Leaving Your Dad
You Are My Serenade || ChaeKi FFSerenade… jika aku boleh mengibaratkanmu dengan sesuatu, maka aku akan menutup mataku dan membayangkanmu sebagai sebuah nyanyian merdu di bawah jendela kamarku. Nyanyian penuh rayuan, nyanyian yang membuatku melompat keluar jendela dan jatuh dalam dekapanmu. Cinta adalah kata yang asing. Cinta adalah kata yang menyakitkan hingga Las Vegas membawamu ke pelukanku. Kamu, pria bermata laguna, berdagu mempesona dengan hidung mancung dan paras setampan pangeran Persia. Kamu tahu pasti aku suka pria-pria tampan dan kita bercumbu, di dalam kamarku yang lembab dan berlumut rindu. Kakimu meningkah kakiku, tanganmu mengait tanganku, hidungmu menghidu napasku. Kita lelap… menyukai segala hal tentang larut yang membuat jerejak sederhana dalam garbaku. Jerejak milikmu, seorang Kang Maroo kecil yang kuminta untuk kamu titipkan pada wanita sepertiku.
Ya, begitulah aku memanggilmu. Kita kemudian bertemu lagi setelah sebuah pencarian panjang yang kulakukan seorang diri. Kamu tidak tahukan kalau aku menyusur hampir seluruh pelosok Korea Selatan, menyambangi semua tempat yang kupikir adalah dermaga bagimu. Kamu tak pernah tahu karena aku terlalu malu untuk mengatakannya. Kamu membuat rasa malu menyinggahi dan meninggalkanku di saat yang bersamaan. Kamu harusnya tersenyum, bukan tercenung dan mengumpat ke arahku. Kamu bilang aku sakit jiwa, aku tidak waras dan aku sinting.
Cinta menjarah akal sehatku, Maroo. Kata asing dan penuh sembilu itu meledak cepat ketika mata kita beradu. Sayangnya, seiring cinta, seiring pula ketakutan menjelaga. Memias jiwaku yang sebelumnya sukar ditundukkan bahkan oleh Tuhan sekalipun. Aku masih si sombong yang angkuh dan merasa memiliki dunia, tapi di hadapanmu, aku mati gaya, mati rasa, mati segalanya. Kamu udara, ketiadaanmu serupa kabut yang terserut lantas mencekikku.
Kamu tidak banyak bicara, sosokmu yang penuh ketenangan memikatku, menciptakan bilik-bilik pemujaan yang tunggal. Selayaknya Iblis penjerang manusia, kamu meminta seserahan. Kutawarkan semua asset berbau dunia yang kupunya. Kamu mengangguk setuju, mendekap tubuhku, menyunggingkan secarik senyum saat secarik kertas dengan gambar nol lebih dari 10 menyusup masuk ke kantong celanamu.
Kita bersama lagi, jabatanmu naik lebih tinggi. Kamu suamiku. Kang Maroo dan Seo Eun Gi menjadi sepasang suami istri. Kamu suka? Aku sangat suka.
Seperti itu… ya seperti itu.
Aku tak pernah berani menyalin larik-larik tentang cinta di hadapanmu sebab, kamu adalah jangkar – geming namun tak selamanya mengait di atas karang. Kamu debur ombak yang berpindah dan melaju searah angin. Aku bukan angin, aku adalah ikan kecil yang tersapu gelombangmu, jadi lebih baik diam dan mencintaimu dalam keheningankan?
Aku bukan wanita serakah, Maroo.
Kamu berkeledot di sekitarku, menjamahi tubuhku, menyeduh nafsuku, seinginmu, seinginku, seingin kita.
Kosong… tanpamu aku hanya kertas kosong, hanya sepetak gurun tanpa musafir, hanya setitik hujan di atas samudra. Sia-sia.
Kita memijar bersama selama puluhan hari. Kamu harusnya jatuh cinta padaku seperti aku jatuh cinta padamu. Sayangnya, kamu terlalu kokoh, dingin dan tandus untuk kutaklukan. Kamu lebih banyak termenung saat mulut kita memagut dalam satu desahan napas.
Kamu memikirkan apa? Siapa?
Kuharap kamu tak punya orang lain, seingatku kamu sebatang kara bahkan dalam urusan cinta.
Andai kamu tahu, darah dagingmu sungguh banyak tingkah. Akhir-akhir ini selain memikirkan tentang kepergianmu yang semakin dekat, aku juga disibukkan oleh napas lain yang kamu pasung di dalam rahimku – buah peraduan kita.
Dengan nama apa aku harus memanggilnya nanti?
Kita berbagi kisah, menguarkan cerita dan meledakkan khayal berbongkah-bongkah tapi tak sebuah nama pun kamu serukan untuk calon anakmu. Apa semuanya terserah padaku, Maroo?
Aku bilang padamu kalau aku mati rasa. Kamu tersenyum dan tanpa beban mendengarnya. Tidakkah kamu kecewa?
Apa yang kamu pikirkan saat raga kita berjejalan di atas ranjang? Saat kedua lenganmu memelukku? Saat bibirmu menggauliku?
Kamu yang mati rasa. Kamu yang tidak peka.
Sebelum kita bertemu, aku tak pernah menangis.
Airmataku adalah barang mewah. Kamu menyaksikannya bukan? Saat bayi kita meronta mendobrak liang kewanitaanku pun, aku tak menangis menahan sakitnya.
Aku merasa akan mati saat itu. Berjam-jam aku mencoba menikmati sakitnya sementara berjam-jam pula kamu mencoba merayuku untuk operasi saja. Aku menggeleng dan bersikeras untuk bertahan. Kamu mengataiku gila, keras kepala dan bodoh. Aku tidak perduli. Aku memang gila, keras kepala dan bodoh – karena kamu.
Secarik kertas, sebuah rekening deposito dan segaris tinta hitam di kalender kisah kita adalah kerak-kerak di jangkarmu.
Aku menyesal sekarang, kenapa menjanjikan sebuah kebebasan untukmu saat itu. Persetan dengan mereka yang mengatakan jika cinta tak harus memiliki.
Bagaimana ini, Maroo… aku ingin memilikimu.
Apa sauhmu masih berlayar ke barat daya?
Tidakkah kamu ingin membuali angin?
Tidakkah kamu ingin hinggap di bungalowku saja?
Tidakkah kamu lelah mendayung sendirian?
Jemarimu menggenggamku erat saat buih yang kamu labuhkan ke dalam garbaku tumbuh dan ingin memintal nasibnya sendiri.
Kamu menyeka keringatku yang turun berderaian seperti hujan di luar sana. Petir meraung-raung, langit tetap pekat dan kamu gemetar, menggigil ketakutan melihatku mengerang kepayahan di atas ranjang kita.
Lenganmu yang kokoh dan bermassa, menggendongku menuruni tangga. Kamu seperti suami sungguhan saat itu. Sebelah tanganmu menggenggam tanganku, sesekali mengusap-usap perutku sementara tanganmu yang satu memutar kemudi dengan lincah menuju Rumah Sakit.
Kamu setia, tak beranjak sedikit pun dari sisiku.
Desah napasku adalah satu-satunya musik yang kamu dengar tanpa protes.
Lalu, untuk pertama kalinya jua aku melihatmu menundukkan kepala dan mengumamkan sebuah doa. Diam-diam aku jatuh cinta lagi padamu.
Kamu ingat, dulu kamu bilang kalau kamu tak percaya Tuhan dan hanya akan berdoa saat kamu merasa sangat lelah dan ketakutan.
Kamu takut aku mati? Kamu takut kehilanganku?
Masih sakit, Maroo… rasanya masih sakit, tapi berada di sisimu membuatku merasa jika sakit tidaklah tunggal. Kamu menggenapiku.
Waktu berlalu terbata-bata. Aku sudah mencoba berbagai macam cara untuk berdamai dengan rasa sakit ini, tapi semuanya hanya asa. Sekarang aku bertanya-tanya, apa ibuku yang mati ditikam cinta itu juga semenderita ini? Terlebih karena ayahku pergi, meninggalkannya seorang diri akibat sihir dari kakekku.
Ah… kakekku… kamu tidak tahukan Maroo, jika ia menentang kita. Terasa ganjil sebab ia belum menemuimu untuk menunjukkan mantera sihirnya.
Nanti ia mungkin akan menghampirimu dan menawarkan sebuah rumah di bulan untuk meninggalkanku. Saat itu, jika kamu masih belum pergi, akankah kamu menerimanya?
Maroo… bayimu menggerung dalam ragaku. Ia melarungku dalam rasa sakit yang tak berkesudahan.
Kurasa ia tak ingin menunggu terlalu lama, padahal andai kamu tahu, diam-diam aku menahannya. Aku tak mau kamu pergi malam ini, tapi dokter dan suster sok tahu itu menyuruhku melebarkan kaki. Kata mereka, jalan lahir bayi kita sudah terbuka.
Maroo… kumohon hentikan mereka. Katakan pada mereka jika aku masih sanggup untuk bertahan beberapa jam lagi.
Sialnya kamu diam, menurut saja pada para medis menyebalkan itu. Kamu bahkan mengiyakan saat mereka menyuntikkan sesuatu ke pusarku – obat yang kemudian kutahu menambah kuat kontraksiku.
Kamu ingin pergi secepat ini Maroo?
Tak cukup sampai di situ, kamu membantu mereka. Kedua tanganku menyangga tubuhku, sesekali tanganmu turun ke perutku dan mengurutnya, membantu bayi kita turun di antara celah kakiku yang menganga sempurna.
Aku berteriak, memekik kepayahan, mencengkeram bagian tubuh manapun milikmu yang sanggup kugapai. Kesadaranku meletar, ingatanku terpencar tapi wajahmu tetap kupotret sama-samar.
Kamu tak akan pernah paham rasa sakitnya.
Bukan, bukan rasa sakit karena bayimu menerobos lubang kemaluanku yang kecil dengan kepalanya yang besar tapi, rasa sakit karena melihat kesungguhanmu untuk segera pergi dariku.
Malam berayun sendu. Sekian jam kuhabiskan dengan perasaan yang bergumul tak karuan. Semuanya menyesapku dalam ketimpangan. Bayi kita masih meronta di sarangnya dan aku masih menggeliat sekarat karena kehilangan banyak darah.
Kamu pucat, matamu sembab dan jari-jarimu terasa rapuh di genggamanku.
Kamu menangis, Maroo?
Untukku?
Kamu mengecup di keningku, menyeka keringat di sekujur tubuhku dan mengurut perutku agak keras. Dokter dan Suster terus menyemangatiku, kata mereka bayi kita sudah berada di ambang pintu. Aku tak perlu diberitahu, aku bisa merasakan tubuhnya mengganjal di bawah pinggulku, di lorong tempat kamu menikamku dulu.
Ini adalah puncak dari segala rasa sakit yang belasan jam mengumpara dalam garbaku.
Perih dan nyeri meruak menjadi satu.
Tubuhku tak kuat untuk menahannya. Ada mual yang meningkah di saat bersamaan. Aku melayang ke ruang hampa. Benda yang kamu titipkan di tubuhku mengambil alih semuanya. Kamu berbisik di telingaku, entah membisikkan apa. Suaramu terdengar seperti dengung tawon. Aku menyerah Maroo. Aku menyerah.
Kubiarkan Dokter melesakkan besi ke dalam lubang rahimku. Tak hanya itu, aku juga diam saja saat ia mengambil gunting dan melebarkan jalan lahir bayi kita seiring suara kreess dari kulitku beradu dengan 2 mata guntingnya yang tajam. Darah mengucur tak berkesudahan.
Kulihat kamu semakin ketakutan. Kini, desah napasmu adalah satu-satunya musik di telingaku.
Sepuluh jemari yang kutahu milik siapa, meraba celah kakiku, mencoba menarik sesuatu dari dalam tubuhku.
Perlahan namun pasti, kamu juga mengurut perutku lagi, tanganmu yang basah dan penuh keringat sesekali terpeleset dari atas perutku.
Aku masih ikut mengejan meski pelan dan nyaris tanpa tenaga.
Aku tidak tahu jika melahirkan adalah sebuah meja perjudian juga.
Dan kurasa aku telah kalah – telak.
Kulemparkan semua kartuku dan kutinggalkan kursiku. Aku tidak perduli lagi pada hadiah utamanya.
Aku layu, gugur dan menghilang.
Maroo… diamlah di sisiku sampai aku tak dapat lagi merasakan kehadiranmu, kehadiranku.
Wajahmu adalah hal terakhir yang kulihat sebelum gelap memasung netraku.
Suaramu adalah nyanyian terakhir yang kutahu sebelum hening menggiringku pergi.
Sekarang setelah kamu menjadi sebutir moksa dan kita berhenti berpesta, masihkah kamu mengingatku?
Apa kabarmu, Maroo?
Tidakkah kamu merindukanku?
Nanti, jika anak kita telah dewasa, akankah ia tahu jika ia terlahir atas nama cinta?
Cinta dari seorang istri dan seorang ibu - cintaku pada kalian berdua.
~oOo~
Dan faktanya,
Ada yang bisa tebak, dari kalimat penutupnya. Apa yang terjadi?
Aku bukan pecinta sad ending, jadi ini bukanlah akhir.
Comments