Broken Promise

The Little Prince

As I count the stars that are spread in the black sky
I know that it’s so hard,

 

Hanbin melangkahkan kakinya memasuki sebuah café yang berada di pinggir jalan. Café bernuansa klasik dengan warna putih gading dan coklat yang mendominasi itu memberi kesan nyaman bagi siapa saja yang masuk. Terlebih dengan alunan musik klasik yang menyambut telinga setiap pengunjung yang datang.

Bola mata Hanbin mencari sosok Donghyuk ke seluruh penjuru café sebelum pandangannya mengangkap sebuah lambaian tangan dan senyum bodoh Donghyuk yang terlihat sangat jelas meskipun jauh. Hanbin berjalan mendekat ke meja tempat Donghyuk berada. Di sebelah Donghyuk tampak sosok namja tampan yang tersenyum sopan kearahnya. Berdiri menyambutnya dan membungkukkan badannya sebelum dibalas hal yang sama dengan Hanbin.

Belum sempat Hanbin menegakkan badannya Donghyuk sudah menarik tangan Hanbin dan mendudukkannya di kursi kosong yang berhadapan dengan Donghyuk.

“Hyung, kau tahu ini urgent kan.”

Hanbin bahkan tak diberi kesempatan oleh Donghyuk untuk berkenalan dengan kekasih Donghyuk. Apakah Donghyuk benar-benar ingin langsung membahasnya? Meski Hanbin ingin mengetahui bagaimana keadaan Junhoe, tapi ia tak ingin secepat itu. Masih ada rasa tak siap dalam dirinya.

“Dongie, hyung-mu bahkan belum memperkenalkan dirinya. Dan aku juga belum memperkenalkan diriku padanya.”

“Bukankah hyung sudah kuberitahu? Aku juga sudah memberitahu nama hyung pada Hanbin hyung kok.”

Hanbin meringis pelan mendengar jawaban Donghyuk. Ia sadar ternyata kepolosan di keluarga Kim sangat kental. Sepupunya sama polosnya seperti dirinya yang kadang terdengar bodoh dan menyebalkan.

“Aku Song Yunhyeong,” tampaknya kekasihnya sudah cukup ahli menghadapi kepolosan Donghyuk. Sama seperti Junhoe yang ahli menghadapi kepolosannya. Dulu.

“aku lebih dua tahun dari Donghyuk, itu artinya satu tahun lebih tua darimu?”

Hanbin tersenyum mendengar perkenalan singkat Yunhyeong. Tampaknya sepupu manisnya itu benar-benar sudah banyak menceritakan tentang dirinya pada Yunhyeong. “Aku Kim Hanbin. Tahun ini aku sudah menjadi dewasa, hehe. Kalau begitu, Yunhyeong hyung?”

Sekarang giliran Yunhyeong yang tersenyum hangat menyambut ucapan Hanbin. Keduanya tak sadar dengan Donghyuk yang sedari tadi memajukan bibirnya. “Jadi, apa kalian sudah selesai berkenalannya?”

Hanbin dan Yunhyeong sama-sama menatap Donghyuk yang merajuk karena ucapannya dipotong oleh kekasihnya sendiri. Yunhyeong hanya tertawa gemas sebelum mencubit pelan pipi kanan Donghyuk. Yang disambut bibir Donghyuk yang semakin maju membuat Hanbin ingin ikut mencubit pipi Donghyuk. Mungkin pipi kirinya karena itu belum kena cubitan sama sekali.

“Sudah, Dongie. Sekarang, kau boleh mulai laporamu pada Hanbin.”

“Aku seperti agen intel mendengarnya.” Lagi-lagi Hanbin hanya bisa meringis, kali ini ia dihadiahi sindiran halus Donghyuk.

“Jadi hyung, bagaimana kau bisa berpas-pasan dengan June kemarin?”

To the point sekali sepupunya ini.

“Eum.. kebetulan?”

“Kau juga mengatakan hal yang sama saat kutelpon semalam. Kau mengajakku ketemuan karena akan menceritakan semua. Termasuk bagaimana awal kau dan June berpisah pada Yunhyeong hyung. Mengawasi June-mu itu hampir meretakkan keharmonisan hubunganku dan Yunhyeong hyung.”

Hanbin tak tahu wajahnya memerah karena malu mendengar Donghyuk menyebut ‘June-mu’ atau karena mendengar kata-kata Donghyuk yang berlebihan. Meretakkan keharmonisan hubungan? Seperti ia dan Yunhyeong sudah menikah saja.

“Ini akan sedikit panjang. Apa Yunhyeong hyung tak apa jika aku mengambil waktu lama miliknya?”

“Tak apa. Ada pegawaiku yang mengurus café sekarang. Lanjutkanlah. Kau bisa bercerita hingga café ini tutup.”

Yunhyeong harus menyediakan bergalon-galon air untuk menghilangkan keringnya tenggorokan saat ia selesai bercerita nanti.

 

Hanbin berlari kecil keluar dari sekolahnya. Ia tak memperdulikan Junhoe yang berlari di belakangnya sembari meneriakkan namanya. Namun sayangnya Hanbin dilahirkan dengan kondisi kaki yang lebih pendek dari milik Junhoe. Sehingga dengan mudah Junhoe menyusulnya dan menahan tangannya untuk menghentikan kakinya berlari.

“Hey, kau kenapa sih? Aku memanggilmu dari tadi, tahu!” nada kesal Junhoe membuat Hanbin semakin enggan membalikkan tubuhnya. Namun tetap saja, salah satu penyesalan Hanbin dilahirkan dengan tubuh yang lebih kecil, Junhoe bisa dengan mudah membalikkan tubuh kecilnya.

“Hanbin?” Tampaknya Junhoe mulai panik karena menemukan Hanbin sudah asik menangis tanpa peduli dengan kondisi mereka yang masih di depan gerbang sekolah.

Hanbin berusaha menggigit bibirnya agar tangisannya tak terlalu terdengar oleh Junhoe. Namun percuma, sepasang mata elang itu sudah terlanjur menangkap butiran air mata yang membanjiri pipinya. Maka Hanbin hanya bisa menunduk sebelum Junhoe menarik tangan Hanbin. Membawanya pergi dari sekolah.

Sepanjang perjalanan hanya bisu yang tercipta. Hanbin terlalu sibuk menangis dan Junhoe terlalu sibuk memikirkan ada apa dengan sahabat hyungnya itu.

Junhoe baru berhenti menarik tangan Hanbin saat keduanya tiba di taman biasa mereka bermain sepulang sekolah. Junhoe melepaskan genggamannya pada pergelangan tangan Hanbin sebelum berdiri tepat di depannya.

“Jadi, siapa yang membuatmu menangis seperti ini?”

Junhoe tak segera mendapat jawaban. Hanbin terlalu sibuk menahan sesegukan yang keluar dari bibirnya sebelum kembali menggigit bibir bawahnya. Membuat Junhoe harus sabar menunggu beberapa saat hingga Hanbin akhirnya membuka mulutnya.

“Appa..”

‘Huh?’ dahi Junhoe berkerut. “Kim ahjussi?”

Anggukan pelan dari Hanbin menyambut Junhoe. Sekarang pikiran anak berusia 11 tahun itu dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kesalahan apa yang Hanbin lakukan sehingga membuat Kim ahjussi marah.

“Memangnya kau berbuat salah apa?”

Hanbin masih enggan untuk membuka mulutnya. Ia hanya menggelengkan kepalanya kecil. Junhoe bingung. Ia tak pernah sebingung ini menghadapi sahabat hyungnya.

Maka ia hanya mengikuti naluri anak-anaknya yang membawa Hanbin untuk duduk di sebuah ayunan yang kemudian ia berjongkok di depannya.

“Kau mau bercerita padaku?” Junhoe menatap kedua manik hitam milik Hanbin lama. Sementara sahabat hyungnya itu masih sibuk menenangkan dirinya sebelum bisa membuka mulutnya untuk berbicara.

“Appa.. Appa bilang semalam.. aku, appa dan eomma harus pergi ke tempat yang jauh..”

Pindah ya.. Junhoe tak pernah memikirkan bahwa suatu saat Hanbin akan pidah dari rumahnhya.

“Dan.. dan itu artinya.. aku.. aku tak bisa bermain bersamamu lagi...”

Junhoe menelan ludahnya. Tak bisa bermain bersama Hanbin lagi? Seperti apa rasanya.

“Kapan kau akan pindah?”

 Hanbin menggigit bibir bawahnya. “Minggu depan.. tapi appa sudah menyuruhku untuk berkemas semenjak semalam.”

Junhoe menghela nafasnya dalam sebelum berdiri dan berjalan ke belakang ayunan Hanbin. Perlahan ia mendorong ayunan itu hingga Hanbin tak duduk diam di tempat. Hanbin berpegangan pada dua sisi tali ayunan.

“Masih ada tujuh hari lagi kan? Kita bisa menghabiskannya berdua.” Junhoe menggenggam tangan kecil Hanbin yang berpegangan erat pada sisi ayunan. “Hanya kau dan little prince-mu..”

 

Hanbin dan Junhe berbaring di kasur Hanbin setelah keduanya selesai menyantap hidangan makan malam di kediaman Kim. Junhoe bisa melihat beberapa barang Hanbin sudah dimasukkan ke dalam karus, sudah rapih terkemas.

“Apa kau sudah memikirkan apa yang ingin kau lakukan besok?” Junhoe lah yang pertama kali memecah keheningan. Sahabat hyungnya itu sejak di taman bermain hingga sekarang hanya diam saja. Dan sekarang keduanya tengah menatap langit-langit kamar Hanbin yang bernuansa biru langit. Junhoe berharap sahabat hyungnya itu ingin bersuara walaupun sedikit.

Tak mendapat jawaban dari Hanbin setelah beberapa lama membuat Junhoe memilih untuk membalikkan tubuhnya sehingga ia berbaring menghadap Hanbin. Yang untungnya direspon oleh Hanbin yang juga membalikkan tubuhnya hingga mereka berbaring menghadap satu sama lain.

Dan Junhoe menangkap gelengan lemah dari Hanbin.

Junhoe tak tahu harus bagaimana sekarang. Jujur, ia tak tahu bagaimana hari-harinya ke depan tanpa sahabat hyungnya itu. Mereka sudah bersama lebih dari lima tahun. Jujur, Junhoe ingin tujuh hari ke depan berlangsung sangat lama. Mungkin satu jamnya seperti satu hari. Atau mungkin satu menitnya terasa seperti satu minggu.

Junhoe tak ingin melepas sahabat hyungnya secepat itu..

“Hyung,” untuk sekian lama , lidah Junhoe terasa kaku untuk mengucapkan panggilan itu. Tak terbiasa. Dan tampaknya bukan hanya Junhoe yang tak terbiasa. Tubuh kecil Hanbin pun tersentak saat mendengar panggilan itu lolos begitu saja dari bibir Junhoe. Ia tak ingat kapan terakhir kali Junhoe memanggilnya ‘Hyung’.

“aku tahu kau masih tak ingin mempercayai ucapan appamu. Aku pun masih tak ingin mempercayai ucapanmu.” Junhoe menatap dua manik hitam milik Hanbin lama sebelum melanjutkan ucapannya. “Aku tahu tujuh hari adalah waktu yang sangat sedikit. Tapi kita bisa mengisinya dengan hal-hal yang menyenangkan,  kan?”

Junhoe berharap Hanbin mau membuka mulutnya. Ini seperti pertama kali saat ia bertemu dengan Hanbin. Lima tahun lalu itu, hanya ia yang terus berbicara dengan Hanbin yang terus mendiamkannya. Beruntung Junhoe, akhirnya Hanbin mau membuka mulutnya untuk berbicara.

“Itu tak akan menyenangkan jika kau merasa sedih..” rantaian kata yang keluar dari bibir Hanbin itu terdengar seperti bisikan pelan. Namun masih bisa ditangkap oleh Junhoe.

“Aku bisa membuatmu tak sedih lagi.” Junhoe berusaha meyakinkan Hanbin.

“Tak bisa June.. kau dan aku harus tetap berpisah. Itu akan membuatku tetap sedih pada akhirnya..”

Junhoe terdiam sesaat. Dalam hati ia membenarkan ucapan Hanbin. Ya, walaupun tujuh hari ke depan mereka lalui dengan bersenang-senang, saat hari itu tiba, keduanya tetap harus berpisah. Dan Junhoe pasti sedih pada akhirnya.

Junhoe mendadak panik saat melihat dua bola mata di depannya sudah tergenang air yang siap membanjiri pipi gembil si empunya kapan saja. Tak ingin melihat sahabat hyungnya menangis lagi, Junhoe menarik tubuh Hanbin yang lebih kecil darinya itu dan memeluknya.

“Hyung…” tagan Junhoe sibuk mengusap punggung kecil Hanbin. “mungkin sekarang akan terasa menyedihkan,”

 

The little prince told me

Eventhough it is sad now,

 

“tapi kita akan bertemu lagi, hyung.” Junhoe meletakkan kepalanya di pundak Hanbin.

“Benarkah?” Hanbin mengangkat perlahan kepalanya, memperlihatkan jejak yang air matanya tinggalkan.

“Iya hyung. Kau harus percaya kita akan bertemu lagi.” Junhoe mencoba mengangkat ujung bibirnya. Mencoba tersenyum saat dirimu sedang merasa sedih adalah hal yang tak mudah. Junhoe baru tahu itu.

“Kau janji?”

Setidaknya Junhoe bisa melihat sinar yang biasanya ada di dua manik hitam Hanbin lagi.

“Eum. Tentu saja.”

“Appa bilang kita akan pergi jau. Bagaimana.. bagaimana kalau aku lupa jalan pulang kesini?”

Senyum di wajah Junhoe memudar saat ia kehilangan sinar itu lagi.

“Kau harus menulis alamat rumahku kalau begitu.”

“Rumahmu?”

“Agar kau bisa kesini lagi tanpa tersesat.”

Hanbin mengerjapkan matanya sesaat sebelum senyuman perlahan muncul di wajahnya. Membuat Junhoe kali ini kembali megangkat ujung bibirnya. Tanpa terpaksa.

“Kalau begitu aku akan mengirimkan alamat baruku juga! Agar kau bisa mengunjungiku nanti!” Junhoe bernafas lega saat nada ceria sahabat hyungnya itu kembali.

“Kalau begitu kau yang harus mengirim surat padaku pertama kali agar aku tahu kemana aku harus mengirim balasannya nanti.”

“Eung!” Hanbin mengangguk semangat sebelum memeluk Junhoe lagi. Junhoe pun langsung membalas pelukan Hanbin dengan erat.

“Kau harus berjanji untuk tak melupakanku, ya?” Hanbin kembali bersuara. Suaranya terdengar sangat pelan karena tertutup oleh pundak Junhoe.

“Tak akan, hyung. Dan kau harus percaya jika suatu saat kita akan bertemu lagi.”

Junhoe merasakan Hanbin memeluknya semakin erat.

“Eum. Aku percaya padamu, little prince..”

 

The little prince told me

Eventhough it is sad now,

We’ll be inseparable..

 

Hanbin meraih air mineral yang disodorkan Yunhyeong. Ia tak menyentuh Americano yang dipesankan Donghyuk. Tenggorokannya butuh sesuatu yang menghilangkan kering di tenggorokannya, bukan yang membuatnya tambah kering.

“Lalu kenapa ia bisa marah padamu? Bukankah kalian berpisah baik-baik?” Yunhyeong tahu setidaknya ia harus bersabar menunggu Hanbin melegakan tenggorokannya yang mendadak kering. Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya. Ia seperti mendengarkan sebuah drama yang diceritakan si pemainnya langsung.

“Karena dua-duanya sama-sama bodoh.”

Ucapan Donghyuk itu membuat Hanbin memberikan deathglare pada sepupunya itu sebelum berdeham dan menarik perhatian Yunhyeong kembali.

“Ada salah paham antara kami berdua.”

“Ya, salah paham yang seharusnya sudah selesai jika keduanya tak sama-sama memegang teguh ego mereka.”

Kali ini Hanbin tak menatap tajam Donghyuk, melainkan menyenderkan punggungnya pada senderan kursi sebelum memejamkan matanya.

“Ya, siapa sangka kami berdua memiliki ego yang kuat?”

 

Hanbin menatap Junhoe yang sudah berdiri di depan pintunya, yang tampaknya juga enggan untuk melangkahkan kakinya keluar dari rumah Hanbin.

“Hyung..” Junhoe membalikkan tubuhnya sehingga Hanbin kembali menatap bola mata hitam milik Junhoe.

Hanbin tak tahu kenapa mendadak waktu berjalan sangat lamban. Yang ia tahu, Junhoe berjalan mendekat kearahnya, ia membungkukkan badannya dan mendekatkan wajahnya ke arahnya.

Dan Hanbin merasakan ciuman pertamanya. In his lips.

Sebuah ciuman polos yang membuat Hanbin ingin menangis lagi.

“Jangan menangis lagi.. sudah kubilang kan kita masih punya sisa waktu tujuh hari lagi.”

Sekuat tenaga Hanbin menahan air matanya. Ia mengangguk pelan sebelum kali ini merasakan Junhoe mencium pipi kanannya.

“Sudah kuputuskan. Besok aku akan menemanimu mengepak barang dan mengajakmu ke taman bermain. Aku tak peduli dengan pelajaran Jung sonsaengnim.”

Hanbin tertawa kecil. Sebelum mengangguk lagi.

“Kalau begitu, sampai besok hyung..”

Kali ini sosok Junhoe benar-benar membalikkan tubuhnya dan berjalan keluar dari rumahnya. Hanbin menatap punggung Junhoe hingga sahabatnya itu menghilang dibalik pagar besi rumahnya. Maka tangan Hanbin bergerak menutup pintu di depannya saat ia merasa tak ada gunanya ia berdiri di depan pintunya lebih lama ketika Junhoe sudah tak terlihat.

Hanbin dikejutkan dengan sosok eommanya yang berdiri sudah berdiri di depannya saat  ia membalikkan tubuhnya.

“Eomma mengejutkanku..” Hanbin memajukan bibirnya. Eommanya tersenyum sebelum mengacak-ngacak rambut Hanbin.

“Hanbin.. mau membantu eomma untuk membereskan barang-barangmu lagi?”

“Huh? Sekarang? Kalau semua barang-barangku dimasukkan ke kardus lalu aku akan pakai baju apa untuk bermain bersama Junhoe nanti?”

Senyum eommanya perlahan pudar. Membuat Hanbin menatap eommanya bingung.

“Maaf sayang..”

“Eomma..”

“Appa bilang kita akan pindah besok pagi. Kita harus mengemas barang yang bisa kita kemas. Sisanya akan dikemas nanti, setelah kita sampai disana nanti.”

Hanbin rasa ia tak bisa menuruti permintaan Junhoe untuk tak menangis lagi. Air mata itu pada akhirnya tetap jatuh membasahi pipinya. Membuat jejak baru diatas jejak yang sudah kering di kedua pipinya.

 

 

Hanbin rasa ia ingin menutup seluruh tubuhnya dengan selimut saat mendengar suara eommanya dari balik pintu. Ia belum mau bangun sekarang. Ia tak mau bangun dan segera meninggalkan rumah ini.

“Sayang.. bangun ya? Apa kau tak mau mengucapkan perpisahan pada Junhoe terlebih dahulu sebelum pergi?”

Junhoe?

Hanbin segera melompat turun dari tempat tidurnya dan berlari untuk membuka pintu kamarnya. Ia bisa melihat eommanya sudah berpakaian rapih.

“Tunggu aku eomma. Aku akan mandi sebelum ke rumah June.” Dan Hanbin menutup pintu kamarnya lagi sebelum berlari ke kamar mandi di dalam kamarnya.

Hanbin tak pernah mandi secepat ini. Ia juga tak pernah berpakaian secepat ini. Ia ingin cepat-cepat menemui Junhoe.

Tak sampai sepuluh menit, Hanbin sudah berlari turun menuruni tangga. Ia tak memperdulikan ucapan appanya yang menyuruhnya berhati-hati agar tak terjatuh di tangga. Hanbin hanya berpamitan singkat pada appa dan eommanya sebelum berlari keluar rumahnya.

 

Jika ia harus pergi sekarang, setidaknya ia harus berpamitan pada Junhoe. Ya, harus.

 

“Oh, Hanbin-ah.” Hanbin disambut oleh Goo ahjumma yang membukakan pintu untuknya. “Apa kau ingin berpamitan dengan Junhoe?” Tampaknya hanya Junhoe yang belum tahu bahwa kepindahannya dimajukan.

“Ne, ahjumma.”

“June mendadak demam tengah malam tadi. Apa tak apa kalau kau masuk ke kamarnya? Ahjumma tak mau kau tertular nanti.”

Junhoe sakit..?

“Apa ia sedang tertidur ahjumma?”

“Ne, baru tadi pagi setelah meminum obatnya. Semalaman ia tak bisa tidur dan terus bergerak gelisah dalam tidurnya. Dokter bilang ia tak boleh keluar dari kamarnya.”

Hanbin menggigit bibir bawahnya. “Kalau begitu..”

Ia tak mau mengganggu Junhoe. Siapa yang mau dihadapi kenyataan menyedihkan lainnya saat ia tengah sakit? “bisa tolong titipkan salamku pada June saja?”

“Tentu sayang. Ahjumma akan mengantarmu kembali ke rumah. Ahjumma juga ingin mengucapkan salam perpisahan pada eomma dan appamu.”

Hanbin menurut saja saat Goo ahjumma menuntunnya untuk kembali ke rumahnya.

“Loh, mana June?” Hanbin disambut appanya yang baru selesai menaruh kardus ke bagasi mobil.

“June mendadak sakit semalam. Tampaknya tak bisa mengantar Hanbin.” Goo ahjumma yang menjawab pertanyaan appanya.

“Sayang sekali kalau begitu. Semoga June lekas sembuh ya,”

Goo ahjumma tersenyum sebelum mengusap lembut kepala Hanbin dan membungkukkan tubuhnya, mensejajarkan matanya dengan mata Hanbin.

“Jadi, kau mau menitipkan pesan apa untuk June?”

Hanbin terdiam beberapa saat. Matanya melirik sekilas jendela kamar Junhoe yang masih tertutup tirai sebelum kembali menatap Goo ahjumma.

“Bisakah sampaikan pesanku padanya untuk menungguku?” Goo ahjumma tersenyum lembut sebelum memberikan pelukan singkat pada Hanbin.

“Tentu, sayang.”

Hanbin balas memeluk Goo ahjumma dan membisikkan sesuatu padanya. “Katakan aku menyayanginya, ahjumma..”

Goo ahjumma tersenyum sedih di balik pundak mungil Hanbin. Ia tahu ini tak adil. Bagaimana anak bungsunya tak bisa mengirim kepergian Hanbin.

“June juga menyayangimu, Hanbin..”

 

Eomma dan appanya sibuk melambaikan tangannya pada Goo ahjumma dan Goo ahjussi yang entah sejak kapan datang bergabung. Hanbin tak peduli. Karena ia sedari tadi tak bisa melepaskan pandangannya dari jendela kamar milik Junhoe. Berharap tirai yang menutupi kamar itu terbuka dan menampakkan wajah sahabatnya itu.

“Kau harus percaya kita akan bertemu lagi.”

“Selamat tinggal, little prince..” Hanbin berbisik pelan saat appanya mulai melajukan mobilnya pelan. Hanbin memutar tubuhnya agar ia masih bisa melihat rumah Junhoe untuk terakhir kali.

“Kita akan bertemu lagi… kan?”

 

 

Yunhyeong tak tahu apa yang membuat matanya panas. Apa cafenya mendadak berdebu sehingga ia kelilipan debu?

“Yah.. aku dan June akhirnya berpisah tanpa melakukan satu pun rencana yang June susun malam itu. Bahkan kita berpisah tanpa mengucapkan kata perpisahan sama sekali.”

Hanbin memejamkan matanya pelan. Bayangan delapan tahun itu kembali terbesit di benaknya. Bagaimana ia tak melihat wajah Junhoe untuk terakhir kalinya dan bagaimana ia tak membiarkan Junhoe untuk melihat wajahnya untuk terakhir kalinya.

“Tapi kau tak sepenuhnya salah, hyung..” Donghyuk akhirnya bersuara. Nadanya terdengar bergetar. Yunhyeong menolehkan kepalanya dan menemukan kekasihnya itu sudah berurai air mata. Buru-buru Yunhyeong mengeluarkan sapu tangannya dan menghapus air mata kekasihnya yang masih mengalir itu.

“Kalau kau mendengarnya dariku, kau akan mengatakan aku tak salah. Tapi kalau kau mendengarnya dari June, kau juga akan mengatakan ia tak bersalah. Kita tidak tahu siapa yang sebenarnya salah, Dongie..”

Donghyuk tahu itu. Sangat tahu. Ia sudah mendengar kisah ini tiga kali. Satu kali dari bibir Hanbin saat pertama kali sepupunya itu meminta bantuannya. Satu kali dari bibir Junhoe yang bercerita setelah Donghyuk setengah memaksanya. Dan satu kali saat ia mendengarkan Hanbin menceritakan kedua kalinya.

Tak ada yang bisa disalahkan. Hanbin dan Junhoe tak meminta untuk saling dipisahkan. Dan Donghyuk tahu Kim ahjussi juga tak ingin memisahkan keduanya kalau bukan karena pekerjaan yang menuntutnya.

“Lalu bagaimana setelah itu?” Yunhyeong memilih memecahkan keheningan yang mendadak tercipta. “Bukankah kalian saling berkirim surat?”

Hanbin membuka kelopak matanya dan menatap Yunhyeong sebelum menggeleng pelan. “Aku mengirimnya. Memberitahukan alamatku dan permintaan maafku. Tapi sekian lama aku menunggu, balasan dari June tak kunjung datang. Itu membuatku berpikir ia marah padaku.”

Yunhyeong menghela nafasnya. Ia merasa prihatin. Kali ini, ia bersimpati pada Hanbin. Bukan lagi pada dirinya. Sekarang ia tahu kenapa Donghyuknya begitu ingin membantu keduanya untuk bertemu kembali.

“Donghyuk tak pernah tahu apakah June menerima suratku atau tidak. Dan aku tak bisa memaksa Donghyuk untuk bertanya sejauh itu pada June. June bisa curiga kalau begitu.”

“Jujur hyung, aku tak masalah jika Junhoe curiga padaku dan bertanya macam-macam padaku. Walau akhirnya mungkin ia akan membenciku, asalkan aku tahu kenapa ia tak membalas suratmu, itu bisa menyelesaikan masalah diantara kalian.”

Yunhyeong mengangguk setuju dengan ucapan kekasihnya. “Lalu Hanbin, apakah kau pernah menghubungi Junhoe selain mengirimkan surat padanya waktu itu?”

Hanbin mengalihkan pandangannya keluar jendela. “Ya, sekitar tiga tahun yang lalu. Saat Donghyuk memberikan nomor ponsel June padaku. Aku.. menelponnya.”

“Lalu?”

“Bibirku tak bisa bergerak saat mendengar suaranya. Aku hanya berakhir mendengar suaranya yang berulang kali mengucapkan ‘yeoboseyo’ sebelum ia menutup teleponnya. Setelah itu ia tak pernah mengangkat telepon dariku lagi.”

Yunhyeong tak tahu masalahnya sesulit ini.

“Hanbin hyung harus menyelesaikan sekolahnya sebelum bisa kembali kesini. Ia berjanji seperti itu pada appa dan eommanya. Hanbin hyung sudah satu minggu disini. Tapi ia tak bisa membuang egonya untuk pergi ke rumah Junhoe dan berbicara langsung dengannya.”

Hanbin menatap Donghyuk dengan perasaan campur aduk. Yang lebih dominan dengan rasa bersalah.

Ya, Hanbin tidak bisa membuang egonya. Perasaan sakit hati saat Junhoe tak membalas suratnya lah yang membangun egonya. Ia kecewa. Dan itu yang membuatnya belum bisa bertemu langsung dengan Junhoe. Meski pada akhirnya pertemuannya dengan Junhoe tentu tak bisa dihindari. Pertemuan singkatnya kemarin cukup mengikis egonya. Tapi saat Donghyuk memberitahu bagaimana Junhoe setelah bertemu dengannya membuat kikisan ego itu kembali dan membangun egonya lagi.

“Hanbin-ah, mungkin kau butuh waktu. Junhoe juga butuh waktu. Tapi salah satu dari kalian tak bisa diam begitu saja. Bukankah kalian sudah berjanji untuk bertemu kembali?

Yes, we promised to meet again.

 

But I won’t say anything, I’ll just wait for you

 

 

Junhoe membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan secarik kertas berwarna biru langit dari sana. Ia membawanya beserta buku The Little Prince yang masih bersampul plastik. Junhoe mendudukkan bokongnya di pinggir tempat tidur. Tangannya membuka sampul plastic yang masih membungkus buku di tangannya itu sebelum membuka halaman pertama buku itu.

Tapi ia tak membacanya. Ia hanya menatap kosong lembaran berisi kumpulan kata itu. Tangannya malah kembali bergerak untuk meraih secarik kertas yang sempat ia anggurkan. Ia membuka kertas yang dilipat menjadi empat bagian itu dan membaca tulisan yang tak rapih diatasnya. Berbeda dengan tulisan di buku itu, tapi tulisan itu lebih menarik untuk dibaca olehnya.

 

Tok tok tok

 

“June?”

Suara seorang perempuan yang disusul dengan pintu kamarnya yang terbuka membuat Junhoe buru-buru menutup bukunya setelah ia menyelipkan secarik kertas di halaman pertama buku itu.

“Apa kau sibuk?” perempuan muda yang cantik itu melongokkan kepalanya. Junhoe menjawabnya dengan gelengan singkat.

“Kalau begitu temani noona mencari kado, ya?”

Junhoe memutar bola matanya malas sebelum melempar buku di tangannya sembarang ke atas tempat tidurnya. Ia bejalan menuju pintu dan mendorong tubuh noonanya untuk keluar dari kamarnya. Bersamaan dengan ia yang segera menyusul noonanya keluar kamar sebelum menutup pintu kamarnya.

 

I am tamed by you
So I can’t see anyone else

 

 

 

 

TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
okkysekar #1
chapter 3: salah satu fanfic junbin terkeren yg pernah sy baca..penasaran bgt kelanjutan dari kisah mereka..kira2 apa yg terjadi ketika mereka ketemu lg..

please author..continue this story..i will always waiting for this..fighting author..!!!
happyviruses92 #2
Chapter 3: Please continue this story :(
Kinda curious what's relationship between hanbin and kimbab :3
chanyeolstagram #3
Chapter 3: Im waitinggggggggghhhhhhhhhhhhhhhh
rocketrochers #4
Chapter 2: Suka pemilihan kata2nya. Ini salah satu dr segelintir ff berbahasa Indonesia yg pernah gue baca, yang enak dibaca (?) lol

Waiting for the next update ~
GbabyBong
#5
I can't wait for the next update.. The plot interest me a great deal hehehehehe