Hari Lahir

I Love You (and him)

Hari berjalan seperti biasa. Kape Kopi selalu buka pukul 10 pagi. Para pegawai sudah siap di posisi masing-masing. 3 orang pegawai berada dibalik meja kasir untuk menerima pesanan dan 2 pegawai lain bersiaga untuk membantu. Semua pegawai memakai seragam yang sama. Kemeja berwarna putih tulang berlengan pendek bergaris vertikal dibalut dengan apron berwarna coklat polos.

Seorang pegawai berdiri di belakang meja kasir paling kiri bernama Doh. Doh Kyungsoo.

Bukan tanpa alasan senyum kecil sesekali terbentuk di wajahnya. Ketika tiba-tiba ia ingat kejadian kemarin sore. Ia masih ingat gambaran rambut basahnya. Bibir birunya yang bergerak menggumamkan angka 33. Ia senang wanita itu mengenal wajahnya di luar jam kerja.

“Jaketmu pasti akan aku kembalikan.”

Benar. Ia punya kesempatan untuk bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat. Bukan sebagai pelanggan dan kasir. Wanita itu bukan seperti tipe yang asal membuat janji. Lagi pula, wanita itu punya jadwal khusus mengunjunginya.

Untuk membeli kopi hitam.

“Mas, kopi hitamnya satu. Medium.”

Suara seorang pelanggan membuyarkan lamunannya. Pelanggan ini juga sering memesan kopi di tempatnya bekerja. Ia selalu datang disaat jam istirahat makan siang. Ia memakai setelan jas rapi. Sepertinya ia bekerja di salah satu kantor dekat Kape Kopi.

“Baik. Mau gulanya berapa sendok?”

“Tidak usah.”

Wanita itu juga biasanya memesan kopi hitam tanpa gula.

“Baik. Apa ada yang lain, Pak?”

“Tidak.”

“Semuanya jadi 6,000 won.” (+/- Rp 70,000)

Pelanggan itu memberi Kyungsoo uang sejumlah pecahan satu lembar 5,000 won dan selembar 1,000 won.

“Baik. Saya terima uangnya ya, Pak? Uangnya pas 6,000 won. Mohon tunggu sebentar.” Kyungsoo menyingkir ke belakang untuk membuatkan pesanan dari pelanggan tercintanya.

Pelanggan itu merogoh saku kanan celananya untuk mengambil benda kecil bernama ponsel. Ia menerima sebuah telepon. Terlihat ia menempelkan benda kecil itu di telinga kanannya daripada menatap layar kecil dari ponsel itu. Ia terlihat sibuk menerima telepon. Sepertinya tentang pekerjaan.

Setelah lulus kuliah nanti, Kyungsoo juga ingin merasakan kesibukan seperti pelanggan di depannya saat ini. Mencari nafkah untuk keluarganya yang menunggu di rumah. Saat pulang ke rumah dalam kondisi lelah, ia akan disambut dengan senyum dari istri dan pelukan hangat dari anaknya.

Bayangan wanita itu muncul. Ia sebagai istrinya. Wanita itu baru keluar dari dapur dan poni rambutnya berantakan. Dahinya dipenuhi oleh keringat tapi wanita itu sempat membuat senyum manis hanya untuk suaminya. Tunggu. Aku tidak tahu apa wanita itu bisa memasak.

“Silahkan.”

Pelanggan itu menerima secangkir kopi hitam idamannya sambil tersenyum kecil sebagai ganti ucapan terima kasih. Pelanggan ini memiliki ucapan yang dingin tapi gerak-gerik dan sikapnya sangat sopan. Tipe laki-laki yang jauh bila dibandingkan dengan Kyungsoo. Pelanggan itu tetap bicara di telepon lalu berjalan keluar dari Kape Kopi.

“Terima kasih. Silahkan datang kembali.”

Kyungsoo mendesah. Wanita itu cantik. Mungkin ia memang menunggu seorang laki-laki.

***

“Dua puluh empat.”

Ia menghitung laki-laki ke-24 yang lewat di depannya. Kali ini, bukan secangkir kopi hitam yang ada di sampingnya. Sebuah paper bag warna coklat polos berisi jaket yang kemarin ia cuci sebagai ganti secangkir kopi hitamnya.

Ia tidak tahu apa bocah itu hari ini juga bekerja. Ia tidak tahu apa bocah itu akan lewat di depannya. Ia tidak tahu. Ia hanya menebak.

Kalau dipikir ulang, kenapa ia tadi tidak melihat ke tempat kerja bocah itu dulu?

Ketika ia hendak berdiri untuk mengecek keberadaan bocah yang ditunggunya, laki-laki ke-25 sudah berdiri di depannya. Ralat. Bocah ke-25 sudah berdiri di depannya. Bocah itu mengenakan kaos polos putih lengan pendek dan sebuah ransel hitam masih di punggungnya. Sama seperti dua hari yang lalu.

Kyungsoo hanya menatapnya.

“Kamu datang.”

Wanita itu asal mengucapkan kalimat yang membuat sekali lagi organ tubuh Kyungsoo yang bernama jantung itu bereaksi.

Kyungsoo menanggapinya hanya dengan sebuah anggukan. Wanita itu memberi isyarat pada Kyungsoo untuk duduk di sebelahnya.

Kyungsoo menurut.

“Aku ingin mengembalikan jaketmu.”

Setelah ini, mereka akan kembali dengan status sebagai kasir dan pelanggan. Begitu pikir Kyungsoo.

“Terima kasih sekali lagi.”

Wanita itu menggeser paper bag ke sisi Kyungsoo. Setelah ini kami akan kembali sebagai kasir dan pelanggan.

"Hana. Seo Hana.”

Setelah ini…

Otot leher Kyungsoo seperti tersentak akibat ia menoleh tiba-tiba. Dilihatnya wanita bernama Hana itu tersenyum sambil mengulurkan tangan kanannya.

“Kyungsoo. Doh Kyungsoo”

Setelah ini, kami bisa mengobrol layaknya orang yang saling kenal. Aku meraih tangan kanannya.

Pernah saat aku memberikan pesanannya, jari telunjuknya kusentuh. Saat itu, tidak ada reaksi seperti saat ini. Telapak tangannya seperti sumber aliran listrik yang bertegangan kecil. Bagaimana dengan tegangan listrik yang mengalir di tubuhnya? Aku ingin tahu. Aku ingin merasakannya.

"Kamu sering lewat taman ini. Tepatnya lewat di depanku. Kalau aku duduk di bangku ini hehe”

Kamu memang selalu duduk di bangku ini.

“Kamu tinggal di sekitar sini?”

“Iya.”

"Hmmmmmm... Kamu tipe pemalu. Sangat beda denganku. Maaf kalau aku cerewet.”

“Tidak apa.”

“Hei, Bocah! Berapa umurmu? Jangan tegang gitu di depan Noona.”

Bocah? Noona? Ia tidak salah mendengar, kan? Kyungsoo menatapnya dengan raut bingung memenuhi wajahnya. Hana mendesah seolah tahu arti dari raut muka bocah di sampingnya itu.

“Dengar. Bukan bermaksud sombong. Apa aku terlihat cantik di matamu?”

Hana meletakkan kedua telapak tangannya dekat dagu sambil mengedipkan kedua matanya beberapa kali dengan cepat. Tak ada tanggapan dari Kyungsoo.

“Begini, Kyung.”

Aku mendapat nama panggilan.

"...errrrr. Kyungsoo-ssi."

Nama panggilanku hanya berumur kurang dari satu menit.

“Kamu bukan orang pertama.”

Kyungsoo menelan ludah. Ia mengaku kalau ia punya bagian kecil di otaknya yang tidak pernah dibersihkan. Kotor.

“Dengan wajah cantik dan awet muda ini, orang-orang sering salah mengira tentang umurku.”

Kyungsoo membentuk huruf “o” kecil dengan kedua bibirnya. Ia harus segera membersihkan otaknya. Sesegera mungkin.

“Sebenarnya, umurku hampir 30 tahun.”

Hana tersenyum bangga. Kyungsoo berpikir mereka hanya beda 10 tahun.

“Tepatnya, besok umurku 27 tahun.”

Ralat. Kami hanya beda 7 tahun.

Kyungsoo tidak mau tergesa. Tapi ia bukan tipe orang yang mau melewatkan kesempatan. Ia memutar otak. Apa yang bisa ia lakukan dengan kesempatan ini. Tentu saja ia ingin memberi Hana sebuah kado. Apa langkahnya ini terlalu cepat? Sebentar. Apa ia boleh memanggilnya Hana?

“Tapi kamu harus memanggilku Hana. Hana saja. Aku tidak mau merasa tua.”

Setelah mengumumkan deklarasi yang sempat membuat Kyungsoo mengira bahwa Hana memiliki kekuatan indra ke-enam, Hana terkekeh sendiri.

“Emmmm… Hana-ssi?”

Bibirku terasa kaku. Untuk pertama kalinya nama itu dengan lembut terbentuk dari kerongkongan, rongga mulut, lidah, gigi dan bibir keringku.

“hm?”

Aku baru sadar betapa bulat dan besar kedua mata milik wanita bernama Hana ini. Hampir menyerupai milikku.

“Besok kamu duduk di sini lagi?”

“Seharusnya tidak. Ada alasan khusus aku harus duduk di sini besok?”

Kyungsoo menggaruk tengkuk lehernya. (oh my god I love his nape!)

“Ah! Besok ulang tahunku! Aku membicarakan umur bukan karena ingin pamer tentang awet mudaku! Meskipun itu benar. Tapi karena ulang tahun! Besok ulang tahunku, Kyung!.....soo-ssi...”

Kyungsoo melirik ke arah Hana. Rona wanita yang duduk di sampingnya saat ini terlihat sangat bahagia. Seperti besok akan menjadi hari paling bahagia di hidupnya. Berbeda denganku yang tidak pernah peduli dengan yang namanya hari lahir.

Kyungsoo meyakinkan diri kalau apa yang ia lakukan tidak masuk ke dalam level terlalu cepat. Ia yakin apa yang akan dilakukannya cuma sekedar ucapan selamat sebagai orang yang saling kenal. Tidak lebih.

“Aku ingin memberimu sebuah kado.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet