Tegangan Listrik yang Besar

I Love You (and him)

Tepat satu minggu setelah pertemuan kami saat hari ulang tahunnya adalah tanggal 7 Januari.

Tanggal 7.

Salah satu tanggal dimana Hana selalu datang ke Kape Kopi untuk menemuiku. Tepatnya untuk memesan secangkir kopi hitam tanpa gula di deretan antrianku.

Selama seminggu terakhir ini, aku hanya berani mengintip obrolan SMS kami yang berhenti di kalimat “Maaf aku lupa. Selamat ulang tahun, Hana.”.

Ya. Hana tidak membalas pesanku malam itu. Aku pun tidak berani menghubunginya dahulu. Tidak ada alasan bagiku untuk mengiriminya pesan.

Meskipun aku sangat ingin.

Pagi ini aku melihat ramalan cuaca di internet yang mengatakan kalau hari ini di daerah Seoul akan cerah sepanjang hari. Tidak ada hujan ataupun mendung. Hari yang bagus untuk mencuci baju. Begitu kata teman kamar sebelahku dari balik pundakku. Hobinya mengagetkan orang. Aku tidak mau menambah karakter lain dalam cerita ini. Kita lewatkan saja cowok penuh misterius tapi populer itu.

Hari berjalan seperti biasa. Melelahkan. Aku melayani beberapa orang. Memasang senyum ramah sepanjang hari. Meminta maaf dan berterima kasih berkali-kali. Senang ketika melihat senyum pelanggan. Dan hanya bisa tersenyum mendengarkan keluhan pelanggan.

Hari yang melelahkan.

Ralat. Hari ini tidak seperti biasanya. Pukul 3 sore tepat. Biasanya Hana mulai masuk mendorong pintu kaca sehingga membunyikan bel. Suara khas dari bel itu akan membuat kami mengangkat wajah sambil tersenyum seramah mungkin untuk menyambut pelanggan.

Pukul 3:15 PM. Hana terlambat.

Bel berbunyi. Aku mengangkat wajah.

Bukan.

Beberapa kali setelahnya, bel terus berbunyi.

Beberapa kali aku tersenyum.

Beberapa kali aku merasa merindukannya.

Hari ini aku baru sadar kalau perasaan ini sangat mengganggu. Lebih mengganggu daripada hanya bisa memandangi obrolan SMS.

Pukul 3:50 PM. Hana masih terlambat.

Aku sudah mulai terbiasa untuk kecewa tiap kali bel pintu itu berbunyi. Sampai aku sudah tidak mau berharap untuk bertemu dengannya. Aku sempat beberapa kali mengecek ponsel. Memastikan kalau hari ini bukan akhir pekan. Memang bukan. Hari ini aku ingat kalau harus bertemu dengan dosen wanita yang dipuja oleh banyak mahasiswa. Tidak termasuk aku. Yang artinya hari ini adalah hari Selasa.

Aku juga sempat mengecek kalender. Memastikan kalau hari ini bukan tanggal merah. Bukan. Hari ini tanggal hitam. Setelah memastikan kalau tidak ada yang salah dengan hari ini, otakku mulai dipenuhi oleh kemungkinan-kemungkinan yang buruk. Ia bisa saja sedang sakit. Atau parahnya ia mengalami kecelakaan. Mungkin hal-hal buruk itu menimpa orang dekatnya, jadi ia harus menjaga orang tersebut.

4:00 PM.

Aku bergegas menuju ke belakang untuk bersiap pulang. Pegawai shift malam selalu datang tepat waktu. Baru hari ini aku sangat berterima kasih atas kedisiplinan mereka. Aku merangkul tas ranselku dan berjalan cepat menuju taman. Aku ingin melihatnya duduk di sana seperti biasa. Tidak apa kalau ia tidak menemuiku di Kape Kopi. Asalkan aku bisa memastikan kalau ia baik-baik saja, aku bisa berhenti panik.

Kakiku berhenti.

Sosok yang aku harapkan sedang duduk di bangku itu sambil bergumam tidak ada.

Aku semakin panik. Aku mulai bingung. Baru kali ini kebiasaannya berubah. Aku duduk di bangku itu untuk menenangkan diri. Aku mencoba berpikir dengan tenang. Bagaimana caranya aku bisa memastikan kalau ia baik-baik saja?

Otakku terus berputar dan tiba-tiba berhenti pada sebuah benda kecil bernama ponsel.

Aku sebenarnya bisa menghubunginya di situasi seperti saat ini. Kalau saja hubungan kami sangat dekat.

Alasan lagi.

Aku selalu membuat alasan untuk mundur mendekatinya. Dengan mantap aku membuka layar kunci ponselku. Menelpon nomornya di dial #3.

Panggilanku tersambung. Bunyi pertama tidak diangkat. Bunyi kedua tidak diangkat. Bunyi ketiga….

“Halo?”

Suaranya di ujung telepon sangat indah.

“Kyung? Tumben nelpon. Ada apa?”

Suaranya ceria. Hana baik-baik saja.

Kyungsoo berencana untuk menjawab sekenanya. Beralasan kalau ia salah pencet nomor. Alasan itu tercekat di tenggorokan ketika kalimat dari Hana masih berlanjut.

“Kangen ya?”

“Iya.”

Duh.

Kyungsoo menjawab spontan tanpa berpikir. Orang di sebelah sana malah tertawa. Kyungsoo hampir lega akan reaksi dari Hana. Ya. Ia mengaku kalau sedikit kecewa. Ia sedikit berharap Hana bereaksi sebaliknya. Lebih baik kalau saja Hana terdiam. Menandakan kalau Hana sedikit tahu tentang perasaannya. Tapi apa yang Kyungsoo harapkan?

“Jadi. Sebenarnya ada apa?”

Setelah puas tertawa, akhirnya Hana kembali bernada serius. Sepertinya ia menganggap percakapan tadi hanya candaan saja. Yang sudah jelas itu harus dicoret karena setahu Kyungsoo, ia tidak punya sifat bercanda. Ia tergolong ke dalam spesies bocah yang serius.

“Kamu sekarang di mana?”

Mendengar pertanyaan dari Kyungsoo, Hana melihat-lihat ke sekelilingnya. Saat ini ia berada di tempat yang banyak orangnya.

“Aku sedang menyeberang jalan.”

Hana mempercepat langkah kakinya setelah tahu kalau ia sudah sangat terlambat. Tadi ia harus mampir dulu ke tempat kursus memasak untuk mendaftarkan diri. Tidak tahu kalau orang-orang di sana sangat ramah, malah membuat Hana betah mengobrol dengan beberapa anggota dan pengurus kursus memasak itu. Sampai jam di tempat kursus itu berbunyi menandakan sudah pukul 3 sore lebih. Buru-buru Hana pamit pada mereka. Memberikan senyum termanis yang dipunyanya, Hana permisi untuk pulang terlebih dahulu.

Lampu berubah warna kuning menandakan kalau Hana harus mempercepat langkah kakinya. Suara di ujung sana masih diam. Sebenarnya, atas alasan apa Kyungsoo menelponnya? Apa karena ia tidak membeli kopi hitam?

Yap. Hana berhasil menyeberang disaat terakhir sebelum kendaraan bermotor melaju kencang.

Hana sudah bisa melihat bangunan Kape Kopi yang khas berwarna coklat tua. Ia akan mampir sebentar sebelum menunggu orang itu.

“Kamu sekarang di mana?” Hana mengerutkan keningnya. Kenapa Kyungsoo bertanya hal yang sama?

“Aku sekarang sudah dekat Kape Kopi. Aku mau membeli kopi hitam dulu.”

Hana mendorong pintu kaca dan secara otomatis suara bel yang khas itu berbunyi.

“Benar. Aku bisa mendengar suara bel pintunya.”

“Mbak. Kopi hitamnya tanpa gula satu, ya? Yang ukuran kecil saja….. Tadi kamu ngomong apa, Kyung?”

“Baik. Semuanya jadi 5,000 won.” (+/- Rp 60,000)

“Ini mbak.” Hana memberikan selembar 5,000 won.“Halo? Kyung?”

Hana bingung kenapa orang di seberang sana malah diam. Apa tadi Kyungsoo mengucapkan salam perpisahan tapi ia tidak mendengarnya? Ia mengecek layar ponselnya untuk memastikan apa Kyungsoo sudah memutus sambungan telepon.

Belum.

“Kopi hitam tanpa gula ukuran kecil. Silahkan.”

Hana membalas senyuman manis dari pegawai itu. Ia bergegas keluar dari Kape Kopi untuk menuju ke taman. Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Tidak mungkin ia bisa membuka pintu jika kedua tangannya sedang sibuk. Sebelumnya, Hana sempat memutuskan sambungan telpon dulu. Salah sendiri Kyungsoo nelpon malah diam saja. Tuh bocah kebanyakan pulsa mungkin.

Hana kembali sibuk memikirkan dunianya. Orang itu belum datang, Kan? Bisa habis aku malu diejek karena terlambat. Aku melihat arloji di pergelangan tangan kananku. Aku sudah sangat terlambat.

Sebentar. Aku harus merapikan diri dulu. Apa di sekitar sini ada toilet umum? Ah. Apa aku kembali ke Kape Kopi sebentar untuk meminjam toilet mereka? Ya sudahlah. Sudah biasa berantakan.

Aku berjalan agak cepat sambil memikirkan alasan yang pas kalau aku benar-benar terlambat.

Buk!

Seperti sebuah benda keras menabrakku. Kemudian tubuhku terasa sesak seperti sedang dililit oleh ular piton. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang sangat cepat, napasnya yang berantakan, keringat bercucuran di tubuhnya dan badannya terasa panas. Apa daritadi ia berlarian?

“Kyung?”

Aku tidak membalas pelukannya karena aku sangat terkejut. Apa ia khawatir?

“Apa kamu khawatir karena aku tidak datang?”

Ia mengangguk. Aku membalas pelukannya - hanya dengan tangan kiri karena tangan kananku sedang memegang cangkir kopi. Untung tidak tumpah.

Lama. Apa sudah lima menit? Ini bukan saatnya aku berpelukan dengan laki-laki lain. “Kyung? Apa kamu sudah tenang?” Ia menggeleng. “Baik. Satu menit lagi. Setelah itu, kamu lepaskan pelukanmu.” Ia mengangguk.

Aneh.

Berada di pelukan Kyungsoo membuatku tenang. Kapan laki-laki itu terakhir kali memelukku seperti ini?

“Benar. Teoriku benar.”

Aku mendengarnya dengan jelas walaupun suaranya lirih. “Teori apa?”

Kyungsoo tidak menjawab pertanyaanku. Ia melepas pelukannya. Dari wajahnya terbentuk senyum yang sangat manis membuatnya terlihat sangat tampan.

Tidak boleh.

Jantungku tidak boleh seperti ini. Aku segera menepis perasaan sesaat itu dengan membalas senyumannya.

Tangannya meraih kepalaku.

Tidak.

Ia berniat untuk merapikan rambutku. Dari ujung helai rambut-rambutku, aku bisa merasakan tangannya yang gemetar. Mungkin ia belum benar-benar tenang. Apa ia sangat khawatir?

Padaku?

Aku melebarkan senyumku. Memastikan kalau aku baik-baik saja. “Aku harus pergi sekarang. Kita searah, Kan?”

Ia menggeleng.

“Aku lewat sana saja. Aku mau mampir ke suatu tempat dulu.”

Aku mengangguk. “Kalau gitu… sampai jumpa.”

“Ya. Sampai jumpa.”

Rasanya, tekanan udara saat ini sangat berat. Apa akan turun hujan?

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet