Ma Roo's POV || When I Met Your Mom
You Are My Serenade || ChaeKi FFLas Vegas adalah kenangan buruk sebelum kamu menculikku ke atas ranjangmu yang sunyi. Sebelum kita terbahak bersama di rintik hujan dan sebelum aku memberikan sebagian dari diriku kepadamu. Hmm, bukan memberikan tapi menjualnya – mengingat kamu membayar mahal untuk itu.
Kamu jelas bukan yang pertama kurengkuh, kujelajahi lengkuk tubuhnya dan kujilati keindahannya. Kamu sudah bisa menerka. Kamu tahu aku kotor dan berbisa, aku licik dan penuh dusta, tapi kamu tak pernah tahu jika, kamu yang pertama. Ya, kamu wanita pertama yang membuatku merasa Korea Selatan seperti penjara, sementara Las Vegas yang busuk itu serupa surga.
Bulan demi bulan berlalu, aku mungkin telah binasa di dalam benakmu. Aku tak ingin bertanya sebab dunia kita berlayar ke penjuru yang berbeda. Kamu dan calon bayi kita adalah senggama yang harus lebur dari ingatanku.
Kemudian, kita berjalan mengikuti kompas masing-masing. Aku pergi jauh meninggalkanmu, menutup buku.
Uang darimu kuhamburkan pada para berandal yang menyekapku dalam ketimpangan dan hutang berlebihan. Taring-taring mereka yang penuh liur menyeringai puas. Hening setelahnya dan aku pulang ke rumah. Tak berharap banyak untuk bertemu denganmu lagi atau menyapa anak kita yang masih tenteram berselimut garbamu.
Terowongan panjang yang kutelusur sebelum mengenalmu sepenuhnya runtuh, Eun Gi. Kabut berarak cepat, menyesapku, melontarkanku ke tempatku seharusnya berada. Jadi di sinilah aku, ayah dari calon bayimu – menyeduh kopi yang beraroma seperti kamu. Menikmati hujan dengan bayangan tentang peraduan kita. Peraduan terakhir yang aku kubur dalam-dalam di dalam hatiku.
Sekali lagi, kamu wanita pertama yang dengung napasnya tak enyah. Kamu berputar-putar seumpama ngengat di kepalaku. Aku tidak keberatan karena percaya atau tidak, aku jatuh cinta, kepadamu – Seo Eun Gi.
Larung milikku menjejak cepat di atas tanah kelahiranku ini. – Korea Selatan. Harga yang kamu berikan untuk benihku adalah modal utama dari coffeshop ini. Aku tidak malu untuk mengakuinya, toh ini hakku.
Kadang di dingin hentakan jarum jam yang berputar pilu, aku ingin menemuimu. Kembali ke Las Vegas. Mencari tahu bagaimana perutmu mulai membesar, bagaimana wanita sepertimu mengeluh dan mengalah sementara waktu.
Mengalah untuk tak menyesap berbatang rokok yang kamu bilang pengusir sepi. Mengalah untuk tak meneguk alkohol yang kamu panggil kekasih tanpa syarat. Aku masih mengingat pertemuan pertama kita dengan sangat jelas.
Kamu, wanita bergaun pendek, bergincu merah menyala dengan rambut berantakan hasil ulah sang angin, datang ke hadapanku malam itu. Di hari pertamaku bekerja.
Kamu mengeluh, meracau dan mendendangkan lagu tradisional bangsa kita saat mabuk. Kamu liar, menggairahkan, terlalu berbahaya untuk didekati tapi terlalu sayang jika didiamkan.
Kamu membuatku gila.
Aku mengatakannya bukan untuk merayu, aku hanya mau anak kita kelak tahu jika ia dibuat dengan cinta. Aku bersyukur Tuhan mengirim hujan dan menjebakmu di sisiku. Aku bersyukur kamu tak tahu malu dan menerima kehadiranku seperti sehelai selimut di musim dingin.
Kita bercinta sampai kenyang dan ingin muntah, sampai sekujur tubuhmu yang mulus sedikit biru dan sampai ranjang dinginmu itu hangus terbakar, tak tersisa.
Kini, setelah semua romansa yang mengerak di dalam otakku itu ikhlas untuk dilepaskan. Seperti sebuah badai tak berkesudahan. Aku melihatmu, berjalan di salah satu sudut jalanan Seoul. Kuharap mataku salah terka atau kewarasanku sedang mengabur, tapi nyatanya kamu muncul dengan perutmu yang tak lagi rata.
Kamu tersenyum dan menghampiriku seolah kita sepasang kekasih yang terpisahkan sekian lama. Kamu masih angkuh, seenaknya dan tak tahu malu.
“Mocchaci…” kamu belum menyelesaikan pesananmu saat aku menyela, “No!”
“Yup, mochacino….” Celotehmu riang membuatku tersenyum karena sebenarnya kamu sedang salah paham.
“Maksudku ‘no’ wanita hamil tidak boleh minum kopi,” Dan kamu merengut mendengar ucapanku.
Saat itu sejujurnya aku takut kamu menghardik status di antara kita. Siapa aku dan siapa kamu. Kita hanya penjual dan pembeli, kamu membayarku lunas jadi seharusnya aku diam dan menurut sajakan? Tapi, bagaimana jika aku terlalu keras kepala untuk membiarkanmu bertingkah sesuka hati – terutama dengan anakku di dalam ragamu.
Coffeeshopku hanya terisi 3 orang, kamu salah satunya – wanita dengan perut membuncit yang meringkuk di pojokan. Satu-satunya pembeli yang meminum air putih.
Matamu berkilat dan ekspresimu merona-rona saat kedua tungkai kakiku menempatkan dirinya di hadapanmu.
“Jadi di sini rupanya seorang Kang Maroo bersembunyi,” kamu menyalak cepat.
“Aku tidak bersembunyi, tapi kalau kau mencariku, mungkin ini terlihat sebagai tempat persembunyian,” jawabku datar.
Kamu melihatnya? Ada senyum di bibirmu. Senyuman yang pernah beradu dengan senyumanku. Tidakkah kamu merindukan saat-saat itu, Seo Eun Gi?
“Ah… terlihat jelas ya kalau aku mencarimu, Maroo?” tanyamu pura-pura lugu.
Aku mengangguk kecil dan lagi-lagi kamu tersenyum, memainkan telunjukmu yang lentik dengan kuku penuh warna ke tepian gelas.
“Aku bosan….” Keluhmu muram. Netramu menjangkau jauh ke dalam jendela hatiku.
Mengais-ngais ruang kosong yang selalu tersisa untukmu, si nona kaya kesepian.
“Aku muak… Korea tetap kuno! Tetap menganggu dan membuatku terasing!” Kamu mengoceh lagi seperti berbulan lalu. Bedanya adalah, kali ini ragamu menjaga jabang bayiku dan gelas di depanmu terisi air putih bukannya vodka.
“Sepupu-sepupuku… saudara-saudara jauhku dan semua pekerja yang aku punya… mereka bergosip tentang bayimu, tentang siapa ayahnya dan tentangku,”
“Lalu kenapa pulang ke Korea?”
“Entahlah…” kamu menjawab hampa.
Hatiku tersentuh dan untuk pertama kalinya, aku akan mengisi kotak kosong milik kita dengan aroma cinta.
“Mencariku, huh?”
~oOo~
Eun Gi… kamu memang gila. Kamu abnormal. Kamu tidak waras dan pesakitan.
Kukira kegilaanmu hanya sementara waktu. Kukira kewarasanmu akan kembali setelah puas menyesap tubuhku, tapi apa ini? Kamu bertingkah kekanakan, bermain drama sesuka hatimu. Pernikahan yang kamu bilang arena perjudian itu, kenapa pada akhirnya kamu tawarkan padaku? Menurutmu, aku ini Iblis atau Malaikat? Yang satu tak punya hati dan yang satu tak punya nafsu. Aku masih manusia, jika kamu mau tahu.
Bodohnya, aku mengiyakan kesombonganmu dan menurut sebagaimana hujan jatuh di bawah awan, tanpa perlawanan. Dari pria asing tempatmu berkeluh kesah, aku menjelma menjadi penolongmu di hari hujan, kemudian naik pangkat dan menggelungmu di atas ranjang lantas sekarang, seolah tak cukup puas, kamu menggeretku ke istanamu, memperkenalkanku sebagai suami yang kamu punya. Suami bayaran.
Kamu sedang berjudi denganku atau aku yang berjudi denganmu? Aku mulai tak paham, Eun Gi.
Kamu belum tahu kalau mati-matian aku meredam cinta untukmu. 6 bulan adalah batas waktunya. Katamu, setelah bayi kita lahir, aku bebas pergi, ke manapun sesuka hatiku.
Katakan padaku, aku harus bahagia atau tersiksa menerimanya?
Kamu menyuruhku berbangga, menyuruhku membusungkan dada, tapi kamu tak mengungit tentang kebahagiaan sedikit pun.
Kamu mati rasa?
Suatu malam, kamu berbaring di pangkuanku, kita menghangatkan diri bersama di depan perapian rumahmu yang bergaya klasik modern.
Kamu bilang, aku bebas menyentuhmu, mengecup parasmu dan mengaduk ragamu kapanpun aku mau.
Kamu sungguh mati rasa?
Tanganmu yang hangat mengarak jemariku ke balik bajumu, ke atas dingin perutmu. Ada gerakan-gerakan asing di dalam sana. Aku geli dan takut melukainya, tapi kamu bilang tidak apa-apa, ini anak kita.
Dengan hati-hati kuusap perutmu yang menonjol tak rata, janin kita bergerak lincah. Tidakkah ia menurun sifatmu itu?
Tak puas di satu tempat dan cepat bosan, sebagaimana nanti kamu mungkin akan bosan padaku.
Rumahmu hening, bahkan lebih hening dari Coffeeshopku yang tak terurus sejak kamu memintaku ‘berjudi’ denganmu.
Matamu terpejam, apa keberadaanku sungguh membuatmu nyaman?
Kamu tidak curiga sedikit pun padaku?
Bukankah kamu sosok yang kaku, penuh pikiran negatif dan sukar mempercayai orang lain?
Bagaimana jika aku membunuhmu diam-diam?
Membekapmu. Menguburmu di belakang rumah. Itu sungguh mudah.
Kamu tidak memikirkan prasangka itu sama sekali atau jangkar perahumu menjangkau dermaga yang salah?
Aku membawamu ke dalam kamar, membaringkanmu di atas ranjang ‘kita’ yang hangat.
Wajahmu yang teduh menggodaku. Kubelai pori-pori kulitmu yang lembut dan halus.
Kamu membuka mata, menggeliat pelan dan tersenyum menatapku.
Jantungku berdegub kencang.
“Kau menggendongku ke kamar?” kamu bertanya seraya melihat ke sekitar.
Kita saling pandang kemudian. Kamu bergerak mendekat, menyelinap di bawah ragaku, membiusku dengan seribu kecupan. Kamu mengusikku, meledakkan sesuatu di dalam diriku dan menghamburkannya ke dalam garbamu yang telah penuh.
Kamu melawan dengan giat, membalas seranganku dengan gairah yang meruah-ruah. Mencabikku, merajamku dan memasungku dengan pesonamu. Tubuhmu menari penuh pola, terhentak-hentak di balik selimut yang basah. Semakin aku menusukmu dalam, semakin kamu berteriak kesenangan. Kamu berada di tengah berpesta. Hingar dan bingar. Kamu senang, Eun Gi? Kamu menikmatinya?
Kamu itu almanak yang penuh dengan tanggal merah.
Membuatku bahagia tapi juga gelisah. Aku takut suatu waktu warna merahnya akan habis lantas menguarkan aroma tubuhmu dariku. Kamu tidak takut, Eun Gi?
Aku menghabiskan waktu dalam bingkai kegelisahan sementara kamu tetap berpesta pora.
Lalu suatu hari, seorang pria tua datang ke rumah kita. Kamu sedang tak di rumah siang itu.
Pria tua itu mengaku sebagai kakekmu. Ayah dari Ibumu yang telah lama meninggal karena bunuh diri. Dia si kaya yang uangnya menimbunmu dalam kemewahan dan kehampaan.
Ia menghardikku Eun Gi. Kakekmu tidak tahu jika pernikahan kita hanya sebuah pariwara – sebab terlalu singkat jika kusebut ini sandiwara.
Kakekmu itu… ia sungguh berbeda darimu… ia tidak mati rasa. Ia melihat iblis di dalam mataku.
Ada ketakutan yang menjerang jiwanya.
Ia mengeluarkan tongkat sihirnya, meletupkan mantera serupa milikmu – setumpuk uang yang kurasa sanggup menerbangkanku ke luar angkasa saking banyaknya.
Ia memintaku pergi tepat setelah bayi kita lahir ke dunia.
Ia memintaku menghilang diam-diam nanti.
Ia menyayangimu seperti itu.
Aku tidak mengatakan apapun sampai kakekmu pergi.
Kamu ingat Eun Gi? Kamu ingat pada cerita yang dulu kamu bagi padaku di saat mabuk?
Tentang seorang pria yang meninggalkan istrinya setelah terpikat oleh sihir seorang pria tua.
Kukira itu kisah tentang cinta sesama jenis, kukira pria tua itu abnormal, tapi sekarang aku paham. Bukankah itu kisah tentang ayah dan ibumu? Tentang kakekmu?
Ini konyol. Kamu membuatku merasa konyol, Eun Gi.
Tidak ada pilihan sebenarnya. Kamu sudah memberi batas pada almanak milikmu.
Dengan atau tanpa sihir kakekmu, bukankah aku pasti akan kamu usir pergi?
Kadang aku melihat cinta tumbuh di dalam manikmu meski kamu tak mengakuinya.
Kamu bukan mati rasakan sebenarnya? Tapi kamu takut untuk jatuh cinta dan mengakuinya pada dunia.
Di meja perjudian ini, kamu atau aku yang akan kalah?
~oOo~
Bulan demi bulan berlalu, kita semakin larut dalam mimpi-mimpi indah yang pada saatnya akan menjadi moksa. Setiap hari kamu menempeliku, menyesap wangiku dan menjarah akal sehatku. Bagi kita, cinta adalah sebuah kata yang panas. Baik kamu ataupun aku, sama-sama takut terbakar. Mulutku yang kotor tak pantas untuk itu. Kita bersenda gurau, berayun-ayun dan berlarian bagai kekasih sungguhan.
Ada kalanya, kita berceloteh tentang masa depan bayi di dalam kandunganmu yang beratnya telah berlipat-lipat. Kita berbagi angan yang sebenarnya tak pasti. Kamu menyukainya, jadi aku pun menyukainya. Kadang kamu memasak untukku, membuatkanku minum, merajuk untuk ditemani keluar rumah. Kadang aku memijat tubuhmu yang kini mudah lelah, membantumu menyisir rambut atau sekedar menggandengmu menaiki tangga.
Bukankah kita sangat serasi?
Sekarang aku jadi ingat sihir kakekmu. Kamu tidak pernah menyatakan cinta, kamu hanya bilang bahwa keberadaanku membuatmu nyaman dan ketiadaanku membuatmu merasa tunggal, janggal, kesepian. Nanti, saat almanak milikmu kehabisan warna merah, kamu tidak akan menggila dan bunuh diri seperti buah sihir dari kakekmu terhadap ibumukan?
Aku tahu, kamu tidak serapuh itu. Toh, buktinya kamu sanggup menemukanku dan membawaku ke pelukanmu.
Eun Gi… apa yang kamu pikirkan setiap kali menatap wajahku… tersenyum kepadaku… menyibak rambutku… menggenggam tanganku… mencumbuku… menelanjangiku… apa yang ada di benakmu?
Kamu tidak pernah memperlakukanku seperti gigolo. Kamu memperlakukanku selayaknya suami sungguhan dan tidakkah kamu sadar jika itu membuatku takut. Sejak kapan kamu jadi tak waras?
Suatu malam, kamu terengah kepayahan, jemarimu menggapaiku dengan erang kesakitan. Kamu berteriak jika sudah waktunya. Aku tak paham sampai kulihat perutmu bergejolak tak beraturan. Kamu mencengkeram lenganku, menyisakan bekas kemerahan dan lebam kebiruan. Keringatmu mengucur deras seperti hujan di luar sana.
Eun Gi… jadi sudah saatnya?
Inikah saat bagi kita untuk berpisah? Sekali lagi dan mungkin untuk selamanya.
~oOo~
Dan faktanya,
Ternyata ada banyak respon ya tentang perubahan kata ‘kau’ jadi ‘kamu’ hehehe….
Aku senang apapun respon kalian, karena pada dasarnya aku tidak sedang berusaha mengesankan siapapun. Aku hanya mencoba berbagi cerita dengan cara yang berbeda.^^
Dan… di chapter selanjutnya giliran Eun Gi untuk berkisah serta bagaimana bayi EunMa terlahir di dunia. hehe… xD
Ini mini FF, semacam selingan untuk mengasah kemampuanku bercerita aja. ^^
Well, teruntuk @Emoonsong... I am so touched because your comments. You are the first here and maybe the only on who give me the review. I love reading your review^^
Let me hug you, sista <3
Comments