Chapter 2 : Dilema

Be My Queen

Siang itu Nichkhun berada di kantor Taecyeon untuk membicarakan kelanjutan sponsorship dirinya setahun ke depan. Sebenarnya tanpa harus dibicarakan pun sponsor dari perusahaan Taecyeon untuk dirinya akan terus berlanjut seperti biasanya dan sebelum-sebelumnya. Tapi demi legalitas hukum dan transparansi dana, pembicaraan dan pembaruan kontrak sponsor harus selalu dilaksanakan.

"Jam berapa Minjun hyung dan yang lain akan datang bergabung?" tanya Nichkhun pada Taecyeon yang sedang meneliti berkas-berkas yang baru saja ditandatangani Nichkhun.

Taecyeon mengalihkan matanya sejenak dari berkas-berkas di tangannya dan melihat ke jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Wooyong bilang mereka akan datang lima belas menit lagi," jawab Taecyeon kembali menekuni berkas-berkasnya.

"Ommoyaa... aku jadi mengantuk," keluh Nichkhun. Mengubah posisi duduknya menjadi posisi malas-malasan di sofa ruang kerja Taecyeon.

Dari balik mejanya, Taecyeon hanya melirik sekilas sahabat yang sudah ia kenal sejak sepuluh tahun yang lalu itu. Di matanya Nichkhun adalah orang yang selalu tampak optimis, realistis, dan penuh semangat. Tapi semenjak perbincangan mereka di apartemen Nichkhun beberapa hari yang lalu, Taecyeon seolah melihat Nichkhun yang berbeda. Ia seperti melihat kebalikan dari Nichkhun yang sesungguhnya.

"Khun.."

Taecyeon beranjak dari duduknya, berjalan ke arah Nichkhun kemudian duduk di sofa tunggal di sebelah Nichkhun duduk. Nichkhun hanya mengikuti arah gerak Taecyeon dengan matanya tanpa mengubah posisi duduknya yang malas-malasan.

"Maaf kalau ini akan mengganggu moodmu, tapi aku hanya ingin tahu apa kau sudah memutuskan mengenai hal yang kita bicarakan di apartemenmu beberapa hari yang lalu?" tanya Taecyeon dengan sangat hati-hati.

Tidak langsung menjawab, Nichkhun lebih dulu membenarkan posisi duduknya. Ia mengubah posisi duduknya menjadi tegak menghadap Taecyeon yang menjadi lawan bicaranya.

"Jawabanku masih sama seperti sebelumnya, Taec. Aku belum bisa memutuskannya..."

"Woaahh.... memutuskan apa ini? Sepertinya kalian berdua sedang membicarakan hal yang serius."

Suara berisik nan melengking milik Jang Wooyoung menginterupsi percakapan Taecyeon dan Nichkhun yang baru saja akan dimulai. Di belakang Wooyong, muncul juga Chansung, Junho, dan Minjun. Mereka berenam bersahabat sangat dekat. Bahkan kedekatan mereka sudah seperti layaknya saudara. Meski menekuni bidang pekerjaan yang berbeda-beda, tetapi mereka saling membantu satu sama lain. Membantu dalam hal apapun! Tidak hanya dukungan atau moral, tetapi juga finansial, jasa, atau bahkan nyawa jika diperlukan.

Mereka pun selalu menyempatkan waktu untuk saling berkumpul, bertemu satu sama lain tidak peduli pekerjan sedang menumpuk atau deadline pekerjaan sudah hampir membunuh. Padahal jika mereka bertemu, dibanding membicarakan hal yang penting dan serius mereka lebih sering membicaran hal-hal sepele seperti hasil pertandingan sepak bola, cuaca yang sedang cerah, atau bahkan hanya sekedar gosip-gosip dari para artis.

"Jadi siapa yang akan bercerita pada kita? Taec hyung? Khun hyung?" tanya Wooyoung memandangi Taecyeon dan Nichkhun bergantian.

Namun bukannya menjawab segera menjawab, Nichkhun dan Taecyeon malah saling beradu mata. Berdebat tanpa kata hanya melalui ekspresi dan lirikan mata.

"Aigoo... ya sudahlah kalau kalian berdua belum mau menceritakannya pada kita," suara Junho menginterupsi perdebatan dalam diam antara Nichkhun dan Taecyeon. "Aku sudah lapar. Kita mau makan siang dimana?" lanjut Junho.

"Di ujung jalan sana sepertinya ada cafe baru yang dibuka. Sepertinya konsep cafenya menarik. Bagaimana kalau kita coba kesana," usul Minjun yang disepakati oleh yang lainnya.

Namun ketika keenamnya akan beranjak meninggalkan ruang kerja Taecyeon, Jia sekretaris sekaligus asisten pribadi Taecyeon masuk ke dalam ruangan dengan membawa selembar surat yang langsung diserahkan pada Taecyeon. Mata Taecyeon membulat ketika melihat bagian atas depan amplop. Logo, nama, dan alamat sebuah asosiasi olah raga tercetak jelas disana. Di bawahnya pada bagian penerima surat, tercetak nama Nichkhun Buck Horvejkul.

"Surat untukmu Khun," ujar Taecyeon mengangsurkan surat yang diterimanya pada Nichkhun.

Nichkhun yang sudah berdiri dan bersiap untuk pergi, kembali duduk setelah menerima surat yang diberikan Taecyeon. Begitu juga Minjun, Wooyoung, Junho, dan Chansung. Keempatnya kembali ke tempat duduk masing-masing menunggu Nichkhun usai membaca surat yang diterimanya.

Jika kalian bertanya-tanya mengapa surat yang ditujukan kepada Nichkhun diterima atau dialamatkan ke kantor Taecyeon, itu karena permintaan pribadi Nichkhun. Nichkhun ingin alamat dan kehidupan pribadinya tidak diketahui dan diusik oleh pihak-pihak lain. Ia ingin apartemennya bisa menjadi tempat paling nyaman untuk dia beristirahat dan menghabiskan liburan yang terkadang sangat singkat jika ia tidak sedang mengikuti rangkaian turnamen pertandingan. Selain itu, Nichkhun tidak ingin repot untuk menyortir surat-surat yang diterimanya. Terutama surat resmi yang memang kebanyakan selalu ditujukan pada sponsornya itu. Jikalau pun ada surat pribadi yang rata-rata dikirimkan oleh penggemar Nichkhun, Taecyeon yang akan memberikannya secara berkala kepada Nichkhun.

Butuh waktu sekitar 10 menit bagi Nichkhun untuk membaca surat yang sejatinya hanya satu lembar itu. Bukan karena format penulisan, diksi, ataupun bahasa yang digunakan dalam surat yang susah untuk dimengerti, namun maksud dan tujuan dari surat tersebut yang membuat Nichkhun harus membacanya berkali-kali.

"Ighe mwoya?"

Junho merebut surat yang masih berada di tangan Nichkhun ketika ia melihat Nichkhun ternyata sudah tidak fokus lagi pada surat yang ada di tangannya. Ekspresinya kosong meskipun pandangan matanya masih tertuju pada lembaran surat.

Wooyoung dan Minjun kemudian berpindah duduk ke sisi Junho, keduanya bersama dengan Junho bersama-sama membaca surat yang berhasil membuat seorang Nichkhun mendadak shock dan kehilangan fokusnya.

"Pemanggilan bergabung bersama Tim Nasional?" tanya Minjun setelah jeda keheningan yang cukup panjang. "Bagaimana bisa?"

Minjun, Junho, dan Wooyoung mengalihkan pandangan mereka dari surat dengan Badminton Asosiation of Korea (BAK) sebagai kepala surat ke arah Nichkhun untuk meminta penjelasan. Mereka menatap Nichkhun dengan tatapan yang mengandung arti bisa-bisanya Nichkhun tidak menceritakan hal sepenting ini kepada mereka. Nichkhun yang ditatap sebegitu intensnya hanya bisa menunduk.

"Eii.. eii.... jangan pandang Khun hyung seperti itu. Dia pasti punya alasan sendiri. Kalian jangan berpikiran negatif dulu," kali ini Chansung yang angkat suara setelah sedari tadi hanya mengamati keadaan.

