Hujan

I Love You (and him)

Sudah tidak terhitung. Ia tidak mau menghitung lagi. Ia punya kebiasaan menghitung laki-laki yang lewat di depannya.

Sudah berapa menit? Puluhan menit. Kopi hitam kesukaan laki-laki itu mulai dingin. Ia melihat awan mulai berubah warna abu-abu.

Sudah biasa. Mereka bisa bertemu di rumah. Tapi ia tetap ingin bertemu di luar. Sesekali. Dan laki-laki itu sudah biasa terlambat. Laki-laki itu selalu terlambat. Seperti hari ini. Setelah entah laki-laki ke berapa yang lewat di depannya, akhirnya bayang laki-laki itu muncul.

Dari kejauhan terlihat samar laki-laki itu berlari. Hari ini laki-laki itu tetap memakai seragamnya. Setelan jas hitam yang dipakainya pagi ini. Ia tersenyum. Laki-laki itu terlihat lucu dimatanya. Ia ingin menyambut laki-laki itu dengan senyum terhangatnya. Sama seperti pagi ini saat mereka berpisah.

Mawar merah lagi.

Begitu sampai di bangku taman yang ia duduki, laki-laki itu langsung menyambar cangkir kopi hitam nan dingin yang sudah ia siapkan. Bukan air putih. Bukan. Betapa cintanya laki-laki itu pada kopi hitam.

Ia berdehem. Mencoba mengalihkan perhatian laki-laki itu. “Tujuanmu ke sini untuk kopi atau aku?”

Akhirnya laki-laki itu melihatnya. Karena sepasang mata inilah ia jatuh cinta. Laki-laki itu terlihat lelah. Dahinya penuh dengan keringat. Keringat mengucur ke sisi tepi tulang pipinya lalu berkumpul di ujung dagu. Rambut hitamnya berantakan. Lehernya juga penuh dengan keringat. Baju rapinya pagi ini sudah tidak rapi lagi.

Tulang pipi laki-laki itu perlahan naik. Kerutan samar terbentuk di pelipis matanya. Napasnya masih berantakan. Senyum lebar tersungging di wajah lelah laki-laki itu. “Senang dengan apa yang kamu lihat?”

Sial. Laki-laki itu tahu kalau ia mencintainya yang berantakan.

Laki-laki itu mengulurkan setangkai mawar merah tanpa duri yang daritadi tidak disembunyikannya. Dipegang terus di tangan kirinya. Ia mengerucutkan bibir. Sudah lelah memberi tahu. Ia suka bunga matahari. Bukan mawar merah.

“Hari ini rencana mau kemana?”

Ia bergumam. Belum sempat memikirkan tempat untuk dikunjungi hari ini. Sebenarnya, ada sebuah film yang ingin ia tonton. Ia melihat laki-laki yang duduk di sebelahnya sedang berusaha meminum tetes terakhir kopi hitamnya.

“Kita jalan saja. Kamu tidak perlu balik ke kantor, kan?”

Laki-laki itu menggeleng. Laki-laki itu mengusap keringat di dahi dan lehernya. Ia mengakui menikmati pemandangan di depannya. “Bagaimana kalau kita pulang saja? Aku akan memasak makan malam istimewa.”

Laki-laki itu terdiam. Mengangkat pergelangan tangan kanannya mendekat ke wajah. 5:12 PM. Kali ini laki-laki itu sangat terlambat. Laki-laki itu hanya mengangguk.

“Makan malam istimewa apa?”

Ia mengerucutkan bibir lagi atas alasan bingung. Ia melihat senyum jail laki-laki yang menggandeng tangan kirinya. Mereka berjalan pelan pulang ke rumah. Ia memang tidak pandai memasak.

“Ra...myeon?”

Laki-laki itu tersenyum mendengar jawaban darinya. Tangan kanan laki-laki itu merengkuh tubuhnya mendekat kemudian dengan kasar mengacak rambut kusutnya yang tak sempat ia sisir. Ia tadi buru-buru. Ia takut terlambat. Walaupun ia tahu kalau laki-laki itu pasti jauh lebih terlambat darinya.

“Baik. Untuk kali ini saja.”

***

Pertemuan kami karena sebuah baju. Bagaimana menceritakan kisah ini? Bukan karena kami berebut baju diskon di pusat perbelanjaan. Bukan karena aku tanpa sengaja mengotori bajunya.

Baju itu adalah sebuah dress berwarna putih tanpa lengan yang hanya menutupi tubuhnya hingga bagian lutut kaki. Hari itu ia sangat cantik mengurai rambut coklat bergelombangnya. Aku selalu melihatnya pada tanggal tertentu. 7, 17 dan 27. Tanggal itu tidak berguna kalau di hari libur. Apa ia suka angka tujuh?

Ia selalu duduk di bangku itu dan selalu bergumam. Entah apa yang ia gumamkan. Kenapa aku terdengar seperti menguntitnya? Tidak. Aku tidak melakukan hal semacam itu. Sumpah.

Kebetulan saja aku bekerja paruh waktu di sebuah tempat bernama Kape Kopi. Sebuah tempat dimana ia selalu membeli kopi hitam. Tempat itu berada dekat dengan taman yang selalu ia kunjungi di tanggal tertentu.

Apa aku mengawasinya lewat jendela cafe? Dibalik meja kasir? Tidak. Aku memang menggambarkan Kape Kopi dekat dengan taman yang ia kunjungi. Tapi Kape Kopi tidak berhadapan langsung dengan bangku yang selalu ia duduki. Ya. Ia selalu duduk di bangku yang sama.

Jam kerjaku berakhir pukul 4 sore tepat. Saat itu, aku bergegas berganti pakaian lalu mengepak barang-barangku. Bukan untuk bertemu dengan keluarga di rumah. Tapi untuk bertemu dengan dosen di kampus. Meskipun jadwal kuliahku malam hari, aku juga butuh waktu untuk istirahat meskipun hanya sebentar.

Melintasi taman. Melintasi depan bangku yang ia duduki adalah jalan pintas menuju ke kontrakanku. Aku termasuk kalangan mahasiswa yang merantau. Orang tuaku tidak tinggal di kota berisik ini. Seoul.

Aku baru bekerja di Kape Kopi selama 6 bulan. Aku bertanya pada pegawai senior.

“Sudah sekitar satu tahun ini? Aku bukan pengamat pelanggan, Bung. Tapi aku yakin wanita itu selalu memesan kopi hitam.”

Aku hanya mengangguk.

“Heeeeeeee. Kamu menyukainya?”

Tidak. Aku hanya ingin tahu.

Hari itu, ia juga memesan kopi hitam di cangkir ukuran kecil. Memakai dress berwarna putih tanpa lengan dengan panjang hanya sampai lutut kakinya. Ia tersenyum manis seperti biasa sambil mengucapkan terima kasih saat menerima pesanannya.

Dariku.

Ia berbalik berjalan keluar dari cafe. Ujung dress nya bergerak seirama dengan langkah kakinya. Lalu menghilang.

Dan seperti dugaanku. Aku akan melihatnya lagi duduk sendirian di bangku yang sama. Bergumam. Ia mengecek ponselnya. Entah untuk melihat waktu atau memeriksa jika ada pesan yang masuk. Apa ia sedang menunggu seseorang?

Tanpa sadar, sudah cukup lama aku berdiri terdiam sambil mengamatinya. Buktinya, ia mulai menyadari keberadaanku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan kosong lalu memalingkan wajahnya.

Aku melihat keningnya mengerut. Ia menatapku lagi lalu berpaling pada secangkir kopi hitam yang mungkin sudah dingin atau bahkan sudah kosong di sampingnya. Ia mengangkat cangkir itu ke dekat wajahnya, menunjuk cangkir itu dengan jari telunjuk kirinya. Bibirnya bergerak. Terima kasih.

Ada apa dengan jantungku? Ini reaksi macam apa?

Jantung akan bereaksi paling cepat saat kamu menghadapi situasi apa pun.

Tiba-tiba aku mendengar suara teman kamar sebelahku yang sok puitis itu.

Hari itu tanggal 7 Juni 2013. Tepat pukul 4:30 PM. Aku melihat kepalanya terangkat ke atas menatap langit. Hujan. Dan sepertinya akan semakin deras.

Ia berlari melindungi cangkir kopi itu sambil mencari tempat berteduh. Kami berteduh di sebuah pohon yang cukup besar dekat dengan bangkunya. Ya. Aku ikut berlari di belakangnya dan kami berakhir di tempat yang sama.

Aku mengibaskan air yang menempel di pakaianku. Dan badanku. Aku meliriknya sedikit. Hanya sedikit. Ia tetap melindungi cangkir kopi itu dengan telapak tangan kirinya. Kondisinya tidak jauh berbeda denganku. Rambutnya sedikit basah karena air hujan. Pakaiannya juga dan beberapa daerah tubuhnya yang terbuka. Aku tidak berani meliriknya terlalu lama.

Aku-Kami melihat beberapa orang masih berlari mencari tempat berteduh. Sebagian lainnya beruntung karena mereka membawa payung. Ia menggumam. Aku mendengar ia menyebut sebuah angka.

Tiga puluh tiga.

Saat ini, aku takjub dengan ketajaman pendengaranku. Seolah suara air hujan yang jatuh tidak ada apa-apanya. Aku tetap bisa mendengar suara lirihnya.

Aku meliriknya lagi. Sepertinya ada jaket di dalam ranselku. Aku melepas lengan ransel di pundak kiriku. Membuka resleting dari arah kiri. Merogoh ke dalam ransel, aku mengeluarkan 2 benda. Sebuah jaket dan payung.

Aku membawa payung. Ternyata.

Aku merangkul kembali kedua lengan ransel di pundakku. Sepasang mata kecil sedang mengamatiku. Mungkin karena aku berisik. Bagus. Ia tahu kalau aku membawa payung tapi malah sedang berteduh bersamanya.

Hujan mulai mereda. Aku meliriknya lagi. Ia tampak kedinginan. Bibirnya mulai membiru. Mengumpulkan semua niat dan keberanianku, aku memasangkan jaket ke pundaknya.

Hei, kedua tangannya sedang sibuk. Mana bisa aku menyodorkan jaket agar ia memakainya sendiri.

Spontan ia menatapku. Raut wajahnya seperti memberiku banyak pertanyaan. Aku bisa merasakan ribuan pertanyaan bertubi-tubi menghantam tubuhku. Aku paling tidak bisa berkomunikasi dengan wanita. Aku meyakinkan diri kalau ia cuma pelanggan.

Bukan. Saat ini, ia bukan seorang pelanggan.

“Aku menemukan payung di dalam ranselku dan sepertinya kamu lebih membutuhkan jaket itu.”

Ia mengerucutkan bibir. Betapa lucunya saat ia melakukan itu.

“Kamu pegawai yang selalu memberiku kopi ini, kan?”

Aku mengangguk.

“Terima kasih. Jaketmu pasti akan aku kembalikan.”

Ia tersenyum. Aku tersenyum. Aku sangat ingin bertanya mengenai secangkir kopi di tangannya. Kenapa cangkir itu masih penuh? Padahal sudah lewat satu jam setelah ia membelinya. Tapi niat itu urung. Tidak sopan. Tidak akrab. Belum pantas aku bertanya hal semacam itu.

Sudah saatnya aku pergi.

Kisah kami berawal dari sebuah dress putih selutut yang ia kenakan. Karena hujan yang membuat tubuhnya basah dan kedinginan. Aku beberapa kali meliriknya. Melihat beberapa bagian tubuhnya yang terbuka tampak pucat.

“Hei! Terima kasih!”

Aku membalikkan badan. Aku melihatnya tersenyum lebar sambil mengangkat cangkir kopi dingin di tangannya. Sepertinya, aku ingin belajar meminum secangkir kopi hitam.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet