Sambil terus membidikkan lensa kameranya pada objek indah di depannya. Sebagai seorang fotografer freelance, Chansung memang harus benar-benar jeli dalam menentukan objek serta angle foto-foto yang akan ia hasilkan. Ia tidak bisa sembarangan dalam membidikkan lensa kameranya. Ia harus bisa menghasilkan foto yang berbeda. Dan kedekatan dengan Nichkhun, pemain tunggal putra yang digadang-gadang akan melejitkan bulu tangkis sektor tunggal putra Korea Selatan di mata dunia seperti ini tentunya adalah kesempatan langka yang tidak bisa didapatkan oleh semua fotografer.

Selain itu, Nichkhun memang salah satu objek favorit Chansung dalam menghasilkan foto.

Karena Nichkhun tidak pernah terlihat jelek!

Dan itu terkadang melukai harga diri Chansung. Haha..

"Jadi hyung, bagaimana rasanya bergabung dengan Tim Nasional?" tanya Chansung ketika ia dan Nichkhun sampai di taman belakang Pelatnas. Keduanya duduk bersebelahan di kursi taman.

Nichkhun mengangkat kedua bahunya sebagai jawaban atas pertanyaan Chansung.

"Oh ayolah hyung... pasti ada perbedaan antara disini dan di luar sana," Chansung mencoba memancing Nichkhun untuk bercerita.

Nichkhun menghembuskan napasnya keras-keras.

"Perbedaan pasti ada Chan..."

Jawaban dari Nichkhun itu seketika membuat Chansung tertarik. Ia yang awalnya menyandarkan punggungnya di kursi taman seketika ia tegakkan. Tubuhnya ia condongkan ke arah Nichkhun menunjukkan keantusiasan.

"Disini pola latihanku lebih teratur. Sparring bertandingku juga jelas dan kualitasnya hampir setara denganku. Aku pun bisa meningkatkan kualitas permainanku. Tapi entah mengapa disini aku jauh lebih tertekan dan tidak bisa menikmati apa yang biasanya bisa aku nikmati." 

"Ini sama sekali bukan jawaban yang kuharapkan, hyung," tersirat nada kecewa dalam perkataan Chansung yang seketika membuat Nichkhun menatap Chansung lekat-lekat.

"Karena Nichkhun yang kukenal adalah Nichkhun yang sangat ingin dan berambisi untuk dapat bergabung di Tim Nasional. Jadi ketika ia akhirnya ia bisa bergabung dalam tim idamannya, sudah bisa kupastikan bukan kondisi seperti yang kau ceritakan tadi yang akan kudapatkan..." Chansung menggantung penjelasannya untuk mengamati perubahan ekspresi Nichkhun.

Nichkhun menunduk menghindari tatapan penasaran namun mengintimidasi dari Chansung. Jika dilihat secara kedekatan, diantara kelima sahabatnya Nichkhun bisa dibilang tidak terlalu dekat dengan sahabat termudanya itu. Namun secara emosi, Chansung bisa dengan sangat mudah menebak apa yang dirasakan Nichkhun atau bahkan sahabat-sahabatnya yang lain.

Hal itu terjadi mungkin karena Chansung sudah sangat terbiasa membaca emosi dari setiap objek fotonya. Dari balik jendela bidik kamera yang digunakannya, Chansung membaca, mengamati, dan mengartikan ekspresi-ekspresi apa yang ditunjukkan oleh objeknya. Bahkan ketika objeknya menunjukkan ekspresi yang berbeda dengan apa yang sebenernya dirasakannya. Kebohongan itu tetap terbaca.

Chansung pernah menyebutnya sebagai naluri seorang fotografer.

Nichkhun kemudian mengangkat wajahnya, menghembuskan napasnya perlahan namun tatapannya yang lurus ke depan justru kosong.

"Hyung..." Chansung menepuk bahu Nichkhun namun Nichkhun tidak meresponnya.

"Hyung..." coba Chansung sekali lagi.

Dan baru pada percobaan ketiga, Nichkhun merespon ucapan Chansung. Nichkhun menoleh ke arah Chansung.

"Apa ada perkataanku yang salah?" tanya Chansung sambil mengernyitkan dahinya.

Nichkhun menggeleng. "Anni... aku hanya sedikit memikirkan sesuatu..."

Chansung hanya diam memperhatikan. Tidak berniat untuk menjeda. Ia merasa bahwa sebentar lagi Nichkhun akan mengutarakan hal yang mengganjal dalam hatinya.

Nichkhun menggeser duduknya menghadap Chansung. "Chan... apa kau ingat seorang yeoja yang pernah kuceritakan pada kalian berlima dulu?"

"Yeoja?" ulang Chansung. Kerutan di dahinya semakin dalam. Ia mencoba mengingat setiap detail dan setiap cerita yang pernah mereka saling bagikan satu sama lain. Sementara di depannya Nichkhun hanya mengangguk antusias.

Butuh waktu sekitar satu menit hingga akhirnya Chansung mengingat cerita yang dimaksudkan Nichkhun. Bahkan Chansung hampir setengah berteriak ketika ia akhirnya berhasil mengingat hal itu.

"Memangnya apa hubungannya yeoja itu dengan kegalauanmu kali ini?"

Nichkhun kembali mengubah posisi duduknya. Kali ini ia menyandarkan punggungnya di kursi. Kepalanya ia tengadahkan melihat ke arah langit biru dan awan-awan putih sebagai penghiasnya.

"Dia ada disini..." ucap Nichkhun lirih.

"Mwo?" Chansung terperangah. Ia yang sebelumnya memposisikan dirinya sama dengan Nichkhun refleks mengubah posisi duduknya menatap Nichkhun. "Nuguya?" 

"Kalau aku menyebut namanya pasti kau tidak menyangka," Nichkhun melihat ke arah Chansung yang masih memasang wajah penasaran.

"Nugu? Apa dia fisioterapis? Pelatih? Atau bahkan sesama pemain?"

"Sesama pemain."

Chansung membekap mulutnya yang refleks menganga.

"Sung Ji Hyun."

Nama yang disebutkan Nichkhun benar-benar tak terduga. Chansung sampai benar-benar tidak bisa menyembunyikan kekagetannya. Semua terlihat dari ekspresi matanya yang membelalak serta mulut mengaga yang ia tutupi dengan kedua telapak tangannya.

"Daebak...." reaksi Chansung ketika ia berhasil menguasai ekspresi dan kekagetannya.

Setelah itu meluncurlah cerita Nichkhun. Jika pada cerita sebelumnya, Nichkhun hanya bercerita tentang dirinya yang memiliki seorang teman masa kecil yang ia janjikan akan ia jadikan sebagai seorang ratu. Maka di cerita kali ini tentang bagaimana ia dan teman masa kecilnya itu bertemu lagi setelah lama tidak bertemu. Ya, sehari setelah kejadian Nichkhun mengutarakan janjii bahwa ia akan menjadikan teman masa masa kecilnya itu sebagai seorang ratu, dirinya dibawa pindah oleh kedua orang tuanya. Meninggalkan rumah dan si teman masa kecil.

Pertemuan itu tidak disangka-sangka. Keduanya bertemu lagi di salah satu club bulu tangkis. Teman masa kecilnya yang dulu di matanya adalah seorang perempuan yang manja dan cengeng, saat itu telah berubah menjadi perempuan yang tangguh. Bahkan ketika pertama kali Nichkhun melihatnya lagi, perempuan itu tengah menjalani latihan 1 vs 3. Di latihan 1 vs 3 itu, teman masa kecilnya itu harus melawan 3 orang pemain lain. Dua diantaranya adalah laki-laki.

Dari pertemuan itu keduanya pun akhirnya kembali dan semakin dekat. Tak disangka-sangka, keduanya pun memiliki ambisi dan cita-cita yang sama. Yakni dapat menjadi pemain profesional dan bergabung di Pelatnas menjadi Tim Nasional.

Mereka berjanji untuk selalu saling mendukung dan melakukan semuanya bersama-sama. Termasuk untuk masuk ke Pelatnas. Mereka harus bersama!

Hingga pada saatnnya, Pelatnas melakukan pemanggilan pada beberapa pemain potensial untuk mengikuti seleksi. Nama Nichkhun dan Sung Ji Hyun sudah pasti masuk ke dalamnya. Keduanya bersama-sama menjalani tes dan sangat yakin bahwa keduanya akan diterima bersama. Namun ternyata takdir berkata lain.

"Kau pasti tahu apa yang terjadi sesungguhnya setelahnya..." Nichkhun memandang Chansung dan Chansung hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

"Sejak saat itu Ji Hyun tidak pernah mau menyapaku. Bahkan untuk menatapku langsung dia tidak mau. Beberapa kali kita tidak sengaja bertemu di arena pertandingan, tapi alih-alih menyapa dia lebih memilih menghindariku. Hingga saat ini," cerita Nichkhun dengan suara lirih.

Chansung menepuk-nepuk bahu Nichkhun memberikan dukungan pada sahabat sekaligus kakaknya itu.

"Saat aku berambisi ingin masuk kesini, aku melupakan bahwa ada Ji Hyun juga disini. Jadi ketika aku akhirnya berada disini, mau tidak mau setiap hari aku harus melihat tatapan dingin dan bencinya. Menghadapi sikapnya yang selalu menghindariku. Membuatku sangat tidak nyaman!" Nichkhun meremas dan mengacak-acak rambutnya.

Namun secara tak terduga, Chansung justru mendengus kemudian tertawa. Senyum mengejek terpatri di wajahnya.

"Kau mengejekku? Jahat sekali kau!" Nichkhun memukul bahu Chansung.

Tawa Chansung yang sedari tadi sudah ia tahan seketika meledak. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa kegalauan seorang Nichkhun Buck Horvejkul pasca bergabung menjadi Tim Nasional adalah karena seorang perempuan. Ia berharap bahwa Nichkhun akan menceritakan tentang bagaimana beratnya porsi latihan, atau tentang bagaimana jahatnya sang pelatih yang menyiksanya dengan porsi latihan super padat. Sungguh sesuatu yang di luar harapan.

"Menurutku kau hanya terlalu terbawa perasaan hyung. Dan ini sama sekali bukan sifatmu," ucap Chansung masih diselingi dengan tawa.

Sementara Nichkhun hanya memberengut sebagai reaksinya.

Chansung kemudian memegang kedua bahu Nichkhun. Memaksa Nichkhun untuk memandang lurus ke arah wajahnya yang nampak serius.

Chansung menghela napas singkat kemudian menghembuskannya. Kedua bahunya ikut terangkat seperti ia memang sengaja melakukannya sebelum akhirnya berbicara pada Nichkhun.

"Hadapi dia hyung. Buat dia takluk, memaafkan, kemudian menerimamu..."

"....Hwaiting!"

Chansung mengepalkan kedua tangannya layaknya seorang suporter tengah memberikan semangat pada idolanya. Setelah melakukan itu Chansung langsung berdiri meninggalkan Nichkhun yang sepertinya terperangah akibat kelakuan maknaenya itu.

"Hyaa.... Hwang Chansung. Apa maksudmu...???!!!"

Teriakan Nichkhun menggelegar tapi Chansung sudah lebih dulu sampai di pintu penghubung antara taman dan hall. Sehingga kemungkinan besar Chansung tidak akan mendengar teriakan Nichkhun.

Namun di balik pintu, Chansung menyunggingkan senyumnya. Sebelum ia akhirnya melangkahkan kakinya meninggalkan Pelatnas.

 

 

...... bersambung ........

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet