Chapter 5 - Be With You

Dear Diary

Sonna menggeliat di atas kasurnya. Ia baru saja bangun dari tidurnya yang bisa dibilang sangat nyenyak. Sinar mentari yang cerah menembus kaca bening dan menyilaukan pandangan gadis itu saat ia membuka mata, membuatnya harus memejamkan kembali mata tersebut dan menguceknya beberapa kali hingga dirasa penglihatannya jernih. Tangannya bergerak untuk melihat jam di handphone yang biasa ia letakkan atas nakas disamping tempat tidur. Namun saat tangannya meraba-raba untuk mencari benda tersebut, tiba-tiba ia merasakan seseorang menangkup tangan mungilnya itu.

“Kau sudah bangun?”

Gadis itu terperangah. Baiklah, ia tahu bahwa seseorang yang tengah berbaring disampingnya itu adalah suami sah-nya sendiri. Ada sedikit perasaan tenang di dalam dadanya saat terbangun pagi ini, tidak seperti hari-hari sebelumnya, ketika ia terbangun dalam keadaan tanpa busana dan Sungmin yang memeluk pinggangnya. Selalu saja ada perasaan was-was jika mereka sudah menghabiskan waktu di dalam kamar seperti itu, tanpa hubungan pernikahan pula. Tetapi hari ini berbeda. Ia bisa bangun dengan tenang saat mengetahui yang tidur seranjang bersamanya adalah suaminya sendiri, dan pemikiran itu membuat Sonna merasa lebih aman.

Tunggu sebentar…

Aman?

Oh oh… Ternyata persepsi gadis itu terpatahkan dalam sekejap saat ia menyadari benda apa yang tengah melekat di tubuhnya.

“Lu…” Panggilnya lemah, masih berbaring membelakangi pemuda tersebut.

“Hmm?” Luhan menyahut.

“Kau… semalam… ehm… itu…” Sonna mengernyitkan dahinya. Ah, sepertinya ia tidak sanggup menyuarakan pertanyaannya.

“Ada apa Nana-ya? Kau ingin tahu apa saja yang telah kita lakukan semalam? Atau… ah, lebih tepatnya apa yang telah aku perbuat padamu…”

“Matilah aku!” Pikir gadis itu. Tampaknya ia baru saja menikahi lelaki yang cukup frontal.

“Jujur saja Lu… aku tidak bisa meningat apa-apa tadi malam, setahu ku, aku masuk kedalam ruang ganti pengantin. Sepertinya aku sempat tertidur disana tapi entahlah, tiba-tiba saja aku sudah berada disini. Apa kau yang ehmm… membawaku kesini?” Akhirnya Sonna memutuskan untuk bertanya.

“Tidak. Kau berjalan sendiri dalam tidurmu.” Jawab Luhan dengan santai, malah ia asyik mengutak-atik handphone Sonna yang berada di nakas tepat disampingnya. Ia baru tahu jika ternyata pada benda milik istrinya itu terdapat beberapa games yang seru.

“Mengapa kau diam saja?” Tanya lelaki itu saat menyadari Sonna tidak membalas kata-katanya. “Apa kau sebegitu terkejutnya karena mengetahui kau berjalan dalam tidurmu? Padahal tidak hanya itu. Kau juga mengorok dan mengingau. Oh iya, sepertinya tadi aku merasakan bantalmu basah. Aih, Sonna, jangan bilang kau juga…”

“PLAK!”

Sebuah bantal pun melayang tinggi di udara sebelum akhirnya mendarat dengan sempurna diatas wajah Luhan.

“Puas mengataiku?! Sialan kau! Aku tidak mungkin tidur seperti itu. Huh, menjijikan.” Sonna mendumel dengan kesal hingga tanpa ia sadari, ia telah mendudukan dirinya di hadapan Luhan dan selimut yang sedari tadi ia gunakan untuk menutupi tubuhnya kini tidak berfungsi lagi.

Tampaknya gadis itu tidak menyadari bahwa mata Luhan telah membulat total, ia mungkin tidak akan berkedip barang sekalipun. Sungguh sayang melewatkan pemandangan yang tersaji didepan matanya saat ini.

“Kau tahu, aku dulu kurang percaya jika kau adalah perempuan jika dilihat dari sifat cuek mu terhadap penampilan Nyonya Xi. Tetapi hari ini kau telah membuktikan bahwa aku salah.”

Sonna segera memalingkan kepalanya kearah suaminya tersebut. Bersiap untuk melemparkan sebuah benda lagi di wajah tampannya, tetapi seketika ia membeku. Gadis itu merasakan darah mulai surut dari wajahnya saat menyadari apa saja yang telah berhasil dilihat oleh Luhan selama ia bangkit dari posisi berbaringnya.

“Luhan kau! Ah, yadong!” Gadis itu segera menarik selimut dan kembali membelakangi Luhan. Sedangkan lelaki yang baru saja disuguhi pemandangan ‘menyegarkan’ itu hanya bisa terkekeh puas.

“Yak! Daripada menertawakanku, lebih baik kau mencarikan baju yang lebih tertutup untukku gunakan!” Gadis itu menunjuk kopernya yang terletak di sudut kamar hotel.

“Aku tidak mau.” Balasnya datar.

“Xi Luhan!” Kekesalan Sonna mulai tersulut akibat perlakuan lelaki itu.

“Lantas, apa gunanya kau mengganti baju, Nana? Apa kau tidak tahu jika piyama dalam kopermu telah berganti semuanya menjadi lingerie.”

“Apa kau bilang?”

“Ya, didalam kopermu itu tidak ada satu baju pun yang dapat kau gunakan untuk menutupi tubuhmu.”

Sonna menggeram.

“Sialan… ini pasti ulah Shinna-eonni. Lihat saja nanti, akan kubuat perhitungan dengannya.”

“Hmmm, aku justru berterimakasih padanya. Untuk… hehe, yah, kau tahulah…” Berbagai hal berbau dewasa mulai berputar-putar dalam otak Luhan.

Sonna menggelengkan kepalanya. Ia menyesal telah mengatakan bahwa menikah dengan Luhan adalah hal yang aman. Sungguh bagaimana mungkin ia bisa tenang jika seperti ini?

“Hei… tunggu sebentar.” Gadis itu berbalik untuk menatap Luhan, masih dengan selimut tebal yang membungkus tubuhnya.

“Darimana kau tahu mengenai isi koperku? Jangan katakan… apakah kau yang menggantikan bajuku semalam?!”

“Yah… habis mau bagaimana lagi, aku tidak mungkin membiarkan istriku tidur dengan gaun, bukan? Haha, itu terdengar lucu. Seperti di kerajaan saja jika kau tidur menggunakan gaun. Padahal kau sama sekali tidak cocok menjadi putri.” Lelaki itu mengakui segalanya dengan santai seakan itu bukan merupakan hal besar.

“Luhan!” Sonna ingin menjerit sekuat tenaga. Astaga, betapa malunya dirinya saat ini. Ternyata tanpa ia sadari, disaat ia tertidur dengan lelap, lelaki itu telah melihat tubuhnya yang hanya tertutup pakaian dalam. Mengapa ia tidak terbangun pada saat itu? Aish, apakah lelaki itu mencampurkan obat tidur didalam minumannya?

“Apa gunanya kau menutupi-nya seperti itu Nana-ya. Aku bahkan sudah melihat semuanya.” Luhan melanjutkan perkataannya tanpa menyadari gejolak di hati Sonna yang sudah membara.

“Diam kau!”

“Oh, jadi sekarang kau marah begitu? Yak! Siapa suruh kau tidur seperti orang mati. Aku sudah berusaha membangunkanmu tapi tak kunjung berhasil. Akhirnya, aku memutuskan menggantikannya untukmu. Terlebih lagi, rejeki itu tidak boleh ditolak.”

“Aku ingin membunuhmu, Lu…” Ujarnya sesadis mungkin. Jika saja kepala gadis itu bisa mengeluarkan asap saking kesalnya layaknya di kartun, maka asap hitam tebal mungkin sudah mengepul saat ini.

“Lagian, kau seharusnya masih bisa bersyukur aku hanya melihatnya. Aku sungguh tidak menyentuh apapun darimu, Na…”

“Yak! Xi Luhan, hentikan!!” Sekali lagi gadis itu berteriak dengan kesal yang berakhir naas bagi Luhan. Lelaki itu harus rela menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga pada hari pertama setelah pernikahannya.

***

“Wah, pasangan pengantin baru kita datang tepat waktu rupanya.” Celetuk Shinna saat melihat Sonna dan Luhan yang baru saja bergabung dengan mereka untuk sarapan di restoran hotel.

“Tentu saja.” Luhan menjawab dengan sebuah senyuman hangat yang tersungging di bibirnya.

“Oh, jadi kalian tidur cepat ya semalam. Tidak melakukan sesuatu?” In Sung menimpali dan matanya mengerling jahil. Jelas sekali bahwa ada maksud tersirat dibalik ucapannya itu.

“Sst! Kalian ini. Tentu saja mereka tidur cepat. Luhan dan Sonna pasti kelelahan.” Ibu Sonna menegur pembicaraan anak-anaknya yang mulai menjurus ke hal-hal sensitif.

Luhan masih mempertahankan senyumannya sembari sesekali terkekeh walaupun kurang mengerti dengan topik yang sedang dibahas Shinna dan In Sung. Sedangkan Sonna, istrinya itu, telah memerah wajahnya. Ia hanya bisa menunduk menahan malu. Baginya, terkadang memiliki dua saudara yang jahil seperti Shinna dan In Sung itu sangatlah menyebalkan.

“Ah ya. Itu benar, lagipula Sonna kan sedang hamil. Mereka tidak akan bisa melakukan apa-apa di malam hari.”

Seketika itu juga mata Luhan membulat mendengar ucapan In Sung. Tampaknya otaknya sudah selesai memproses segala kebingungannya. Ia akhirnya mengerti maksud apa yang terdapat dibalik celotehan dua bersaudara tersebut.

Eonni... Oppa… Aih, kalian ini sungguh-sungguh.” Kesal Sonna.

“Sudah sudah…” Ibu melerai. “Kalian ambillah makan dulu, ayo kita sarapan sama-sama.” Ajaknya kemudian.

Sonna dan Luhan pun mengangguk lalu berjalan menuju tempat dimana semua makanan itu tersaji. Berbeda dengan Luhan yang dengan mata berbinar-binar langsung meraup segala lauk pauk yang memikat seleranya, Sonna berjalan menuju mesin penyeduh teh dan menuangkan cairan tersebut didalam gelasnya. Ia sebenarnya tidak begitu memiliki selera makan, entah hal itu terjadi karena pembicaraan menjengkelkan Shinna dan In Sung ataukah ini memang pengaruh kehamilannya?

Ah, kehamilan? Benar juga. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Ia belum memeriksa kandungannya bulan ini.

“Kau tidak mengambil makanan?” Tanya Luhan saat mendapati Sonna yang hanya mengenggam secangkir teh.

“Eum, entahlah. Aku rasa aku tidak ada selera makan. Entah mengapa aroma makanan itu membuatku sedikit mual.”

Luhan terkejut mendengar penuturan istrinya itu. Matanya bergerak menatap perut Sonna yang kini sudah mulai terlihat membesar. Kekhawatiran mulai menggerayangi hati Luhan. Mungkinkah Sonna sedang sakit? Atau apakah ada sesuatu yang terjadi pada bayi mereka?

“Kau merasa tidak enak badan? Ingin kembali ke kamar?”

Sonna menggeleng namun wajahnya masih setia menunduk. Sungguh, ia tidak sanggup menatap mata Luhan. Apalagi setelah apa yang baru saja terjadi tadi pagi diantara mereka.

“Aku hanya mual biasa. Itu umum terjadi dalam kehamilan.”

Luhan mengerutkan keningnya.

“Bagaimana mungkin? Bukankah ibu hamil mengalami mual di pagi hari hanya saat tiga bulan pertama?” Ya, itulah sedikit informasi yang diketahui lelaki itu mengenai kehamilan.

Sonna hanya bisa kembali menggeleng, karena hal itu jugalah yang ia pertanyakan.

“Tapi kau tetap harus makan sesuatu, Nana-ya.” Luhan melihat sekelilingnya, mencari menu sarapan yang kira-kira cocok dimakan istrinya dengan kondisi seperti ini. “Ku ambilkan kau roti ya? Kau duduklah dulu saja.”

“Hmmm… baiklah.” Gadis itu menurut dan kembali ke tempat dimana keluarganya berada.

“Aku merasa sedikit pusing.” Ujarnya setelah menarik kursi dan duduk disana.

“Kau mengalami morning sickness?” Tanya ibunya yang terlihat paling khawatir disusul dengan tatapan simpati anggota keluarga yang lain.

Sonna menaikkan bahunya, pertanda ia tidak tahu.

“Padahal ini sudah memasuki bulan ke-enam. Mengapa kau masih mengalami hal seperti itu?” Shinna juga menanyakan hal serupa yang kembali dibalas gelengan kepala oleh adiknya.

“Mungkin kau harus memeriksakan kandunganmu, kesehatanmu juga, Nana-ya.” Ayah kemudian memberi saran.

Ne, akan kulakukan nanti appa. Gomawo.”

“Ini sarapanmu, Nyonya Xi.” Luhan yang baru saja kembali meletakkan sebuah piring berisi roti di hadapan Sonna. “Apa kau suka selai stroberi?” Pemuda itu membuka penutup dari selai tersebut.

Ne, gomawo.” Balasnya. Seluruh anggota keluarga Sonna tersenyum melihat betapa perhatiannya seorang Luhan. Mereka benar-benar tidak salah memilih menantu.

“Ah ya, Luhan-ah. Kedua orangtuamu menitipkan pesan ini padaku.” Ayah membuka suara kepada Luhan sembari memberikan sepucuk surat. “Mereka harus kembali ke Amerika tadi malam, oleh karena itu tidak bisa bergabung sarapan dengan kita.”

“Oh, begitu ya. Baiklah, terimakasih abbeo-nim.” Lelaki itu tersenyum kepada ayah mertuanya itu, namun dibalik senyum ramah yang ia tunjukkan, hatinya baru saja tergores kepedihan.

Eomma, appa... Aku baru saja menikah dan kalian sudah meninggalkanku…”

***

“Huweek!”

Kini ketiga kalinya sudah gadis itu memuntahkan isi perutnya. Entah hal apa yang membuatnya mual seketika pagi ini. Luhan masih sibuk menelpon dokter kandungan untuk membuat janji pertemuan dengannya sembari berjalan bolak-balik didepan pintu kamar mandi.

“Lu… bantu aku.” Sonna keluar dari kamar mandi dengan tubuh lemas dan keringat dingin di pelipisnya. Tangannya ia ulurkan untuk digapai suaminya tersebut. Luhan segera menarik Sonna padanya, mengamankan langkahnya yang bergemetar dan menopang tubuh istinya itu hingga terbaring di tempat tidur.

“Apa mungkin kau hanya masuk angin karena memakai baju yang terlalu terbuka semalam?” Tanyanya sembari menghapus buliran keringat pada wajah sang istri.

“Mungkin. Asal kau tahu, aku nyaris tak mengenakan apa-apa saat tidur.” Jawab Sonna masih dengan kekesalan yang tersirat diantara kata-katanya itu atas apa yang telah Luhan lakukan padanya semalam.

“Eung… aku… aku minta maaf soal itu. Aku tidak tahu akan terjadi seperti ini.” Tutur Luhan penuh penyesalan.

“Hmmh, terserahlah. Hei, kau sudah mendapatkan janji dengan dokter itu bukan?”

Luhan menggangguk.

Ne, kita akan pergi nanti siang setelah check out dari hotel.” Luhan melirik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 9. “Kau istirahatlah saja dulu, masih ada beberapa jam sebelum kita pergi.”

Sonna yang hanya bisa terbaring lemas itu pun mengangguk menyetujui. Gadis itu akhirnya mencoba memejamkan matanya hingga tenggelam dalam kegelapan yang tak berujung. Sedangkan Luhan menyalakan televisi dengan volume sedang sehingga tidak menganggu Sonna yang sedang beristirahat untuk memulihkan kondisinya. Jemarinya menekan tombol remote control yang menyebabkan channel TV berpindah-pindah hingga akhirnya ia menemukan sebuah acara yang menarik minat. Tetapi entah mengapa pikirannya tidak dapat terfokus untuk menonton segala adegan yang terlihat di layar televisi. Entah mengapa bayangan-bayangan akan memori kelamnya kembali terungkit hari ini. Dimulai dari kedua orangtuanya yang seakan menganggap status baru dalam hidupnya ini bukanlah apa-apa, perseteruan dengan sang adik yang belum berhasil ia temui hingga saat ini, hingga Yejin. Tetapi, bukan gadis bermarga Song itulah yang sepenuhnya yang menjadi beban pikiran Luhan, melainkan ucapannya dan pandangan orang-orang mengenai dirinya serta Sonna. Sungguhkah mereka memandang gadis itu dengan begitu rendahnya? Bahwa ia hanya menikahi Luhan karena pria yang menghamilinya melarikan diri dari tanggung jawab? Apakah benar jika gadis itu hanya menjadikan Luhan sebagai pilihan sisa dan apabila Sungmin bersedia menikahinya maka Sonna tidak akan pernah menerima Luhan? Mengapa hal tersebut begitu sulit dipercaya?

Walau bagaimanapun, Luhan tidak mau membutakan dirinya. Ia sendiri pun tidak bisa menyangkal jika beberapa orang dan bahkan para tamu undangan membicarakan dirinya. Baiklah, bukan dirinya, tetapi istrinya. Mereka semua pasti gempar sekali mendengar gosip bahwa Sonna tengah hamil dan terpaksa menikahi Luhan untuk menjaga nama baik keluarga Hwang. Walaupun sesungguhnya hal tersebut bukan hanya gosip belaka. Kenyataan memang telah berbicara, walaupun sangat pahit rasanya, tetapi Luhan juga tahu, bahwa sebagian besar perkataan orang-orang tersebut benar. Ya, sebagian besar. Tidak semuanya, karena Luhan masih percaya bahwa Sonna tidak akan berbuat seperti itu padanya. Tidak seperti yang dikatakan Yejin, bahwa gadis itu hanya memanfaatkan Luhan untuk menutupi aibnya, dan Luhan juga tidak percaya bahwa ia adalah pilihan sisa bagi Sonna. Tidak setelah segala hal yang telah mereka lalui bersama. Ya, Luhan percaya bahwa mereka berdua memang dipersatukan karena berjodoh. Takdir sudah yang menuntun keduanya hingga sampai di gerbang pernikahan.

Sayang, hati kecilnya sedikit memberontak untuk menyangkal hal tersebut dan jika Luhan bisa, ia ingin menepis perasaan itu jauh-jauh. Keputusan sudah dibuat dan kini ia diwajibkan untuk menjalaninya. Rasanya mustahil jika ia melangkah mundur sekarang juga. Tidak. Walau bagaimanapun ia tidak ingin celaan orang-orang tentang usia pernikahan mereka itu menjadi kenyataan. Sampai detik ini pun Luhan masih akan berjanji untuk mempertahankannya selama yang ia bisa. Ia akan berjuang agar tidak ada kata ‘cerai’ yang keluar dari mulut mereka berdua, dan itu sangatlah berat. Karena walau bagaimanapun ia meyakinkan dirinya sendiri, keraguan itu masih ada. Bersemayam di sudut hatinya yang tidak dapat terjangkau. Entah mengapa, setiap ia mengingat kembali segala kejadian yang ia lalui saat hari pernikahannya, pendirian lelaki itu mulai goyah. Ia memang pernah mengatakan pada istrinya itu bahwa cinta adalah perkara mudah, dan cinta tersebut akan tumbuh sejalan dengan kebersamaan mereka. Tentu saja hal itu masih berlaku baginya, namun entahlah. Tampaknya kini Luhan sendiri tak bisa menjamin hal tersebut.

Sudahlah, walau bagaimanapun saat ini masih terlalu dini untuk menilai hal tersebut. Usia pernikahan mereka bahkan baru satu hari, ia dan Sonna juga belum tahu bagaimana kehidupan berumah tangga yang sebenarnya itu. Tidak sebelum mereka meninggalkan hotel ini. Luhan mengembuskan nafasnya. Mata lelaki itu bergerak untuk menatap wajah istrinya yang tengah tidur dengan sangat tenang.

“Hwang Sonna… sesungguhnya kau tidak buruk sama sekali.” Ia berbisik hingga nyaris tak terdengar. “Kau cantik, tubuhmu bagus dan memiliki keluarga yang luar biasa. Bagaimana bisa kau menjerumuskan dirimu sendiri dalam lubang keterpurukan? Seharusnya kau bisa menjadi lebih baik dari ini. Kau sudah selayaknya sukses, memiliki pekerjaan bagus dengan gaji yang besar…”

“Tapi jika begitu… kau tidak akan pernah menjadi istriku…” Lanjutnya dalam hati.

“Baiklah. Mari kita beri kesempatan pada pernikahan ini.” Luhan akhirnya memutuskan. “Dunia ini memang tidak adil. Manusia selalu mencintai, tetapi tidak selalu bisa saling memiliki. Mungkin, pilihanku bukanlah yang terbaik dan Tuhan telah menentukan wanita lain yang menjadi jodohku. Jadi, ayo kita lupakan masa lalu dan merajut langkah bersama. Aku berjanji untuk selalu ada disini untukmu, menjagamu dan pada akhirnya, aku akan berusaha untuk menumbuhkan rasa cinta di hatiku. Karena cinta kita akan bersemi bersama langkah yang kita lalui.”

“Walaupun aku tahu bahwa mencintai seseorang itu tak semudah yang terucap...”

***

“Kau sudah bangun?”

Pergerakan mulai terlihat pada tubuh Sonna yang kemudian diikuti dengan membukanya kedua kelopak mata gadis tersebut. Ya, ia sudah bangun dan merasa lebih baik sekarang. Setidaknya, mual dan pusing itu kini tak menganggunya lagi.

“Kau sedang apa, Lu?” Gadis itu melirik suaminya yang duduk di lantai, terlihat sibuk merapikan segala sesuatu disekitarnya.

“Membereskan koper.” Ia berkata sembari memasukkan berbagai benda yang dibawanya dari rumah.

“Perlu kubantu?” Sonna menawarkan diri. Ia bangkit dari posisi berbaringnya lalu duduk di atas tempat tidur. Untuk sesaat ia sempat menyentuh kepalanya yang sedikit berdenyut tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Ketika ia sudah terbiasa dengan posisinya kini, ia merasa bebas melakukan apa saja.

“Tidak perlu. Nah, aku sudah selesai kok.” Pemuda itu menjawab. Tangannya bergerak untuk menutup zipper pada kopernya. Benda itu sudah siap dipindahkan kedalam mobilnya sekarang.

“Aish, seharusnya aku yang melakukan hal itu untukmu. Maafkan aku belum bisa menjadi istri yang baik.” Sonna menundukkan kepalanya, terlihat sangat menyesal.

“Yak, mengapa berkata seperti itu? Lagi pula aku tidak mungkin menyuruhmu untuk saat ini, kau kan sedang sakit, Na…”

Sonna akhirnya mengangguk menyetujui ucapan suaminya itu.

Gomawo. Ehm… apa kita akan pergi sekarang?”

Luhan mengangguk.

“Ya, eomma dan appa akan mengurus check out kamar kita.” Luhan mengangkat kopernya beserta milik Sonna. “Aku antarkan ini ke mobil dulu ya, kau bersiap-siaplah terlebih dahulu. Kita akan langsung pergi setelah ini.”

“Baik Tuan Xi.” Sonna tersenyum saat menggoda suaminya itu. Langkah kakinya dengan ringan ia ayunkan hingga sampai di sebuah cermin besar. Ia mengambil baju cardigan yang tergeletak di atas kursi lalu memadu-padankannya dengan dress biru muda yang tengah ia kenakan saat ini. Menyisir rambut adalah kegiatan selanjutnya yang ia lakukan sembari mematut dirinya di depan cermin. Matanya sedikit membulat saat menyadari perutnya yang semula rata kini sudah berbentuk. Sonna tahu jika pada bulan ketujuh, perut ibu hamil akan membesar dengan drastis tetapi ternyata pada bulan ke-enam ia sudah bisa melihat perubahan itu pada tubuhnya. Tampaknya sebentar lagi persediaan baju-baju nya tidak akan muat seperti sedia kala. Ia sebenarnya sedikit kesal dengan bobot tubuhnya yang terus melonjak naik semakin hari namun perasaan itu seketika lenyap jika membayangkan buah hatinya yang manis akan menyapa dunia ini beberapa bulan lagi. Sonna tersenyum sembari tangannya bergerak untuk mengelus perutnya yang membundar. Gadis itu sudah tidak sabar untuk menjadi seorang ibu seutuhnya.

Pintu hotel itu pun terbuka.

“Nyonya Xi. Kau sudah selesai?”

Eoh, ayo kita pergi.” Gadis itu meraih tangan Luhan namun tidak sungguh-sungguh mengenggamnya. Entah mengapa atmosfer kaku kembali menyelimuti mereka. Namun Sonna tahu, bahwa itu hal yang wajar dan biasanya suasana akan cair lagi dengan sendirinya saat mereka sudah merasa nyaman.

Tangan Luhan masih sempat memainkan kunci mobil sedan hitamnya sebelum benda itu ia tancapkan kedalam slot. Kedua orang itu memasuki benda beroda tersebut. Luhan masih menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Aneh rasanya untuk memasuki kembali mobilnya ini setelah melewati kejadian kurang mengenakkan dengan seseorang yang sebenarnya masih menguasai sebagian hatinya. Tempat yang kemarin sempat diduduki Yejin kini terhapus jejaknya oleh Sonna. Luhan mendesah. Benar, untuk sekarang dan seterusnya, wanita inilah yang akan menduduki jok yang berada tepat disampingnya itu. Tanpa terasa waktu telah berlalu dan mobil tersebut pun kini melaju di jalanan. Suasana masih hening dan Luhan tahu bahwa ia sebaiknya segera menentukan topik pembicaraan karena tampaknya Sonna tidak akan bergeming sebelum ada yang memulai.

“Kau sudah pernah menemui dokter itu sebelumnya bukan?” Pemuda itu mencoba menghangatkan suasana. Namun bukan jawaban yang ia dapat, matanya justru menangkap sosok Sonna yang tengah menatap pemdandangan di luar dengan kagum.

“Bunga musim semi yang indah…” Gadis itu bergeming. “Magnolia, Forsythia… kau tahu bunga-bunga itu Lu?”

“Aku bahkan tak mengerti apa yang kau bicarakan.”

Sonna tersenyum memaklumi. Bagi orang awam yang tidak mengerti tentang jenis-jenis bunga bermekaran di musim semi, kata-katanya itu sudah pasti terdengar seperti gumaman tidak jelas. Tetapi dibalik semua species bunga yang terucap dari mulutnya itu, sebenarnya ia tengah memikirkan sesuatu.

“Menurutmu, Forsythia nama yang bagus tidak untuk bayinya?”

“Huh? Apa? Forstie? Darimana pula kau memikirkan nama ehm… maaf, seaneh itu?”

“Forsythia, Lu. Aih, kau ini.” Sonna membenarkan.

“Ya, terserahlah. Lalu, kau ingin menamainya dengan jenis bunga?”

Sonna menangguk.

“Ya, itu keren bukan?”

“Wah, yaah… Mungkin begitu…” Luhan menjawab tanpa benar-benar serius akan hal tersebut. Jika ditanya mengenai jenis-jenis bunga maka ia hanya bisa dengan santai menyebutkan mawar atau melati. Sungguh mengesankan, jika anak mereka lahir kedunia ia bisa memanggilnya dengan nama Rose atau Jasmine. Lelaki itu bertanya-tanya apakah kehamilan juga memengaruhi olah pikiran istrinya tersebut.

“Mengapa tidak menamainya, Rafflessia.” Celetuk lelaki itu yang kemudian dibalas tatapan maut Sonna.

“Dia bunga-nya dan kau yang akan kujadikan bangkai-nya!”

“Ancaman yang luar biasa.” Luhan tertawa renyah sedangkan Sonna sibuk memikirkan bagaimana ia bisa mewujudkan kata-kata ancamannya itu.

“Lagipula, bagaimana mungkin kau bisa memberinya nama bunga jika anak kita laki-laki?”

Sonna tersentak.

“Menurutmu begitu? Dia bukan perempuan?”

“Aku hanya memisalkan, Nana-ya. Tetapi tidak menutup kemungkinan hal itu terjadi bukan?”

“Hmmm… yah, kalau begitu kita harus mempersiapkan lebih banyak nama.”

“Hei, kau belum mengetahui jenis kelamin bayi kita, ya? Ataukah kau sengaja tidak ingin mengetahuinya? Setahuku kebanyakan orangtua memang seperti itu, agar menjadi kejutan nantinya.”

Sonna menggeleng.

“Tidak. Aku sebenarnya sangat penasaran mengenai anak ku, eh… kita. Apakah ia akan menjadi sepertiku, atau ayahnya…”

“Dan kau menginginkan seorang perempuan bukan?” Luhan mencoba menebak dari perkataan Sonna beberapa saat yang lalu.

Ne.”

“Lalu mengapa kau belum mengetahuinya hingga saat ini?”

“Setiap di USG, bayinya membelakangi kamera. Kasus seperti ini memang sering terjadi. Dokter mengatakan padaku, bahwa beberapa saat sebelum persalinan bayi akan berputar. Sejujurnya, perasaanku mengatakan jika dia perempuan tetapi aku ingin sekali mengetahui kebenarannya.” Gadis itu akhirnya menceritakan segalanya.

Tanpa mereka sadari, mobil tersebut telah menyampaikan mereka ke tempat tujuan. Klinik ibu dan anak Dr. Song Qian.

“Kita sudah sampai. Silahkan turun Tuan Putri.” Luhan membuka pintu mobil dan mempersilahkan istrinya itu keluar dar mobil.

“Semoga kita beruntung hari ini.” Ia menambahkan yang lalu disambut dengan anggukan antusias istrinya itu. Luhan mendorong pintu klinik tersebut hingga terbuka sepenuhnya dan mata lelaki itu hanya bisa membulat saat melihat betapa banyaknya pasien yang memenuhi ruang tunggu. Belum selesai sampai disana, ia masih harus terbelakak saat mengetahui nomor antrian mereka.

“Klinik Dokter Song memang biasa seramai ini?”

Eum.” Sonna mengiyakan. Ia tidak tampak kebingungan seperti suaminya itu. Ini bukan pertama kalinya bagi gadis tersebut mengunjungi klinik Dr. Song Qian yang memang terkenal hingga di seluruh pelosok kota. Jangan kaget melihat berapa banyak pasien yang harus ia layani setiap harinya.

“Apa kau selalu harus mengantri selama ini setiap memeriksakan kandunganmu?” Luhan bertanya saat mereka mendapatkan tempat duduk di ruang tunggu tersebut.

“Ya, mengapa? Kau tidak bisa menungguku? Baiklah, tidak apa-apa. Kau pulang duluan saja, nanti kutelpon saat sudah selesai.” Sonna berujar walau dengan berat hati. Tetapi mau bagaimana lagi, ia tidak bisa memaksakan kehendak jika Luhan tidak bersedia menunggu dan melihat anak mereka melalui sonogram. Walau bagaimanapun, dia bukan ayah kandung dari bayinya. Mungkin hal itulah yang membuat Luhan keberatan menunggu selama ini.

“Aish kau ini, mengapa emosional sekali? Maksudku bukan begitu, aku hanya ingin tahu apakah ini tidak membosankan? Apalagi selama ini kau pergi sendirian.”

Sonna menatap sendu wajah suaminya. Apakah kata-kata yang baru saja diucapkan Luhan itu hanyalah usaha untuk berkelit dari perasaannya yang sebenarnya? Namun sekali lagi, Sonna tak dapat menemukan kebohongan pada kedua mata jernih lelaki tersebut. Sekali lagi, Sonna memercayai bahwa perkataannya tulus. Tetapi entah mengapa sulit sekali bagi Sonna untuk meyakini ketulusan Luhan padanya. Baiklah, bukan padanya melainkan bayinya. Bagaimana mungkin seseorang bisa menerima anak yang bahkan bukan darah dagingnya sendiri, melainkan buah cinta sang pasangan dengan lelaki lain. Bagi siapa pun kasus seperti ini akan sangat sulit diterima bukan?

“Nana-ya, mengapa kau diam saja? Aku bosan tahu.”

“Kau ini sungguh kekanakan, Lu. Apa kau tidak sadar bahwa kau akan menjadi seorang ayah beberapa bulan lagi?” Kata-kata Sonna seakan memiliki maksud lain dibaliknya. Namun, tidak seperti dugaan gadis itu, Luhan malah tersenyum.

“Bagaimana jika kita melanjutkan mencari nama untuk anak kita lagi?” Usulnya kemudian sembari mengeluarkan handphone canggihnya. Ia membuka browser dan mengetikkan ‘nama-nama bayi perempuan Korea’ sebagai keyword-nya.

“Untuk perempuan, disini tertulis Yoora yang berarti sutra. Bo-Bae, harta karun dan Ae-cha, anak perempuan kesayangan. Ah, bagaimana dengan Chinsun? Nama itu memiliki arti yang bagus : berharga. Atau yang ini, kau menyukai musim semi bukan? Aku rasa Choon-Hee bagus, artinya gadis musim semi. Setidaknya itu lebih baik daripada Magnolia dan… Frozen?”

“Forsythia!” Sekali lagi gadis itu membenarkan ucapan Luhan.

“Ah ya, terserah sajalah. Jadi bagaimana menurutmu?”

Sonna mengangkat bahunya.

“Entahlah, apa menurutmu nama-nama itu cocok dengan bayinya?”

Luhan terlihat menimbang-nimbang sejenak.

“Baiklah, kita cari yang lain saja.”

“Bukankah kau pernah tinggal di Cina, Lu? Bagaimana nama anak-anak disana? Siapatahu ada yang menarik.” Sonna menyarankan yang akhirnya disetujui Luhan. Ia mengganti keyword Korea menjadi Cina.

“Chan-Juan, artinya Bulan.”

“Kau yakin itu nama untuk perempuan?”

“Yah, disini tertulis begitu.” Lelaki itu men-scroll kebawah layar handphone nya hingga lebih banyak nama yang dapat ditampilkan benda tersebut.

“Ada Cong, yang berarti cerdas dan pintar. Lalu Fang yang berarti harum. Jika digabungkan maka anak kita akan memiliki nama ‘gadis cerdas yang harum- Cong Fang.”

Sonna tertawa.

“Entah mengapa rafflesia terdengar lebih bagus ya sekarang?”

Luhan pun ikut tertawa.

“Baiklah, sekarang nama anak laki-laki.”

Yak, kita saja belum menemukan nama perempuannya?”

“Lho, rafflessia bukan?” Luhan bergurau dengan polosnya.

“Aish, bodoh kau. Mana mungkin ada orang tua yang menamai anaknya dengan sebutan bunga bangkai?” Kesal Sonna.

“Ah ya, nanti saja kita cari lagi. Lihatlah, nama anak laki-laki. Abok, artinya diberkati. Bon, terbaik dan Chin-hwa, makmur.”

“Menurutku ini menarik.” Sonna memberi pendapatnya. “Disini tertulis Baek yang berarti inspirasi dan Kun artinya terpelajar. Namanya akan menjadi Baekkun dan artinya sangat bagus.”

“Entah mengapa nama itu mengingatkanku pada seseorang yang menyebalkan.” Luhan berujar dengan malas saat teringat pada Baekhyun, dan ia tidak akan berniat menamai anaknya seperti itu setelah melihat segala kelakuan gila sahabatnya tersebut. Tidak, sudah cukup satu Baek yang masuk dalam hidupnya ini.

“Kau tahu, Han berarti beriman dan Hyeon berarti bijak. Aku rasa Hanhyeon terdengar lebih bagus dibanding Baekhyun… eh salah. Maksudku, Baekkun.”

“Hanhyeon?” Sonna tersenyum. “Kau menambahkan suku nama-mu sendiri dalam nama itu.”

“Tentu saja, aku ayahnya. Jadi bagaimana? Hanhyeon, deal?”

Eum, baiklah. Sekarang ayo kita cari nama bayi perempuan lagi.”

Luhan kembali membuka laman browser dan mengetikkan keyword yang berbeda kali ini. ‘Nama bayi perempuan Korea populer.’

“Min Mi ada diurutan pertama, memiliki arti terhormat, cinta kasih, kebenaran, dan cantik.
Urutan kedua, Hye Min berarti perempuan anggun yang cerdas serta terhormat dan Dong Hwa yang artinya kecantikan, keabadian, dan kejayaan.” Luhan mengerutkan keningnya sembari terus mencari nama yang menurutnya menarik.

“Ah ini bagus.” Ungkapnya kemudian.

“Apa?” Sonna terlihat penasaran.

“Memiliki arti, anak kecil yang tak berdosa : Im Yoon Ah.”

Saat itu juga pemuda tersebut dihadiahi jitakan oleh sang istri.

“Bodoh kau. Itu nama seorang anggota Girls’ Generation. Kau narsis sekali jika menamai anakmu seperti itu.”

Luhan tertawa mendengar celotehan istrinya itu.

“Hei, tapi kau tahu. Namamu sendiri juga terdengar seperti selebritis.”

“Hah? Masa? Siapa?”

“Sonna… Sonna-eun… kau tahu, girlband baru itu, lagunya terdengar seperti… ehm… Seulpeohaji ma no no no, honjaga anya no no no…” Luhan mencoba menyanyikan sedikit lirik lagu dari band yang ia lupakan namanya tersebut.

“Ah, A-Pink… Maksudmu Son Na-Eun, ya?”

Namun Luhan tak membalas pertanyaan istrinya itu, karena secara tiba-tiba pikirannya disibukkan oleh nama yang baru saja disebutkan Sonna.

“Son Na-Eun… Na-Eun… Na Eun...”

Sonna menatap suaminya itu bingung.

“Kau ini bicara apa Lu?”

Tetap lelaki itu tetap tidak bergeming. Tersirat dari wajahnya bahwa ia tengah memikirkan sesuatu dengan sangat serius. Sonna akhirnya menyerah untuk mendapatkan perhatian Luhan kembali padanya. Mungkin saja suaminya itu sedang memikirkan sebuah nama, dan tampaknya pemikiran Sonna terbukti benar setelah Luhan tiba-tiba memekik dengan riang.

“Xi Euna.”

“Hah?” Sonna nampak terkejut dengan perubahan drastis pada diri Luhan.

“Iya, Euna… Xi Euna. Bagaimana menurutmu? Aku rasa itu nama yang cocok untuk anak kita.”

“Kau membalikkan Na-Eun menjadi Eun-Na?”

“Iya, ide ku cemerlang bukan?”

Kini giliran Sonna yang hanya bisa terdiam, namun tanpa ia sadari, tangannya bergerak untuk mengelus perutnya tepat dimana sang jabang bayi berada.

“Jadi Hanhyeon ataupun Euna… eomma akan menunggu kehadiranmu di dunia ini, nak.”

***

“Nyonya Xi.”

Luhan dan Sonna menoleh secara bersamaan.

“Silahkan masuk.” Seorang asisten membukakan pintu untuk keduanya. Sepasang suami-istri itu pun bangkit meninggalkan tempat duduk mereka. Luhan begitu terperangah melihat berbagai peralatan medis yang memenuhi ruang pemeriksaan itu. Namun sebaliknya, Sonna tetap tenang, ia memang sudah lebih berpengalaman mengunjungi tempat ini.

“Selamat siang, Nyonya Hwa…” Dr. Song mengernyitkan dahi saat melihat nama Sonna di daftar pasien. Ia terlihat sedikit bingung karena perbedaan marga gadis tersebut semenjak pemeriksaannya yang terakhir. “Maaf, maksud saya Tuan dan Nyonya Xi.” Ralatnya.

“Jadi hari ini pemeriksaan kedua, terhitung bulan ke-enam.” Dokter itu membaca agenda pemeriksaan atas nama Sonna. “Berarti hari ini anda akan di USG.”

Sang asisten dengan sigap menyiapkan segala peralatan untuk monitoring USG sebelum akhirnya Sonna diminta untuk berbaring di atas alas tidur yang telah disediakan. Pada perut gadis itu dioleskan gel dingin yang berfungsi untuk menghilangkan lapisan udara agar gelombang suara yang dihasilkan alat USG tidak dipantulkan kembali. Dr. Song Qian menggerak-gerakkan alat yang dinamakan transuder secara melingkar pada perut Sonna membuat sebuah sonogram tercipta pada layar USG.

“Saat kehamilan memasuki minggu ke-30, pemeriksaan USG dilakukan untuk mendeteksi letak plasenta, tali pusat, jumlah air ketuban, serta perkembangan janin. Juga bisa untuk mengetahui kelainan organ janin yang baru tampak pada usia kehamilan lanjut seperti pada otak dan ginjal.” Dokter Song menjelaskan sedangkan Sonna merinding dibuatnya. Gadis itu tidak bisa membayangkan jika anaknya menderita kelainan seperti itu.

“Jadi bagaimana dengan anak kami, dok? Apakah ia sehat?” Luhan melontarkan pertanyaan yang baru saja ingin ditanyakan oleh Sonna juga. Gadis itu menatap sang suami. Lelaki yang tengah duduk disampingnya itu juga terlihat khawatir sebagaimana dirinya. Sekali lagi Sonna tersenyum getir. Bagaimana mungkin Luhan bisa menunjukkan ketulusan seperti itu pada janin yang bahkan tidak memiliki hubungan darah dengannya?

Dokter Song, menatap sonogram tersebut dengan serius. Ia terlihat sedang memperlajari segala sesuatu yang tergambar disana.

“Ini bayinya.” Ia menunjuk sesuatu yang tampak seperti bayangan hitam bagi orang awam. Tetapi Sonna seketika berkaca-kaca saat dokter menyebutkan hal tersebut.

“Terlihat bahwa ia tumbuh dan berkembang dengan baik. Sejauh ini tidak ada kelainan yang terlihat, tetapi posisi janin masih tengkurap. Sayang sekali kita masih belum bisa mengetahui jenis kelaminnya. Oh ya, jika boleh tahu. Anda menginginkan laki-laki atau perempuan?”

Luhan mengerling pada Sonna yang terbaring di ranjang sembari matanya memandang intensif layar USG.

“Istri saya ini sepertinya sangat mendambakan anak perempuan.”

“Ah, begitu. Lalu anda pastinya menginginkan seorang lelaki, ya?” Balas Dr. Song.

“Hmmm, tidak juga. Bagi saya sendiri sebenarnya jenis kelamin bukanlah masalah. Saya sudah sangat bersyukur karena Tuhan telah memercayakan untuk menitipkan anaknya pada kami.” Luhan berkata dan tanpa seseorang pun menyadari, air mata pemuda itu telah meluncur turun dari pipinya.

***

“Bagaimana pemeriksaannya tadi?” Tanya ibu Sonna saat membukakan pintu bagi anak dan menantunya yang baru saja pulang itu.

“Baik. Bayinya sehat dan itulah yang terpenting.” Tutur gadis itu dengan yakin.

“Lalu bagaimana dengan gejala mual mu itu?”

“Ah itu.” Sonna baru saja teringat. “Yah, aku baru mengetahui jika ternyata saat janin tumbuh membesar, ia akan menekan lambung dan diafragma. Terkadang itu yang menyebabkan perasaan tidak nyaman.”

“Hmmm, tapi intinya tidak ada masalah apa-apa bukan?” Sekali lagi ibu-nya itu memastikan.

Ne, eomma. Semuanya baik-baik saja.”

“Baiklah. Kalau begitu ayolah kita ke dapur. Eomma sudah memasak makan malam.”

Sonna menatap jam tangannya dan benar saja. Hari sudah sore. Apakah mereka menunggu selama itu di klinik Dr. Song?

Saat kedua orang itu melangkahkan kaki menuju dapur, tiba-tiba Sonna dan Luhan dicegat oleh Shinna serta In Sung yang menyeringai dengan lebar.

“Selamat datang pengantin baru…”

Sonna mentap curiga kedua saudaranya itu.

“Kejailan apa lagi yang mereka rencanakan?” Batinnya.

“Ayo ikut kami sebentar.” Ujar In Sung.

“Ada apa?” Luhan bertanya.

“Ah, kau akan tahu dengan sendirinya. Mari, adik ipar.” Ajak Shinna. Pasangan suami-istri itu akhirnya menuruti mereka dan berjalan mengikuti langkah kaki kedua saudara tersebut.

“Tadaa! Hadiah pernikahan kalian.” Shinna berseru dengan heboh saat In Sung membuka pintu kamarnya. Sonna dan Luhan hanya bisa saling menatap penuh kebingungan. Mata mereka menjelajahi seluruh isi kamar namun anehnya, mereka tidak menemukan benda yang disebut-sebut sebagai hadiah perniakahan mereka itu.

Eonni… soal hadiahnya? Kau yakin ada didalam kamar ini?”

“Hmm. Kenapa? Kau tidak melihatnya?”

Sonna mengangguk dengan ragu, khawatir ia akan menyinggung perasaan sang kakak.

“Sudah kubilang hadiahmu terlalu kecil!” Sindir In Sung. Tiba-tiba lelaki itu mengambil sebuah benda dari atas meja dan menyerahkannya pada Luhan. “Karena kau yang akan menjadi kepala rumah tangga bagi adikku, kuserahkan ini padamu.”

Mata Luhan membulat total saat menyadari benda apa yang baru saja berpindah ke tangannya itu. Sebuah kunci, tetapi bukan hanya sekedar kunci.

Eonni, kau membelikan apartemen untuk kami?”

Shinna tertawa renyah.

“Yah, setidaknya pengantin baru kita ini memerlukan tempat tinggal. Kau tidak bisa merepotkan eomma dan appa terus jika sudah berkeluarga.”

Sonna menundukkan kepalanya dalam diam. Ia teringat saat kakaknya itu menikah, ia segera mengikuti suaminya, pindah ke Amerika dan merintis bisnis disana. Kini, hal itu juga terjadi padanya. Tinggal berjauhan dengan orang-orang yang telah menyayangi nya dari kecil hingga kini itu sangatlah berat rasanya.

Eonni… apa itu berarti bahwa eonni akan kembali ke Amerika sebentar lagi?”

Kakak perempuan Sonna itu menggigit bibirnya.

“Sebenarnya eonni sudah memesan tiket malam ini…”

Eonni! Kau meninggalkanku?!”

“Sstt, Nana-ya. Kau sudah besar sekarang. Eonni memang akan pulang, menemui keluarga eonni disana, tetapi bukan berarti kita tidak bisa bertemu lagi setelah ini, kan? Saat anak kalian lahir, eonni pasti akan ada disini untuk menemanimu. Janji oke.” Gadis itu mengacungkun kelingkingnya.

“Baiklah. Janji.” Sonna berujar namun ia tidak membalas acungan kelingking Shinna, gadis itu menghambur kedalam pelukan sang kakak. “Terimakasih untuk segalanya. Aku akan merindukanmu, eonni…”

***

Jam tampaknya sudah menunjukkan pukul 11.00 malam namun Sonna dan Luhan masih dalam perjalanan panjang mereka. Setelah merapikan berbagai barang dan baju yang akan dipindahkan kedalam rumah baru dan mengantarkan Shinna ke bandara, kini pasangan yang baru saja menikah itu telah memasuki sebuah kompleks. Seharusnya apartemen mereka berada disana, sesuai dengan alamat yang ditunjukkan GPS.

“Jalan Gyeongdong, bukan? Aish mengapa kita tak kunjung menemukannya. Apakah kita berada di lokasi yang salah?”

Terdengar kalimat pertanyaan panjang yang tak henti-hentinya diajukan Luhan sembari mengendarai mobilnya dengan kecepatan rendah. Sonna terus menajamkan matanya untuk mencari bangunan yang akan mereka tinggali tersebut, namun mencari sesuatu di kegelapan itu memang bukan merupakan hal mudah.

“Bagaimana jika kita bertanya pada warga sekitar? Apakah ada orang di pinggir jalan yang dapat menunjukkan jalan?”

Sonna menoleh kesal pada suaminya itu.

“Lu, ini hampir tengah malam. Tidak ada seorang manusia pun diluar rumah pada saat seperti ini. Kau ingin bertanya pada hantu hah?”

“Yak! Jangan menakutiku. Aku sedang menyetir!” Sembur suaminya itu dan sayangnya, pernyataan Luhan justru membuat Sonna semakin bersemangat mengerjainya.

“Oh, jadi suamiku ini teryata takut pada hal-hal seperti itu?”

Aniya. Tentu saja tidak. Aku sedang menyetir sekarang, aku hanya tidak ingin konsentrasiku terpecah.”

“Ah… sungguhkah? Entah mengapa sulit rasanya bagiku untuk memercayai hal itu.”

“Aish, kau ini. Aku bersungguh-sungguh. Lagipula, lebih baik kau bantu aku mencari apartemen itu, Nana-ya.”

“Lihatlah. Kau mengalihkan pembicaraan sekarang. Sudah kuduga kau memang takut.”

Luhan mendengus kesal namun secara tiba-tiba senyum sumringah kembali menghiasi wajahnya.

“Hei, aku menemukannya. Sangji Ritzville Apartement kan? Yang di depan sana itu, apakah benar?”

Sonna menoleh.

“Ah, akhirnya kita sampai juga.”

Mereka berdua langsung bergegas keluar dari mobil dan memasuki bangunan tersebut. Kesan mewah yang identik dengan apartemen bernilai jual tinggi pun langsung menyapa keduanya. Sonna sedikit terkejut dengan kemampuan Shinna membeli apartemen yang per bulan saja bisa ribuan won harga jualnya. Memang iya jika profesi sebagai wedding organizer itu cukup menjanjikan tetapi bagi Sonna ini semua sungguh berlebihan. Seakan belum cukup, kamar apartemen mereka ternyata sangatlah luas. Terlampau luas bagi gadis itu, karena yang akan menempati apartemen seukuran rumah itu hanyalah mereka berdua, baiklah, bertiga jika ditambah kehadiran anak mereka. Tetapi tiga orang tidak memerlukan ruang sebesar ini, bukankah begitu?

Sedangkan dilain pihak, Luhan justru sangat menikmati kemewahan ini. Matanya tak bisa berhenti menelusuri ruangan yang bernuansa putih itu dan segala furniture bermerk yang melengkapinya. Sofa kulit berwarna Falu Red, TV LCD 52 inch, oh dan jangan lupakan lantai laminate dilapis kayu mahoni, memberikan kesan hangat dan mengimbangi kesan mewahnya. Bukan berarti Luhan tidak pernah merasakan gaya hidup yang seperti ini saat masih tinggal di rumah orangtuanya dulu, tetapi ia tidak pernah bisa menyangka bahwa segala kemewahan ini akan dapat dimilikinya sendiri. Ya, walaupun dengan bantuan kakak iparnya.

“Mereka benar-benar sudah gila!” Seru Sonna. Luhan menoleh dan mendapati istrinya itu didepan sebuah meja.

“Yah, tapi mereka sudah menghadiahkan ini untuk kita, walaupun memang ini sedikit berlebihan.”

Aniya. Ini bukan tentang apartemennya, tapi ini.” Gadis itu mengacungkan sebuah amplop.

“Apa itu?” Luhan berjalan mendekat dan meraih lembaran kertas tersebut dari tangan Sonna. Seketika, sekujur tubuhnya meremang saat mengetahui apa yang terdapat dalam amplop tersebut.

“Tiket pesawat…”

“Ya. Untuk… ehm… bulan madu…” Jawab Sonna ragu-ragu. Sepasang suami-istri itu kini berpandangan. Tidak perlu lagi terucap kata-kata dari mulut masing-masing untuk meluapkan isi hati. Tatapan mata mereka sudah menjelaskan semuanya.

Dan sekaranglah keduanya sungguh-sungguh tersadar, bahwa kehidupan berumah tangga mereka telah sepenuhnya dimulai.

To Be Continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
CardGames #1
Chapter 5: I can't wait for the update.