unconvinced

The Little Prince

Your words, your face, I can’t figure it out
The hardest thing in the world is to gain your trust

 

Junhoe menghentikan motor Kawasaki hijaunya di depan sebuah toko baju di pinggir jalan. Noonanya sudah masuk lebih dulu meninggalkan Junhoe yang harus memarkirkan motornya terlebih dahulu. Jujur, ia lebih memilih untuk tiduran di kamarnya daripada harus keluar di sore hari seperti ini. Tapi seorang Goo Junhoe tak pernah bisa menolak permintaan noonanya.

“Selamat datang!” suara pegawai toko itu menyambut Junhoe yang baru melangkahkan kakinya masuk. Junhoe hanya melirik pegawai itu sekilas sebelum berjalan mencari sosok noonanya yang entah sudah pergi kemana.

Bahkan Junhoe tak tahu noonanya itu ingin membelikan kado untuk siapa. Ulang tahun Jinhwan hyung bukan di waktu dekat-dekat ini seingat Junhoe.

“June-ya!” Junhoe membalikkan tubuhnya ketika mendengar suara noonanya itu. Disana rupanya.

“Apa menurutmu Jinan akan menyukai baju ini?” Junhoe yang berjalan mendekat kearah noonanya tak bisa menahan dahinya untuk berkerut.

“Memangnya Jinhwan hyung ulang tahun dekat-dekat ini?”

“Ini bukan untuk kado ulang tahunnya. Lusa adalah anniversary kita yang pertama.” Yejin, noonanya itu menaruh baju yang ada di tangannya sebelum mengambil baju yang lain.

“Tapi aku belum bisa memutuskan kado apa yang tepat untuk Jinan..” bibir mungil noonanya itu maju beberapa senti sebelum tangannya kembali menaruh baju di tangannya.

“Aku sudah mencarinya dua hari yang lalu dan kemarin. Aku tak tahu akan sesulit ini untuk mencari kado annive dibanding mencari kado ulang tahunnya.”

Junhoe melipat kedua tangannya di depan dadanya itu. Jika noonanya sudah berkata begitu, ia bisa kembali ke kamarnya pukul 12 malam.

“Coba keliling toko ini saja. Baju-baju disini lumayan.”

Junhoe melangkahkan kakinya meninggalkan noonanya. Mencoba mencari baju di tempat yang berbeda. Siapa tahu ia bisa menemukan baju yang sesuai dengan kekasih noonanya itu.

“June-ya, kalau menemukan baju yang bagus untuk Jinan beritahu aku ya!”

Beruntung noonanya itu tak melihat Junhoe memutar bola matanya lagi. Kenapa noonanya itu harus berteriak disaat toko baju ini ramai seperti ini sih?

Junhoe berhenti di sebuah deretan baju denim. Setelah bertemu beberapa kali dengan kekasih noonanya itu, Junhoe lebih sering melihat Jinhwan memakai baju denim seperti di depannya. Mungkin Jinhwan menyukainya.

Junhoe menggerakkan tangannya untuk meraih satu baju denim yang menurutnya seukuran kekasih noonanya itu. Hanya memegangnya. Junhoe tak tahu bagaimana menilai baju itu bagus atau tidak. Selama ini, baju-bajunya lebih banyak dibelikan oleh noona dan eommanya. Junhoe tak terlalu peduli dengan fashion.

Tangan Junhoe menaruh kembali baju denim di tangannya sebelum menggerakkan kakinya meninggalkan tempat baju denim itu. Apa gunanya membelikan kado yang sudah banyak dipunyai? Jinhwan tampaknya memiliki banyak koleksi denim.

 

 

Setengah jam Junhoe hanya berputar di sekeliling toko itu. Dan akhirnya ia menyerah dengan kembali mencari noonanya. Yang tampaknya juga sudah menyerah saat ia menemukannya.

“June, bagaimana kalau kita ke toko lain?”

Ya, ya, masih jam lima kok. Batas waktu noonanya sampai jam 12 malam kan?

 

 

“Aaah, akhirnyaa!” Yejin meraih sebungkus plastik besar di meja kasir. Ia membungkukkan badannya pada sang kasir sebelum menarik tangan Junhoe untuk keluar dari toko sepatu.

Pada akhirnya setelah tiga jam berturut-turut, noonanya itu kembali ke toko sepatu yang sebelumnya sudah dikunjunginya dan Junhoe.

“Apa kau lapar, June?” siapa yang tak lapar saat jam sudah menunjukkan pukul delapan malam?

“Aku tahu restoran dekat sini yang enak. Karena kau sudah menemaniku berkeliling, noona akan mentraktir apapun yang ingin kau pesan. Jadi, pesan sebanyak kau mau, oke?”

Junhoe hanya mengangguk pelan sebelum mengikuti langkah noonanya yang berjalan di depannya. Sebenarnya ia tak sedang nafsu makan. Tapi apa salahnya menghabiskan waktu dengan noonanya lebih lama? Ia sudah lama tak seperti ini dengan noonanya.

“Selamat datang!” seorang pelayan café menyambut kedatangan mereka. Pelayan itu juga mengantar mereka ke meja yang kosong. Meja yang berada di pojok dekat jendela.

“Mohon tunggu sebentar, akan saya ambilkan menunya..” Yejin mengangguk sopan sebelum menatap Junhoe saat pelayan itu pergi.

Risotto disini sangat enak. Kau harus mencobanya. Aku sudah kesini beberapa kali bersama Jinan.”

“Dan hanya memesan risotto?”

Yejin meringis kecil. “Kau tahu itu..”

Junhoe memutar bola matanya. Tentu ia tahu kebiasaan noonanya yang tak akan memesan menu makanan lain jika sudah jatuh cinta dengan makanan itu.

“Silahkan, menunya..” pelayan tadi datang kembali sembari menyodorkan dua menu pada Yejin dan Junhoe. Dan benar saja, Yejin tak perlu membuka menunya untuk memesan makanan dan minuman.

“Aku pesan risotto dan Latte ya.” Yejin mengucapkan pesanannya pada si pelayan sebelum kembali menatap Junhoe. “Kau mau pesan apa June-ya?”

Dan Junhoe juga tak membuka menunya sama sekali. “Samakan saja dengan noona.”

“Kalau begitu, pesanan itu dua ya.”

“Baik, ditunggu sebentar pesanannya..” pelayan itu mengambil dua menu yang sama sekali tak dibuka itu sebelum membungkukkan tubuhnya dan berjalan menjauh dari meja Junhoe.

“Kalau kau mau memesan yang sama kenapa merepotkan pelayan itu dengan meminta menunya ya?” Yejin kembali berujar saat pelayan itu sudah hilang dari pandangannya.

“Kalau begitu kenapa kau tak berbasa-basi membuka menu sebelum memesan? Lagipula itu pekerjaannya, biarkan saja.”

Yejin kali ini yang memutar bola matanya. “Iya, tuan muda.”

Keheningan tercipta diantara keduanya sembari menunggu pesanan datang. Yejin terlalu sibuk dengan ponselnya. Membalas beberapa pesan dari Jinhwan. Sementara Junhoe tengah memandang keluar jendela. Menatap satu persatu kendaraan dan para pejalan kaki yang melintas di dekat café itu.

 

ibeoni neol wihae bureuneun
majimak noraega anigil
neol wihae sseuneun
majimak pyeonjiga anigil~

 

Junhoe mengalihkan pandangannya saat mendengar nada dering yang bukan miliknya itu. Ia melirik Yejin, yang ternyata masih sibuk dengan ponselnya. Tak ada tanda telepon masuk ke ponselnya. Maka Junhoe mencari ke sekeliling mejanya, karena ia merasa nada deringnya berasal dari dekatnya.

Dan benar saja, saat Junhoe melihat ke bawah mejanya, tepat di sisi kanan posisi duduknya, sebuah ponsel berwarna hitam tergeletak disana.

Tangan Junhoe segera meraih ponsel itu dan melihat ke layarnya.

 

Kimbab is calling

 

“Ada ponsel yang tertinggal?” Yejin akhirnya mengalihkan pandangannya dari layar ponselnya dan ikut menatap ponsel hitam di tangan Junhoe. Ponsel yang Yejin tahu bukan milik Junhoe.

“Sepertinya milik seseorang yang sebelumnya duduk disini.” Jawab Junhoe sebelum menggerakkan jarinya untuk menjawab panggilan yang masuk itu. Namun ia telat sepersekian detik karena panggilan itu berakhir sebelum tombol hijaunya ia geser.

Layar ponsel itu kembali mati.

“Coba buka ponselnya. Mungkin ada informasi siapa pemiliknya. Atau kita bisa menghubungi salah satu nomor telepon yang ada di kontaknya. Atau mungkin menghubungi balik orang yang tadi menelponnya.” Usulan Yejin itu langsung dituruti Junhoe yang menekan home button ponsel itu.

Kedua bola matanya membulat saat melihat wallpaper yang menyambutnya sesaat setelah ia menekan tombol home button. Layar wallpaper-nya menampilkan seorang anak lelaki dengan baju kebesaran tengah berdiri di bulan menghadap langit malam yang bertaburan bintang. Dan Junhoe tahu betul gambar apa itu.

“Huh? Bukankah itu gambar buku cerita The little prince?” suara noonanya menyadarkan Junhoe yang sedari tadi hanya terdiam sembari menatap layar ponsel itu.

“Noona tahu?”

“Tahu tentang cerita The little prince? Jinan pernah meminjamkanku bukunya. Kau tahu Jinan menyukai buku-buku yang ringan tapi bermakna dalam.”

Junhoe menyenderkan punggungnya pada senderan kursi. The little prince.. jangan-jangan..

“Maaf, pesananannya,” seorang pelayan tiba-tiba datang, membuat Junhoe meletakkan ponsel hitam itu tak jauh darinya.

“Aku akan mengeceknya nanti.” Junhoe berujar sebelum mengampil sendok dan garpu di depannya. Ia mulai memakan risotto di depannya tanpa memperdulikan tatapan bingung noonanya.

 

If you train me and tame me
I know,

 

Junhoe kembali menekan tombol home button ponsel hitam itu. Layarnya dikunci.

“Apa sebaiknya kita berikan pada manager café ini saja?” Yejin memberi usul saat melihat layar ponsel itu dikunci. “Siapa tahu nanti pemiliknya akan kesini untuk mencari ponselnya.”

Junhoe hanya mengangguk singkat. Ia menunggu hingga Yejin menyelesaikan hidangan di depannya agar bisa segera pulang dan menyerahkan ponsel itu pada manager café ini.

Tapi dirinya tak bisa mengenyahkan berbagai pemikiran yang muncul di benaknya. Pemikiran gila yang mengatakan bahwa ponsel ini milik seseorang yang sangat ia kenal. Seseorang yang sangat tergila-gila dengan sebutan The little prince.

Dan ia tak bisa menghentikan jarinya untuk mengetikkan angka yang tiba-tiba muncul di benaknya.

961022

Incorrect password.

 

Junhoe menghela nafasnya setelah tanpa sadar menahan nafasnya. Ternyata pemikirannya salah. Tak mungkin ponsel ini milik orang itu. Banyak di dunia ini yang tahu tentang cerita The little prince dan tak sedikit yang menjadi penggemarnya.

Tapi jarinya tetap tak bisa diam dan kembali mengetikkan angka lain. Yang Junhoe tak tahu kenapa ia menggerakkan jarinya itu.

970331

Terbuka.

Junhoe menggigit bibir bawahnya. Tangannya menggenggam erat ponsel hitam itu. Jarinya bergetar saat ia mencoba mencari galeri ponsel itu.

“June?”

Junhoe hampir menjatuhkan ponsel hitam di tangannya saat mendengar suara noonanya itu.

“Kau kena-“ mata Yejin menangkap layar ponsel yang sudah tak menampilkan warna hitam atau wallpaper anak lelaki lagi. Melainkan sudah berganti dengan deretan aplikasi di ponsel itu. “bagaimana kau bisa membuka passcode-nya?”

Junhoe menekan tombol off di samping ponsel itu sebelum beranjak berdiri. “Aku akan memberikan ponsel ini pada manager café ini.”

Junhoe melangkahkan kakinya untuk menghampiri meja kasir. Tak peduli dengan noonanya yang masih menatapnya bingung sebelum terburu-buru menyusulnya.

“Maaf, manager sedang tak ada di tempat. Ada apa ya?” Yejin yang berhasil menyusul langkah lebar Junhoe sempat mendengar ucapan terakhir pelayan perempuan yang sebelumnya menyambut mereka di pintu masuk.

“Ada ponsel yang tertinggal di meja kami makan. Saya ingin menyerahkannya pada manager  café ini agar jika pemiliknya datang mencari bisa menemui manager café ini.

“Ah, begitu ya. Tapi saya tidak tahu kapan manager akan kembali.”

“June, bagaimana kalau dititipkan saja pada pelayan ini?” Yejin angkat bicara. Junhoe menatap noonanya itu sesaat sebelum menyodorkan ponsel hitam di tangannya ke depan pelayan itu.

“Bisakah?”

Pelayan itu tersenyum sopan sebelum menerima ponsel itu. “Baik, tuan. Akan saya berikan pada manager jika ia sudah kembali. Atau mungkin akan saya kembalikan langsung ke pemiliknya jika ia datang kemari.”

Junhoe mengangguk singkat sebelum mengisyaratkan noonanya untuk segera pergi ke kasir karena ia ingin cepat-cepat keluar dari café ini.

 

 

“Apa mungkin tertinggal disini?” Hanbin masuk kembali ke dalam café Yunhyeong dengan langkah terburu-buru. Di belakangnya, Donghyuk dan Yunhyeong juga mengikutinya dengan terburu-buru.

Namun langkah Yunhyeong terhenti saat salah seorang pegawai café-nya menghampirinya. Membuat hanya Donghyuk yang mengikuti langkah terburu-buru Hanbin.

“Pak, tadi ada pengunjung yang memberikan ponsel yang tertinggal di café beberapa saat lalu.” Yunhyeong yang sempat ingin memotong ucapan pegawainya itu (karena merasa urusan Hanbin lebih penting) membulatkan matanya sempurna.

“Bisa saya lihat ponselnya seperti apa?”

Pegawainya itu mengangguk sebelum mengeluarkan sebuah ponsel hitam dari saku celemeknya. Ia menyerahkannya pada Yunhyeong yang langsung mengecek ponsel hitam itu. Seketika senyum lega terkembang di wajahnya.

“Syukurlah.. ini ponsel temanku yang tertinggal.” Yunhyeong mengecek sekali lagi body ponsel itu. Memastikan ponsel itu benar-benar milik Hanbin.

“Hyung! Bagaimana ini, ponsel Hanbin hyung tak ada dimana-mana?!” suara Donghyuk yang terdengar panik itu membuat Yunhyeong dan pegawainya itu memandang namja berambut hitam yang berlari kearahnya.

“Ini ponsel Hanbin, kan?” Yunhyeong mengangkat ponsel hitam di tangannya. Memperlihatkannya pada Donghyuk Namja itu hampir berteriak histeris jika Yunhyeong tak menutup mulutnya. Ia tak mau Donghyuk mengganggu kenyamanan pengunjung cafenya.

“Hyung! Bagaimana ponselnya sudah ada di tanganmu?” Donghyuk berseru lega. Namun dengan suara yang pelan.

“Pegawaiku bilang ada salah seorang pengunjung yang memberikannya padanya beberapa saat lalu sebelum kita kemari.”

“Benar kah?” Donghyuk menatap sosok pegawai perempuan yang sedari tadi berdiri di dekat mereka. Pegawai itu tersenyum sembari menganggukkan kepalanya. Menjawab pertanyaan Donghyuk.

“Dongie.. ponselku..” Hanbin yang baru menghampiri ketiganya segera memeluk Donghyuk. Tak sadar bahwa benda hitam yang ia cari sudah berada di tangan Yunhyeong sedari tadi.

“Tenang hyung, sudah ada bersama Yunhyeong hyung kok.”

“Benarkah?!”

“Ssssttt!” Donghyuk dan Yunhyeong sama-sama menaruh telunjuk mereka di depan bibir Hanbin untuk menghentikan namja itu berteriak lebih kencang lagi.

“Ini, Hanbin.” Yunhyeong segera menyerahkan ponsel hitam di tangannya kepada Hanbin yang disambut senyum lega olehnya.

“Hyung.. bagaimana bisa?” Hanbin hampir menangis bahagia melihat ponselnya kembali.

“Pegawaiku menerimanya dari salah satu pengunjung yang menemukannya.”

“Tuh hyung, masih ada kan orang baik. Kau sudah berprasangka buruk kalau ponselmu diambil orang, sih!”

Hanbin meringis kecil sebelum menekan tombol home button dan memasukkan passcode ponselnya. Ada satu panggilan masuk yang tak terjawab.

“Ngomong-ngomong, orang yang menemukannya seperti apa ya?” Donghyuk tiba-tiba bertanya pada pegawai yang masih bersama mereka.

“Seorang pemuda tinggi tampan, tuan. Ia bersama kekasihnya kemari.”

“Dongie.. kenapa kau bertanya sampai seperti itu, huh?” Yunhyeong menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar bagaimana penasarannya kekasihnya itu.

“Hehe, ani hyung. Hanya penasaran. Syukurlah Hanbin hyung, ponselmu sudah kembali.”

“Eum!”

 

But I won’t say anything, I’m just waiting for you

 

..

 

 

Junhoe membanting tubuhnya ke kasurnya. Kedua matanya enggan terbuka untuk sekedar menatap langit-lagit kamarnya. Junhoe tak bisa memfokuskan pikirannya sejak kejadian beberapa saat lalu. Bahkan ia hampir mencelakakan dirinya dan noonanya saat perjalanan pulang tadi.

 

970331..

 

Kenapa passcode itu harus sama dengan tanggal ulang tahunnya?

Junhoe mencoba meyakinkan dirinya bahwa pemilik ponsel itu memiliki ulang tahun yang sama dengannya. Tapi wallpaper ponsel itu dan nama orang yang memanggilnya.. kimbab.

Sangat identik dengan Kim Hanbin.

Kimbab. Junhoe masih ingat bagaimana Hanbin sangat menyukai makanan itu. Bahkan ia pernah menangis saat memakan bekal makan siangnya karena yang di dalamnya bukan kumpulan kimbab.

The little prince. Junhoe tentu sangat tahu bagaimana Hanbin sangat menyukai buku cerita itu. Terutama karakter si pangeran kecil dalam cerita. Bahkan menggunakan nama panggilan itu sebagai panggilan untuknya.

Dan 970331. Hari ulang tahunnya. Satu-satunya yang Junhoe tak tahu kenapa Hanbin menggunakannya sebagai passcode-nya.

Ah, bagaimana kalau itu bukan Hanbin?

Tapi orang aneh mana yang menamakan seseorang dengan nama makanan?

Ah, pasti orang itu sangat berharga untuknya.

Karena Junhoe yakin Hanbin tak akan memberikan nama panggilan pada siapapun selain ia sudah sangat dekat dengan orang itu.

Jika pemilik ponsel itu Hanbin..

 

Junhoe menghela nafasnya kasar. Tangannya bergerak untuk mengacak-ngacak rambutnya. Bersamaan dengan erangan yang keluar dari bibirnya.

 

The Little Prince told me
That gaining someone’s heart
Is the hardest thing to do

 

 

 

 

Junhoe memelankan langkah kakinya saat ia keluar dari pagar besi tinggi rumah Hanbin. Langkahnya semakin pelan, hingga akhirnya kedua kakinya benar-benar berhenti. Junhoe menolehkan kepalanya ke arah rumah Hanbin. Ia sudah tak menemukan sosok sahabat hyungnya disana. Helaan nafas lolos begitu saja mengiringi kakinya yang kembali berjalan menuju rumahnya.

“Junhoe, kau dari mana saja? Noona mencarimu kemana-mana.” Junhoe dicegat oleh noonanya di tangga saat ia ingin segera masuk ke kamarnya. “Bagaimana menurutmu baju ini? Noona akan pergi ke pesta ulangtahun teman noona. Bagus tidak?”

“Hm.” Bahkan Junhoe tak melirik sedikit pun baju di tangan noonanya itu. Ia tak memperdulikan noonanya yang mulai mengeluarkan celotehannya. Ia tetap melangkah memasuki kamarnya dan menutupnya cukup keras. Menghentikan celotehan noonanya.

Junhoe bahkan menyeret kakinya hanya untuk mencapai tempat tidurnya. Sebelum melemparkan tubuhnya ke atasnya.

“Junhoe bodoh! Kenapa kau menciumnya?!” teriakan itu sayangnya tertutup oleh bantal yang menutupi wajahnya. “Bagaimana kalau ia membencimu?!” Kali ini kakinya bergerak tak karuan. Mengacak-ngacak seprainya.

Junhoe ingin berteriak tanpa bantal yang menutupi wajahnya. Tapi ia takut noonanya yang mungkin masih ada di luar mendengarnya. Bukannya khawatir, noonanya itu mungkin akan mengejeknya habis-habisan jika mendengar apa yang Junhoe teriakan.

 

Malam itu, Junhoe tak bisa tidur sama sekali. Yang ada di pikirannya hanya lah ‘apakah Hanbin marah padaku?’ dan ‘Tak seharusnya aku menciumnya.’ Juga ‘Ia pasti membenciku.’.

Tanpa menyadari suhu kamarnya yang mendadak dingin sekali di tengah malam. Tak menyadari deru nafasnya yang tiba-tiba tak beraturan. Bahkan ia tak sadar bahwa bajunya sudah basah kuyup dengan keringatnya.

 

“Hanbin! Tunggu! Kau mau kemana?!” Junhoe berlari keluar dari pagar rumahnya saat melihat Hanbin masuk ke dalam mobilnya. Mengikuti appa dan eommanya yang sudah terlebih dahulu masuk.

“Kau pergi sekarang?!” Junhoe hampir sampai ke mobil Hanbin, namun pintu mobil itu tertutup sebelum Junhoe sempat menahannya.

“Hey, jawab aku! Kau bilang kau akan pindah minggu depan!” Junhoe panik dan mulai mengetok-ngetok jendela mobil Hanbin. Ia bisa dengan jelas melihat wajah datar Hanbin yang bahkan seolah tak ingin menoleh sedikit pun kearahnya.

“Kim Hanbin! Kau kenapa sih?!” Junhoe tak menyerah. Ia tak peduli jika Kim ahjussi sudah menyalakan mesin mobilnya. Ia masih mencoba membuat Hanbin menoleh ke jendela di sampingnya.

“Hyung!” Junhoe tak lagi mengetok-ngetok jendela mobil Hanbin karena perlahan, mobil itu berjalan menjauh dari Junhoe.

“Hanbin hyung!” Junhoe berlari sekuat tenaga mengejar mobil itu. Ia memaksa kaki kurusnya untuk berlari lebih kencang dari biasanya agar ia bisa mengejar mobil Hanbin.

“Hyuuunnggg!”

Dan Junhoe hanya berakhir terjatuh di tengah jalan menatap mobil Hanbin yang semakin menghilang dari pandangannya. Bukan, bukan karena ia tak bisa mengejarnya dan mobil itu sudah terlalu jauh. Tapi karena kakinya sudah menyerah terlebih dahulu dan air mata yang menggenang di matanya lah yang menutupi pandangan Junhoe dari mobil Hanbin.

“Kau penghianat, hyung..”

 

“Hyuuung!”

Junhoe terbangun dengan nafas tersenggal. Keringat sudah membasahi seluruh tubuhnya walau kondisi kamarnya sangat dingin. Kedua bola matanya memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sebelum ia menghela nafas lega. Hanya mimpi ternyata.

Junhoe melirik handuk kecil yang terjatuh di pangkuannya. Mungkin terjatuh saat ia tiba-tiba bangun tadi. Tapi Junhoe tak ingat semalam ia mengambil handuk kecil itu.

Cahaya yang menyeruak di kamarnya membuat Junhoe sadar bahwa ini sudah pagi. Junhoe melirik jam di dinding kamarnya. Atau siang.

Junhoe segera menyibakkan selimutnya dan melompat turun dari tempat tidurnya. Ringisan pelan keluar dari bibirnya saat ia merasakan tiba-tiba dirinya berputar. Kakinya terasa lemah dan tak bisa bergerak dari tempatnya hingga ia kembali terjatuh ke tempat tidurnya.

“June?”

Junhoe tak bisa membuka matanya tapi ia tahu itu suara eommanya. Ia juga bisa mendengar langkah terburu-buru eommanya dan segera merasakan punggung tangan dingin eommanya menyentuh dahinya.

“Ya Tuhan.. tampaknya kita harus ke dokter sekarang. Tunggu disini sebentar ya. Eomma akan menyiapkan baju untukmu berganti baju.”

Ke dokter? Kalau ia ke dokter lalu bagaimana dengan rencana yang akan ia lakukan dengan Hanbin hari ini? Kalau ia sakit bagaimana tujuh hari ke depannya? Hanbin pasti tak mau menemuinya karena ia sedang sakit.

“Eomma..” Junhoe mencoba mendudukkan tubuhnya lagi dan perlahan membuka matanya. Eommanya masih berdiri di hadapannya. “Bisakah kita tidak ke dokter? Aku tak apa-apa.”

Junhoe bisa mendengar eommanya menghela nafas sebelum sebuah tangan mengusap kepalanya lembut. “Tubuhmu panas, June. Dari semalam kau tak bisa tidur tenang. Eomma tak bisa membawamu semalam karena appa belum pulang. Sekarang karena appa sudah pulang, eomma akan membawamu ke dokter.”

“Tapi bagaimana dengan Hanbin?” tangan eommanya berhenti untuk mengusap kepalanya. “Aku berjanji untuk menghabiskan waktuku hari ini dengannya. Aku tidak boleh sakit, eomma.”

Junhoe memberikan tatapan memohonnya. Namun eommanya hanya terdiam sebelum memeluk tubuhnya tiba-tiba. Junhoe cukup terkejut dengan perilaku tiba-tiba eommanya.

“Sayang, kau tahu Hanbin menyayangimu kan?”

Junhoe terdiam sesaat, tak langsung menjawab. Apa Hanbin sudah memberitahu eommanya bahwa kemarin ia menciumnya? Apa Hanbin sudah datang ke rumahnya tadi pagi tapi pulang lagi karena tahu ia sakit?

“Kupikir ia membenciku karena kemarin aku men-“

“Dia menyayangimu, June. Menyayangimu.”

Junhoe merasakan pipinya memanas. Semoga ini hanya karena suhu tubuhnya yang sedang panas. Ia tak ingin ada rona merah muncul di kedua pipinya.

“Eomma tak mencoba mengatakan kalau Hanbin menyayangiku jadi aku harus mau pergi ke dokter untuknya kan?”

Junhoe harap tebakannya tak benar. Ia tak bisa melewatkan satu hari pun tanpa Hanbin. Karena ia tak akan tahu kapan ia akan bertemu dengan sahabat hyungnya itu lagi.

“June, maafkan Hanbin ya?”

Kali ini Junhoe tak bisa menghentikan dahinya untuk mengernyit. Apa maksud eommanya sebenarnya? Tadi ia bilang Hanbin menyayanginya, sekarang ia memintanya untuk memaafkan Hanbin yang bahkan ia tak tahu telah berbuat salah apa padanya.

“Eomma apa maksud-“

“Hanbin sudah pindah tadi pagi, nak. Saat kau masih tertidur.”

Saat kata-kata eommanya dicerna oleh otaknya, kedua tangannya bergerak secara refleks untuk melepaskan pelukan eommanya.

“Eomma jangan bercanda! Itu tak lucu tahu!”

Junhoe menatap tajam dua manik hitam milik eommanya. Namun setelah lama ia menatapnya, tak ada tanda-tanda eommanya itu akan tersenyum tiba-tiba dan meminta maaf padanya karena terlah mencoba untuk membohonginya.

Saat Junhoe tak kunjung mendengar jawaban dari eommanya, entah ia mendapat kekuatan darimana, kedua kakinya tiba-tiba saja bisa berlari kearah jendela kamarnya. Tangannya segera menyibak gorden coklat yang menutupi jendela kamarnya itu. Ia menatap rumah lain yang bisa dengan jelas ia lihat dari sini.

Semua lampu rumah itu padam.

Junhoe merasa kedua matanya merasakan panas yang sama seperti yang tubuhnya rasakan. Dan butiran itu pun jatuh begitu saja tanpa Junhoe coba untuk menahannya.

“Kau meninggalkanku, hyung..”

 

Junhoe membuka kedua matanya. Menatap langit-langit kamarnya. Mencoba mengusir bayangan masa lalu yang tiba-tiba kembali terputar di otaknya.

 

But we’re never gonna be apart

 

Junhoe meremas seprai di bawahnya tanpa sadar. Menggigit bibir bawahnya keras dan hampir membuatnya berdarah.

 

It might be sad right now

 

Tangannya tanpa sadar menyentuh buku yang sudah beberapa jam ini ia anggurkan. Tangannya mengangkat buku itu dan memandanginya.

Junhoe membuka halaman pertama buku itu, membiarkan secarik kertas terjatuh. Kertas yang sebelumnya sengaja ia selipkan di buku itu.

Lagi, untuk kedua kalinya hari ini Junhoe kembali membaca rangkaian kata di secarik kertas itu.

“Maaf hyung..” tanpa sadar kata-kata itu terucap dari bibirnya. “Meski kau sudah mencoba menjelaskan kenapa kau pergi waktu itu, tampaknya ada bagian dari diriku yang masih belum bisa menerimanya.”

“Saat kupikir aku bisa mencoba memaafkanmu, ada seseorang yang mencoba mengambilmu dariku.”

“Membuatku kembali menarik diriku menjauh darimu.”

“Bahkan membuatku bertingkah seperti aku membencimu selama ini.”

“Apa ini semua salahku?”

“Atau salahmu?”

Junhoe menutup kedua matanya saat ia merasa matanya panas. Ia tidak ingin menangis. Tidak setelah ia mencoba untuk tak menangis selama 4 tahun terakhir.

“Bahkan aku yang kau sebut little prince tak tahu apa jawabannya..”

 

Or maybe will be sad then

 

 

 

 

TBC

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
okkysekar #1
chapter 3: salah satu fanfic junbin terkeren yg pernah sy baca..penasaran bgt kelanjutan dari kisah mereka..kira2 apa yg terjadi ketika mereka ketemu lg..

please author..continue this story..i will always waiting for this..fighting author..!!!
happyviruses92 #2
Chapter 3: Please continue this story :(
Kinda curious what's relationship between hanbin and kimbab :3
chanyeolstagram #3
Chapter 3: Im waitinggggggggghhhhhhhhhhhhhhhh
rocketrochers #4
Chapter 2: Suka pemilihan kata2nya. Ini salah satu dr segelintir ff berbahasa Indonesia yg pernah gue baca, yang enak dibaca (?) lol

Waiting for the next update ~
GbabyBong
#5
I can't wait for the next update.. The plot interest me a great deal hehehehehe