Chansung yang duduk di seberang Minjun, Junho, dan Wooyoung kemudian mengambil surat milik Nichkhun yang diletakkan Minjun di atas meja. Membacanya dengan seksama sambil menunggu penjelasan dari Nichkhun.

"Semuanya berawal dari pertemuanku dengan Coach Ha yang merupakan pelatih kepala Tim Naaional dua minggu sebelum Kejuaran Nasional akhir tahun lalu. Dia bercerita bahwa tim tunggal putra Tim Nasional sedang mengalami krisis. Tunggal putra utama andalan mereka Son Wan Ho memutuskan untuk pensiun, sementara penerusnya belum ada yg menunjukkan prestasi yang signifikan,"

Nichkhun memulai penjelasannya yang disimak dengan seksama oleh sahabat-sahabatnya termasuk Taecyeon orang yang paling awal meminta penjelasan.

"Di tengah krisis itu, ternyata Coach Ha diam-diam memperhatikan permainanku. Dia tidak hanya memperhatikan dan mencatat hasil berapa kejuaraan yang berhasil kumenangkan, tetapi sampai pada grafik pola permainan, tipe bermain, dan head to headku dengan pemain-pemain lain. Dan dari  hasil evaluasi pengamatan dia, aku lah orang yang dicarinya untuk mengatasi krisis tim tunggal putra Tim Nasional."

Nichkhun menjeda sebentar penjelasannya agar sahabat-sahabatnya paham akan apa yang disampaikannya. Lalu ia melanjutkan, "Sebenarnya saat itu aku menolak tawaran Coach Ha untuk bergabung dalam Tim Nasional. Tapi Coach Ha justru menantangku dan mengajakku bertaruh.."

Kembali Nichkhun menjeda penjelasannya. Terlihat Minjun dan Wooyong sangat penasaran dengan kelanjutan penjelasan Nichkhun. Sedangkan Chansung, Junho, dan Taecyeon tidak menunjukkan ekspresi apapun.

"Coach Ha bertaruh bahwa aku akan memenangkan Kejuaraan Nasional akhir tahun. Dan jika aku berhasil menjadi juara, dia ingin aku mempertimbangkan penawarannya..."

"Dan hasilnya kau berhasil jadi juara," potong Chansung yang direaksi anggukan oleh Nichkhun.

"Kalian semua pasti tahu, jika aku sedang menghadapi sebuah kejuaraan aku akan fokus dan tidak akan memikirkan hal-hal yang lain. Begitu pun saat Kejuaraan Nasional kemarin, aku benar-benar lupa akan taruhan Coach Ha. Yang kupikirkan saat itu hanya menang, menang, dan menang. Aku sampai lupa bahwa kemenanganku itu akan berakibat aku harus mempertimbangkan tawaran Coach Ha. Aku baru mengingatnya lagi saat salah satu wartawan menanyakan padaku saat presscon usai pertandingan."

Junho menghela napasnya panjang, "Kau dalam masalah serius sekarang, hyung,"

Kelimanya mengangguk mengamini pernyataan Junho. Karena setelah penjelasan panjang dari Nichkhun semuanya akhirnya memahami diduk permasalahan yang dihadapi Nichkhun.

"Kalau sudah seperti ini apa yang akan kau lakukan, hyung?" tanya Wooyoung.

"Entahlah Woo. Aku masih bingung," jawab Nichkhun sambil meremas rambutnya.

Saat keenamnya sedang berdiskusi, membicarakan hal-hal apa saja yang harus dipertimbangkan oleh Nichkhun untuk mengambil keputusan tiba-tiba ponsel milik Nichkhun berdering. Nama Coach Ha terpampang di layar ponsel.

"Yoboseo..." sapa Nichkhun setelah menggeser tombol hijau dan menempelkan poselnya pada telinga kirinya.

Entah apa yang dibicarakan Coach Ha di seberang telepon sana. Nichkhun hanya mengangguk-angguk sambil sesekali berdeham untuk menanggapi perkataan-perkataan Coach Ha. Tidak lama setelahnya percakapan usai namun ekspresi Nichkhun semakin kusut.

"Kenapa Khun?" tanya Taecyeon.

"Coach Ha meminta jawaban dari surat pemanggilan itu paling lambat akhir bulan ini," jawab Nichkhun lemah.

Keenamnya terdiam berjibaku dengan pikiran masing-masing. Yang sangat jelas berpikir berat sudah pasti Nichkhun. Dirinya harus memikirkan keputusan apa yang paling tepat untuk dirinya. Juga untuk 'dia' yang berada disana.

****

Sementara itu, di Pelatnas Coach Ha mengumpulkan seluruh anak didiknya. Hari ini adalah latihan terakhir mereka sebelum mereka diberi jatah liburan akhir tahun selama satu bulan. Senggangnya jadwal turnamen di akhir tahun hingga awal tahun membuat pemain-pemain di Pelatnas bisa menikmati libur cukup panjang. Namun seperti tahun-tahun sebelumnya, sebelum para pemain pergi meninggalkan Pelatnas untik menikmati liburan, Coach Ha akan mengumumkan evaluasi akhir tahun sekaligus memberitahukan siapa-siapa saja pemain yang terkena peringatan hingga yang terkena terdegradasi.

"Saya harap tahun depan kalian semua yang masih mendapat kesempatan untuk bergabung di Tim Nasional dan Pelatnas dapat berlatih dengan keras serta berusaha lebih maksimal lagi untuk memperoleh hasil terbaik di turnamen yang akan kalian ikuti. Saya tidak ingin, target yang sudah kita tentukan tidak dapat tercapai hanya karena usaha kalian yang kurang maksimal," seru Coach Ha di depan anak didiknya. "All England, Piala Sudirman, Indonesia Terbuka, Kejuaraan Dunia, dan Superseries Final adalah target utama yang harus kalian capai. Target ini untuk semua sektor. Tidak hanya tim ganda dan tunggal putri saja. Tapi tim tunggal putra, kalian harus buktikan!" lanjut Coach Ha bersungut-sungut.

Di sudut belakang kerumunan para atlet, nampak seorang lelaki bermata sendu memainkan resleting tas raketnya di sela-sela mendengarkan 'ocehan' Coach Ha yang berdiri sekitar setengah meter di hadapannya. Bukannya ia tidak menghormati sang pelatih kepala yang sedang bersemangat memberikan pengarahan kepada anak didiknya, tetapi ia sendiri yang sedang terjebak dalam putaran suasana dan perkataan sang pelatih kepala kepadanya beberapa jam sebelum pengumpulan seluruh pemain ini.

"Jae, melihat performamu di berbagai turnamen dalam satu tahun ini dengan sangat menyesal aku harus memberimu surat peringatan," ucap Coach Ha tanpa basa-basi setelah Jae melewati pintu memasuki ruang pelatih kepala.

Jae atau Park Jae Hyung, pemain tunggal putra Tim Nasional itu hanya bisa diam menunggu perkataan selanjutnya yang akan disampaikan sang pelatih kepala.

"Sejujurnya aku sangat berharap kepadamu untuk menggantikan posisi Son Wan Ho sebagai tunggal putra utama. Namun melihat grafik permainanmu yang cenderung semakin turun terutama setelah Son benar-benar mundur, aku jadi ragu menjadikanmu tunggal putra utama," lanjut Coach Ha lugas.

Begitulah gaya bicara Coach Ha. Lugas, jelas, dan tidak bertele-tele. Bagi sebagian orang yang tidak begitu mengenalnya, mungkin akan langsung merasa sakit hati mendengar perkataan-perkataannya yang sering dikatakan tanpa tedeng aling-aling.

Coach Ha berjalan mendekati Jae, duduk di sebelahnya kemudian merangkul pundaknya. "Yang kulihat belakangan ini, kau kurang bersemangat dan kurang kompetitif saat berlatih disini Jae. Kau merasa sudah menjadi yang pertama setelah Son Wan Ho pensiun. Padahal di luar sana, pemain dari negara lain masih terus mengembangkan permainannya. Tidak terkecuali pemain utamanya."

Jae menoleh menatap wajah Coach Ha. Mimik mukanya tidak bisa diartikan.

"Wae? Apa ada yang salah dengan perkataanku? Katakan saja," tanya Coach Ha lembut dengan senyum di wajahnya. Senyuman yang tulus, senyuman yang memberikan ketenangan dan kepercayaan untuk lawan bicaranya berbicara jujur dan terbuka.

Jae menunduk, memutuskan kontak mata dengan Coach Ha. Setelah itu berkata, "Maafkan saya Coach. Saya berjanji akan berubah lebih baik lagi kedepannya."

Coach Ha memeluk erat anak didiknya itu. Pelukan yang menunjukkan bahwa dirinya percaya terhadap apa yang diucapkan Jae. Pelukan yang diharapkan dapat diingat oleh Jae agar dirinya menepati janji yang diucapkannya sendiri.

Coach Ha memang dikenal sebagai pelatih kepala yang keras, disiplin, dan cukup ambisius yang selalu menginginkan anak-anak didiknya mendapatkan hasil yang terbaik dalam setiap turnamen yang diikutinya. Namun tidak banyak yang tahu, dibalik sikap keras, disiplin, dan ambisiusnya Coach Ha menyimpan sifat yang lembut, pemurah dan penyayang.

"Untuk membantumu kembali kompetitif, aku sudah memanggil satu pemain profesional untuk bergabung dengan tim tunggal putra. Jika dia setuju, dia akan mulai bergabung saat kita memulai latihan lagi bulan depan," ungkap Coach Ha masih dengan memegang kedua bahu Ae.

Mata Jae membulat. Terkejut sekaligus penasaran dengan siapa orang yang dimaksud oleh Coach Ha.

"Tapi aku tidak akan memberitahumu siapa orang itu sekarang. Kau akan tahu ketika kau kembali dari liburan akhir tahun nanti," kekeh Coach Ha sembari berdiri dan berjalan ke arah meja kerjanya merapikan beberapa berkas yang tercecer di atas meja.

"Jae... Jae..."

Suara bisikan menyadarkan Jae dari lamunannya. Ditolehnya sumber suara yang berasal dari sisi kiri duduknya. Seorang perempuan berkulit putih dengan rambutnya yang masih dicepol melambaikan tangan kepadanya.

"Gwenchana?" tanyanya dengan berbisik.

Jae hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tidak banyak kata yang bisa dia sampaikan karena ia juga masih harus beradaptasi dengan keputusan serta keadaan yang baru saja diterimanya. Meski Coach Ha memberinya kesempatan, tapi peringatan 6 bulan itu juga bukan peringatan yang bisa dipermainkan. Jika dalam 6 bulan dirinya tidak dapat memenuhi target yang diharapkan Coach Ha, maka dia harus bersiap untuk meninggalkan Pelatnas dan Tim Nasional. Posisi yang didapatkannya dengan sangat bersusah payah.

****

"Jae, kau benar-benar tidak apa-apa?" lagi-lagi suara perempuan itu menginterupsi lamunan Jae. Telapak tangannya ditempelkannya pada kening Jae.

Dengan pelan Jae menyingkirkan telapak tangan itu. "Aku tidak apa-apa Ji Hyun-aah. Hanya sedang memikirkan hal-hal apa saja yang akan aku lakukan untuk mengisi liburanku."

Perempuan itu, Sung Ji Hyun. Teman satu Pelatnas Jae. Pemain tunggal putri utama sekaligus andalan Tim Nasional. Karirnya sangat cemerlang, di tahun lalu ia berhasil menjadi juara di dua turnamen level Superseries dan sekali menjadi runner up di level Superseries Premiere. Sisanya, ia sanggup stabil menjejakkan diri memasuki babak semifinal. Karena harus diakui persaingan di Tunggal Putri sangatlah ketat dan merata.

Ji Hyun yang sudah duduk di depan Jae memanyunkan bibirnya, "Kuharap kau tidak berbohong padaku Jae. Aku tidak suka orang yang berbohong," rajuk Ji Hyun.

Jae tertawa geli melihat kelakuan Ji Hyun yang berlagak sok manja itu. Karena Jae tahu Ji Hyun bukanlah perempuan manja seperti yang dilihatnya sekarang. Ji Hyun berlaku seperti itu pasti hanya karena ingin menghibur dirinya dan mencerahkan suasana agar tidak terlalu suram. Jae menyadari, aura yang dipancarkannya dalam beberapa jam terakhir adalah aura suram yang bisa saja membuat hewan-hewan dan tumbuhan yang dilewatinya mati serta layu mendadak karena efek suram aura yang dipancarkannya.

"Jadi apa yang akan kau rencanakan untuk mengisi liburanmu," tanya Ji Hyun mengikuti alur jawaban yang diberikan Jae tadi.

Namun Jae justru mengedikkan bahu sebagai jawabannya yang membuat Ji Hyun bersiap untuk menyemprotnya.

"Naahhh kaannn.... ketahuan kau berbohong kepadaku," sungut Ji Hyun. Tangannya menggapai-gapai bahu Jae berniat untuk memukulnya.

Jae menghalau tangan Ji Hyun yang terus berusaha memukulnya. "Nee.. miamhae Ji Hyun-aah. Mianhe..."

Ji Hyun menghentikan usahanya memukul Jae dan berganti memberikan death glare pada Jae yang direaksi Jae dengan cengiran.

"Mungkin aku akan mengunjungi ibuku di Jeju-do. Sudah lama aku tidak mengunjunginya," ungkap Jae setelah ia dan Ji Hyun saling diam cukup lama.

"Ne?" reaksi Ji Hyun menanggapi ucapan Jae. Tp ia segera memfokuskan diri kembali. "Kalau begitu sampaikan salamku padanya," ujar Ji Hyun diiringi dengan senyuman.

Jae hanya mengangguk menanggapinya.

"Jae... tahun depan kita akan bertemu lagi kan?" tanya Ji Hyun mengagetkan Jae.

Sejujurnya pertanyaan itulah yang ditunggu namun sekaligus juga dihindari oleh Jae. Secara waktu mereka mungkin masih akan bertemu. Namun siapa yang mampu untuk menjamin bahwa pertemuan itu akan selamnya berlangsung? Jika pertemuan itu harus dijamin dengan perbaikan prestasi dalam waktu enam bulan. Jika enam bulan itu gagal, maka tidak mungkin sebuah kata perpisahan harus segera terucap. Namun daripada membayangkan sesuatu yang buruk yang masih jauh di depan mata, bukankah lebih baik untuk menikmati dan memanfaatkan momen baik ini dengan sebaik-baiknya pula?

Jae tersenyum lebar pada Ji Hyun kemudian mengusap pucuk kepala Ji Hyun seraya berkata, "Tentu saja kita masih akan bertemu. Kau dan aku kan tumpuan di sektor masing-masing."

Namun tetap saja perih dirasakan oleh Jae apalagi ketika ia mengucap kata 'tumpuan'. Karena yang dia tahu, mulai tahun depan posisi itu akan digantikan oleh seseorang. Dan dia harus mengejar dan menyeimbangi, bahkan mengungguli orang tersebut jika ia menginginkan posisinya di Tim Nasional tetap aman.

Lidah Jae tiba-tiba saja berubah kelu setelah menjawab pertanyaan terakhir Ji Hyun. Sebenarnya banyak hal yang ingin ia sampaikan pada Ji Hyun termasuk kegundahan hatinya dan peringatan yang diberikan Coach Ha kepadanya. Namun diurungkannya niatan itu. Ji Hyun memang sahabat terbaik yang dimiliknya. Pendengar dan pemberi nasihat terbaik untuk setiap masalahnya. Namun kali ini lubuk hatinya berkata lain. Lubuk hatinya berkata, sebaiknya Ji Hyun tidak perlu tahu akan masalahnya. Ia harus bisa menyelesaikan sendiri masalahnya. Tidak perlu lagi mengikutcampurkan Ji Hyun ke dalamnya. Sebagai lelaki sudah seharusnya ia menyelesaikan masalahnya sendiri.

Karena Jae ingin, Ji Hyun memandangnya sebagai seorang 'lelaki'.

Bukan hanya sekedar seorang sahabat dan rekan seprofesi.

 

 

...to be continue...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet