Last Parade For Your Serenade
You Are My Serenade || ChaeKi FFEun Gi masih hidup. Setelah koma selama 51 hari 23 jam 12 menit, ia akhirnya bangun – dengan utuh, kecuali satu hal. Ingatannya!
Ia berdamai dengan rasa penasarannya, hingga suatu hari yang tak pernah ia sangka akhirnya tiba, ratusan surat datang menampar hidupnya yang terlalu hening selama beberapa tahun ini.
Bagai sekeping puzzle yang sebelumnya hilang, Eun Gi tersadar. Ada seorang pria bernama Maroo yang pernah singgah di hidupnya – ayah dari anaknya.
~oOo~
Maret 2001, Las Vegas
Eun Gi menatap tumpukan surat yang menghambur di atas lantai, berserakan di sekitar tubuhnya yang gemetar dikepung rindu tak bertuan.
Sesekali bola matanya berpendar ke arah Eun Byul yang terlelap di atas ranjang, di sisinya.
Eun Gi terdiam, bibirnya mengumamkan nama penulis surat-surat misterius itu dalam keheningan.
“Maroo… Kang Maroo….” ia mengulangnya ratusan kali. Sayangnya, selama ratusan kali pula ia tetap tak mengerti.
Apa yang salah, dimana persimpangan takdir mereka dimulai lantas terputus.
Eun Gi tak punya ingatan apapun soal siapa pria bernama Maroo. Sosok yang mengaku sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya.
Ingatannya berdesau menuju ke suatu masa. Eun Gi beranjak dari atas karpet lantas duduk di tepi ranjang. Jemarinya yang lentik membelai kening Eun Byul dengan lembut.
Dipandanginya anak semata wayangnya itu dalam-dalam.
Anak ini… mirip siapa ia?
Pria bernama Kang Maroo itu… seperti apa parasnya?
Semua surat ini… datang dari belahan bumi bagian mana?
~oOo~
Tentang kerinduan yang kamu pancang di jamak nadiku. Tentang mimpi-mimpi yang kita rajut bersama. Tentang cinta yang menguar dan merekah di antara kita. Aku tak dapat mengingatnya.
Siapa kamu… Siapa aku… Dimana kita bertemu dan kenapa kamu pergi?
Aku lupa, Maroo… benar-benar lupa.
Kamu mungkin tak tahu, ada dua jenis dunia bagi seorang wanita tanpa ingatan sepertiku. Dunia pertama adalah saat jiwaku tersadar dari koma. Aku mendengar suara tangisan bayi. Bayi yang kemudian tumbuh dengan menyesap air susuku. Semua orang bilang jika itu anakku. Anak yang kulahirkan tanpa seorang suami. Anak buah main gilaku dengan entah siapa.
Aku tak punya ingatan apapun tentangnya, namun… naluriku mengenalinya. Ia tumbuh dalam garbaku. Bayi itu mereka panggil Kang Eun Byul. Nama yang aku sendiri tak tahu berasal dari mana.
Aku sempat berpikir jika kakekku yang memberinya nama, tapi pria tua yang kubenci itu menggeleng pelan. Matanya menatap nanar. Ia berpaling, mengacuhkan pertanyaanku tentang seorang pria yang mungkin ia tahu.
Sekarang setelah tahu jika nama itu berasal darimu, aku mulai bertanya-tanya… berapa besar cintamu untuknya? Kenapa kamu pergi dan kenapa kamu mengira aku sudah mati?
Maroo… aku membaca surat-suratmu seolah setiap kalimatnya adalah udara yang harus kuhidu.
Dimana kamu sekarang?
Harusnya kamu di sini, sebab dunia keduaku dimulai ketika tulisanmu sampai ke tanganku. Ada rindu yang meledak tanpa arah, ada ingatan yang berjejalan dibalut kabut. Memoar tentang kita terhenti di suatu tempat. Lorong gelap.
Aku sedang mencari jalan menuju terowongan itu.
Maroo… Dokter bilang aku sengaja menyembunyikan kenangan yang raib itu. Kenangan tentang kamu, aku dan Eun Byul.
Kenapa aku menyingkirkanmu?
Apa kamu menyakitiku? Apa kamu menduakanku?
Tapi bagaimana mungkin kamu melakukan itu sementara dalam tiap suratmu kamu tak pernah alpha menyatakan kerinduan serta cinta.
Aku ingin pulang ke Korea, berlari ke rumah berbilik kaca dengan hiasan abu mendiang kakekku. Aku ingin mencari namamu, menanyakan keberadaanmu yang sukar kupahami. Tapi, pada siapa ribuan pertanyaan itu harus kubagi? Kakekku sudah pergi dan sampai Tuhan merenggut napasnya, ia tetap bungkam.
Maroo… kamar ini… kita… dan Eun Byul… kamu bilang jika semuanya terpilin dalam satu kisah.
Kamu menceritakan kebusukanmu, kesombonganku dan kepengecutan kita akan cinta.
Kamu jatuh hati padaku sementara aku mati rasa lalu mati raga.
Apa aku sejahat itu?
Meninggalkanmu dalam reruji waktu yang menghentak batinmu tak berkesudahan.
Bagaimana jika aku juga mencintaimu?
Bagaimana jika aku sangat mencintaimu?
Apa kamu percaya padaku? Seorang wanita yang kehilangan ingatannya karena ingin melupakanmu.
Eun Gi menimang selembar surat yang tergolek di pangkuannya. Ia mendesah, menahan tangisnya yang semakin menjadi-jadi. Wanita itu lantas berlari, menyembunyikan dirinya dalam bilik kamar mandi. Ia tergugu hebat, memandangi sebuah cincin.
15 April 2000
Bagaimana kabarmu Eun Byul?
Kapal ayah sedang berlayar ke Australia.
Hari ini adalah hari ulang tahun ibumu.
Ayah membeli sebuah cincin. Hanya cincin murahan tapi, maukah kamu menaruhnya di makam ibumu?
Jangan bilang jika ini dari ayah, ia akan menolak benda murahan. Katakan ini darimu. Ibumu pasti tidak bisa menolaknya.
Ayah mencintaimu… Ayah merindukanmu.
- Kang Maroo -
~oOo~
Sementara itu, di saat yang sama, Maroo sedang berjalan menyusuri kota. Ia bukan pria sinting yang berharap menemukan sebuah wajah tanpa pernah melihatnya, namun hatinya percaya, ia akan mengenali Eun Byul pada perjumpaan kedua mereka.
Anaknya pasti mirip dengan Eun Gi dan itu cukup bagi Maroo untuk melanjutkan pencariannya.
~oOo~
Jika ada yang bertanya siapa pelakon penting dalam kisah malam ini, jawabannya adalah Resepsionis cantik yang Eun Gi temui siang tadi.
Gadis berwajah ayu dengan logat britishnya yang kental itu membagi kisah tentang bagaimana surat-surat gaib itu sampai ke Kondominium ini. Hampir semua surat sampai atas perantara pos, kecuali 11 surat yang baru tiba siang tadi. Seorang pria berwajah Korea menitipkannya, ia juga sempat bertanya tentang kamar di nomor 22. Kamar yang herannya tak pernah raib dalam ingatan Eun Gi, meski ia lupa jika itu adalah tempat Maroo merenggut keperawanan serta hatinya.
Dalam setiap suratnya, Maroo tak pernah sekalipun menyebut di perusahaan kapal pesiar mana ia bekerja dan ini membuat Eun Gi merasa sangat frustasi.
Ingatannya memang masih belum tergenapi namun cinta di dalam hatinya telah lebih dulu merangkak menuju si pria bermarga Kang – yang herannya juga tak memberikan selembar foto pun.
Pagi ini, setelah sarapan, Eun Gi mengajak Eun Byul meninggalkan ketenangan kamar mereka.
“Ibu… kita mau kemana?” tanya Eun Byul bingung saat Eun Gi menggeretnya masuk taksi dengan tergesa.
“Mencari ayahmu,” jawab Eun Gi jujur, apa adanya.
Eun Byul memandang dengan ekspresi tak percaya. Mulutnya tersenyum lebar.
“Ayah??? Jadi aku juga punya ayah seperti teman-temanku di sekolah?” Eun Byul mendongak riang. Kepolosannya membuat Eun Gi terenyuh.
Dijawabnya pertanyaan Eun Byul dengan anggukan kecil serta belaian sayang.
Setelah menempuh hampir 1 jam perjalanan, taksi yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di pelabuhan terbesar yang Eun Gi tahu di kota ini.
Eun Gi segera menggandeng Eun Byul keluar. Ia sebenarnya bingung harus bertanya kepada siapa, tapi tekadnya sudah bulat. Maroo… ia harus menemukannya, sebab Eun Gi yakin, ingatannya pasti kembali saat netra mereka bertemu nanti.
Wanita berambut legam itu berjalan menyibak kerumunan, menuju pusat informasi. Seorang pria berhidung mancung dengan rambut penuh uban menyambutnya di ambang pintu.
Setelah percakapan yang tak terlalu lama, Eun Gi tahu kemana ia harus menjejakkan kakinya setelah ini.
Maroo… hari ini aku mengajak Eun Byul mencarimu. Kami menghabiskan waktu nyaris seharian untuk mencari namamu di setiap kapal pesiar yang merapat di pelabuhan. Pada setiap kapten kapalnya, aku menanyakan keberadaanmu – ayah dari anakku, dan pada setiap saat itulah kami harus siap menelan kekecewaan.
Apa benar kamu bukan makhuk fiksi yang hanya hidup dalam kerompong ingatanku?
Kenapa kamu raib setelah meninggalkan surat-surat itu?
Dimana kerinduan dan cinta yang kamu gembar-gemborkan?
Eun Gi memutar-mutar cincin di jari manisnya. Parasnya yang tak berubah sama sekali dari 5 tahun lalu terpengkur menatap pekatnya langit. Jarum jam berdetak pelan menuju angka 1. Larut mengejawentah, menimbun Eun Gi dalam kegamangannya.
Hujan mendadak turun seperti 2 hari yang lalu.
Wanita berusia 33 tahun itu memejamkan matanya, mencoba menyesap aroma langit yang menenangkan.
“Jika apa yang kita lakukan berhasil, bolehkan aku menemuinya?” kalimat itu menyusup dalam ingatannya bagai dentuman petir yang menggagahi hujan, tak terduga dan mengagetkan.
Eun Gi tersentak.
“Lalu kau mau ia memanggilmu apa?”
Ia tergugu.
“Hahaha… apa ya? Kalau dia suka ice cream mungkin aku bisa menyamar menjadi penjual ice cream,”
Ia jatuh gemetar di beranda kamarnya yang begitu dingin.
Maroo… malam ini hujan menghantarkan sekeping kenangan tentang kita.
Kamu… bukan seseorang yang kucintai pada mulanya.
Eun Byul… seperti yang kamu bilang dalam suratmu, ia hadir bukan karena kita saling mencintai.
Kamu adalah pria malang yang kutemui saat bosan.
Kita berjanji untuk tak melibatkan cinta tapi sialnya kita berakhir dengan cinta sebesar ini.
Kamu tidak tertipu, Maroo… aku memang mati. Aku benar-benar mati, sebab hidupku dimulai saat bersamamu.
Apa berita kematianku membuatmu sadar bahwa cinta yang kita punya itu nyata?
Sekarang, setelah kamu sendiri raib tanpa jejak, kemana aku dan anakmu harus mencari?
Maroo… aku merindukanmu… sangat merindukanmu…
Petir menggelegar tanpa kilat. Seperti sebuah pertanda akan sesuatu yang datang tanpa terduga.
“IBU… HUHUHU....” Eun Byul terbangun dari tidurnya yang nyeyak. Ia menangis, mencari-cari Eun Gi.
“Iya sayang… tenanglah… ibu di sini…” Eun Gi berlari ke dalam kamar, ia melompat ke atas ranjang dan mendekap Eun Byul erat-erat.
Maroo… sama sepertiku dulu, Eun Byul juga takut pada suara petir. Aku tidak bisa bertingkah seperti anak kecil lagi lantas menyusup ke dalam pelukanmu. Memanfaatkan petir agar tubuh kita saling menyentuh. Sekarang, ada jiwa yang harus kulindungi. Jiwa yang kamu titipkan sebelum pergi.
~oOo~
Maroo menenteng ranselnya menaiki tangga kapal. Setelah pencarian selama 3 hari di setiap penjuru Las Vegas, ia tak menemukan apa yang hatinya cari serta rindukan.
Sudah lima tahun dan masih seperti ini.
Pria berwajah tampan mendesah putus asa dengan punggung merebah ke atas kasur sempit di salah satu lantai dasar kapal.
Mattew, teman sekamarnya yang rupanya belum lelap dalam tidur, meliriknya dengan mata mengantuk.
“Maroo… finally you came back,” seru Mattew yang merupakan pria berkebangsaan Inggris.
Ia menguap lebar sebelum melanjutkan kalimatnya,
“I heard that someone is trying to find you yesterday. She came and talked to our Captain. She brought a little girl with her,” ucap Mattew.
Maroo seketika melompat dari kasurnya yang keras dan berbau apek.
Ia berlari, memintas jalan menuju ruang Kapten kapal. Maroo sungguh tak punya banyak waktu, sebab ia merasakan kapal mulai bergerak. Mereka akan berlayar lagi, jauh meninggalkan Las Vegas untuk lantas berlabuh di benua lain.
Eun Byul… apakah itu kamu nak?
Apa kamu akhirnya menemukan surat-surat ayah?
Siapa wanita baik yang mengantarmu mencari ayah?
~oOo~
Eun Gi menarik selimut yang mengungkung tubuhnya bersama Eun Byul rapat-rapat. Hujan belum berhenti dan petir terus menunjukkan keculasannya.
“Ibu… aku tidak bisa tidur… aku takut….” Eun Byul memeluknya erat di bawah selimut.
“Biar ibu ceritakan dongeng ya?” tanya Eun Gi disambut gelengan Eun Byul.
“Ceritakan tentang ayah saja, bu…” rajuk Eun Byul.
“Ayah?” Eun Gi terdiam, tidak menyangka jika putrinya akan meminta kisah tentang pria yang telah merenggut hatinya tersebut.
“Ibu… kenapa malah menangis?”
“Ah? Ibu mengantuk,” bohong Eun Gi seraya mengusap setetes airmatanya yang jatuh tak terduga.
“Ayooo bu! Ceritakan tentang ayah!” Eun Byul memaksa.
Maroo… malam ini untuk pertama kalinya, aku akan menceritakan tentangmu pada anak kita. Kisah apa yang harus kubagi? Pertemuan pertama kita sangat memalukan? Seingatku, aku mabuk dan meracau tak jelas di hadapanmu saat itu. Kamu bilang, aku bahkan menyanyikan lagu tradisional bangsa kita secara falsetto.
Haruskah kuceritakan sebuah dongeng saja?
Sebuah kebohongan pada anak berusia lima tahun ini?
~oOo~
Maroo berlari menuruni tangga kapal dengan cepat. Jantungnya berdetak kencang. Kakinya seolah-olah melayang dan tak menjejak di tanah.
Ia menembus keheningan fajar. Di punggungnya tergantung sebuah ransel nan gembung yang terisi begitu banyak pakaian miliknya. Maroo resmi mengundurkan diri dari kapal tempatnya bekerja selama 5 tahun ini.
Sementara itu, di dalam kamarnya, Eun Gi masih berusaha meninabobokan Eun Byul.
“… ayahmu pintar membuat kopi, tapi ibu tidak pernah menyesap kopi buatannya sekalipun,”
“Kenapa?”
“Ibu sedang hamil kamu dan ayahmu bilang kopi tidak baik untuk wanita hamil,” jawab Eun Gi seraya tersenyum.
“Nanti, kalau ayah sudah pulang, aku ingin mencoba kopi buatan ayah,” Eun Byul berteriak riang.
Eun Gi mengangguk dan mengecup keningnya.
“Iya, nanti ibu juga akan minta kopi buatan ayah juga,” gumam Eun Gi.
Tak lama setelah itu, Eun Byul akhirnya terlelap. Hujan telah sepenuhnya reda. Jarum jam menunjukkan pukul 5 pagi.
Eun Gi hendak memejamkan matanya, tapi sebuah ketukan keras dari pintu membuatnya urung terlelap.
Dengan mata mengantuk dan badan lelah, ia beranjak untuk membuka pintu.
“Pagi-pagi begini, ada masalah apa?” gerutu Eun Gi penasaran. Tangannya memutar kenop pintu, membukanya dengan sebal.
“Sorry for disturbing you, Miss Seo, but this crazy man wants to….”
~oOo~
Eun Gi melompat keluar dari lift secepat mungkin. Tubuhnya yang hanya terbalut piyama tipis berlari menuju Lobi, tempat seorang pria bernama Maroo ingin menemui siapapun penghuni kamar di lantai 22 – kamar milik Seo Eun Gi.
Langkah kaki Eun Gi serasa terpancang di tanah begitu wajah yang lama menghilang dalam kusut memorinya itu muncul kembali, setelah sekian tahun.
Maroo tak dapat lebih syok lagi dari saat ini.
Ia gemetar tak karuan. Matanya yang masih seindah laguna menatap kehadiran Eun Gi dengan tak percaya.
“Maroo….” Eun Gi meletupkan kerinduannya lebih dulu sementara Maroo masih terdiam di tempatnya.
Kematianmu yang menyiksaku selama beberapa tahun ini mendadak menjadi ironi.
Moksa akan kehampaanmu, berubah menjadi bingar pesta musim semi.
Kamu bukan wajah yang raib digerus hujan.
Eun Gi-ah… apa kamu nyata?
Maroo berjalan setapak demi setapak dengan tak berkedip. Jemarinya yang basah dan kisut karena tikaman hujan, mengait pipi mulus Eun Gi. Ia membelai wajah itu pelan.
“Kau bukan hantu… aku bisa menyentuhmu….” Ucap Maroo disambut senyuman di wajah Eun Gi yang basah oleh airmata.
Kamu kembali dari kematian dan membangunkanku dari kematianku juga hari itu, Eun Gi...
Maroo merengkuh Eun Gi dalam pelukannya. Pria itu basah tapi Eun Gi tak perduli. Ia membalas pelukan Maroo dengan pelukan yang lebih erat.
Kang Maroo… sepertinya dunia kita berotasi lagi, kali ini ke arah yang sama….
Kamu seperti sebuah serenade…
Seperti sebuah orkestra di bawah jendela kamarku…
Melelapkanku dalam mimpi-mimpi indah…
Mengubah lelahku menjadi romansa….
~oOo~
Eun Gi-ah… tak ubahnya hujan beberapa tahun silam. Kamu membawaku ke kamarmu lagi.
Yang berbeda kali ini adalah, kamu menggandengku dengan cinta di matamu… cinta di mata kita.
Dan di sana, di dalam kamar yang tak pernah berubah sedikitpun tata letaknya itu, ada bukti kesetiaan kita – Kang Eun Byul.
Pernikahan bukan lagi meja perjudian di matamu.
Dan cinta bukan lagi kata yang asing bagi kita.
Kamu seorang ibu yang penuh cinta. Aku seorang ayah yang merindukan anaknya.
“Eun Gi… apa Eun Byul masih lama tidurnya?”
“Kenapa?”
“Aku membawa ice cream. Kukira aku harus menjadi penjual ice cream untuk menemuinya,”
Kamu tertawa mendengar itu, lantas menggandengku ke beranda.
Seperti kamu beberapa tahun lalu, bibirmu menyesapku tanpa malu dan masih seperti dulu, aku balas menegukmu penuh gairah.
“Kalau aku ingin membuatmu menjadi ayah dari anakmu, selamanya. Berapa harga yang harus kubayar?” sebuah kelakar terlontar dari mulutmu dengan mesra.
Aku tersenyum, “Bagaimana dengan sebuah ciuman?”
Kamu terkekeh pelan, membantuku meletakkan tas, lantas memelukmu.
Kuhidu aromamu yang selalu menenangkan seperti hujan. Kita bercumbu dalam syahdu.
“Kau mau menikah denganku lagi?” tanyaku.
“Memangnya kita pernah bercerai?”
Aku terdiam, mencoba mengingat-ingat dan kurasa kamu benar.
Kita tak pernah menandatangani dokumen perceraian apapun.
Aku hendak menciummu lagi namun sebuah tangisan menggerus romansa kita. Eun Byul terbangun dan ketakutan karena kamu tak ada di sisinya.
Gadis mungilku itu berjalan keluar kamar dan menemukanku di beranda. Ia menatapku dengan penuh tanya sementara kamu memeluk dan menenangkannya.
“Ibu… dia siapa?”
“Ayah,” kamu menggendongnya dan membawanya kepadaku.
Aku tersenyum, bergegas membuka ransel dan mengeluarkan 2 buah ice cream yang sudah meleleh.
“Ayah membeli ice cream untukmu tapi, kurasa ayah harus membeli ice cream baru lagi,” ucapku dan kamu tertawa bersama Eun Byul, sangat riang.
Hatiku membuncah bahagia.
“Aku mencintaimu….” Kubisikkan kalimat itu untuk pertama kalinya saat kedua tanganmu memberikan Eun Byul dalam gendonganku.
Kamu tersenyum, sangat manis dan aku jatuh cinta, sekali lagi pada wanita yang sama.
FIN
DAN FAKTANYA,
Aku emang sinting! Artikel menumpuk minta dikerjain tapi aku gak bisa berhenti mikirin akhir ini FF. Baiklah, doakan semoga kerjaan lancar ya teman-teman.
Kemarin Minggu baru pulang dari ‘Las Vegas’ (ada sebuah golf club yang lagi ultah dan mereka bikin tema pesta di Las Vegas. Sepanjang liputan aku mikirin ini ff gara-gara sama-sama di Las Vegas. Cekaka)
Berhasil wawancara bu GM dan Pak Club Managernya.
Yippi…
Semoga artikelku gak kepentok deadline.
Baiklah… aku mau fokus sama FF jangka panjang yang belum selesai.
KING AND QUEEN OF JOSEON, RUNNING MAN CHAEKI, NICE GUY CHAPTER 29 DAN SEGALA FF LAINNYA. Hehehe….
Terima kasih atas komentar serta votenya ya^^
Comments